Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Jumat, 28 September 2012

BANK DUNIA SIAPA YANG PUNYA


Oleh : Joseph E. Stiglitz
http://topics.nytimes.com
Dicalonkannya Jim Yong Kim sebagai Presiden Bank Dunia oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama disambut baik--dan memang seharusnya demikian, terutama dengan adanya nama-nama lain yang disebut-sebut juga sebagai calon. Dalam diri Kim, seorang guru besar kesehatan masyarakat yang sekarang menjabat Rektor Dartmouth University dan sebelumnya memimpin departemen HIV/AIDS pada Organisasi Kesehatan Dunia, Amerika telah mengajukan seorang calon yang kuat. Tapi kebangsaan calon dan negara yang mencalonkannya--baik yang kecil dan miskin maupun yang besar dan kaya-–seharusnya tidak berperan dalam menentukan siapa yang akan memegang jabatan itu.
Kesebelas orang direktur eksekutif Bank Dunia yang mewakili negara-negara berkembang dan negara-negara emerging market telah mengajukan dua calon yang tidak kurang kuatnya, yaitu Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria dan Jose Antonio Ocampo dari Kolombia. Saya telah bekerja sama yang erat dengan kedua calon ini. Keduanya kelas satu, pernah menjabat menteri dengan berbagai portofolio, menunjukkan kinerja yang pantas dikagumi dalam posisi-posisi puncak di lembaga-lembaga multilateral, dan memiliki keterampilan diplomasi serta kecakapan profesional untuk jabatan yang diperebutkan itu. Mereka memahami seluk-beluk keuangan dan ekonomi, yang merupakan inti tugas Bank Dunia, serta memiliki jaringan koneksi yang bakal meningkatkan efektivitas tugas Bunk Dunia.
Okonjo-Iweala memiliki pengetahuan mengenai Bank Dunia sebagai seorang insider, sedangkan Ocampo, seperti Kim, memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai seorang outsider. Ocampo, guru besar yang dikagumi di Columbia University, sangat akrab dengan Bank Dunia. Ia sebelumnya menjabat bukan hanya menteri ekonomi dan keuangan, tapi juga pertanian-–suatu kualifikasi yang sangat penting, mengingat sebagian besar rakyat miskin di negara-negara berkembang bergantung pada pertanian. Ia juga memiliki kredensial yang mengesankan mengenai lingkungan, dan menangani suatu kepedulian sentral lainnya dari Bank Dunia.
Baik Okonjo-Iweala maupun Ocampo memahami peran lembaga-lembaga keuangan internasional dalam menyediakan kebutuhan global akan public goods. Sepanjang karier mereka, hati dan pikiran mereka tercurah pada pembangunan, dan pada pencapaian misi Bank Dunia untuk mengentaskan masyarakat miskin. Mereka telah meletakkan perintang yang tinggi bagi setiap calon yang diajukan Amerika.
Banyak hal yang dipertaruhkan. Hampir 2 miliar orang masih hidup dalam kemiskinan di negara-negara berkembang, sedangkan Bank Dunia tidak mampu memecahkan masalah ini sendirian, tapi ia memainkan peran utama. Walaupun dinamakan demikian, Bank Dunia terutama merupakan lembaga pembangunan internasional. Spesialisasi Kim di bidang kesehatan masyarakat sangat penting, dan sejak dulu Bank Dunia sudah mendukung prakarsa yang inovatif di bidang ini. Tapi kesehatan masyarakat cuma merupakan bagian kecil dari “portofolio” Bank Dunia, dan ia khasnya bekerja di bidang ini bersama mitra yang membawakan kepakaran di bidang kedokteran.
Ada rumor yang mengatakan Amerika kemungkinan besar akan ngotot mempertahankan proses seleksi yang tidak wajar ini, dengan ia yang menentukan siapa yang akan menjabat Presiden Bank Dunia semata-mata karena, dalam tahun pemilihan presiden di Amerika sekarang ini, pesaing-pesaing Obama akan membesar-besarkan hilangnya kendali Amerika atas Bank Dunia sebagai tanda kelemahan. Dan, bagi Amerika, dipertahankannya kendali pemilihan Presiden Bank Dunia itu lebih penting daripada direbutnya kendali itu oleh negara-negara berkembang.
Sesungguhnya negara–negara emerging market yang lebih kuat di antara mereka sadar bagaimana hidup dalam sistem yang ada sekarang, dan mereka mungkin akan memanfaatkan kenyataan ini. Mereka sebenarnya akan memperoleh IOU, surat pengakuan utang, yang bisa mereka uangkan untuk sesuatu yang lebih penting. Kenyataan politik pada saat ini tidak memungkinkan terjadinya perebutan kepemimpinan Bank Dunia. Amerika pada akhirnya akan tetap menguasai Bank Dunia, tapi dengan harga seberapa besar?
Andai kata Amerika ngotot mengendalikan proses seleksi, maka Bank Dunia itu sendiri yang akan menderita. Selama bertahun-tahun efektivitas kerja Bank Dunia telah diperlemah, karena ia dianggap sebagai alat pemerintah di negara-negara Barat dan sektor keuangan serta korporat di negara-negara tersebut. Ironisnya, bahkan kepentingan jangka panjang Amerika bakal diuntungkan dengan komitmen-–bukan cuma dalam ucapan, tapi dalam perbuatan-–pada merit system, kualifikasi, dan kinerja serta tata kelola yang baik.
Satu prestasi yang katanya dicapai G-20 adalah kesepakatan mereformasi tata kelola lembaga-lembaga keuangan internasional-–yang paling penting terutama bagaimana pemimpin lembaga-lembaga itu dipilih. Mengingat kepakaran mengenai pembangunan terutama terdapat di negara-negara berkembang dan emerging market–-bukankah merekalah yang menghayati pembangunan-–maka tampaknya wajar kalau Presiden Bank Dunia datang dari negara-negara itu. Mempertahankan suatu cabal, kelompok rahasia di antara negara-negara maju, dengan ditetapkan bahwa yang memilih Presiden Bank Dunia adalah Amerika dan yang memilih ketua Dana Moneter Internasional (IMF) adalah Eropa, tampaknya sangat anakronistik dan membingungkan pada saat ini ketika Bank Dunia dan IMF sudah berpaling ke negara-negara emerging market sebagai sumber dana.
Sementara itu, Amerika, masyarakat internasional, dan Bank Dunia sendiri berkali-kali menekankan pentingnya tata kelola yang baik, suatu prosedur seleksi yang de facto meletakkan penunjukan Presiden Bank Dunia di tangan Presiden Amerika merupakan penghinaan terhadap pentingnya tata kelola yang baik itu. Okonjo-Iweala mengemukakan hal ini dengan kuat dalam sebuah wawancara dengan The Financial Times: yang dipertaruhkan ini adalah persoalan kemunafikan. Integritas negara-negara industri maju yang memiliki mayoritas suara di Bank Dunia sekarang sedang diuji.


Joseph E. Stiglitz
GURU BESAR DI COLUMBIA UNIVERSITY, PERAIH HADIAH NOBEL EKONOMI, PENGARANG BUKU FREEFALL: FREE MARKETS AND THE SINKING OF THE GLOBAL ECONOMY

ANTONIO GRAMSCI dan HEGEMONI


oleh Trent Brown

 
Antonio Gramsci http://www.marxists.org/archive/gramsci/
Antonio Gramsci ialah tokoh penting dalam sejarah teori Marxis. Sementara Karl Marx dan Friedrich Engels memberikan analisis menyeluruh tentang kapital di tingkat sosial dan ekonomi - khususnya menunjukkan bagaimana kapital mengantagoniskan kelas pekerja dan menyebabkan krisis - Gramsci melengkapi ini dengan suatu teori canggih tentang ranah politik dan bagaimana itu secara organik/dialektik berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Ia memberikan kita teori tentang bagaimana proletariat harus mengorganisir secara politik bila hendak secara efektif merespon krisis dan kegagalan kapital, dan menghadirkan perubahan revolusioner.
Secara kebetulan, inovasi ini terbukti bukan saja menarik perhatian kaum Marxis, tapi juga mereka yang berada di luar bentuk-bentuk politik progresif, dari gerakan hak-hak sipil (civil rights movement), politik jender, hingga perjuangan ekologis kontemporer. Pendekatannya ini terbukti begitu populer dan secara umum dapat diadaptasikan karena Gramsci sendiri ialah seorang aktivis dan kepedulian fundamentalnya adalah terhadap strategi progresif. Maka meskipun dalam artikel ini saya berencana memberikan gambaran umum tentang teori hegemoni Gramsci dan sebab-sebab di balik formulasinya, yang penting adalah agar kita meneruskan ini dengan memikirkan bagaimana kita dapat menggunakan konsep-konsep ini secara strategis dalam perjuangan kita.
Apa itu hegemoni?
Tampaknya tidaklah pantas memulai diskusi ini dengan bertanya "Apa itu hegemoni?" Ini rupanya susah untuk dijawab ketika kita membicarakan Gramsci, karena, setidaknya dalam The Prison Notebooks, ia tidak pernah memberikan definisi yang pas terhadap istilah itu. Ini mungkin alasan utama kenapa terdapat begitu banyak ketidak-konsistenan dalam literatur hegemoni - orang cenderung membentuk definisinya sendiri, berdasarkan pembacaan mereka sendiri terhadap Gramsci dan sumber-sumber lainnya. Yang menjadi masalah di sini adalah bila seseorang membaca Gramsci secara setengah-setengah maka definisi mereka pun seperti itu.
Contohnya, Martin Clark (1977, p.2) mendefinisikan hegemoni sebagai "cara kelas penguasa mengontrol media dan pendidikan". Meskipun definisi ini mungkin lebih sempit dari biasanya, ia mencerminkan kesalahan-pembacaan yang biasa terjadi terhadap konsep tersebut, yakni bahwa hegemoni adalah cara kelas penguasa mengontrol institusi-institusi yang mengontrol atau mempengaruhi pemikiran kita. Walau demikian, kebanyakan literatur hegemoni di kalangan akademik dan aktivis mengambil sudut pandang yang sedikit lebih lebar dari ini, dengan menyertakan lebih banyak institusi dalam pelakasanaan hegemoni - setidaknya menyertakan juga militer dan sistem politik. Problemnya adalah bahkan ketika institusi-institusi ini diperhitungkan, fokusnya cenderung eksklusif kepada kelas penguasa, dan metode-metode kontrolnya. Hegemoni sering kali digunakan untuk menggambarkan cara kelas-kelas kapitalis menginfiltrasi pikiran rakyat dan menerapkan dominasinya. Yang luput dari definisi ini adalah Gramsci tidak hanya menggunakan istilah "hegemoni" untuk menggambarkan aktivitas kelas penguasa, ia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan pengaruh yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Dengan mencamkan hal ini, kita dapat melihat bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang dilakukan bukan saja oleh kelas penguasa, faktanya ia adalah proses di mana kelompok-kelompok sosial - apakah mereka progresif, regresif, reformis, dsb. - meraih kekuasaan untuk memimpin, bagaimana mereka memperluas kekuasaan mereka dan mempertahankannya.
Untuk memahami apa yang coba dicapai oleh Gramsci ketika mengembangkan teori hegemoninya, kita butuh melihat konteks historis yang ia hadapi maupun perdebatan dalam pergerakan di masa itu. Istilah "hegemoni" sudah umum digunakan oleh lingkaran sosialis sejak awal abad 20. Penggunaannya menunjukkan bahwa bila suatu kelompok digambarkan sebagai "hegemonik" maka ia menempati posisi kepemimpinan dalam suatu ranah politik tertentu (Boothman, 2008).
Penggunaan istilah gegemoniya (istilah Rusia untuk hegemoni, sering diterjemahkan sebagai "vanguard") oleh Lenin tampak menyiratkan suatu proses yang lebih mirip dengan apa yang digambarkan oleh Gramsci. Dalam upayanya mengkatalisis Revolusi Rusia, Lenin (1902/1963) melakukan pengamatan bahwa ketika dibiarkan mengurus sendiri, kaum pekerja cenderung hanya mencapai kesadaran serikat buruh, memperjuangkan keadaan yang lebih baik dalam sistem yang ada. Untuk menghadirkan perubahan revolusioner, ia berargumen bahwa kaum Bolshevik perlu menempati posisi hegemonik dalam perjuangan menentang rejim tsaris. Ini artinya bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja dengan menyatukan mereka, tapi juga melibatkan semua "strata oposisi" dalam masyarakat ke dalam gerakan, menarik hubungan-hubungan di antara semua bentuk "penindasan politik dan kesewenang-wenangan otokratik" (Lenin, 1963, pp 86-87).
Namun, dalam periode paska-revolusioner implikasinya berubah. Lenin berargumen bahwa hal-hal krusial untuk mendirikan "hegemoni proletariat" adalah (a) kaum proletariat perkotaan mempertahankan aliansinya dengan kaum tani pedesaan (yang merupakan mayoritas penduduk Rusia) untuk mempertahankan kepemimpinan nasional dan (b) keahlian kaum kapitalis lama digunakan, dengan memaksa mereka untuk secara efektif mengelola industri-industri negara. Kedua proses kepemimpinan ini yang dilakukan via konsensus dan penggunaan paksaan dalam pengembangan hegemoni akan memainkan peran yang krusial dalam teori Gramsci. Dari tahun 1922-23 Gramsci berada di Rusia ketika perdebatan-perdebatan ini sedang menggelora dan setelah masa-masa inilah kita melihat hegemoni mulai menempati peran sentral dalam tulisan-tulisannya.
Italia
Di samping pengaruh yang diakibatkan oleh jalannya peristiwa di Rusia, Gramsci juga dipengaruhi oleh pengalaman politiknya sendirinya. Gramsci sangat terlibat dalam perjuangan melawan kapitalisme dan fasisme di Italia dan untuk beberapa waktu ia merupakan pemimpin Partai Komunis Italia. Dalam periode setelah Perang Dunia I, terdapat optimisme yang besar di Eropa, dan khususnya di Italia, karena saat itu rakyat melihat kebiadaban yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa, sementara di Rusia suatu alternatif sedang berkembang, sehingga semacam revolusi kaum pekerja di Eropa pun mulai tampak di permukaan.
Gramsci tentunya meyakini optimisme ini. Peristiwa yang berlangsung di awal 1920an tampak mengonfirmasikan ini. Ketegangan dalam semua strata masyarakat adalah tinggi, terdapat agitasi massa dan rakyat membentuk dewan-dewan pabrik dan koperasi pekerja. Tapi terlepas dari mobilisasi yang intens ini, itu semua padam dengan segera. Serikat-serikat buruh terkooptasi, koperasi pekerja menjadi tersingkir dan tak kompetitif. Rakyat biasa diintimidasi oleh elit atau terpesona oleh daya tarik retorika fasis.
Gramsci dan beberapa lainnya membentuk Partai Komunis Italia untuk mencoba membangkitkan kembali pergerakan, tapi nyatalah bahwa rakyat telah pupus harapan akibat kegagalan di tahun-tahun sebelumnya untuk bisa terlibat kembali. Suara untuk Partai Komunis begitu sedikit dan mengecewakan. Ketika Gramsci ditahan pada 1926 sebagai bagian dari tindakan darurat Mussolini, ia mendapatkan banyak waktu di penjara untuk merefleksikan apa yang terjadi dan apa yang salah. Bagaimana kelas penguasa dapat begitu efektif mencekik potensi gerakan, dan apa yang dibutuhkan oleh kekuatan-kekuatan progresif untuk memobilisasi massa sehingga mereka mampu membawa perubahan fundamental dalam masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya menjadi sentral dalam teori hegemoni Gramsci.
Tahapan
Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam The Prison Notebooks Gramsci mengacu pada hegemoni untuk menggambarkan aktivitas kelompok yang sedang dominan maupun kekuatan-kekuatan progresif. Bagi Gramsci, apa pun kelompok sosialnya, kita dapat melihat bahwa terdapat tahapan perkembangan bersama tertentu yang harus mereka lalui sebelum mereka dapat menjadi hegemonik. Mengambil dari Marx, persyaratan pertama adalah ekonomi: bahwa kekuatan material telah cukup dikembangkan sehingga orang-orang di dalamnya mampu memecahkan problem-problem sosial yang paling mendesak. Gramsci kemudian berlanjut menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan politik yang harus dilalui suatu kelompok sosial agar dapat mengembangkan gerakan yang dapat memulai perubahan.
Tahap pertama dari ini disebut "korporat-ekonomis". Seorang korporatis mungkin adalah apa yang kita pahami sebagai individu yang mengutamakan kepentingannya sendiri. Seseorang berafiliasi dengan tahap korporat-ekonomis sebagai fungsi dari kepentingan pribadinya, menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan orang lain untuk memperoleh keamanan mereka sendiri. Serikat-buruhisme mungkin merupakan contoh terjelas untuk ini, setidaknya dalam kasus di mana orang bergabung dengan serikat buruh karena takut gajinya dipotong, penyusutan dsb. Dalam istilah ini, kita juga dapat memasukkan kerjasama jangka-pendek antara kapitalis-kapitalis yang sesungguhnya saling berkompetisi satu sama lainnya. Hal yang ditekankan adalah: pada tahap perkembangan historik ini, kelompok yang bersangkutan belum memiliki rasa solidaritas di antara anggota-anggotanya.
Dalam tahap kedua, anggota-anggota kelompok mulai menyadari bahwa terdapat wilayah kepentingan yang lebih luas dan bahwa terdapat orang lain yang berbagi kepentingan dengan mereka dan akan terus membagi kepentingan-kepentingan ini dalam masa depan yang terjangkau. Dalam tahap inilah rasa solidaritas berkembang, tapi solidaritas ini masihlah hanya berbasiskan kepentingan ekonomi bersama. Tidak terdapat pandangan dunia bersama atau apa pun semacam itu. Solidaritas seperti ini dapat mengarah pada upaya-upaya untuk menggalakkan reformasi-reformasi di bidang hukum untuk memperbaiki posisi kelompok tersebut dalam sistem yang ada, tapi belum ada kesadaran tentang bagaimana mereka, dan yang lainnya, dapat diuntungkan oleh pembentukan sistem yang baru.
Hanya dengan melewati tahap ketiga maka hegemoni dapat benar-benar menjadi mungkin. Dalam tahap ini, anggota-anggota kelompok sosial mulai menyadari kepentingan dan kebutuhan untuk menjangkau melampaui apa yang dapat mereka lakukan dalam konteks kelas-kelas mereka tersendiri. Yang dibutuhkan adalah agar kepentingan mereka turut diusung oleh kelompok-kelompok lainnya yang tersubordinasi seperti halnya mereka. Inilah yang dipikirkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik dalam membentuk aliansi dengan kaum tani - bahwa hanya dengan membuat revolusi Bolshevik juga menjadi revolusi kaum tani, di mana kaum tani juga melihat itu sebagi revolusi mereka, maka kaum proletariat perkotaan dapat mempertahankan posisi kepemimpinannya.
Gramsci memahami bahwa dalam konteks historis yang sedang dikerjakannya, berjalannya suatu kelompok sosial dari reformisme atas kepentingan pribadi menuju hegemoni nasional dapat terjadi secara efektif via partai politik. Dalam formulasi yang kompleks ini, beragam ideologi kelompok-kelompok yang beraliansi akan berkumpul. Tak dielakkan lagi akan terjadi konflik antara ideologi-ideologi ini, dan melalui proses perdebatan dan pertarungan, satu ideologi, atau kombinasi penyatuan darinya, akan muncul mewakili kelas-kelas yang beraliansi. Ideologi ini dapat dibilang hegemonik, kelompok yang mewakilinya telah meraih posisi hegemonik atas kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Dalam tahap ini, partai mencapai kedewasaan dengan meraih kesatuan antara tujuan ekonomi dan politik maupun kesatuan moral dan intelektual - dapat dikatakan sebagai saling berbagi suatu pandangan dunia.
Dengan persatuan ini di belakangnya, partai mentransformasi masyarakat untuk meletakkan persyaratan bagi ekspansi kelompok hegemonik. Negara menjadi mekanisme untuk melakukan ini: kebijakan dihasilkan dan ditegakkan untuk memungkinkan kelompok hegemonik mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan menciptakan simetri antara tujuannya dan tujuan kelompok-kelompok lainnya. Meskipun tujuan-tujuan ini diformulasikan dengan pemikiran untuk memajukan kepentingan satu kelompok, walau demikian tujuan-tujuan tersebut harus dialami oleh penduduk sebagai kepentingan semua orang. Agar ini berjalan efektif, kelompok hegemonik harus memiliki suatu bentuk tertentu dalam menangani kepentingan kelas-kelas yang tersubordinasi. Kepentingan yang dominan tidak dapat dengan begitu saja diterapkan kepada mereka.
Hegemoni Progresif
Meskipun Gramsci menganggap langkah-langkah pragmatis tersebut dibutuhkan oleh tiap kelompok yang hendak meraih kekuasaan, ia juga memiliki kepedulian etis yang sangat mendalam terhadap cara berjalannya proses tersebut. Dalam pengertian ini, kita dapat menemukan dalam karya Gramsci perbedaan kualitatif antara pelaksanaan hegemoni oleh kelompok regresif dan otoriter di satu pihak, dan kelompok-kelompok sosial di pihak lainnya. Dalam tingkat etika, Gramsci di atas segalanya ialah seorang anti-dogmatis yang meyakini bahwa kebenaran tak dapat diterapkan begitu saja dari atas-ke-bawah, tapi hanya melalui dialog yang konkrit dan simpatik dengan rakyat. Kalau hegemoni regresif melibatkan penerapan serangkaian nilai-nilai yang tak ternegosiasikan kepada rakyat, terutama melalui paksaan (koersi) dan penipuan, hegemoni progresif akan berkembang dengan persetujuan (konsen) masyarakat yang diraih secara demokratis. Untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini, sisa dari artikel ini akan mengelaborasikan berbagai cara Gramsci membicarakan tentang hegemoni kelas-kelas penguasa saat ini maupun yang lalu dan bagaimana ini bertolak belakang dengan hegemoni progresif yang diharapkan untuk disaksikannya di masa depan.
Jelaslah bila kita menelusuri sejarah, kelas kapitalis memegang hegemoninya terutama melalui berbagai bentuk paksaan (koersi), yang berkisar dari penempatan militer secara langsung hingga bentuk-bentuk yang lebih halus, contohnya, menggunakan kekuatan ekonomi untuk menyingkirkan lawan politik. Namun, adalah suatu kesalahan besar untuk berpikir bahwa kapitalisme tidak pula bergantung pada pembangunan persetujuan atau konsensus. Bahkan dapat diargumentasikan bahwa pembangunan-konsensus kapitalisme lah yang dari sudut pandang strategis perlu kita beri perhatian lebih mendalam, karena di tingkat inilah kita berkompetisi dengan mereka. Sifat dan kekuatan konsensus ini beragam. Ada cara-cara di mana kapitalisme sukses secara aktif menjual visinya kepada kelas-kelas yang tersubordinasi. Ini bukan berarti sekedar menjual visi terdistorsi tentang suatu masyarakat yang bebas, merdeka, inovatif, dsb, tapi juga menggunakan ide-ide ekonomi borjuis untuk meyakinkan kelas pekerja untuk meyakini bahwa, contohnya, meskipun kebijakan kapitalis adalah kepentingan utama kelas kapitalis, mereka pun akan meraih keuntungan via dampak tetesan-ke-bawah (trickle down effects). Kapitalisme juga dapat memenangkan persetujuan atau konsensus di antara mereka yang mungkin tidak mempercayai bahwa sistem yang ada adalah untuk kepentingan mereka, namun meyakini bahwa tidak ada alternatif atau bahwa alternatif akan lebih buruk - dengan kata lain, dengan menggalakan keyakinan bahwa sistem yang ada merupakan suatu keharusan yang dibutuhkan (necessary evil).
Abad ke-20 menyaksikan kapitalisme memperluas secara massif bentuk konsensus ini, terutama melalui kontrol korporasi dalam media dan periklanan. Di Amerika Serikat khususnya, penggalakkan "American dream", dan semua komoditas tak bermanfaat yang dibutuhkan untuk meraihnya, tidak hanya berguna untuk menggenjot konsumsi dan sekaligus menguntungkan kepentingan ekonomi kaum kapitalis; ia juga menjual suatu gaya hidup yang hanya dapat diberikan oleh kapitalisme. Ini tentunya dibantu selama Perang Dingin dengan berbagai upaya simultan untuk mencap tiap alternatif terhadap kapitalisme sebagai perbudakan. Kelas kapitalis menentang tiap kebijakan yang berupaya menyaingi media milik korporasi dengan menggunakan kekuatan politik hegemoniknya untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi pembangunan konsensus lebih jauh, yang kemudian akan memperluas kepentingan mereka. Kelompok hegemonik akan terus berjuang dengan cara-cara ini untuk mencapai tingkat konsensus yang lebih besar - dalam kasus ini dengan mengunci rakyat ke dalam cara berpikir yang kaku dan menggilas tiap optimisme.
`Sindikalisme’
Beberapa bentuk serikat-buruhisme tertentu dapat juga menjadi contoh hegemoni kapitalis. Apa yang Gramsci sebut sebagai "sindikalisme" - pandangan bahwa kondisi kelas pekerja dapat diangkat secara maksimal dengan meningkatkan kekuatan serikat buruh - mencerminkan suatu kelompok sosial (para pekerja) yang terperosok dalam tahap perkembangan korporat-ekonomis akibat pengaruh hegemonik kapitalis, terutama para pembela perdagangan bebas (free trade), dalam ranah ideologi. Para pembela perdagangan bebas berargumen bahwa negara dan masyarakat sipil harus tetap terpisah, bahwa negara harus keluar dari ranah ekonomi, yang berfungsi secara otonom - serahkan itu kepada "tangan pasar yang tak kasat mata" dan seterusnya.
Kaum sindikalis mengadopsi asumsi tentang pemisahan antara ranah sosial dan ekonomi di satu sisi dan ranah politik di sisi lainnya, dan mengasumsikan bahwa mereka dapat membawa perubahan radikal tanpa perwakilan politik. Hasil konkrit dari ini adalah mereka hanya dapat bernegosiasi untuk perbaikan-perbaikan yang berpengertian sempit dalam ranah ekonomi, tanpa perubahan kebijakan yang memungkinkan kemenangan-kemenangan ini meraih basis yang lebih permanen. Sementara para pembela perdagangan bebas justru secara aktif terlibat dalam penentuan kebijakan (meskipun klaim mereka mengatakan lain) yang menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan kelas kapitalis!
Namun, ketika kepentingan kelas kapitalis secara langsung terancam, kekuatan hegemonik tak pelak lagi beralih ke paksaan. Tidak ada lagi ruang untuk menegosiasikan ini, dalam tatanan hegemonik yang ada. Dalam tingkat sederhana, ini dapat berarti membuat legislasi yang memungkinkan polisi menyerang pekerja yang melaksanakan aksi-aksi industrial, yang mengancam profit secara langsung. Tapi ancaman terbesar terhadap kapitalis adalah perkembangan alternatif hegemonik dalam masyarakat sipil. Ancamannya adalah rakyat akan beralih dari fase korporat-ekonomis, dan menyadari bahwa kepentingan mereka bersinggungan dengan semua pihak yang dipinggirkan oleh kapitalisme dan melawan balik, bahwa mereka akan menyadari kekuatan mereka dan menuntut perubahan radikal.
Karena ini merupakan ancaman terbesar terhadap kapital, cara paling efektif baginya untuk menggunakan paksaan adalah dengan memecah belah aliansi-aliansi progresif antara kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Ketika dihadapkan pada kekerasan dan ancaman-ancaman ekonomi, orang lebih tidak mampu menghubungkan dirinya dengan kelompok. Kekuatiran untuk bertahan hidup berarti bahwa tiap orang harus mempertahankan kepentingan mereka secara individual. Hegemoni progresif dari pergerakan menjadi terhambat, karena tiap orang dipaksa untuk bertindak secara korporatis. Kelas penguasa juga dapat berupaya memecah belah gerakan secara kasar dengan memanas-manasi perbedaan ideologi, contohnya dengan berseru tentang agama.
Demokrasi dan konsensus
Gramsci memandang bahwa perkembangan hegemoni progresif melibatkan lebih banyak keterbukaan, demokrasi dan konsensus, dibandingkan paksaan. Kalau pun terdapat paksaan, itu seharusnya ada untuk melawan kekuatan-kekuatan reaksioner yang hendak menjegal perkembangan masyarakat. Ini akan memberikan ruang kepada massa untuk meraih potensi mereka. Bagian yang besar dari The Prison Notebooks diberikan untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan hegemoni semacam ini, dan banyak pemikir Gramscian sejak itu mendedikasikan diri mereka untuk menjawab teka-teki ini.
Sebagai awalan, kita dapat mengatakan bahwa hegemoni yang ada mencoba menjaga agar kelompok-kelompok yang dikecewakan dan tersubordinasi tetap tercerai berai, hegemoni progresif yang hendak bangkit harusnya mempersatukan mereka. Gramsci tentunya melihat tantangan yang ada di sini. Dalam situasi historisnya sendiri (dan tak diragukan lagi masih demikian pada masa kita kini) terdapat rintangan-rintangan yang cukup besar antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam hal pengalaman, bahasa dan pandangan-dunia. Namun, yang sama-sama dimiliki oleh semua kelompok ini adalah tidak ada dari mereka yang memiliki perwakilan politik yang memadai dalam sistem yang ada. Gramsci menyebut kelompok-kelompok yang tak memiliki perwakilan politik ini "subalternus". Tantangan kelompok hegenomik adalah memberikan kritik terhadap sistem yang ada dengan sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok subalternus tersebut menyadari kesamaan nasib mereka dan kemudian "bangkit" ke dalam kehidupan politik partai. Untuk memfasilitasi penggabungan oleh pihak-pihak lainnya ini, Gramsci menekankan perlunya kelompok hegemonik untuk bergerak melampaui pemahaman kepentingannya sendiri yang korporatis-ekonomis, mengorbankan beberapa tujuan ekonomi yang mendesak demi kesatuan moral dan intelektual yang lebih mendalam. Ia harus meninggalkan prasangka-prasangka dan dogma-dogma tradisionalnya dan mengambil pandangan yang lebih luas bila hendak memimpin sambil mendapat kepercayaan dan konsensus (keduanya dibutuhkan untuk mengalahkan kekuasaan yang ada).
Bila kekuatan yang segaris ini hendak memiliki pengaruh historis yang penting, mereka harus langgeng dan secara organik/menyatu berhubungan dengan kondisi-kondisi di lapangan, bukan sekedar konvergensi sesaat. Untuk mengembangkan momentum massa, mereka harus mendemonstrasikan, baik dalam imajinasi rakyat maupun dalam aksi, bahwa mereka mampu meraih kekuasaan dan melaksanakan tugas-tugas yang mereka tetapkan sendiri. Tugas-tugas ini harus secara efektif menjadi tugas setiap orang - mereka harus mewakili tiap aspirasi, dan menjadi pemenuhan dari tugas gerakan-gerakan yang tidak berhasil dalam generasi sebelumnya.
Demonstrasi kekuasaan dan pengaruh historis seperti itu tidak dapat dicapai melalui aksi pasif. Contoh yang Gramsci gunakan di sini adalah pemogokan umum. Bila gerakan tersebut sekedar mewakili penolakan terhadap sistem yang ada atau non-partisipasi terhadapnya, maka itu akan segera berfragmentasi menjadi ide-ide unik tiap individu tentang apa yang harus menggantikan sistem yang ada justru pada saat ketika persatuan adalah yang paling dibutuhkan. Ia harus merupakan perwujudan aktif kehendak kolektif, yang terkristalisasi dalam suatu agenda perubahan yang konstruktif dan konkrit. [garis miring tebal oleh penerjemah] Jelaslah ini bukan tugas mudah, dan Gramsci tentunya tidak berpandangan bahwa kita dapat menerapkan strategi-strategi ini seperti halnya mengikuti manual. Yang dibutuhkan adalah kerja sungguh-sungguh di lapangan untuk meletakkan medan-medan moral dan intelektual di mana perkembangan historis ini dapat muncul. Kita harus mengembangkan kesatuan, kesadaran dan kedewasaan gerakan, membuatnya menjadi kekuatan yang kuat dan kohesif, dan kemudian dengan sabar, dengan perhatian seksama terhadap kondisi kontekstual, menanti momen yang menguntungkan untuk menggunakan kekuatan ini.
Momen krisis
Momen ini adalah momen krisis dalam hegemoni dominan yang ada: momen di mana penduduk semakin melihat jelas bahwa kelas penguasa tidak lagi mampu menyelesaikan isu-isu paling mendesak bagi kemanusiaan. Asalkan kekuatan progresif dapat secara memadai memberikan alternatif pada saat ini dan kelas penguasa tidak mampu dengan segera membangun kembali konsensus, menjadi jelaslah bahwa kondisi di mana kelompok penguasa menjadi hegemonik mulai berlalu dan masyarakat dapat secara kolektif berkata "Kami tak membutuhkanmu lagi." Gramsci menyebut proses pembersihan sejarah ini "katarsis" di mana "struktur berhenti menjadi kekuatan eksternal yang menekan manusia, mengasimilasi manusia dan membuatnya pasif; dan ia ditransformasikan menjadi alat kebebasan, suatu instrumen untuk menciptakan bentuk etika-politik baru dan sumber inisiatif baru." (Ggramsci, 1971, p.367.)
Bagi Gramsci, kebutuhan akan transisi ini dari dunia sebagaimana apa adanya menuju kebebasan menciptakan dunia baru harus menjadi awalan dari semua strategi Marxis.
Jadi, apa yang ditawarkan Gramsci kepada kita? Penekanannya bahwa bentuk politik sosialis haruslah berupa keterbukaan, demokrasi dan pembangunan konsensus. Ini tentunya memberikan kita visi dan fokus yang lebih luas dan kita benar-benar perlu menginformasikan aktivitas semua kelompok politik. Bila bukan karena alasan etis, setidaknya karena dalam lingkungan saat ini, tanpa kesediaan untuk bekerja secara tulus membangun konsensus dengan lainnya, peluang keberhasilan kita akan sangat sempit. (Kita bukan kelas penguasa - kita tidak memiliki alat paksaan). Namun lebih dari ini, Gramsci memberikan kita cara berpikir; ia memberikan kita alat konseptual untuk membedah situasi politik yang kita hadapi, untuk memandangnya dalam konteks historis dan untuk memahami di mana-mana saja kita dapat menemukan persyaratan-persyaratan untuk mengembangkan kekuatan kita lebih jauh lagi.

[Trent Brown adalah mahasiswa doktoral di Universitas Wollongong dan anggota dari Friends of the Earth Illawarra]

Bibliography
Boothman, D. (2008).`` Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony’’. In R. Howson and K. Smith (Eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Clark, M. (1977). Antonio Gramsci and the Revolution that Failed. New Haven: Yale University Press.
Gramsci, A. (1926). ``Some aspects of the southern question’’ (V. Cox, Trans.). In R. Bellamby (Ed.), Pre-Prison Writings (pp. 313-337). Cambridge: Cambridge University Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Q. Hoare & G. N. Smith, eds. & trans. London: Lawrence and Wishart.
Howson, R. (2006). Challenging Hegemonic Masculinity. London: Routledge.
Howson, R. & Smith, K. (2008). Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Lenin, V. I. (1963). What is to be Done? S.V. Utechin & P. Utechin, trans. Oxford: Oxford University Press.
[Pernah dimuat di http://links.org.au/node/1260, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Data Brainanta, Staff Dept. Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP Papernas.]
Sumber :  http://links.org.au/node/1351

Kamis, 27 September 2012

Imperium Amerika di Ujung Tanduk?

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

                                                    Republika/Daan

 Imperium dari bahasa Latin menjadi empire dalam bahasa Inggris, yang berarti sekelompok negara atau negeri dengan wilayah kekuasaan yang luas di bawah otoritas tunggal. Dapat pula diartikan sebagai organisasi komersial raksasa yang dimiliki atau dipimpin oleh seseorang.

Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19, dengan merebut Filipina dari tangan Spanyol pada 1898, sedang bergerak dalam proses awal mengukuhkan dirinya sebagai sebuah imperium yang puncaknya terjadi pada era pascaPerang Dingin. Tetapi, untuk berapa lama lagi? Pertanyaan inilah yang telah dijawab oleh beberapa penulis terkenal, seperti Francis Fukuyama, Emmanuel Todd (Prancis), Fareed Zakaria (warga Amerika kelahiran India), dan Johan Galtung (Norwegia).

Untuk mendukung nafsu imperiumnya, Amerika telah menguras uang pajak rakyatnya sendiri dalam angka triliunan dan mengorbankan rakyat bangsa lain serta rakyatnya sendiri di medan pertempuran. Semuanya ini dilakukan dengan berbagai helat dan pembenaran, apakah untuk mengekspor demokrasi atau hak-hak asasi manusia. Dalam perspektif ini, Amerika memang adalah sebuah negara imperialis yang datang terlambat dibandingkan dengan negara-negara Eropa pada abad-abad yang silam.

Todd menulis karya After the Empire: The Breakdown of the American Order/terj dari bahasa Prancis oleh C Jon Delogu(London: Constable, 2004). Judulnya sendiri sudah menunjukkan, imperium Amerika sedang berada di ujung tanduk. Fareed Zakaria di bawah judul yang lebih lunak The Post American World (London: Penguin Books, 2008), juga sudah melihat bahwa imperium Amerika akan segera berakhir. Di antara penulis itu, adalah Galtung yang telah mematok tahunnya, yaitu pada 2120, menjadi tahun kejatuhan imperium Amerika dengan buku terbarunya, The Fall of the US Empire-and then What? Successors, Regionalization or Globalization? US Fascism or US Blossoming?
(Oslo: Transcend University Press, 2009).

Francis Fukuyama, yang karyanya akan disinggung sebentar lagi, membaca posisi Amerika sedang berada di persimpangan jalan, sebuah koreksi terhadap karya sebelumnya yang sarat dengan optimisme tentang sistem kapitalisme dan demokrasi liberal. Mohon Tuan dan Puan jangan salah raba.
Yang akan tumbang bukan Republik Amerika, melainkan Amerika Serikat sebagai imperium dengan politik luar negerinya yang imperialistik yang ternyata telah menebarkan kekacauan dan permusuhan di seluruh jagat raya, khususnya sejak pascaPerang Dunia (PD) ke-2.

Juga, Tuan dan Puan jangan salah sangka. Semua penulis di atas adalah pencinta Amerika sebagai republik, sebagai bangsa, tetapi pembenci imperium Amerika, terutama terbaca dengan sangat jelas dalam karya Todd dan Galtung. Amerika sebagai bangsa dan negara, menurut para penulis itu, akan tetap utuh, bahkan mungkin semakin jaya karena petualangan politik luar negerinya yang menguras pajak rakyat Amerika itu akan terpaksa dihentikan.

Kita lihat optimisme Fukuyama. Setelah memenangi Perang Dingin dengan keruntuhan Uni Soviet pada 1989/1990, Amerika muncul sebagai satu-satunya adikuasa tanpa lawan yang berarti. Sistem komunisme Uni Soviet berantakan karena pembusukan dari dalam, sedangkan lawannya kubu kapitalisme seolah-olah telah jadi pemenang. Francis Fukuyama, filsuf sosial warga Amerika berdarah Jepang, mengukuhkan kemenangan ini dengan menulis buku The End of History and the Last Man (New York: Avon Books, 1992) yang ramai dibicarakan secara global. Seakan-akan kapitalisme dan demokrasi liberal merupakan puncak peradaban, tidak ada lagi yang unggul dari itu. Itulah capaian tertinggi dari sejarah. Kemudian, mengapa Fukuyama berubah pandangan ?

Dalam bacaan saya, jawabannya terkait dengan politik luar negeri Amerika yang jingoistik (cinta tanah air yang berlebihan) dan ekspansif. Akibatnya, pada era Presiden Bush terutama, selalu merasa terancam oleh kekuatan luar yang membahayakan negaranya, sesuatu yang sama sekali palsu. George Bush adalah seorang paranoid (hidup dalam ketakutan).
Suasana batin yang labil ini dimanfaatkan secara maksimal oleh gerakan Zionisme, demi eksistensi Israel yang sebenarnya tidak lain ialah sebuah negara teror. Berbeda dengan Todd dan Galtung yang anti-Zionisme, Fukuyama sendiri tampaknya tidak punya nyali yang cukup untuk berbicara terus terang tentang ideologis fasis ini.

Todd sekalipun menghindari menyebut Zionisme, tetapi melihat dengan jelas peran strategisnya dalam mencoraki politik Amerika, dalam dan luar negeri. Todd juga punya perasaan simpati atas nasib rakyat Palestina dalam cengkeraman kolonisasi Yahudi. Kita baca, “Ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dari hari ke hari oleh kolonisasi Yahudi atas sisa-sisa tanah mereka dengan sendirinya adalah sebuah penyangkalan terhadap prinsip persamaan, yang menjadi fondasi demokrasi. Bangsa-bangsa demokrasi lain, terutama di Eropa, tidak punya simpati tanpa syarat terhadap Israel seperti yang dirasakan Amerika.” (Todd, hlm 114).

Adalah sebuah keheranan besar, penduduk Yahudi Amerika hanyalah sekitar 2.2 persen (Todd, hlm 115) dari total rakyat Amerika, mengapa perannya demikian menentukan? Dengan runtuhnya imperium Amerika, jawaban terhadap pertanyaan ini akan lebih mudah diperkirakan. Artinya, peta politik global akan berubah secara drastis, dan nasib Israel akan jadi taruhan, karena pelindung utamanya telah menarik diri sebagai sebuah imperium.
Dan, tidak tertutup kemungkinan Palestina akan muncul sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Jika ini terjadi, terorisme akan surut secara dramatis dan tiba-tiba, karena raison d'trĂȘ (pembenaran eksistensi) utamanya sudah tidak ada lagi. Perasaan aman secara global akan mengikutinya sebab biang kerok kekacauan ini tidak lain dari politik luar negeri Amerika yang paranoid di bawah pengaruh kuat Zionisme, yang memang “bukan bagian dari kemanusiaan”, tulis Gilad Atzmon (lihat Resonansi, 13 Januari 2009 dan 10 Juni 2010). Bagi Galtung, untuk mengakhiri terorisme, akhiri lebih dulu terorisme negara, maksudnya Amerika dan Israel. (Telusuri artikel Galtung dan Dietrich Fischer via Google, 20 September 2002, di bawah judul “To End Terrorism, End State Terrorism”).

Fukuyama yang semula adalah bagian kekuatan neo-konservatif berubah 180 derajat setelah Presiden George Bush menyerang Iraq dan menggantung Saddam Hussein. Maka beberapa tahun kemudian, muncullah buku keduanya di bawah judul "America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy" (New Haven-London: Yale University Press, 2006) sebagai ralat terhadap optimismenya yang berlebihan tentang hari depan kapitalisme dan demokrasi liberal.
Jika buku ini ditulis setelah krisis keuangan Amerika tahun 2008, tentu analisis Fukuyama akan lebih tajam lagi. Ternyata kapitalisme dengan doktrin pasar bebasnya punya penyakit kronisnya tersendiri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh seorang Milton Friedman (31 Juli 1912-16 Nop. 2006), ekonom pro-pasar, pemenang Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1976, yang pernah dipuja dunia itu, termasuk oleh pengikutnya di Indonesia.

Karya Fukuyama ini masih perlu kita bicarakan lagi, terutama yang menyangkut isu jihad yang kemudian semakin menyebabkan Presiden George Bush jadi gelap mata untuk menyerang negara-negara yang dikatakan sebagai pusat terorisme dan senjata kimia pemusnah massal, semula Afghanistan kemudian Iraq. Akibat serangan imperialistik itu, dua bangsa Muslim ini berantakan dengan korban jiwa ratusan ribu. Tetapi, akibatnya bagi Amerika tidak kurang fatalnya: mempercepat proses kerontokan imperiumnya yang baru saja mencapai titik puncaknya pada 1991 (Zakaria, hlm 4).
Jika ramalan Galtung menjadi kenyataan nanti, daya tahan imperium Amerika hanyalah akan berumur setahun jagung, tidak bisa menandingi imperium Romawi kuno yang berlangsung selama lima abad. Apalagi, jika disandingkan dengan imperium Turki Usmani atau imperium Sriwijaya yang bertahan selama tujuh abad.

Sumber :  www.republika.co.id