Kamis, 31 Mei 2012

SOEDARYANTO " PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN "


Bahan diskusi dalam Dialog Wawasan Kebangsaan dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang diselenggarakan oleh Gerakan Indonesia Bersatu Purbalingga  bekerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen Semarjati Purbalingga tanggal 31 Mei 2007, di Wisma Sejahtera, Purbalingga
PENGANTAR  
Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses glo­balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da­lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka­langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem­hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.
Forum malam hari ini, yang diselenggarakan oleh GIB Purbalingga be­kerja sama dengan Komunitas Rakyat Marhaen Semarjati Purbalingga, di­samping untuk memperingati hari lahirnya Pancasila, tentunya juga merupa­kan ungkapan keprihatinan penyelenggaranya terhadap eksistensi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Sekarang banyak orang berta­nya, apakah Republik Indonesia masih berdiri kokoh di atas prinsip-prinsip Panca­­sila, ataukah sudah larut dalam arus deras globalisme yang banyak memabukkan pikiran para pejabat, politisi, ekonom, maupun cendikiawan. Hal ini perlu saya kemukakan, karena memang tidak banyak yang mau mema­hami bahwa globalisasi adalah bentuk baru dari perkembangan kapitalisme.
FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya batas antar­negara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan in­ternasional atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh peradaban global karena makin intensif­nya interaksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol kepatuhan warganya kare­na globalisasi bukan saja mengakibatkan internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.
Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi masalah ini diper­lukan adap­tasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung kehidupan ber­masyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat menyi­asati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko ter­jadinya khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi be­berapa tahun yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adap­tasi dan inovasi pranata-pranata pendukungnya.
Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga mempunyai keku­atan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka. Pemben­tukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat me­ma­tahkan semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang penga­laman dan kurang pendidikan.


ORDE REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kaca­mata ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenar­nya masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keran­jang, yaitu perahu yang akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan eko­nomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF). Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan po­litik pintu terbuka yang dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi­kan Indonesia ke dalam kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik pintu terbuka orde reformasi dimaksud­kan untuk menginte­grasikan Indonesia ke dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk meng­ga­bungkan sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga dipergunakan oleh Amerika Serikat un­tuk menyatakan bahwa setelah usainya perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika Se­rikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memi­lih sistem pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sen­diri, sedangkan dalam kerangka kerja masyarakat dunia sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal” seperti pasar bebas, liberalisasi perdagang­an, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya melalui cara yang seefisien mungkin.
Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan partai-partai.
PANCASILA DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk mem­­per­­luas kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara melalui agenda privati­sasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua persoalan masyarakat, Panca­sila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan so­sial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional.
Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mem­pertahankan hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi, melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.
Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi mem­berikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya ke­adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perkembangan global memang me­­mak­sa kita untuk mengakui bah­wa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalam­an bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga untuk  mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Catatan statis­tik me­nunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan per kapita yang sama, akan me­ngalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indo­nesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara In­donesia merdeka, atau dalam istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philoso­phische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan ne­gara Indo­nesia. Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, merupakan “suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno”.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung pada kehen­dak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa founding fathers negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana keba­tinan” yang terungkap dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan me­ne­rima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang ter­kandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Panca­sila itu mengungkap­kan pendirian dan pandangan hidup bersama bang­sa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan bersa­ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se­bagai “bintang penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di­capai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.
MEMBASISKAN PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma da­sar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penye­leng­gara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terha­dap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat di­perlukan agar praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne­gara selalu mencerminkan norma dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global) yang melanda Indonesia sekarang ini.
Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan Panca­sila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati imple­mentasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyele­saikan masalah bangsa di tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsa­an,  seperti yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerak­an kemerdekaan dulu. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar