Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Senin, 27 Agustus 2012

Kericau Denny Indrayana Vs Yusril Ihza not a common word


Isi twitter Yusril Ihza Mahendra yang salah satunya memuat kata-kata yang menyinggung tentang “PRESIDEN KORUPTOR” ternyata mampu menyulut sikap emosional para elit politik yang berada di lingkaran Presiden SBY, dan akhirnya menjadi sumber polemik yang bermuara pada penilaian etis atau tidak etis sehingga muncul juga tuntutan untuk minta maaf dan memaafkan.
Munculnya isi Twitter mantan Menteri Sekretaris Negara periode pertama Presiden SBY ini tidak dapat dipisahkan dengan isi Twitter Denny Indrayana wakil menteri hukum dan HAM dibawah kepemimpin Presiden SBY periode kedua yang menyinggung tentang pengacara koruptor.
Masyarakat awam juga kembali dibuat geleng kepala, mengurut dada dan sekilas senyum tersipu-sipu sebagai ekspresi rasa geli melihat tingkah laku para elit politiknya yang gampang terjerumus kedalam adu argumentasi yang dinilai oleh masyarakat hanya persoalan “remeh temeh”. namun  sebaliknya justru dalam pandangan para elit politik merupakan wacana menarik dan memiliki bobot politis.
Perang wacana ini terjadi di jejaring sosial twitter, namun karena yang mengemukakannya tokoh politik di negeri ini maka kicauan itu menjadi bahan perbincangan hangat dan dianggap menyentuh harga diri, nama baik dan citra orang nomor satu di negeri ini, sehingga sebagai sebuah kicauan yang dianggap tidak etis Yusril diminta minta mohon maaf  kepada Presiden oleh lingkaran dekat Presiden SBY.
Maka wajar juga jika kita bertanya, apakah hanya ketika dianggap mengganggu kredibelitas orang penting di negeri ini permohonan maaf layak diberikan ? Sementara ketika para elit politik mengumbar ucapannya yang membuat hati dan perasaan rakyat tersinggung tindakan menyampaikan kata maaf tidak berlaku ? Jika memang ini yang terjadi maka kita telah mundur lagi selangkah kebelakang menjadi orang-orang yang feodalistik, gila hormat dan merasa orang yang paling memiliki status paling tinggi.
Setelah enam puluh tahun lebih Indonesia merdeka, dalam kehidupan sosial politik nasional memang masih sering terpelihara dengan baik sikap-sikap feodalistik ini, yaitu terlalu gampang memvonnis seseorang melakukan penghancuran karakter, merusak nama baik, mendeskreditkan dan bahkan menilai seseorang telah melakukanBlack Campaign.  Karena merasa menjadi pihak yang memiliki kehormatan yang tinggi maka sering muncul tindakan menuntut untuk memperbaiki kehormatannya.
Padahal selaras dengan hukum sebab akibat, apabila kita ingin dihormati oleh pihak lain maka kita juga harus menghormati orang lain. karena hal tersebut sesuai dengan hukum tanam dan tuai, apa yang kita tanam maka hal tersebut juga yang akan kita tuai.
Ketika Yusril Ihza Mahendra melepaskan kicauannya ini, beliau mengatakan bahwa kalimat-kalimat yang ditulisnya dianggap mengikuti alur pemikiran Denny Indrayana ketika melepas kicauannya tentang pengacara korupsi.  Bagaimana alur pemikiran tersebut biarlah hal tersebut menjadi konsumsi dan domain para elit politik dan para orang pintar yang menguasai ilmu filsafat, tata bahasa dan hukum, yang justru menjadi sumber bahan perbincangan bagi kaum awam sederhana saja ” Perdebatan Para Orang Pintar Negeri Ini Membisingkan dan Sumbang”.
Karena telah muak melihat para elit politik yang tidak bosan-bosannya hanya bergelut sebatas wacana, masyarakat juga akhirnya membuat kesimpulan sendiri bahwa apa yang tengah terjadi tersebut wajar membisingkan karena memang muncul di Twitter, sesuai dengan logo twitter sendiri dan arti terjemahan bebas twitter, twitter dalam bahasa Indonesia disebut dengan “Kericau”  atau  berkicau terus menerus sama seperti “Burung Murai”
Burung Murai, terutama burung ” Murai Batu” (Copsychus malabaricus) merupakanburung kicau paling populer, burung ini termasuk ke dalam family Turdidae. Burung murai batu dikenal memiliki kemampuan berkicau yang baik dengan suara merdu, bermelodi, dan sangat bervariasi. Ketenaran burung murai batu bukan hanya sekedar dari suaranya yang merdu, namun juga gaya bertarungnya yang sangat atraktif.
Bercermin dari defenisi bebas twitter, maka alangkah indahnya dinikmati apabila para elit politik di negeri ini ketika mengemukakan pendapatnya dengan suara yang menyejukkan perasaan masyarakat, dan mampu memberikan pembelajaran yang mendewasakan pemikiran, bukan hanya berkicau hanya sekedar memproduksi kata-kata yang menimbulkan kegaduhan dan hanya mengumbar kata-kata tidak memiliki nilai berarti bagi kepenetingan umum (not a common word).
Denny Indrayana, secara pendidikan dan jabatan bukan merupakan orang biasa-biasa, tetapi memiliki latar belakang pendidikan yang lumayan tinggi dan memiliki jabatan yang tinggi dalam struktur kepemimpinan lembaga hukum sehingga ucapannya, terutama kicauannya di twitter memiliki dampak yang luas serta menjadi sumber perhatian masyarakat umum, oleh karena itu setiap ucapannya dianggap penting. Dan sebagai orang awam kita juga berpikir bahwa tidak mungkin seorang Denny Indrayana mengeluarkan pendapat hanya sekedar kicauan tak berarti, walau hal tersebut hanya dilakukan melalui Twitter.
Demikian juga Yusril Ihza Mahendra telah memiliki nama yang familier dan memiliki rekam jejak yang lumayan bagus dalam pemikiran masyarakat umumnya, jadi dianggap tidak mungkin mengeluarkan argumen yang tidak memiliki nilai atau bobot.
Namun melihat kecenderungan yang terjadi tanggapan yang muncul terhadap isi twiter kedua pendekar hukum ini, ada segumpal pertanyaan yang bersemayam di dalam hati kecil masyarakat awam, yaitu hanya sebatas itukah kapasitas para elit politik di negeri ini ? Hanya mengumbar wacana dan berdebat di jejaring sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin merasa asing dengan elit penguasa negeri ini yang dianggap hanya mementingkan diri dan kelompoknya.
Walaupun wacana tersebut hanya diluncurkan melalu jejaring sosial atau Twitter, kiranya kata demi kata yang meluncur tersebut memiliki nilai dan bobot yang mampu menjadi bahan pembelajaran dan inspirasi bagi masyarakat, serta tidak menimbulkan  kegaduhan, tetapi merupakan suara merdu yang menyejukkan sesuai dengan lambang jejaring sosial Twitter yang menggambar burung Murai yang memiliki suara merdu, bermelodi serta bervariasi penuh resonansi yang mampu menggetarkan jiwa pendengarnya.
Para orang lingkaran dekat Presiden SBY tidak perlu gusar atau reaksioner atas kicauan Yusril Ihza Mahendra, yang mempublikasikan tentang “Presiden Koruptor”, selaras dengan pengakuan Yusril, tindakan tersebut dilakukan merupakan reaksi dari hukum sebab-akibat, sebab pertamanya adalah pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayanan yang mengatakan bahwa advokat pembela koruptor adalah koruptor.
“Kalau ditelisik cara dan logika berpikir Denny, maka cara dan logika berpikir Yusril hanya analoginya saja, namun statemen Yusril tersebut tidak secara substantif menuduh bahwa Presiden SBY adalah koruptor.”
Pelajaran yang dapat dipetik dari munculnya masalah dan polemik  ini menjadi kritik serta bahan permenngan  bagi  pejabat publik atau elit politik  agar mengedepankan etika dalam mengeluarkan pernyataan. Sebagai pejabat negara, Denny harusnya lebih berhati-hati mengeluarkan pendapat karena posisinya sebagai wakil menteri merupakan petinggi hukum dan pejabat tinggi negara.
Denny yang mengomentari profesi  advokat  mengundang perdebatan panas karena profesi advokat memilik hubungan dengan pekerjaan dan jabatan Denny sebagai pejabat di Kemenkumham. “Kicauan Denny di jejaring sosial itu sangat tendensius dan memberi stigma negatif terhadap profesi advokat”.

Kamis, 23 Agustus 2012

MERINDUKAN PIGUR JOKOWI DI PILGUBSU

Keberhasilan pasangan Joko Widodo unggul dalam putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta merupakan sebuah fenomena dan menjadi bahan perbincangan menarik bagi masyarakat, para politisi maupun pengamat politik. Kemenangan calon yang dibesut PDIP dan Gerindra ini merupakan kejutan, banyak kalangan yang tidak menduganya sebelumnya, bahkan lembaga survey yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memproyeksikan peta pemenang pada setiap pelaksanaan pilkada, pemilihan umum dan pemilihan presiden pada pemilihan gubernur Jakarta hasil survey umumnya berbending terbalik dengan realita hasil akhir pemiklihan gubernur Jakarta.

Pemilihan gubernur Jakarta dengan keberhasilan pasangan Jokowi mengungguli saingannya merupakan bahan perdebatan dan kajian yang menarik sampai hari ini, karena selain mampu meretas kemapanan pemikiran yang berkembang selama ini, kemenangan pasangan Jokowi ini juga menjadi trendsetter, atau mampu menjadi poloa anutan yang ingin direalisasikan oleh masyarakat di seluruh pelosok nusantara.

Trend yang menarik bagi masyarakat dewasa ini adalah kerinduan akan munculnya calon pemimpij yang memiliki pigur baru, pigur yang lain dari yang lain. Selama ini, khususnya paska lahirnya era reformasi yang membuka kesempatan pemilihan langsung pada intinya masyarakat berharap mampu memperoleh pemimpin yang ideal, terutama menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu berempati terhadap perasaan masyarakat dan mampu memberikan kepemimpinan yang merealisasikan harapan masyarakat.

Namun berdasarkan pengalaman, dan kecenderungan yang umumnya terjadi dieseluruh daerah, pemilihan langsung tersebut ternyata tidak mampu melahirkan seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan pemimpin muncul justru banyak yang menjadi sumber dan bagian masalah keruwetanb kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya banyak pemimpin yang muncul hanya mengumbar janji muluk-muluk, manis dibibir dan tidak membumi pada saat kampanye, dan ketika terpilih menjadi pemimpin justru bersikap dan bertindak tidak sesuai dengan harapan  masyarakat, bahkan cenderung hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dan hanya sekedar melampiaskan syahwat atau libido politiknya.

Yang membuat hati masyarakat semakin meringis dan membuat muak terhadap tingkah para politisi adalah panjangnya barisan para politisi terutama pemimpin daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Bahkan hasil perkembangan pembangunan di daerah selama era reformasi dinilai tidak memiliki perubahan secara signifikan jika dibandingkan dengan era orde baru, bahkan banyak objek pembangunan selama orde reformasi justru hanya proyek tambal sulam terhadap proyek yang sudah ada  sejak era sebelumnya, bahkan yang banyak terjadi justru pelapukan terhadap infrastruktur pembangunan yang sudah ada sebelumnya.

Selain  hasil perkembangan pembangunan yang tidak mampu menyentuh kepentingan umum masyarakat, kehidupan masyarakat dewasa ini justru semakin sulit secara ekonomi, banyak sektor-sektor industri yang merupakan tempat menggantungkan hidup hidup masyarakat semakin terabaikan bahkan hidup segan mati tidak mau akibat kompetisi kehidupan ekonomi yang semakin kapitalistik, liberal dan kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi kepada kepentingan para pemilik modal besar maupun perusahaan transnasional.

Akumulasi pengalaman pahit dan kekecewaaan masyarakat ini melahirkan sebuah kerinduan terhadap munculnya pemimpin yang memiliki resonansi kepemimpinan empatik, mampu memahami dan menyelami harapan serta keinginan masyarakat serta mampu merealisasikan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Kemenangan Jokowi pada putaran pertama pada pemilihan gubernur Jakarta dianggap sebagai sebuah contoh dan bukti bahwa telah terjadi suatu proses pemilihan kepala daerah yang mampu memunculkan seorang pigur pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu seorang pigur yang dianggap memiliki rekam jejak kepemimpinan merakyat, mampu mengemban amanah rakyat dan seorang pemimpin yang tampil apa adanya alias tidak penuh dengan polesan pencitraan sebagaimana umumnya terjadi disetiap pelaksanaan pemilihan langsung calon pemimpin kepala daerah maupun presiden.

Sumatera Utara sebagai salah satu propinsi terbesar di Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi akan melaksanakan pemilihan gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU), dan sampai hari hiruk pikuk kegiatan yang mengarah kepada Pilgubsu tersebut telah sangat terasa, terutamakemeriahan  gerakan-gerakan politik untuk memunculkan pigur-pigur atau bakal calon gubernur yang akan  ikut dalam kompetisi pemilihan gubernur tersebut, aktivitas tersebut merupakan kebiasan yang memang seriing terjadi setiap kali akan berlangsung pemilihan kepala daerah dan merupakan sebuah pemandangan yang lajim dan bukan merupakan sebuah pemandangan yang asik bagi masyarakat Sumatera Utara.

Namun perkembangan yang sangat menarik ditengah-tengah perbincangan masyarakat Sumatera Utara menanggapi akan berlangsungnya pemilihan gubernur Sumatera Utara adalah fenomena pigur Joko Widodo walikota Solo yang berhasil unggul pada putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta, pigur Joko Widodo tiba-tiba menjadi buah bibir bagi masyarakat Sumatera Utara dan menjadi sebuah pigur yang diharapkan akan muncul juga dalam proses pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang akan datang.

Sebuah fenomena menarik dan sangat hangat diperbincangkan saat ini, oleh karena itu muncul sebuah pertanyaan yang menantang, yaitu mungkinkah fenomena pemilihan gubernur Jakarta akan terjadi di Sumatera Utara ? Khususnya memunculkan seorang calon pemimpin yang dianggap sesuai dengan harapan baru masyarakat, dengan kata lain adakah peluang terbuka untuk memunculkan calon pemimpin alternatif baru dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara ?

Dalam kehidupan ini segala sesuatu mungkin saja terjadi, bahkan adakalanya sesuatu yang terjadi tersebut muncul tiba-tiba diluar prediksi dan perkiraan sebelumnya. Bercermin pada pemilihan gubernur Jakarta, kemunculan Joko Widodo dalam panggung Pilgub Jakarta juga berlangsung dalam waktu yang singkat bahkan terkesan tiba-tiba dan diluar perencanaan dan diluar dugaan masyarakat sebelumnya, dan kemenangannya juga dalam puataran pertama pilgub Jakarta sama halnya diluar perkiraan.

Mencermati nama-nama atau pigur yang telah mengemuka dan telah beredar ditengah-tengah atmosfir kehidupan politik Sumatera Utara saat ini, sampai detik ini memang belum ada muncul seorang pigur yang dianggap memiliki setidak-tidaknya mampu mendekati pigur Joko Widodo. Disebut "Setidak-tidaknya" karena memang tidak mungkin kita mencari seorang pigur yang benar-benar sesuai denga Joko Widodo, jadi yang diinginkan masyarakat Sumatera Utara dalam hal ini adalah kemunculan seorang pigur calon gubernur yang mampu memberi harapan baru terutama dianggap akan mampu mengemban harapan masyarakat.

Sampai hari ini pigur-pigur bakal calon gubernur Sumatera Utara yang telah beredar namanya ditengah-tengah masyarakat pada umumnya merupakan pigur yang tidak asing lagi ditengah-tengah masyarakat, walau merupakan pigur yang sudah familer bagi masyarakat tetapi prestasi atau rekam jejak mereka yang dianggap sebagai sebuah nilai lebih dibandingkan dengan rekam jejak pemimpin atau tokoh masyarakat dan tokoh politik selama ini dianggap tidak ada, maka nama-nama yang tengah beredar tersebut dianggap biasa-biasa saja sama  seperti selama ini, bahkan pigur-pigur tersebuyt umumnya berasal dari kalangan birokrat yang selama ini telah dikenal masyarakat, bahkan ada diantaranya merupakan bagian dari lingkaran dekat tokoh-tokoh masyarakat dan politik yang selama ini telah berkecimpung ditengah-tengah kehidupan politik Sumatera Utara.

Bahkan banyak nama-nama yang muncul justru dari lingkaran keluarga tokoh-tokoh politik yang tidak asing lagi bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka merupakan bagian dari tokoh masyarakat yang berasal dari keluarga yang memang telah memiliki pengalaman dan jaringan yang luas dalam kehidupan politik daerah dan nasional.

Gambaran tersebut diatas merupakan salah satu alasan utama munculnya suatu kerinduan ditengah-tengah masyarakat akan lahirnya seorang pigur pemimpin yang baru, munculnya pigur pemimpin yang dianggap tidak merupakan bagian dari kekuasaan yang telah pernah ada selama ini.

Keinginan masyarakat ini merupakan sebuah potret baru pemikiran masyarakat Sumatera Utara dewasa ini, dan menjadi sebuah keinginan yang menjadi sebuah kerinduan ditengah-tengah masyarakat, oleh karena itu partai politik yang memiliki kesempatan untuk mengususng calon gubernur Sumatera Utara dalam Pilgubsu yang akan datang ditantang untuk mampu membaca keinginan masyarakat ini dan kemudian dituntut untuk mampu mengusung bakal calon pigur Gubernur Sumatera Utara yang sesuai dengan harapan masyarakat Sumatera Utara  yang tengah berkembang saat ini.

Harapan tersebut sangat dirindukan oleh masyarakat Sumatera Utara melalui kepekaan partai politik yang memiliki perolehan suara signifikan di Sumatera Utara dan merupakan sebuah ujian terhadap pelaksanaan pemilihan gubernur Sumatera Utara yang akan datang, apakah pemilihan langsung Gubernur Sumatera Utara yang dikatakan sebagai sebuah proses kehidupan demokratisasi melalui pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk memilih sendiri calon pemimpinnya mampu menghasilkan seorang pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat ? 

Atau pilgubsu yang akan segera berlangsung hanya merupakan kegiatan biasa-biasa saja sesuai dengan tuntutan konstitusi untuk hanya memilih calon pemimpin yang hanya sesuai dengan keinginan partai politik ? Atau hanya sebuah kegiatan rutin untuk meloloskan pemimpin yang hanya dari dan untuk kepentingan kelompok tertentu dan kalangan tertentu ? 

Kita nantikan respon Partai Politik di Sumatera Utara dalam mengusung pigur calon gubernur Sumatera

Rabu, 22 Agustus 2012

JOKOWI SASARAN TEMBAK PELURU BARU


Menjelang memasuki putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta yang akan dilaksanakan pada bulan September 2012 yang akan datang suhu atmosfir politik Jakarta akan semakin panas dan akan dipenuhi dengan berbagai adu strategi dan taktik dari kedua belah pihak calon gubernur yang akan berlaga pada putaran kedua ini.
Sengitnya kompetisi diantara kedua pasangan ini dalam putaran kedua yang dianggap sebagai tahap pemungkas menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur Jakarta terpilih merupakan suatu hal yang lumrah mengingat ajang pemilihan Gubernur Jakarta memiliki nilai prestisius dan mempengaruhi eksistensi partai-partai politik besar yang mengusung ataupun yang kemudian ikut bergabung mendukung salah satu calon.
Selain pemilihan Gubernur Jakarta dianggap sebagai sebuah barometer untuk mengukur elektabilitas partai-partai politik dan menguji efektifitas perputaran roda organisasi partai, pemilihan gubernur Jakarta kali ini tidak terlepas dari perspektif konstelasi politik nasional yang sedang berjalan, yaitu kompetisi antara Partai Pendukung Pemerintah versus Partai Oposisi.
Partai politik yang mendukung Foke-Nara dapat dikategorikan sebagai kumpulan partai-partai politik yang selama ini mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan yang mendukung pasangan Jokowi-Ahok merupakan partai politik oposisi.
Kompetisi antara penguasa dan oposisi ini menjadi sebuah “Test Case” atau ujian yang menantang dan menarik bagi partai-partai politik yang memiliki perolehan suara signifikan pada pemilihan umum legislatif yang lalu, dan ajang pemilihan gubernur Jakarta kali ini juga dianggap sebagai uji coba pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena itu maka wajar jika pada putaran kedua yang segera akan berlangsung suhu kompetisi diantara kedua kubu akan berada dalam persaingan sangat ketat. Kedua belah pihak akan berupaya sekuat mungkin memenangkan calon yang diusungnya dengan mempergunakan bermacam-macam cara, strategi dan taktik. Maka dikuatirkan akan muncul beberapa strategi yang tidak edukatif serta mengarah kegerakan yang dipandang tidak sportif, bahkan menjurus kepada sikap menghalalkan segala cara.
Strategi atau  taktik yang dipandang bernilai minus ini semestinya tidak terjadi di pemilihan Gubernur Jakarta karena Jakarta merupakan kampung besar yang dihuni oleh sebagian besar para elit politik nasional, orang yang dianggap memiliki pendidikan mumpuni, masyarakat yang menjadi pola anutan bagi masyarakat daerah dan yang terpinting Jakarta adalah barometer politik nasional.
Apa yang terjadi di Jakarta akan menjadi asupan yang mudah menjalar ke ruang pemikiran masyarakat daerah dan menjadi contoh yang paling gampang menyebar bagaikan virus kealam pemikiran masyarakat daerah, oleh karena itu kita sangat berharap atmosfir politik pemilihan Gubernur Jakarta akan dapat memberikan nuansa “pembelajaran” bagi seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta yang baru saja berlalu ada satu “pembelajaran penting” dan menarik sebagai bahan perbandingan serta mampu meretas kebekuan pemikiran yang berkembang selama ini, yaitu kemenangan Jokowi dianggap sebagai sebuah fenomena baru, dan merupakan sebuah pelajaran berarti bagi semua masyarakat Indonesia.
Selama ini masyarakat telah diselimuti oleh sikap apatis terhadap praktek kehidupan politik nasional yang dianggap tengah berjalan tidak sebagaimana mestinya harapan masyarakat, para politisi dan khususnya partai politik dipandang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, partai politik khususnya dinilai tidak mampu melahirkan calon pemimpin baru dan partai politik dianggap sebagai motor utama yang melestarikan oligarki, yaitu mendukung dan membela segelintir orang untuk menguasai jagat kehidupan politik dan ekonomi berdasarkan kemampuan kekuasaan dan kekuatan uang.
Keberhasilan pasangan Jokowi sebagai pemenang dalam putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta dianggap masyarakat sebagai sebuah cahaya baru dan harapan baru terbukanya pintu munculnya calon-calon pemimpin yang berasal dari luar lingkaran kekuasaan yang selama ini dianggap telah mapan, dan hanya dari serta untuk kepentingan mereka sendiri. Angin segar ini telah berhembus kencang keseluruh penjuru pelosok daerah dan menjadi salah satu fenomena yang hangat diperbincangkan serta menjadi harapan yang diinginkan dapat juga terjadi di daerah masing-masing.
Namun ditengah euforia tersebut, akhir-akhir ini mengemuka beberapa berita yang menodai pemilihan gubernur Jakarta tersebut, misalnya munculnya unsur “SARA” .  Ini merupakan salah satu contoh pembelajaran yang tidak produktif dan merupakan virus berbahaya yang mengoyak rasa kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan dalam putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta dikuatirkan bentuk-bentuk gerakan yang dianggap tidak mendidik ini akan tetap berlangsung bahkan boleh jadi akan muncul bentuk-bentuk yang lebih baru lagi.
Salah satu bentuk yang diprediksi bakal  muncul dalam kompetisi putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta adalah politik PEMBUNUHAN KARAKTER atau MENGHANCURKAN REPUTASI, yaitu dengan cara memanipulasi fakta dengan cara melebih-lebihkan dengan tujuan merusak citra dan nama baik salah satu calon. Hal ini sangat terbuka kemungkinannya untuk timbul karena persaingan yang akan terjadi akan berlangsung sangat sengit dan merupakan momentum mempertaruhkan harga diri.
Salah satu berita yang baru saja muncul ditengah-tengah dunia maya, khususnya jejaring sosial Twitter adalah berita dugaan   “KORUPSI JOKO WIDODO DALAM KASUS PENGALIHAN  ASSET PEMKOT SOLO HOTEL MALIYAWAN”.  Benar atau tidaknya dugaan ini mesti dibuktikan lebih lanjut dan merupakan pekerjaan penting bagi penegak hukum, dan siapa pun tidak akan bisa membenarkan apabila betul ada tindakan melawan hukum dilakukan Joko Widodo dalam dugaan kasus ini.
Namun yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah kemunculan berita ini benar-benar murni sebagai upaya penegakan hukum ? Jangan-jangan ini merupakan salah satu bentuk gerakan terselubung untuk menghancurkan reputasi Joko Widodo yang tengah naik daun dan sedang harum-harumnya  ditengah atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Ketika wartawan menanyakan hal ini kepada juru bicara KPK  Johan Budi, jawaban yang diberi Johan menjanjikan bahwa KPK pada hari Senin yang akan datang (27 Agustus 2012) akan menyelusurinya terlebih dahulu ke bagian DUMAS (Pengaduan Masyarakat) KPK. Dugaan ini memang bukan merupakan hasil temuan KPK melainkan berdasarkan hasil pengaduan yang pernah dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat di Solo.
Mencermati berita yang sedang berkembang ini maka wajar muncul pertanyaan yang menggugat motif apa yang terselubung dibalik mengemukanya dugaan kasus yang dianggap berkaitan dengan sepak terjang Jokowi, dan kenapa hal tersebut baru sekarang muncul ditengah-tengah akan berlangsungnya putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta ?
Dugaan kasus yang menimpa Joko Widodo ini merupakan peluru baru yang akan menyasar reputasi Joko Widodo yang sudah kadung menanjak tinggi di tengah-tengah konstituen pemilihan gubernur Jakarta dan menjadi buah bibir ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Akankah kasus ini akan menjadi pukulan telak yang menghancurkan reputasi atau performance Joko Widodo menuju putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta ?

Selasa, 21 Agustus 2012

Jokowi Musuh Bersama Sebuah Ujian


Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang telah resmi berdasarkan pengumuman dan hasil rekapitulasi KPU Jakarta, memastikan putaran kedua pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta akan memasuki putaran kedua yang diiukti oleh Joko Widodo-Basuki Thaja Purnama versus Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Sebagai putaran pemungkas yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur Jakarta yang sesungguhnya maka putaran kedua ini akan berlangsung sangat sengit serta penuh dengan dinamika strategi dan taktik, dan yang paling hangat adalah banyaknya unsur-unsur kepentingan yang saling beradu.
Salah satu kepentingan besar yang hendak menancapkan pengaruhnya adalah pengaruh atau peranan partai politik besar negeri ini. Sebagaimana lajimnya yang sering terjadi dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia yang memiliki system multi partai menjadikan“Koalisi” semakin seksi, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok tidak ubahnya bagaikan seorang putri raja nan cantik yang memiliki magnet kuat mengundang libido setiap pria untuk mempersuntingnya.
Dalam konteks Pilgub Jakarta putaran kedua, pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDIP dan Gerindra berhadapan dengan Partai Demokrat yang mengusung Foke, dengan kekalahan calon yang diusung Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera pada putaran pertama menjadikan Partai Golkar dan PKS yang memiliki perolehan suara signifikan dalam pemilihan umum legislatif dan perolehan suara calon yang diusungnya pada putaran pertama Pilgub Jakarta membuat kedua partai ini dianggap memiliki pengaruh dalam putaran kedua dan perlu diperhitungkan keberadaannya.
Pada putaran pertama Pilgub Jakarta Jokowi-Ahok memperoleh suara 193.446 , sedangkan Foke-Nara memperoleh 170.006, perolehan suara calon gubernur besutan Golkar 25.902 dan PKS 54.504. Perolehan suara Cagub besutan Golkar dan PKS memiliki jumlah yang sangat berarti mempengaruhi perolehan suara kedua calon yang bertarung pada putaran kedua, sehingga pergerakan atau perubahan pilihan yang dilakukan pemilih Alex-Nono (Golkar) dan Hidayat-Didik (PKS) untuk memilih Jokowi-Ahok atau Foke-Nara akan berpengaruh besar menentukan kemenangan pasangan Jokowi atau Foke.
Berdasarkan data kuantitatif ini maka mengemuka pendapat yang menggambarkan bentuk pemberian dukungan Golkar atau PKS kesalah satu calon yang bertarung pada putaran kedua memiliki pengaruh signifikan sehingga dibuka pintu kemungkinan terjadinya koalisi diantara beberapa partai tersebut.
Partai yang dianggap memiliki peluang besar dan dianggap penting untuk melakukan koalisi kesalah satu calon petarung pada putaran kedua adalah Golkar dan PKS sehingga kedua partai ini menjadi pusat perhatian dalam menganalisis proses persaingan pemilihan Gubernur Jakarta putaran kedua yang akan dilaksanakan pada bulan September 2012.
Melihat koalisi yang terbentuk oleh pemerintahan SBY, sebenarnya Golkar dan PKS merupakan bagian dari Koalisi pemerintahan SBY dimana Partai Demokrat merupakan partainya pemerintah, dengan demikian semestinya tidak sulit menebak kemana arah pilihan kedua partai ini yaitu kembali ke dalam pangkuan koalisi sebagaimana yang telah dilakukan selama ini ikut bergabung dengan koalisi pemerintahan SBY atau Partai Demokrat.
Apabila Golkar dan PKS benar-benar kembali kedalam pangkuan koalisi pemerintahan SBY maka akan menjadikan atmosfir politik pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua menjadikan pasangan Jokowi-Ahok menjadi musuh bersama serta PDIP dan Gerindra turut didalamnya. Mungkinkah hal ini terjadi ?
Dalam politik apa yang tidak mungkin terjadi ? Apa yang sebelumnya dianggap tidak mungkin terjadi boleh jadi akan terjadi, dan demikian juga sebaliknya apa yang sebelumnya diperkirakan akan terjadi justru tidak terjadi, terutama berdasarkan pengalaman selama ini dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia berlaku adagium yang berbunyi “Tidak ada yang abadi dalam politik kecuali perubahan itu sendiri”, dan “Tidak ada teman yang abadi dalam politik kecuali kepentingan”.
Itulah salah satu ciri khas kehidupan partai politik di Indonesia selalu sarat dengan sikap transaksional, membentuk koalisi dan berbagi. Sejak runtuhnya orde baru, partai Golkar merupakan satu-satunya partai yang selalu memiliki keinginan besar untuk selalu menjadi bagian dari lingkaran pemerintah yang berkuasa selaras dengan motto yang dipegang teguh para politisi Golkar yang berbunyi “SUARA GOLKAR ADALAH SUARA RAKYAT”, yang sebenarnya tersirat dalam slogan ini adalah golkar akan selalu memberikan suara kepada siapa saja pemimpin yang dipilih oleh rakyat, artinya siapapun pemimpin yang berkuasa berdasarkan suara pilihan rakyat maka partai golkar akan ikut memberikan suaranya kesana, jadi slogan itu bukan mengartikan bahwa Golkar akan selalu menyuarakan suara rakyat yang sesungguhnya, justru slogan tersebut memperteguh karakter partai golkar yang opurtunis.
Partai Golkar yang merupakan satu-satunya partai pendukung rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun selama orde baru menjadikan partai ini merasakan nikmatnya sebagai bagian dari penguasa dan membentuk karakternya untuk selalu menjadi bagian dari penguasa, maka dalam konteks pemilihan Gubernur Jakarta pada putaran kedua nanti Partai Golkar akan tetap mempertunjukkan sikapnya yang hanya mencari zona nyaman (Comfort Zone) berada dalam lingkaran penguasa.
Partai Keadilan Sejahtera, yang merupakan salah satu Partai yang memiliki perolehan suara sangat signifikan dalam pemilihan legislatif di Jakarta sebenarnya memiliki rekam jejak yang baik bagi masyarakat Jakarta, sehingga peranan PKS sangat diperhitunkan kiprahnya di daerah Khusus Ibukota Jakarta, namun perolehan suara Hidayat-Didik dalam putaran pertama Pilgub Jakarta Juli 2012 menjadi bahan permenungan dan pergulatan bathin bagi elit partai keadilan sejahtera sehingga menjadikan PKS merasa canggung menentukan keputusan untuk memilih ikut bergabung dengan pasangan Jokowi atau Foke.
Disatu sisi PKS ingin tetap menjadi bagian dari era reformasi, sebagai partai bersih dan kritis akan tetap berupaya menjadi bagian dari cerminan bisikan hati nurani masyarakat Jakarta yang merupakan konstituen terbesarnya dalam pemilihan legislatif, dalam konteks pemilihan gubernur Jakarta pada putaran pertama, kemenangan Jokowi yang dianggap para pengamat politik sebagai sebuah cerminan keinginan masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan dan memilih pemimpin yang dianggap merakyat serta sudah muak dengan pemimpin yang hanya asik dengan model pencitraan menjadikan PKS dituntut untuk melakukan pikir ulang tentang eksistensinya.
Disisi lain PKS yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan SBY yang nota bene mengusung Foke-Nara sebagai calon gubernur Jakarta menjadi pilihan dilematis bagi PKS. Tidak ikut barisan pilihan mitra koalisi akan menjadikan PKS semakin menunjukkan sikapnya sebagai “Anak Nakal” dalam kelompok koalisi, namun jika ikut barisan koalisi dalam menentukan dukungan terhadap Foke akan menjadikan PKS semakin menjauh dari kecenderungan fenomena pilihan masyarakat Jakarta akhir-akhir ini, artinya jika pasangan Jokowi yang memenangi putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta maka akan menjadikan PKS seakan tidak berempati terhadap perasaan konstituennya di Jakarta, sementara jika ikut mendukung Foke walaupun menang sebagai Gubernur Jakarta justru akan semakin memojokkan PKS dengan persepsi bahwa PKS merupakan bagian dari status quo, jika mendukung Foke dan ternyata mengalami kekalahan maka PKS akan mendapat kekalahan dua lipat, seperti ungkapan sebuah pepatah yang berbunyi “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Lagi”.
Untuk menentukan pilihan hendak mendukung siapa dalam pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua PKS memang terjebak dalam sikap “Bingung serta Bimbang”, bahkan terkesan “Gamang”, karena keputusannya untuk ikut sebagai bagian dari koalisi pemerintahan SBY dan merupakan salah satu partai politik yang paling terdepan menyatakan ikut mendukung SBY sebagai Presiden dan memutuskan sebagai bagian dari koalisi ternyata akhirnya menjadikan PKS lebih banyak memperoleh kerugian, yaitu pertama tidak bisa menjaga partainya untuk tetap kritis dan bersih karena sudah dianggap menjadi bagian dari pemerintahan yang semakin mendapat nilai minus dari masyarakat, dan yang kedua keikutsertaan PKS sebagai partai koalisi pemerintah menjadikan PKS terlihat canggung menyuarakan kepentingan terbesar konstituennya, misalnya hal ini terlihat atas sikap PKS ketika hendak memutuskan sikap mendukung atau menolak kebijaksanaan pemerintah dalam menentukan rencana kenaikan BBM.
Politisasi rencana pemerintah menaikkan harga BBM di gedung legeslatif beberapa waktu yang lalu menjadi turbulensi politik yang menarik PKS untuk terjebak kedalam pusaran deras dan menjadikan PKS dihadapkan kepada pilihan dilematis, disatu sisi harus berdiri tegak menolak kenaikan harga BBM untuk menjaga eksistensi sebagai partai yang mendukung jeritan hati nurani rakyat dan disisi lain menghadapi pertentangan dengan kepentingan bersama barisan koalisi.
Apa yang dilakukan PKS selama proses penentuan sikap DPR dalam menanggapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM tersebut merupakan salah satu perspektif yang menggambarkan bagaimana sesungguhnya karakter PKS dan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap keberadaan PKS akhir-akhir ini, dan menurunnya perolehan suara PKS dibandingan antara Pilgub Jakarta putaran pertama dibandingkan dengan perolehan suara ketika pemilihan umum legeslatif diduga karena ada kaitannya dengan berkurangnya simpati masyarakat Jakarta terhadap PKS yang dianggap semakin tidak konsekuen dengan jargon yang diusung sejak awal.
Keputusan partai PKS dalam menentukan sikap dalam putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta yang segera akan berlangsung akan mempengaruhi penilaian masyarakat Jakarta terutama konstituen PKS terhadap partai ini, oleh karena itu PKS dituntut untuk lebih hati-hati dan bijaksana dalam menentukan pilihan mendukung salah satu kandidat yang bertarung dalam putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta.
Fenomena kemenangan pasangan Jokowi pada putaran pertama memang melahirkan atmosfir baru kehidupan politik nasional, karena apa yang terjadi di Jakarta tidak berlebihan jika disebut sebagai salah satu barometer politik nasional, karena memang Jakarta itu dapat disebut sebagai miniatur Indonesia. Dan keberhasilan Jokowi memperoleh kemenangan membuad Partai-partai politik besar di Negeri ini dihadapkan kedalam pusaran pilihan dilematis dan dituntut untuk menentukan pilihan dengan bijak.
Memang berdasarkan peta politik nasional dalam perspektif koalisi pemerintahan yang dibentuk SBY seogianya “Jokowi” merupakan musuh bersama Partai Demokrat, Partai Golkar dan PKS, tetapi apa yang tidak dapat dilihat secara kasat mata (Fenomena) dari kemenangan Jokowi dalam putaran pertama Pilgub Jakarta didalam kemenangan itu ada diselimuti pesan terselubung masyarakat Jakarta yang mengingkan terjadinya proses perubahan terhadap atmosfir kehidupan politik. Pesan terselubung ini menjadi batu ujian bagi partai politik yang menginginkan Jokowi sebagai musuh bersama dalam Pilgub Jakarta putaran kedua bulan September yang akan datang.
Kehadiran Joko Widodo untuk ikut bertarung dalam Pilgub Jakarta sungguh-sungguh melahirkan fenomena baru dan dapat menjadikan partai-partai politik besar di negeri ini tersengat dan merasakan “Cubitan Genit” Jokowi untuk mempertanyakan eksistensi dan konsistensinya terhadap “Menyuarakan Suara Rakyat”, oleh karena itu menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama dalam putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta bukan merupakan keputusan yang mudah, namun seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia yang cenderung apapun mungkin terjadi, kita tunggu bersama apa sesungguhnya sikap dan keputusan Partai Golkar dan PKS dalam mendukung pasangan Jokowi atau Foke.


www.kompasiana.com/daudginting

21 Juli 2012

Efektifkah Black Campaign Meruntuhkan Jokowi?


Paska PILGUB DKI Jakarta putaran pertama yang mengantarkan Joko Widodo yang akrab dipanggil dengan Jokowi sebagai pemenang perolehan suara menurut versiQuick Count, selain menjadikan kemenangan Jokowi sebagai fenomena baru ternyata juga memunculkan gerakan politik baru yang menjurus kearah menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama dan menjadi sasaran tembak yang mesti dibidik dari segala arah dan penjuru, bahkan terkesan menghalalkan segara cara.
Tingkat serangan terhadap Jokowi prekuensinya dari hari ke hari semakin meningkat dan panas dengan mempergunakan cara dan bentuk yang lebih beragam yang bertujuan untuk mendeskreditkan dan penghancuran kredibelitas Jokowi, misalnya menyebarkan isu tentang sara, money politik dan tuduhan Jokowi sebagai seorang yang haus kekuasaan.
Dalam sebuah kompetisi, dalam bentuk apapun itu, saling serang dan mencari titik kelemahan lawan merupakan suatu strategi yang lajim dipergunakan, khusus dalam kompetisi politik salah satu cara permainan yang lajim dilakukan adalah perang opini atau perang wacana yang bertujuan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan konstituen.
Dalam menentukan pilihan seorang konstituen memang tidak bisa dipisahkan dengan struktur keterkaitan antara cara berpikir dan sikap pilihan seseorang, karena secara psikis apa yang dilakukan seseorang, dalam hal ini dalam konteks memilih, akan dipengaruhi oleh kerangka berpikir (mindset) seseorang yang dibentuk oleh keyakinan (Belief) yang dianut oleh seseorang, serta mindset tersebut akan menentukan tindakan seseorang dalam menetapkan pilihannya dalam PIlkada Gubernur DKI Jakarta.
Oleh karena itu jika ingin menggeser atau merubah pilihan seorang konstituen maka salah satu cara strategi yang mesti dilakukan adalah merubah (Change) kerangka berpikir atau mindset seseorang, untuk merubah kerangka berpikir seseorang cara yang mesti dilakukan adalah menggeser keyakinan seseorang.
Black Campaign yang mengarah kepada upaya penghancuran personality Joko Widodo yang semakin gencar mengemuka akhir-akhir ini merupakan sebuah strategi dan taktik politis yang dipilih oleh pihak yang tidak menginginkan kemenangan Joko Widodo dan pasangannya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Perang wacana tersebut sebenarnya lajim dilakukan dalam sebuah kompetisi politik terutama dalam sebuah pemilihan umum yang akan memilih pigur tertentu seperti Pilkada Jakarta saat ini, namun yang memprihatinkan dan menjadi persoalan yang memiriskan hati adalah perang opini yang mengarah kepada eksploitasi unsur SARA (Suku, Agama dan Ras).
Pilgub DKI Jakarta merupakan barometer bagi kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara Indonesia, karena Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia maka secara inplisit kota ini merupakan milik semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan Jakarta merupakan kampung besar yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat berpendidikan, melek politik dan lebih rasionalistik jika dibandingkan dengan masyarakat daerah dan  sangat naif apabila unsur SARA masih dianggap layak sebagai produk jualan para politisi untuk mempengaruhi pilihan konstituen.
Menganggap masyarakat Jakarta sebagai komunitas rasional tidak terlalu berlebihan dan mestinya dianggap layak serta pantas jika bercermin pada fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta putaran pertama yang baru saja berlangsung, pelaksanaan pemilihan calon pimpinan Jakarta tersebut ternyata melahirkan sebuah fenomena baru dalam kehidupan politik nasional, yaitu munculnya pemenang yang sebelumnya diluar prediksi beberapa pihak, bahkan lembaga survey politik yang selama ini dianggap sebagai dukun politik modern untuk memprediksi cikal bakal pemenang dalam setiap pemilihan umum akhirnya menelan pil pahit yang menggugat kredibelitasnya.
Fenomena baru ini semestinya tidak hanya ditanggapi hanya dengan rasa kaget atau kagum, namun momentum tersebut seharusnya dijadikan sebagai tempat bercermin dan melakukan permenungan untuk mencari proyeksi atau gambaran utuh tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi ditengah-tengah kalbu atau hati nurani masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya menyelami jeritan hati nurani masyarakat Jakarta.
Dari sekian banyak tanggapan yang mengemuka dalam menganalisis atau mengamatai kememangan pasangan Jokowi dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta memang muncul beraneka ragam bentuk tanggapan, hipotesis ataupun kesimpulan, sehingga terasa terlalu sombong jika ingin menyatukan semua tanggapan tersebut kedalam satu defenisi, namun dari semua perbedaan tanggapan yang muncul tersebut ada sebuah benang merah yang dapat ditarik, yaitu masyarakat Jakarta menginginkan terjadinya sebuah perubahan, masyarakat Jakarta menginginkan pigur pemimpin baru diluar otokrasi yang semakin mapan selama ini dan masyarakat telah muak serta bosan dengan tingkah laku para pemimpin selama ini yang dianggap tidak memiliki Empathy, yaitu tidak mampu memproyeksikan perasaannya kedalam perasaan masyarakat yang sedang terjadi, dengan kalimat lebih sederhana pemimpin selama ini tidak mampu memahami perasaan masyarakat.
Proses pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta kali ini, bercermin dari putaran pertama, dalam putaran kedua nantinya tidak cukup hanya dilakukan melalui pergeseran rasionalitas masyarakat Jakarta misalnya melalui perang wacana atau opini, tetapi jika ingin unggul dalam Pilgub putaran kedua calon gubernur yang bertarung mesti mampu berempati, memahami perasaan masyarakat Jakarta dan melalui pemahaman tersebut diharapkan akan mampu merebut perasaan masyarakat Jakarta.
Hasil analisis dan prediksi beberapa Lembaga Survey Politik yang sangat berbeda jauh ketika dipublikasikan sebelum pelaksanaan Pilgub dengan real quick countmenjadi sebuah indikator bahwa metode berpikir rasionalitas yang hanya mengandalkan nilai-nilai kuantitatif terbukti tidak cukup dipergunakan sebagai alat analisis untuk bisa mengerti sikap dan tindakan masyarakat, metode kuantitatif yang hanya mengandalkan belahan otak kiri tersebut terbukti tidak mampu memahami perasaan masyarakat Jakarta, oleh karena itu sudah tiba saatnya mengandalkan belahan otak kanan atau lmengandalkan EQ (Emotional Quotient) dan tidak cukup lagi hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotient).
EQ yang melahirkan kemampuan atau keterampilan berempati inilah yang telah lama hilang dari atmosfir kehidupan sosial politik berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini karena para elit politik telah terjerumus kedalam gua zona nyaman (Comfort Zone) perselingkuhan antara elit penguasa dengan pengusaha kapitalistik dengan membentuk kartelisasi politik berwujud oligarki, yaitu penguasa politik (elit politik) yang berasal dan terdiri dari kelompok tertentu dan kecil.
Konstruksi Oligarki politik ini telah menjelma menjadi kekuatan politik yang mengandalkan kekuatan kekuasaan dan kekuatan uang (capital), melalui perkawinan kedua kekuatan tersebut para pemimpin oligarki mengeksploitasi masyarakat dan sumber daya alam atau ekonomi, dan melalui kekuatan ekonomi kembali memupuk kekuatan politik untuk menjadi predator yang mengebiri dan menyengsarakan rakyat, pengebirian atau penjinakan rakyat tersebut dilakukan bukan dengan tindakan refresif sebagaiman jaman orde baru tetapi dilakukan melalui institusi, konstitusi dan persuasi, perang opini dan wacana tersebut menjadi senjata ampuh taktik persuasi.
Patronase antara pengusaha pemilik uang yang banyak dengan elit politik yang memiliki kekuasaan menjadi musuh bersama politik kontemporer Indonesia, dan kemenangan Joko Widodo dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta merupakan perspektif kemenangan masyarkat sipil, menjadi sintesa terhadap kemapanan oligarki atau dinasti politik kontemporer.
Penyebaran isu-isu yang kontraproduktif yang berbau sara dalam kompetisi Pilgub DKI Jakarta dewasa ini merupakan sebuah tindakan yang menunjukkan munculnya sikap kepanikan dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan merebut kembali kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok orang-orang kuat, disebutkan sebagai sebuah bentuk kepanikan karena strategi mengelindingkan isu sara tersebut dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak edukatif dan bertentangan dengan philosopi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Telah tiba saatnya dalam kehidupan sosial politik di era reformasi ini semua pihak untuk lebih berpikir jernih dan bertindak dewasa serta matang dalam berpolitik dengan mempergunakan cara-cara yang lebih elegant dan berempati yaitu mengasah keterampilan memahami perasaan orang lain, dan berusaha memproyeksikan perasaan kita kedalam perasaan orang lain dengan kemampuan melakukan keterampilan empati ini maka akan mampu merebut hati orang lain, ketika hati seseorang telah mampu kita rebut maka secara otomatis kita akan mampu menggerakkan tindakannya, misalnya untuk memilih kita atau orang yang kita kampanyekan, contohnya memilih Gubernur.
Bercermin dari sikap dan keputusan yang telah ditunjukkan oleh masyarakat Jakarta dalam Pilgub tahap pertama yang baru saja berlalu, menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta telah memberikan pilihannya berdasarkan bisikan hati nurani secara independen tanpa dipengaruhi oleh unsur materi dan kampanye yang mengandalkan pencitraan, oleh karena itu dalam Pilgub putaran kedua nantinya juga konstituen Jakarta juga akan tetap mendengarkan bisikan hati nuraninya sebagai hukum tertinggi dan pemberi keputusan terbaik dalam menentukan pilhannya.
Dengan mengandalkan bisikan hati nurani dalam menentukan pilihannya, kompetisi dalam Pilgub putaran kedua DKI Jakarta diyakini bahwa masyarakat Jakarta tidak akan mudah terhasut apalagi terpengaruh oleh isu-isu negatif atau Black Campaignapalagi mengeksploitasi unsur sara, masyarakat Jakarta yang sudah matang dalam kehidupan politik akan menentukan pilihannya berdasarkan kepentingan terbaik sehingga penyebaran isu sara sebagai perang opini akan menjadi “Senjata Makan Tuan”. Politik Black Campaign tidak akan efektik karena konstituen Jakarta telah dewasa dan matang berpolitik !!!. Selamat berpikir positif bagi masyarakat Jakarta dan selamat berpikir Merdeka…!!!

www.kompasiana.com/daudginting

18 Juli 2012


Joko Widodo & Dahlan Iskan Calon Presiden Serta Nasib Mobil Mereka


Kedua nama ini , Joko Widodo dan Dahlan Iskan, tiba-tiba memiliki popularitas yang sangat tinggi dipertengahan tahun 2012 ini, kedua orang ini berhasil menjadi pusat pembicaraan karena sama-sama memiliki gaya kepemimpinan yang dianggap berbeda dengan gaya kepemimpinan pejabat publik umumnya yang selama ini terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Keduanya dianggap memiliki karakteristik kepemimpinan yang  populis dan populer sehingga mampu menyita perhatian dan menarik bagi publik.
Dahlan Iskan setelah mendapat kesempatan menjadi direktur utama PLN pamornya melejit karena gaya kepemimpinan dan penampilan pribadinya yang dianggap unik, dan keunikan tersebut terus berlanjut ketika Dahlan Iskan diberikan kesempatan sebagai Menteri BUMN. Salah satu gaya kepemimpian Dahlan Iskan yang dianggap mampu meretas kemapanan gaya kepemimpinan para elit penguasa selama adalah mempergunakan sepatu kets dan turun langsung ke jalan tol mengatasi kemacetan.
Sedangkan Joko Widodo yang lebih sering dipanggil dengan nama Jokowi memiliki banyak gaya kepemimpinan yang dianggap berbeda dari yang lain karena telah menjadi Walikota dua periode, salah satu kelebihan Jokowi yang membuad pribadinya sangat disenangi masyarakat Solo adalah kebiasaannya Turba (Turun Kebawah) menemui masyarakat Solo untuk mendengar dan menampung aspirasi masyarakat, dan beberapa kebijakan Jokowi yang dianggap sangat berkesan oleh masyarakat Solo adalah kemampuannya menertibkan pedagang kaki lima tanpa menimbulkan penentangan berarti dari pedagang dan kebulatan tekadnya menolak kehadiran pembangunan Mall atau Pasar Modern.
Gaya kepemimpinan yang dianggap sangat merakyat dan penuh empathy ini merupakan salah satu bentuk kerinduan yang telah lama bersemayam didalam hati terdalam masyarakat Indonesia umumnya, sehingga keikutsertaan Joko Widodo sebagai salah seorang calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Juli 2012 memberi sebauah bukti bahwa masyarakat sebenarnya sungguh-sungguh merindukan pemimpin yang mengerti keinginan rakyat, keinginan itu tergambar dari pilihan yang diberikan masyarakat Jakarta terhadap pasangan Jokowi-Ahok yang jumlahnya sangat signifikan sehingga mengantar pasangan ini menjadi pemenang dalam putaran pertama pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Kisah sukses Pasangan Jokowi di Pilkada Jakarta menjadi sumber inspirasi bagi beberapa elit politik sehingga memprediksi bahwa Joko Widodo memiliki peluang menjadi bakal calon Presiden Indonesia pada Pilpres tahun 2014, memang keinginan tersebut ada yang menganggap sebagai sebuah tindakan premature dan terlalu dini untuk dimunculkan, namun dipihak lain ada juga yang terinspirasi dari keberhasilan Jokowi ini sehingga memiliki niat untuk mengajukan Dahlan Iskan sebagai salah seorang calon potensial bakal calon Presiden yang akan datang.
Setuju tidak setuju atas pencalonan kedua tokoh ini sebagai bakal calon presiden Indonesia dimasa yang akan datang, ada satu pesan penting yang dapat dipetik dari kemunculan kedua orang ini sebagai bakal calon presiden, yaitu kerinduan akan munculnya pemimpin yang dianggap mampu memberikan suasana baru dan meretas kemapanan gaya kepemimpinan selama ini yang dianggap cenderung hanya mementingkan pencitraan dan mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Dan kemenangan Joko Widodo dalam putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta yang baru saja dilakukan dianggap merupakan salah satu indicator yang menggambarkan bahwa masyarakat pada intinya menginginkan munculnya seorang pemimpin yang sederhana, jujur dan mampu memahami perasaan rakyat, dan kemenangan Joko Widodo tersebut ternyata mampu memutarbalikkan kemapanan pemikiran yang dimiliki sebagian besar para elit politik dewasa ini yang selalu beranggapan bahwa kekuatan financial dan kekuasaan sebagai modal utama dalam memenangi setiap event pemilihan.
Memang ruang dan waktu masih terbentang luas untuk membuktikan kemungkinan peluang yang terbuka untuk member kesempatan kepada kedua tokoh ini sebagai calon presiden Indonesia dimasa yang akan datang, namun sekali lagi perlu dicatata bahwa gaya kepemimpinan keduanya yang dianggap merakyat ternyata mampu meningkatkan pamor dan penerimaan keduanya dimata masyarakat.
Diantara kedua tokoh ini selain memiliki kemiripan gaya kepemimpinan yang dianggap merakyat, ternyata didalam kepemimpinan sebagai pejabat public ternyata kedua-duanya sama-sama memiliki mobil besutan masing-masing sebagai sebuah produk industry nasional yang perlu diandalkan, Jokowi dengan mobil ESEMKA-nya, sedangkan Dahlan Iskan dengan Mobil Listriknya.
Joko Widodo sampai hari ini ternyata belum mampu memperoleh ijin kelayakan terhadap produk unggulannya sehingga belum bisa diproduksi secara missal, sedangkan Dahlan Iskan masih bingung untuk menentukan merek produk andalannya sehingga merasa perlu konsultasi dengan Presiden SBY dalam menetapkan merek yang tepat. Mobil andalan Joko Widodo telah mampu melakukan Test Drive dari Solo menuju Jakarta beberapa waktu yang lalu, tetapi Dahlan Iskan pada hari Senin ketika melakukan Test Drive terhadap mobil listriknya dengan rute Depok menuju Kantor BPPT di Jakarta ternyata mobil tersebut mogok sebelum berhasil memasuki kantor tersebut.
Nasib kedua mobil besutan kedua tokoh ini semoga bukan menjadi sebuah pertanda nasib pencalonan mereka menjadi Presiden Indonesia mendatang…!!!

www.kompasiana.com/daudginting

17 Juli 2012

Dari Jembatan Suramadu, Mandi Madu, Kota Solo dan Jokowi di Jakarta


Seperti lajimnya saya lakukan setiap kali melakukan kunjungan ke suatu daerah atau kota adalah mencari dan mengunjungi suatu tempat yang  unik atau sesuatu yang khas di daerah tersebut. Pada suatu kesempatan melakukan kunjungan ke  kota Surabaya, saya juga menyempatkan diri mengunjungi Jembatan Suramadu yang dianggap salah satu proyek pembangunan prestisius di Indonesia karena telah bisa menghubungkan daratan Pulau Jawa atau Surabaya dengan Pulau Madura.
Dengan membayar ongkos sewa Taxi sesuai dengan kesepakatan dengan Driver-nya, disepakati bahwa saya dengan seorang teman saya diantar keliling Kota Surabaya terutama mengunjungi Jembatan Suramadu  dan menyeberang ke Pulau Madura. Persis seperti apa yang saya dapatkan ketika belajar Sejarah ketika Sekolah Dasar bahwa penduduk Indonesia sangat ramah dan familier, maka perkenalan dengan supir Taxi ini juga menunjukkan kepada saya kebenaran itu, seketika itu juga kami langsung akrab, berbagi cerita tanpa ada batas, sehingga saya memiliki kesempatan yang banyak untuk bertanya tentang apa yang ingin saya ketahui tentang Kota Surabaya dan Jembatan Suramadu.
Ketika Taxi yang saya tumpangi melintas persis diatas Jembatan Suramadu, seiring mengamati struktur kontruksi Jembatan serta memandang hamparan luas lautan, Saya bertanya kepada supir Taxi, ” Dah enak ya Mas, sejak ada Jembatan ini transportasi dari Surabaya ke Madura sudah lancar dan penumpang Taxi juga bertambah ?”
Dengan penuh keakraban supir Taxi berujar, ” Ya angkutan darat sangat terbantu, tetapi angkutan laut terutama kapal penyeberangan bangkrut, dan yang lebih kasihan para pedagang yang beerjualan disekitar pelabuhan penyeberangan kapal banyak tutup Mas !!!”
Mendengar ucapan dan tutur kata supir Taxi, tiba-tiba naluri saya terusik dan mengajakku untuk melakukan permenungan tentang arti dan efek setiap pembangunan, disatu sisi pembangunan, contohnya Jembatan Suramadu, meningkatkan mobilitas bagi masyarakat namun disisi lain menimbulkan efek samping, bahkan mengorbankan pihak lain. Fenomena ini sangat sering terjadi didalam setiap ada program atau proyek pembangunan.
Terinspirasi dari kepedulian sosial seorang supir Taxi ini, saya akhirnya membayangkan bagaimana sebenarnya yang ada dalam kerangka pemikiran para elit penguasa ketika melakukan perencanaan pembangunan, apakah mereka memiliki rasa kepedulian sosial terhadap para korban pembangunan ekonomi seperti apa yang dirasakan oleh supir Taxi Surabaya ini ?
Pembangunan memang merupakan suatu kebutuhan untuk menuju modernisasi dan membantu kemudahan hidup masyarakat, berbangsa dan bernegara, namun pembangunan itu juga harus memperkecil dan menghindari pengorbanan terhadap beberapa pihak. Sekilas pengalaman dialog dengan supir Taxi di Surabaya ini membuatku kembali teringat akan rencana pemerintah akan membangun jembatan atau terowongan yang akan menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, dari  Merak ke Bakauheni.
Apabila rencana ini pembangunan lintasan menghubungkan Merak dan Bakauheni terwujud, maka proyek ini merupakan salah satu prestasi prestisius yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dan akan merupakan salah satu kebanggaan yang dapat diandalkan sebagai salah satu keajaiban sejarah, namun dalam mewujudkan keinginan tersebut selayaknya juga jika diperhitungkan untung dan ruginya, terutama memberikan solusi terhadap efek samping atau pengorbanan yang terjadi terhadap masyarakat yang telah mengantungkan nasib ekonominya terhadap kondisi yang ada sebelumnya seperti pengalaman yang dirasakan oleh masyarakat Surabaya dan Madura yang sebelumnya mencari nafkah dari adanya penyeberangan laut dari Pulau Jawa ke Pukau Madura.
Ditengah keasikan saya bergumul dengan alur pikiran saya tentang proyek Jembatan Penyeberangan, tiba-tiba Handphone saya berdering karena ada panggilan dari seorang teman saya lagi yang memang kami tinggalkan di sebuah hotel di Kota Surabaya, setelah Handphone saya On-kan tiba-tiba sebuah suara dari seberang bertanya “Dimana Posisi ?”, dengan sedikit malas-malasan saya menjawab, “Di Jembatan Suramadu”. Dengan nada suara agak keras sesuai ciri khasnya sebagai anak Medan tiba-tiba teman teman saya itu berkata ” O Gitu kalian ya, MANDI MADU enggak ngajak-ngajak !!!”. Mendengar ucapan itu tawaku meledak dan aku terkekeh-kekeh sehingga membuat supir Taxi dan temanku seorang lagi keheranan.
Aku juga akhirnya tidak mau kalah, dengan suara lantang menjawab “JEMBATAN SURAMADU… SURAMADU… SURAMADU…. BUKAN MANDI MADU…!!!”
Setelah saya ceritakan apa yang tadi terjadi kepada kedua teman saya dan Supir Taxi itu akhirnya tawa mereka juga ikut meledak. Tidak lama kemudian supir Taxi  itu berujar  ” Kalau memang mau mandi madu bisa saya antar Mas……..” tanpa menunggu jawaban dari kami berdua supir Taxi tersebut terus berceritera dan mempromosikan tentang tempat “esek-esek” dengan bermacam-macam pilihan, baik itu tentang wanita dan pelayanannya, tempat dan fasiltasnya serta tarif dan komisinya… hahahaha… Pokoknya Supir Taxi ini berani memberi garansi bahwa kami akan mendapatkan pelayanan yang terbaik jika kami mau.
Memang seperti sudah menjadi hukum tidak tertulis bahwa ketika melakukan kunjungan kesetiap kota dan ketika meminta bantuan kepada supir Taxi untuk mencari tempat hiburan, maka sudah lajim bahwa salah satu tofik yang menjadi bahan perbincangan diantara para laki-laki adalah tentang bisnis pelampiasan syahwat laki-laki ini. Sore Harinya ketika melanjutkan perjalanan ke kota Solo, seperti biasanya ketika hendak dalam perjalanan naik Taxi dari Bandara menuju Hotel, saya membuat janji dengan supir taxi dengan berkata ” Mas ntar malam jemput kami ke Hotel dan kemudian antar kami ke tempat penjual Batik ya”. Sudah pasti supir Taxi ini setuju dan menanggapinya dengan penuh antusias, dan tak lupa menawarkan ada peluang untuk bisa memperoleh hiburan “esek-esek” lagi.
Setelah tersenyum-senyum mendengar penawaran supir Taxi tersebut kemudian saya teringat akan Walikota Solo yang terkenal sebagai salah satu Walikota yang dicintai rakyat, sehingga aku ingin tau bagaimana sebenarnya tanggapan supir Taxi ini tentang Walikotanya, ” O ya Mas, saya dengar-dengar Walikota Solo bagus dan disenangi rakyatnya ?”. Dengan penuh antusias supir Taxi berkata ” Wow bagus sekali Mas, makanya terpilih untuk kedua kalinya dengan perolehan suara 90 persen lebih. Jokowi itu Walikota idaman rakyat, memindahkan pedagang kaki lima tanpa menimbulkan penolakan, pendekatannya terhadap rakyat bagus Mas…..” Dan banyak lagi nada pujian yang meluncur dari mulut supir Taxi Kota Solo ini sehingga membuat aku semakin yakin bahwa Jokowi memang salah satu Pemimpin idamana rakyat, khususnya rakyat Kota Solo.
Kemudian saya teringat akan masa jabatan Jokowi sebagai Walikota yang kedua kali, sehingga kembali bertanya kepada Supir Taxi ” Iya Mas, tapi ini kan jabatan terakhir Pak Jokowi, Semoga nanti jadi calon Gubernur Jawa Tengah ya, nah kalo Wakil Walikota sekarang gimana peluangnya untuk jadi Walikota selanjutnya ?
Dengan penuh semangat Supir Taxi menjawab, ” Pasti menang tuh Jokowi jadi Gubernur Jawa Tengah kalau nanti maju !!!”, kemudian tiba-tiba supir Taxi tersebut terdiam sepertinya memikirkan sesuatu dan selanjutnya berkata lirih, “Pak Hadi Rudyatmo juga wakil walikota yang baik, tapi kecil kemungkinannya bisa menang Mas kalo maju sebagai calon Walikota !!!”
Tanpa dilanjutkan oleh Supir Taxi saya sudah dapat menduga apa alasan supir Taxi sehingga pesimis Hadi Rudyatmo dapat berhasil menjadi Walikota Solo apabila suatu saat nanti mencalonkan diri, predikdi yang sama juga banyak mengemuka dikalangan pengamat politik, namun hal ini juga menjadi sebuah ujian yang perlu dibuktikan oleh ruang dan waktu.
Cerita pengalaman pribadi diatas terjadi tahun lalu, sekarang Jokowi sedang menghadapi pertarungan untuk menuju Gubernur DKI Jakarta, menurut hasil berbagai lembaga survey, sampai hari ini rangking perolehan suara Jokowi diprediksi masih berda di posisi kedua, tetapi selaras dengan pemikiran Hidayat Nurwahid yang mengatakan Lembaga Survey “Bukan Tuhan”, maka peluang Jokowi untuk bisa berhasil menjadi Gubernur Jakarta kita kembalikan kepada isi Hati Nurani masyarakat Jakarta.
Hati Nurani itulah hukum tertinggi dan pilihan masyarakat Jakarta tentang siapa yang paling dianggap layak merupakan salah satu cerminan apa sesungguhnya yang diinginkan oleh rakyat Jakarta.
SELAMAT MEMILIH BAGI MASYARAKAT JAKARTA.


www.kompasiana.com/daudginting

8 Juli 2012

“Mak… Nagabonar Ingin Jadi Gubernur”


Konon, ada seorang pedagang sukses yang berhasil menjadi seorang pengusaha besar di Tanah Rantau, karena memiliki unit bisnis beraneka ragam kemudian menjadikannya mapan secara finansial dan materi. Kesuksesan bisnisnya ini menjadi buah bibir di kampung halamannya dan kemudian orang kaya baru ini menjadi salah seorang tokoh masyarakat yang sangat dihargai dan dihormati diseantoro pelosok desa tanah kelahirannya.
Suratan tangan atau nasib telah mengantarkan orang yang berasal dari sebuah desa terpecil di ujung Pulau Sumatera ini menjadi salah seorang tokoh pengusaha padahal latar belakang pendidikannya tidaklah tinggi-tinggi amat seperti para elit politik umumnya yang sering melekatkan gelar kesarjaan beberapa buah diantara namanya, misalnya SE,SH,MM. Bahkan ijazah yang pernah diperoleh pengusaha sukses ini selama mengikuti pendidikan tidak jelas lagi keberadaannya sehingga menjadi masalah baru ketika muncul keinginan menjadi seorang Bupati.
Seiring proses kelahiran era reformasi yang membuka peluang yang sama bagi setiap orang untuk bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPR/D, DPD, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, tiba-tiba pengusaha sukses ini mengikuti arus keinginan libidonya untuk mencoba peruntungan menjadi bakal calon bupati di daerah tempat kelahirannya yang memang merupakan daerah asal muasal nenek-kakek leluhurnya.
Ketika niat yang tiba-tiba muncul tanpa tau persis bagaimana proses terjadinya ini disampaikan kepada seorang sahabat akrabnya yang memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni, terus terang saja sahabatnya itu merasa kaget dan heran sehingga bertanya : “Apa motivasi Bung sehingga berkeinginan menjadi seorang Bupati ?”. Dengan raut wajah yang tidak berubah alias biasa-biasa saja sebagaimana biasanya raut wajahnya, pengusaha sukses yang ingin menjadi Bupati ini kemudian menjawab : “ Aku ingin mengenderai mobil dinas bernomor polisi warna merah dengan nomor seri BK 1 dan setiap melintas di jalan raya dikawal serta diiringi suara sirene “. Tentu saja perkataan yang diucapkan calon bupati ini mengejutkan sahabatnya yang kini menjadi seorang pejabat birokrat di daerah kelahiran sang calon bupati.
Akhirnya sahabat calon bupati yang memiliki latar belakang pendidikan manajemen ini larut dalam kebingunan dan berupaya mencari jawaban didalam dirinya sendiri. Tidak lama berpikir dia teringat akan Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow yang diperolehnya ketika menerima mata kuliah sumber daya manusia yang mengemukakan bahwasannya manusia itu memiliki hirarki kebutuhan yang berjenjang, setelah seseorang berhasil memenuhi kebutuhan terendah maka akan termotivasi memenuhi kebutuhan yang memiliki tingkat yang lebih tinggi dari yang sebelumnya. Pengusaha sukses ini telah mampu memenuhi kebutuhan fisiologisnya, rasa aman dan rasa sayang jadi sekarang dia sedang memburu tingkat kebutuhan tertinggi yaitu kebutuhan rasa hormat dan aktualisasi diri. Setelah berupaya memahami motivasi utama menjadi bupati kedua sahabat tersebut kemudian memutuskan untuk maju menjadi bupati dengan semboyan “Sekali layar terkembang surut kita berpantang.
Setelah merasa puas mendapat dukungan dari sahabatnya, kemudian sang calon bupati bertanya kepada sahabatnya, “ Eselon berapa kau sekarang ?”. Dengan penuh rasa bangga sang birokrat berkata “Aku sekarang eselon III”. Mendengar itu sang calon bupati mengatakan kepada sahabatnya “Tenang kau, kalau aku nanti terpilih jadi Bupati langsung kau kuangkat jadi eselon IV bila penting jadi eselon V !!!. Mendengar janji calon bupati, sang sahabat tersebut berujar dalam hati : “Bah, kacau kali kawanku ini, pengen jadi bupati dan menjanjikan menaikkan pangkat tapi enggak ngerti pangkat, katanya menaikkan malahan menurunkan.
Tapi sebagai sesame sahabat harus saling menghargai, keinginan untuk meraih kursi bupati kemudian dilanjutkan bersama, dan memanglah kalau sudah menjadi nasib perjalanan proses pencalonan dan pemilihan kepala daerah tersebut walau mesti melalui banyak gelombang, halangan dan rintangan ternyata kemenangan berpihak kepada mereka.
Dua bulan setelah dilantik sebagai bupati dan mengemban tugas sebagai penguasa daerah, tiba-tiba terjadi demontrasi oleh para guru sekabupaten ke kantor bupati, mendengar peristiwa tersebut sang bupati melihat pemandangan tersebut melalui jendela ruang kerjanya yang berada di lantai III kantor bupati dan bertanya kepada ajudannya “Demonstrasi menuntut apa itu ?”, Sang ajudan dengan sikap hormat menjawab “Guru sekolah se kabupaten menuntut segera mendapatkan sertifikasi !!!”, mendengar jawaban ajudan sang bupati dengan merasa sedikit jengkel menjawab “Bah, kalau menuntut sertifikat kenapa demo ke kantor bupati, suruh mereka demo ke kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional)”.
Sesuai dengan hukum tidak tertulis tentang kepemimpinan yang mengatakan pasal satu berkata : pemimpin tidak pernah salah, pasal dua : Kalau belum mengerti ulangi pasal baca pasal satu, maka walau ajudan sadar bahwa bupati salah tetapi tidak berani membantah dan turun ke kerumunan para demonstran untuk melakukan apa saja yang bisa dilakukannya.
Demikianlah nasib yang menghampiri sang pengusaha sukses yang kemudian berhasil menjadi bupati selalu mendapatkan peluang bagus dalam perjalanan hidupnya, beruntung dan mencapai sukses selalu. Bercermin kepada keberuntungan yang selalu berpihak kepada dirinya dalam beberapa tahun terakhir ini, maka setelah menjabat bupati selama empat tahun berketepatan dengan waktu terjadinya proses pemilihan calon Gubernur.
Dengan penuh keyakinan dan merasa memiliki kemampuan untuk ikut bertarung dalam kancah perebutan kursi empuk gubernur maka sang Bupati yang sering dijuluki dengan nama Naga Bonar ini sedang sibuk mempersiapkan diri dan team sukses untuk ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur yang segera akan berlangsung. Selamat bertarung Bang Naga Bonar semoga keberuntungan masih setia beserta abanganda.
Jangan menyerah Bang Naga Bonar, maju terus pantang mundur….. itulah enaknya era reformasi siapa saja memiliki kesempatan yang sama menjadi penguasa !!!! Semoga tidak mengeksploitasi rakyat ya Bang ???


www.kompasiana.com/daudginting

18 Juli 2012

Senin, 20 Agustus 2012

Mencari Ruang yang Hilang dalam Kehidupan Sosial Politik dan Ekonomi Nasional


Pada essensinya kelahiran era reformasi merupakan sintesa terhadap orde baru yang dianggap tidak sesuai lagi dengan harapan dan tuntutan zaman. Dengan munculnya era baru secara inplisit juga mengandung pengharapan baru lahirnya suatu kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih menjanjikan dan lebih memiliki wujud seperti yang diinginkan.
Tanpa memberi vonis mutlak bahwa era reformasi mengalami kegagalan total, dengan penuh perasaan lapang dada mesti kita akui bahwa masih banyak kekurangan yang dapat dilihat secara kasat mata, terutama praktek kehidupan politik yang memerankan lakon tidak jauh berbeda dengan era sebelumya, yaitu kehidupan politik yang sarat dengan kepentingan “korporatokrasi“.
Salah satu penulis buku  yang mempergunakan istilah korporatokrasi ini John Perkinsdalam bukunya “Confessions of an economics hit man“. Dalam buku tersebut istilah korporatokrasi dipergunakan sebagai sebutan terhadap praktek terselubung mempromosikan kepentingan koalisi antara pemerintah, bank dan korporasi Amerika Serikat ke seluruh penjuru dunia.
John Perkins menceriterakan bagaima dia dan teman-temannya yang disebut sebagai “Economic Hit Man” dengan cara tersembunyi atau terselubung mengemban misi bermuatan kepentingan korporatokrasi melalui penawaran dan penerapan kebijakan pembangunan di negara yang tergolong belum maju, termasuk menerapkan program tersebut di Indonesia.
Bila kita simak penuturan John Perkins tentang peranan dan jejak kakinya di Indonesia ketika orde baru maka dapat disimpulkan bahwa begitu dalamnya cengkeraman kuku korporatokrasi Amerika Serikat mempengaruhi dan mewarnai kebijakan pembangunan ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pekerjaan itu sarat dengan misi tersembunyi maka penerimaan penerapan program yang ditawarkan para Economis Hit Man tersebut juga tidak disadari oleh para elit politik saat itu.
Bahkan para elit politik orde baru serta para pakar ilmu ekonomi pembangunan  ketika, sadar atau tidak sadar, sudah merupakan bagian dari jejaring korporatokrasi Amerika Serikat. Untuk mengetahui sejauh mana dan bagaimana proses terjadinya perkawinan kepentingan tersebut dapat dilihat dalam buku Bradley R. Simpson dengan label “Economist With Guns“.
Dari kedua buku ini dapat tergambar bahwa sistem kehidupan ekonomi nasional khususnya sudah sejak orde baru disusupi oleh kepentingan korporasi, bank dan pemerintah Amerika Serikat. Oleh karena itu jika sampai hari ini masih trend untuk mengkritisi dan menggugat praktek ekonomi kapitalisme maupun neoliberalisme maka persoalan untuk mengenyahkan dan mengeleminir pengaruh kapitalisme besutan Amerika Serikat ini sama halnya dengan mencabut akar sebuah pohon rindang yang telah berusia puluhan tahun, serta telah banyak umat manusia yang telah merasa nyaman (Comfort Zone) berlindung di bawah ranting dan dedaunannya yang rindang.
Hadirnya era reformasi sebagai antithesis dan sintesa terhadap orde baru pada esensinya mengandung pengharapan terjadinya proses mengenyahkan ceritera kelam mendalamnya cengkeraman kuku kapitalisme ini bagi sebagian eksponen bangsa, tetapi hal itu bukan merupakan suatu keinginan yang mudah untuk diwujudkan karena bukan merupakan sebuah komitmen bersama yang dapat diterima dengan lapang dada oleh semua orang.
Persoalan ketidaksamaan visi ini bukan merupakan satu-satunya batu penghalang, bahkan secara sistem kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia juga telah sarat bahkan penuh dengan karat  warna kepentingan korporatokrasi Amerika Serikat tersebut, terutama kebijakan kepentingan terselubung yang ditanamkan melalui lembaga keuangan global seperti Bank Dunia dan IMF. Kepentingan terselubung tersebut bahkan telah dikukuhkan melalui berbagai konstitusi.
Memang sudah merupakan suatu pelembagaan dan pembenaran yang telah terpelihara dengan baik, bahkan telah mampu merasuk kedalam tulang sumsum kita yang paling dalam, tetapi bukan berarti kita harus merangkai sebuah ketetapan final bahwa hal tersebut tidak memungkinkan untuk di-dekontruksi.
Berbicara tentang dekontruksi, salah satu analogi yang menarik untuk dipergunakan adalah sikap dan tindakan seekor burung manyar jantan.Manyar merupakan  jenis burung  pemakan biji-bijian (granivora), habitat atau tempat hidupnya biasa di padang rumput, hutan, rawa dan persawahan. Burung manyar termasuk marga  Ploceus, anggota suku Ploceidae, di Indonesia ada tiga jenis manyar, yaitu Tempua (Ploceus philippinus),Manyar Jambul (Ploceus manyar), dan Manyar Ema (Ploceus hypoxanthus).
Musim berbiak dimulai bulan April hingga Oktober. Seekor pejantan dapat mengawini lebih dari satu betina. Keberhasilan seekor pejantan dalam mengawini betina sangat bergantung pada “kesempurnaan” sarang yang dia bangun. Para burung betina yang tertarik pada jantan tertentu akan menyelidiki sarang sang jantan dengan cermat, dan bila sang betina berkenan, maka perkawinan dapat terjadi.
Sarang manyar berbentuk sangat unik dan rumit sehingga dalam bahasa Inggris disebut “weaver bird“.  Burung manyar sering juga disebut  burung penganyam. Beberapa jenis sarang burung manyar dilengkapi dengan “pintu tipuan” untuk mengelabui pemangsa. Pintu tersebut tampak jelas menganga, sementara pintu yang sebenarnya tersembunyi. Pemangsa yang mencoba masuk pintu tipuan akan menemui jalan buntu, tidak terhubung ke rongga tempat telur atau anak burung berada.
Arsitektur atau konstruksi sarang burung manyar ini sangat estetik, dianyam dari rumput-rumput kering dan ranting,  dan memiliki fungsi sangat penting bagi seekor burung manyar jantan, karena sarang burung manyar yang di anyam tersebut akan mempengaruhi daya tarik bagi seekor burung manyar betina. Apabila burung manyar betina tertarik dengan sarang anyaman burung pejantan tersebut maka burung manyar betina tersebut juga akan bersedia dikawini burung manyar pejantan, dan sebaliknya jika seekor burung manyar betina tidak tertarik dengan arsitek atau kontruksi sarang burung manyar pejantan maka burung manyar betina juga secara otomatis tidak akan bersedia dikawini burung manyar pejantan.
Ketika burung manyar jantan tau dan sadar bahwa sarang hasil anyamannya tidak di sukai burung betina maka burung anyar jantan akan melakukan perubahan terhadap bentuk sarangnya (Dekonstruksi). Inspiratif sekali !!! Seekor burung ternyata melakukan suatu perubahan (Change) untuk meraih keinginannya, yaitu melakukan dekontruksi terhadap hasil karyanya

www.kompasiana.com/daudginting
23 Juni 2012

Jumat, 17 Agustus 2012

Merdeka dari Eksploitasi Kaum Petani?


Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia sudah merupakan kalender acara yang dilakukan setiap tanggal 17 Agustus, dan merupakan even yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Namun sebagai sebuah momen memperingati tonggak sejarah kemeredekaan Bangsa Indonesia maka semestinya peringatan tersebut menjadi sebuah wahana dan kesempatan untuk merenungkan kembali makna dan nilai-nilai yang tersirat dalam proses proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 2012 kemerdekaan Bangsa Indonesia berusia 67 (enam puluh tujuh ) tahun, sebuah usia yang dapat dikategorikan telah beranjak menuju matang dan tua, jika dibandingkan dengan umur seorang manusia maka  usia yang demikian tersebut telah menjadikan seseorang sebagai seorang kakek atau nenek yang telah memiliki cucu bahkan cicit.
Sebagai sebuah Negara dan bangsa yang dapat dikatakan telah berumur panjang maka Indonesia semestinya telah matang dan mapan dalam mengaktualisasikan serta mencapai cita-cita (goal) atau tujuan yang telah direncanakan sebelumnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pejuang dan pendiri (the founding father) Bangsa Indonesia.
Salah satu cita-cita mulia dan agung yang dirangkai oleh pendiri bangsa ini adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur diseberang jembatan emas kemeredekaan, artinya kemerdekaan itu merupakan jembatan atau jalan yang menghubungkan bangsa Indonesia mencapai kemakmuran dari jurang penjajahan dan kemelaratan yang ditimbulkan oleh imperialisme sebagai anak kandungnya kapitalisme yang serakah, eksploitatif dan berdarah dingin.
Bung Karno sebagai salah seorang The Founding Father Bangsa Indonesia suatu ketika menggambarkan bentuk kemelaratan rakyat Indonesia, khususnya petani, sebagai sebuah golongan kaum Marhaen, yaitu penduduk yang memiliki alat atau faktor-faktor produksi misalnya sebidang tanah sawah dan peralatan kerja tetapi tidak dapat menikmati kesejahteraan karena terbelenggu oleh kepentingan kaum penjajah.
Kata Marhaen pertama sekali dikemukakan oleh Bung Karno untuk melambangkan petani yang mengerjakan sebidang tanah kecil tetapi hidup dalam kemelaratan karena menjadi korban penindasan dan penghisapan kaum imperialis dan kapitalis, sebutan Marhaen ini kemudian diperluas sebagai yang menggambarkan kondisi seluruh rakyat Indonesia yang hidup miskin dan melarat  karena disebabkan oleh system yang menindas dari feodalisme dan kapitalisme.
Oleh karena itu marhaen bias mencakup seorang yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi sendiri atau bias juga melambangkan seseorang yang bekerja untuk seorang majikan yaitu misalnya seorang buruh yang tidak memiliki alat produksi sendiri, artinya kaum marhaen adalah manusia yang hidupnya tertindas, dimiskinkan oleh suatu system yang menindas.
Ketika Indonesia belum mencapai kemerdekaan system yang menindas tersebut dapat terlihat jelas dengan kasat mata yaitu kekuasaan bangsa lain yang menjajah dibumi Indonesia yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia Indonesia. Namun dalam era kemerdekaan ini saat ini, sebagaimana arti frasa kemerdekaan bahwa bangsa Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajahan maka semestinya bangsa Indonesia benar-benar merdeka secara multidimensional.
Namun apabila kita kaji lebih mendalam, ditengah kemerdekaan tersebut sebenarnya masih terbalut suatu kondisi yang menyebabkan bahwa sebenarnya petani Indonesia, yang jumlahnya merupakan sebagaian besar dari penduduk Indonesia, sebenarnya masih terbelenggu oleh penjajahan oleh bangsa lain, terutama bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan transnasional agribisnis yang didukung oleh lembaga pemerintah dan organisasi internasional, Ironisnya bentuk eksploitasi atau penjajahan gaya baru ini tidak dapat dilihat secara kasat mata, bahkan petani itu sendiri adakalanya tidak menyadari keberadaan eksploitasi dan penjajahan ini sehingga menjadikan para petani juga merasa terasing didunianya sendiri.
Tanpa disadari, sebenarnya telah terjadi proses marginalisasi atau penyingkiran  terhadap kaum tani secara sistematik oleh perusahaan-perusahaan agribisnis  nasional dan transnasional yang memiliki kebijakan yang didukung oleh elit penguasa dan organisasi internasional, misalnya melalui kebijakan pemerintah dan organisasi internasional dalam kebijakan pangan, hak paten, hak kekayaan intelektual dan ideology atau politik ekonomi.
Melalui kebijakan World Trade Organization (WTO) kekuasaan pemerintah secara berlahan-lahan dikurangi bahkan dilucuti dengan cara memberlakukan kebijaksanaan pengurangan perlindungan terhadap petani, memangkas pemberian subsidi perhadap para petani, membuat kebijakan memangkas hambatan tariff impor bagi industry pangan dan menyingkirkan semua rintangan yang dianggap menghambat investasi di bidang agribisnis.
Melalui lembaga WTO perusahaan transnasional memaksakan kehendaknya untuk dilaksanakannya mekanisme pasar bebas, termasuk memaksakan liberalisasi perdagangan pangan. Selain karena liberalisasi pangan marginalisasi petani dari lahan ladangnya sendiri juga terjadi melalui perubahan alat dan akses produksi yang telah dikuasai oleh perusahaan transnasional.
Melalui program revolusi hijau, petani Indonesia kini sangat tergantung pada budaya bertani yang harus mempergunakan bibit-bibit varietas baru hasil bioteknologi yang diproduksi oleh perusahaan transnasional, selain ketergantungan terhadap bibit hasil rekayasa genetika tersebut petani kita juga sangat tergantung kepada herbisida dan insektisida yang diproduksi oleh perusahaan transnasional, dan ironisnya mekanisme pasar penjualan hasil produksi petani kita juga diatur oleh pemerintah berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi global.
Maka dapat dikatakan bahwa Ekonomi Pasar dan Politik telah meminggirkan (under value) sector pertanian kita, dengan kata lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah tidak berpihak terhadap basis ekonomi rakyat pedesaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merupakan salah satu sector strategis.
Dewasa ini telah terjadi paradox pembangunan (development paradox), yaitu paradigma ekonomi pembangunan yang salah kaprah, karena sebagai sebuah Negara agraris atau pertanian semestinya pemerintah justru lebih melindungi dan memberikan keberpihakan kepada para petani, namun yang terjadi justru sebaliknya, yaitu Negara-negara maju atau negara-negara industry maju, yang nota bene sangat memiliki pengaruh besar dalam organisasi internasional terutama WTO, sangat getol mempengaruhi kebijakan WTO untuk penerapan liberalisasi pertanian tetapi disisi lain justru lebih protektif dan memberi subsidi terhadap pertaniannya.
Dalam suasana memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-67 saat ini merupakan suatu momentum yang tepat dijadikan sebagai sarana melakukan permenungan terhadap nasib dan masa depan para petani kita, yang jumlahnya sangat signifikan, dan merupakan profesi yang digeluti oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang awalnya ingin menyelamatkan para petani di diseberang jembatan emas kemerdekaan maka layak dan sepantasnyalah jika kita kembali menengadahkan pandangan kita terhadap nasib dan penderitaan para petani yang terjerat oleh kepentingan perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional.

www.kompasiana.com/daudginting