Kamis, 31 Mei 2012

SOEDARYANTO " PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN "


Bahan diskusi dalam Dialog Wawasan Kebangsaan dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan oleh Gerakan Indonesia Bersatu Purbalingga  bekerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen Semarjati Purbalingga tanggal 31 Mei 2007, di Wisma Sejahtera, Purbalingga
PENGANTAR  
Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses glo­balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da­lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka­langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem­hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.
Forum malam hari ini, yang diselenggarakan oleh GIB Purbalingga be­kerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen Semarjati Purbalingga, di­samping untuk memperingati hari lahirnya Pancasila, tentunya juga merupa­kan ungkapan keprihatinan penyelenggaranya terhadap eksistensi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Sekarang banyak orang berta­nya, apakah Republik Indonesia masih berdiri kokoh di atas prinsip-prinsip Panca­­sila, ataukah sudah larut dalam arus deras globalisme yang banyak memabukkan pikiran para pejabat, politisi, ekonom, maupun cendikiawan. Hal ini perlu saya kemukakan, karena memang tidak banyak yang mau mema­hami bahwa globalisasi adalah bentuk baru dari perkembangan kapitalisme.
FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya batas antar­negara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan in­ternasional atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh peradaban global karena makin intensif­nya interaksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol kepatuhan warganya kare­na globalisasi bukan saja mengakibatkan internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.
Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi masalah ini diper­lukan adap­tasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung kehidupan ber­masyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat menyi­asati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko ter­jadinya khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi be­berapa tahun yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adap­tasi dan inovasi pranata-pranata pendukungnya.
Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga mempunyai keku­atan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka. Pemben­tukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat me­ma­tahkan semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang penga­laman dan kurang pendidikan.


ORDE REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kaca­mata ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenar­nya masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keran­jang, yaitu perahu yang akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan eko­nomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF). Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan po­litik pintu terbuka yang dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi­kan Indonesia ke dalam kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik pintu terbuka orde reformasi dimaksud­kan untuk menginte­grasikan Indonesia ke dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk meng­ga­bungkan sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga dipergunakan oleh Amerika Serikat un­tuk menyatakan bahwa setelah usainya perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika Se­rikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memi­lih sistem pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sen­diri, sedangkan dalam kerangka kerja masyarakat dunia sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal” seperti pasar bebas, liberalisasi perdagang­an, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya melalui cara yang seefisien mungkin.
Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan partai-partai.
PANCASILA DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk mem­­per­­luas kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara melalui agenda privati­sasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua persoalan masyarakat, Panca­sila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan so­sial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional.
Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mem­pertahankan hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi, melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.
Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi mem­berikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya ke­adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perkembangan global memang me­­mak­sa kita untuk mengakui bah­wa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalam­an bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga untuk  mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Catatan statis­tik me­nunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan per kapita yang sama, akan me­ngalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indo­nesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara In­donesia merdeka, atau dalam istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philoso­phische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan ne­gara Indo­nesia. Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, merupakan “suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno”.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung pada kehen­dak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa founding fathers negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana keba­tinan” yang terungkap dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan me­ne­rima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang ter­kandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Panca­sila itu mengungkap­kan pendirian dan pandangan hidup bersama bang­sa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan bersa­ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se­bagai “bintang penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di­capai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.
MEMBASISKAN PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma da­sar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penye­leng­gara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terha­dap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat di­perlukan agar praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne­gara selalu mencerminkan norma dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global) yang melanda Indonesia sekarang ini.
Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan Panca­sila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati imple­mentasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyele­saikan masalah bangsa di tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsa­an,  seperti yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerak­an kemerdekaan dulu. ***


PIDATO B.J. HABIBIE TENTANG PANCASILA


Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.
Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?
Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?
Para hadirin yang berbahagia,
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 — 66 tahun yang lalu — telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya.
Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.
Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “tidak Pancasilais” atau “anti Pancasila” . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!
Para hadirin yang berbahagia,
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.
Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi’ sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Para hadirin yang berbahagia,
Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus “membeli jam kerja” bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu “VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru”.
Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau “VOC-baju baru” itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan “jam kerja” bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan “Neraca Jam Kerja” tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan “nilai tambah” berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari “biaya tambah”; dengan ungkapan lain, “value added” harus lebih besar dari “added cost”. Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan’ lagi dalam kehidupan kita.
Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.
Para hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.
Wassalamu ‘alaikum wr wb.
Source: Detik.com (Teks pidato Habibie yang disampaikan dalam acara yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2011) dalam rangka memperingatan Hari Lahir Pancasila.)