Sabtu, 02 Juni 2012

"BERU GINTING SOPE MBELIN" Sebuah Cerita Legenda Masyarakat Karo


http://media.comicvine.com
Konon menurut ceritanya, di sebuah desa yang namanya disebut dengan Urung Galuh Simale ada sebuah keluarga Ginting Mergana dan istrinya Beru Sembiring, dengan seorang putri yang dipanggil dengan nama Beru Ginting Sope Mbelin.
Pekerjaan sehari-sehari keluarga Ginting Mergana bertani namun kondisi kehidupan mereka sangat miskin, karena ingin memperbaiki kondisi kehidupan rumah tangganya Ginting Merganya membuka usaha perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang, tidak lama kemudian usahanya ini berhasil dan mendapatkan banyak uang serta harta sehingga keberhasilan Ginting Mergana ini membuat cemburu adik kandungnya,  kemudian adiknya meracuni Ginting Mergana dan menyebabkan  Ginting Mergana meninggal dunia.
Empat hari setelah kematian Ginting Mergana beru Sembiring meninggal dunia, sehingga Beru Ginting Sope Mbelin menjadi anak yatim piatu. Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama Pakcik dan Makciknya tetapi  anak ini mendapat perlakuan kasar dan kejam, selalu dicaci-maki walau Beru Ginting Sope Mbelin melakukan pekerjaannya dengan benar dan beres.
Kekejaman Pakciknya  berulang kali terjadi karena memang ada niat buruknya untuk mendapatkan semua harta pusaka peninggalan ayah Beru Ginting Sope Mbelin, ada-ada saja upaya yang dilakukan Pakcik dan Makcik Beru Ginting Sope Mbelin untuk memperoleh harta warisan orang tua Beru Ginting Sope Mbelin,  tetapi tidak berhasil karena segala siasat dan tipu muslihat Pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Makcik dan Pakciknya selalu mencari-cari  kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, misalnya menyuruh menumbuk padi berbakul-bakul banyaknya , mencari kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal namun  Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakan semua pekerjaan itu  dengan baik dan cepat karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan, tetapi dia tetap dimarahi dan di caci-maki Makcik dan Pakciknya.
Untuk mengambil hati Makcik dan Pakciknya, Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “Aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana, Tetapi niat jahat Makcik dan Pakciknya tetap  tidak padam.  
Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya. Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu kembali di lain waktu.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan. Selanjutnya Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya pergi ke tepi pantai, di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan, berulang kali hal yang sama terjadi. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal maka kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan,  ditengah jalan paman Beru Ginting Sope Mbelin melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada Pakciknya Beru Ginting dan Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah dan tujuan naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya,  anehnya harimau itu tidak mencelakai  Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya akhirnya sampai pada sebuah gua. Penghuni gua  bernama Nenek Uban keluar menemuinya, dan membantunya karena Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin. Atas petunjuk Nenek Uban  Beru Ginting Sope Mbelin sampai di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”,  ketika sampai di sana keluarlah nenek Datuk Rubia Gande seiring  berkata: “Mari cucuku, jangan menangis, jangan takut”, dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin kemudian menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande, selanjutnya Beru Ginting  beranjak remaja dan  cantik sehingga ada jejaka yang ingin mempersuntingnya, tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengabulkannya, karena yang mengasuhnya  nenek Datuk Rubia Gande maka kepada setiap jejaka yang ingin melamarnya dia berkata : “Tanya saja pada nenek saya”. Dan neneknya juga berkata yang sama kepada setiap orang yang ingin memepersunting Beru Ginting Sope Mbelin : “tanya saja pada cucu saya !”. Karena jawaban yang diterima seperti itu akhirnya  orang yang ingin melamar bingung dan tidak mau lagi datang melamar.
Karena antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande ada rasa saling menghargai membuat mereka memberi jawaban yang sama pada setiap orang yang ingin melamarnya,  kemudian ada kesepakatan diantara mereka bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya nenek Datuk Rubia Gande memenuhi permintaan cucunya dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana Penghulu Kacaribu berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa, dan akhirnya Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana Penghulu Kacaribu dikawinkan oleh nenek Datuk Rubia Gande.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke kampong tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan Beru Ginting,  Nenek Datuk Rubia Gande menyetujuinya dan merestui keberangkatan mereka. Kemudian berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana, mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala, di sana mereka berjumpa dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita dan berhati sedih, kini mereka bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana bermalam di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua Sibayak,  kepada mereka disediakan pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya diatur dengan baik,  perangkat gendang yang lengkap dan makanan cukup banyak. Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah menuju kampungnya karena niat tulus dan niat baik Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi.
Pakcik Beru Ginting Sope Mbelin, juga seorang dukun, mempunyai firasat kurang baik, maka ketika Beru Ginting Sope Mbelin tiba di kampungnya, Pakciknya  bersama keluarganya bersembunyi di atas para-para rumah, tetapi akhrinya diketahui  Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya merasa malu dan tidak mengira Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya Karo Mergana.
Sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati Pakcik dan Makciknya  maka tubuh mereka ditanam sampai bahu,  masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat “Siwaluh Jabu” di Taneh Karo. Itulahbentuk  hukuman bagi orang yang berhati jahat terhadap saudaranya.
Sumber: Alm. DR. Henry Guntur Tarigan

MEJUAH-JUAH MAN BANTA KERINA... "Mbuah Page Nisuan-Merih Manuk Niasuh"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar