Kamis, 11 April 2013

Menelusuri Jejak Kerajaan Aru

Oleh Juraidi
Kerajaan Aru merupakan kerajaan besar dan penting yang pernah berdiri pada abad ke-13 hingga 16 Masehi di bagian utara pulau Andalas (Sumatera).
Namun sayangnya berita tentang kerajaan ini sangat minim terdengar, kalah pamor dengan kerajaan-kerajaan lain yang pernah jaya di Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Singosari dan Sriwijaya.
"Padahal kerajaan ini banyak disebut pada Amukti Palapa dalam Hikayat Pararaton, sejarah Melayu, dalam laporan Mendez Pinto (penguasa Portugis di Malaka), laporan admiral Cheng Zhe (Cheng Ho) maupun pengembara dari negeri China lainnya," kata sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Phill Ichwan.
Berdasarkan sejumlah literatur, pusat Kerajaan Aru dinyatakan berpindah-pindah. Sebagian menyebut di Telok Aru di kaki Gunung Seulawah (Aceh Barat), kemudian di Lingga, Barumun dan bahkan di Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang.
Namun demikian, aktivitas arkeologi yang telah dilakukan berkesimpulan bahwa pusat Kerajaan Aru berada di Kota Rentang (Hamparan Perak) di Kabupaten Deli Serdang dari abad ke-13 hingga 14 Masehi, sebelum akhirnya pindah ke Deli Tua dari abad 14 hingga 16 M akibat serangan dari Aceh.
"Hipotesa bahwa Kota Rentang adalah pusat Kerajaan Aru banyak didukung oleh faktor seperti jalur dari Karo Plateau maupun Hinterland menuju pantai timur yang terfokus pada Sei Wampu dan Muara Deli. Di kawasan itu juga ditemukan ragam keramik yang berasal dari China, Muangthai, Srilangka, serta koin atau mata uang Arab dari abad ke-13 hingga 14," katanya.
Temuan yang paling menakjubkan adalah ditemukannya batu kubur (nisan) yang tersebar di situs sejarah penting tersebut. Batu kubur yang terbuat dari batu cadas (volcanic tuff) yang ditemukan memiliki ornamentasi dalam berbagai ukuran dan sebagian bertuliskan Arab-Melayu dan banyak menunjukkan kemiripan dengan yang ditemukan di Aceh.
Di rawa-rawa di kawasan yang sama juga ditemukan kayu-kayu besar yang diduga merupakan bekas istana Kerajaan Aru serta batu-batu besar yang diduga bekas bangunan candi.
Juga ditemukan bongkahan perahu tua dengan panjang 30 hingga 50 meter yang menunjukkan bahwa Kota Rentang merupakan pusat niaga yang padat pada abad tersebut.
Terbesar
Sejarawan dari Universitas Sumatera Utara, Tuanku Luckman Sinar, mengatakan, pada abad ke-15 Kerajaan Aru merupakan kerajaan terbesar di Sumatera dan memiliki kekuatan yang dapat menguasai lalulintas perdagangan di Selat Malaka.
Kerajaan Aru yang meliputi wilayah pesisir Sumatera Timur, yaitu batas Tamiang sampai Sungai Rokan, sudah mengirimkan beberapa kali misi ke Tiongkok yang dimulai pada tahun 1282 Masehi pada zaman pemerintahan Kubilai Khan.
Kerajaan Aru juga pernah ditaklukkan oleh Kertanegara dalam ekpedisi Pamalayu (1292) dan ditulis dalam pararaton "Aru yang Bermusuhan". Tetapi setelah itu Aru pulih kembali dan menjadi makmur sebagai mana dicatat oleh bangsa Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rashiduddin dalam bukunya "Jamiul Tawarikh" (1310 M), jelasnya.
Musibah kembali menimpa Kerajaan Aru ketika Majapahit menaklukkannya pada tahun 1365 M. Seperti tertera dalam syair Negarakertagama strope 13:1, pada masa itu Majapahit juga menaklukkan Panai (Pane) dan Kompai (Kampe) di Teluk Haru.
Dalam laporan Tiongkok abad ke-15 juga disebut berkali-kali Aru yang Islam mengirim misi ke Cina. Baik dari laporan-laporan China maupun dari laporan Portugis yang ditulis kemudian, menunjukkan sekitar Sungai Deli menjadi pusat Kerajaan Aru dengan bandarnya Kota Cina dan Medina (Medan) sebagaimana disebut-sebut Laksamana Turki Ali Celebi dalam "Al Muhit".
Mengenai Kota Rentang sebagai pusat Kerajaan Aru juga diperkuat oleh Prof. Naniek H Wibisono, tim Puslitbang Aarkeolog Nasional Badan Litbang Kebudayaan dan Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Menurut dia, hasil penelitian eksploratif di situs Kota Rentang memunculkan dugaan bahwa lokasi tersebut merupakan bagian dari jaringan permukiman dan aktivitasnya yang saling terkait.
Asumsi tersebut berdasarkan pola persebaran dan variabilitas tinggalan arkeolog seperti keramik, tembikar, artefak batu, sisa-sisa tulang, mata uang, damar dan batu nisan.
Keberadaan tinggalan arkeologi terutama keramik dan mata uang yang menjadikan bukti bahwa di lokasi tersebut pernah terjadi aktivitas yang berhubungan dengan perniagaan, katanya.
Keramik merupakan suatu komoditi dari luar Nusantara yang banyak ditemukan. Penemuan tersebut menjadi kunci penting sejarah perniagaan, baik secara lokal maupun interlokal. "Kita menemukan bukti-bukti yang meyakinkan untuk lebih memperjelas gambaran tentang apa yang berlangsung di wilayah itu pada masa lampau," tambahnya.
Melalui keramik, katanya, dapat ditelusuri kapan sesungguhnya Kota Rentang mulai berperan dalam perniagaan. Selain itu, melalui persamaan variabilitas dan kronologi tinggalan arkeologi juga dapat diketahui keberadaan situs Kota Rentang dan hubungannya dengan situs-situs lainnya.
"Dari hasil penelitian ini diduga tinggalan arkeologi yang ditemukan memiliki persamaan dengan situs lainnya yang terletak dalam satu jaringan pesisir-pedalaman, antara lain Kota Cina," katanya.
Pasca serangan Aceh pada akhir abad ke-14, pusat Aru berpindah dari Kota Rentang ke Deli Tua dan berdiri dari abad ke-15 hingga 16 M. Di situs Aru Deli Tua ditemukan Benteng Putri Hijau (Green Princess Castle), keramik yang berasal dari China, Muangthai, Sri Langka maupun Burma. Temuan keramik tersebut menunjukkan periode yang sama dengan temuan di Kota Rantang. (ANT)

Sekilas Sejarah Suku Karo


Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Menurut Sangti (1976:130) dan Sinar (1991:1617), sebelum klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring,
Tarigan dan Perangin-angin menjadi bagian dari masyarakat Karo sekarang, telah ada penduduk asli Karo pertama yakni klen Karo Sekali. Dengan kedatangan kelompok klen Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan dan Perangin-angin, akhirnya membuat masyarakat Karo semakin banyak. Klen Ginting misalnya adalah petualangan yang datang ke Tanah Karo melalui pegunungan Layo Lingga, Tongging dan akhirnya sampai di dataran tinggi Karo. Klen Tarigan adalah petualangan yang datang dari Dolok Simalungun dan Dairi. Sembiring diidentifikasikan berasal dari orang-orang Hindu Tamil yang terdesak oleh pedagang Arab di Pantai Barus menuju Dataran Tinggi Karo, karena mereka sama-sama menuju dataran tinggi Karo, kondisi ini akhirnya, menurut Sangti mendorong terjadi pembentukan merga si lima. Pembentukan ini bukan berdasarkan asal keturunan menurut garis bapak (secara genealogis patrilineal) seperti di Batak Toba, tetapi sesuai dengan proses peralihan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Karo Tua kepada masyarakat Karo Baru yakni lebih kurang pada tahun 1780. Pembentukan ini berkaitan dengan keamanan, sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi pergolakan antara orang-orang yang datang dari kerajaan Aru dengan penduduk asli.
 
Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

Selasa, 09 April 2013

Nenek Moyang Bongso Batak dari Suku Mansyuria


Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yang hidup di Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, serta Alas, kini sudah mulai diketahui. Dari sejumlah fakta dan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, hingga Tanah Gayo di Takengon, Aceh, ternyata nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.
Fakta ini diungkapkan Guru Besar Sosiologi-Antropologi Universitas Negeri Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul “Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Moderen” beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar di Medan.
PUSUK BUHIT
Seminar yang digagas DPP Kesatuan Bongso Batak Sedunia itu juga ikut menghadirkan Dr Thalib Akbar Selian MSc, Lektor Kepala/Research Majelis Adat Alas, Kabupaten Aceh Tenggara, Drs S Is Sihotang MM, mantan Bupati Dairi, dan pembanding Nelson Lumban Tobing, Batakolog asal Universitas Sumatera Utara, Medan.
Menurut Bungaran, nenek moyang orang Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Dari peristiwa migrasi itu, saat ini di pegunungan Tibet dapat ditemukan sebuah danau dengan nama Toba Tartar.
“Suku Mansyuria memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar,” jelas Bungaran seraya menambahkan fakta ini diketahuinya dengan membuktikan langsung melalui penelitian bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand.
Selain melalui peneletian langsung, pembuktian tentang asal usul nenek moyang orang Batak juga diperkuat melalui sejumlah literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang yang menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, dan Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yang mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Mansyuria dengan Suku Batak.
Hasil penelitian dan kajian literatur itu, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Yakni sebuah kebudayan asli suku bangsa ini yang mirip dengan budaya Batak yang ada sekarang ini.
Tak bertahan lama di wilayah itu, suku Mansyuria yang terus dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, dan ke Indocina.
Dari Indocina, suku Mansyuria menjadi manusia kapal menuju Philipina, kemudian ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dengan hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja). Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai dengan kesamaan logat dengan orang Batak), dan mengikuti angin Barat dengan berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, dan akhirnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.
Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, dan mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.
Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yang terus bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, dan kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai ke Pusuk Buhit.
“Penerus keturunan suku Mansyuria yang kemudian menjadi nenek moyang orang Batak ini terus berpindah-pindah karena mengikuti pesan para pendahulunya bahwa untuk menghindari suku Barbar Tartar, maka tempat tinggal harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh,” urai Bungaran.
Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tidak hanya menetap di Pusuk Buhit, tapi juga di wilayah Barus, dan sebagian lagi menetap di Tanah Karo.
Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus dan Tanah Karo, sekitar 2.000 tahun. Sehingga situs nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan telah berusia 5.000 tahun.
“Fakta ini diketahui melalui penemuan kerangka manusia purba di sekitar Takengon di daerah Gayo yang menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya dengan Budaya Dongson yang mirip budaya Batak,” beber Bungaran.
Menurut sejumlah literatur, budaya Dongson bisa diidentikkan dengan sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) kebiasaan dan warisan nenek moyang yang wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.
Budaya seperti ini, masih diterapkan secara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Yakni hula-hula/kalimbubu/tondong harus tetap dihormati, walau pun keadaan ekonominya sangat miskin. Demikian pula kepada boru, walau pun sangat miskin, juga harus tetap dikasihi.
“Prinsip kebudayaan Kemmemoratif seperti sejak dahulu hingga kini masih terpiliharan dan tetap dijaga kelestariannya oleh suku Batak,” kata Bungaran.(zul)



Zullifkar AB | Sabtu, 23 Maret 2013 - 10:20 WIB  indonesia.kini.co