Selasa, 12 Juni 2012

MEMAKNAI FILM "SOEGIJA" PADA TEMPATNYA


Film Soegija yang telah tayang di beberapa bioskop Indonesia mendapat sambutan yang hangat, baik dilihat dari jumlah penonton yang menikmati tayangan ini dan bentuk tanggapan yang mengemuka tentang film tersebut. Disatu sisi,  tingginya jumlah peminat film ini menjadi indikator bahwa Mgr Albertus Soegijapranata SJ memiliki peranan dan nama yang telah melekat di mata masyarakat, namun disisi lain pemutaran film Soegija tenyata tidak sepi dari tanggapan negatif,salah persepsi dan apriori yaitu munculnya anggapan bahwa film tersebut bernuansa gerakan “kristenisasi”.
Tanggapan miring ini membuat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menanggapi  bahwa film Soegija  mengangkat sosok Uskup Soegijapranata yang menggambarkan nasionalisme seorang pemimpin umat katolik, bukan media kristenisasi, dan menggambarkan peran Uskup Soegijapranata dalam perjuangan bangsa.
Ungkapan Sri Sultan Hamengku Buwono X ini merupakan salah satu hembusan angin sejuk yang mengajak kita agar menempatkan posisi film Soegija dalam tempat yang selayaknya, dan menjauhkan kita dari prasangka yang tidak konstruktif. Berdasarkan alur ceritera dalam film tersebut, sebenarnya film Soegija ini sarat dengan sejarah kehidupan, sikaf atau karakter  dan peranan Uskup Soegijapranata dalam menghadapi zaman penjajahan, dan pandangan pribadinya tentang rasa nasionalisme serta kemerdekaan Indonesia. Sehingga film ini tidak ubahnya sebagai sebuah film drama efik sejarah dan tidak ubahnya seperti sebuah biografi.
Bagi umat Katolik di Indonesia keberadaan Mgr. Soegijapranata  memiliki peranan sangat penting dalam sejarah agama Katolik di Indonesia, Soegijapranata adalah uskup pertama di Indonesia yang berasal dari warga pribumi. Mengingat kondisi saat itu dimana wilayah Hindia Belanda atau Indonesia sekarang sedang dalam suasana pendudukan penjajah dan mayoritas imam Katolik saat itu berasal dari Barat maka pentahbisan menjadi Uskup bagi Soegijapranata merupakan sebuah catatan sejarah menarik bagi umat Katolik.
Mgr. Albertus Soegiyopranoto.SJ lahir di Surakarta pada tanggal 25 November 1896, Lahir dari keluarga sederhana kejawen abdi dalem Keraton Surakata dengan nama kecil Soegiyo.Pada awalnya pandangannya tentang Katolik sangat buruk karena dianggapnya sebagai agama penjajah. Akan tetapi, lewat pendidikan beliau menemukan pengenalan Kristus lebih mendalam lewat Gereja Katolik, ia pun bersedia dibabtis dengan mengambil pelindung babtisnya Albertus Magnus. Bahkan setamat dari pendidikan Kolose Xaverius, beliau melanjutkan pendidikannya sebagai imam dan ditakbiskan pada  15 Agustus 1931.
Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang isinya mengangkat  Albert Soegijapranata, SJ sebagai pemimpin wilayah Semarang dengan gelar Uskup tanpa wilayah Keuskupan (=Vikaris Apostolik, karena pada saat itu belum dibentuk Keuskupan Agung Semarang).  Surat tersebut ditandatangani oleh Cardinal Montini yang kelak menjadi Paus Paulus VI.
Selain karena faktor latar belakang sejarah kehidupan dan panggilannya menjadi imam Katolik dan kemudian menjadi Uskup, perjalanan kehidupan yang menarik dalam diri Soegijapranata adalah peranannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga kemudian hari diangkat sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
Kisah kepahlawanan beliau inilah yang diangkat ke layar lebar dengan film Soegija, yang pada intinya cerita tentang perjuangan berdasarkan  cerita dari catatan harian  Mgr. Soegijapranata, SJ.,  dengan latar belakang perang kemerdekaan Indonesia,  dan pendirian  Republik Indonesia Serikat pada periode tahun 1947 - 1949. Film ini mengambil latar daerah Yogyakarta  dan Semarang.

Film Soegija pada intinya, menggambarkan peran Uskup Soegijopranoto dalam perjuangan bangsa Pendudukan Jepang (1942-1945).___ *)

” Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.”
Itulah jawaban heroik Rama Kanjeng saat Gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas tentara.
Masuknya tentara Jepang dalam kancah peperangan menjadikan Perang Dunia ke-2 semakin memanas. Tanggal 8 Desember 1941 tentara Jepang menyerang sebuah Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour dan juga mengobarkan Perang Pacific termasuk Hindia Belanda dan berhasil merebut wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda.
Salib berat Rama Kanjeng Soegijapun mulai dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang.
Para imam, suster dan tenaga-tenaga Gereja ditangkap dan dimasukkan ke interniran.
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam dan suster disita, tidak terkecuali seminari menengah.
Anak-anak jawa dipulangkan, para seminaris dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam diaspora. Tinggallah Rama Kanjeng bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman umat di wilayah Vikariat Semarang.
Pada kesempatan lain, Gereja Atmodirono akan  disita tentara Jepang.
Segera Rama Kanjeng meminta orang-orang untuk mengisi ruangan-ruangan yang kosong dan supaya pintu-pintu itu diberi nama Romo-Romo supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya.
Dengan cara-cara seperti inilah Rama Kanjeng berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja.
Peralihan Kekuasaan  Jepang.
Serangan balik bom atom Amerika atas Hirosima dan Nagasaki mengakhiri ekspansi Jepang di wilayah Asia Pasifik.
Dalam kondisi kekosongan pemerintahan ini, Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pemerintahan Jepang diambil alih oleh Sekutu yang dipimpin oleh Inggris menjadi ancaman berat bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka ini adalah penyusupan Belanda dengan maksud ingin menguasai kembali wilayah Indonesia.
Pada masa-masa peralihan antara pemerintahan Jepang dengan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda dan sekaligus masa berdirinya Indonesia sebagai bangsa inilah peran Rama Kanjeng juga cukup besar sebagai Pimpinan Gereja Katolik sekaligus sebagai warga negara Indonesia.
Pertempuran 5 hari di Semarang.
Hari itu adalah hari kedatangan tentara sekutu di kota Semarang.
Kota Semarang telah diblokade oleh tentara Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum hari-hari mencekam itu. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Rama Kanjeng untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Rama Kanjeng mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang dan berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran Gedangan. Dari Perundingan itu Rama Kanjeng juga mendapatkan info dari Pimpinan Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober 1945 itu tentara Jepang akan menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel.
Rama Kanjeng tidak hanya berhasil menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh keunggulan diplomasi Rama Kanjeng pada kedua pimpinan tentara Jepang dan Inggris.
Keadaan Rakyat.
Perang 5 hari di Semarang menjadi kondisi rakyat Semarang sangat menderita.
Kelaparan terjadi dimana-mana, listrik dan air mati, harga beras dan bahan makanan yang tersisa naik dan tidak terjangkau oleh rakyat.
Penyambutan Presiden Sukarno di Yogyakarta.
Kondisi ini mengakibatkan kerusuhan besar di Semarang, perampokan dan penjarahan terjadi dimana-mana.
Jam malam mulai diberlakukan lagi. Kondisi yang semakin parah ini menumbuhkan keprihatinan bagi tokoh-tokoh masyarakat kota Semarang termasuk Rama Kanjeng. Oleh karena itu pada tanggal 20 November 1945 dibentuklah Komite Penolong Rakyat yang diketuai R.S Dwijosewoyo (Katolik)  dan RM. Sadat Kadarisman (Islam).
Kerja keras KPR ini dirasa sungguh-sungguh membantu memulihkan kembali kondisi masyarakat Semarang.
Rama Kanjeng juga ikut membantu berdiplomasi dengan cara mengutus utusan ke Jakarta untuk bertemu dengan Perdana Menteri saat itu Sutan Syahrir.
Pemerintah Pusat segera mengutus Mr. Wongsonegoro untuk meninjau kota Semarang serta pengiriman beras dan bahan makanan untuk rakyat.
Untuk mendukung perjuangan Indonesia yang masih muda, Rama Kanjeng memindahkan pusat pelayanan dari Semarang ke Yogyakarta pada 13 Februari 1947, yang saat itu juga pemerintahan Indonesia berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Agresi Belanda I
Malam hari tanggal 21 Juli 1947, hari itu Rama Kanjeng ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi, suara sirine meraung dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan.
Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan.
Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan dan Rama Kanjeng untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta yang dibacakan pada tanggal 1 Agustus 1947, di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam.
Pada kesempatan pidato itu Rama Kanjeng juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Isi pidato itu adalah:
  1. Desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak.
  2. Pernyataan sikap umat Katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
  3. Pidato ini juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih atas pembangunan Negeri Belanda diatas penderitaan bangsa Indonesia dan himbauan agar ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Agresi Belanda II
Usaha-usaha gencatan senjata dilakukan melalui dukungan beberapa negara anggota PBB sampai ditandatanganinya Perjanjian Renville.
Akan tetapi pada  pagi hari pukul 05.30 pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia, yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda II dimana Kota Yogyakarta diblokade Presiden  Soekarno dan Wakil Presiden Hatta ditangkap.
Dalam kondisi sulit ini, Rama Kanjeng ikut merawat keluarga Soekarno.
Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Rama Kanjeng juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan dukungan terhadap perjuangan Sri Sultan.
Pada masa blokade ini Rama Kanjeng juga tetap didatangi imam-imam dan umatnya.
Disetiap kesempatan Romo Kanjeng selalu berpesan agar umat Katolik ikut prihatin dengan situasi bangsa serta meminta supaya natal dirayakan dengan sederhana.
Suatu hari beliau juga dikunjungi pemuda-pemuda Katolik.
Mereka bertanya, sebagai umat Katolik apakah mereka juga harus ikut berjuang.
Pertanyaan itu membuat Rama Kanjeng marah. Dengan nada marah Rama Kanjeng meminta pemuda-pemuda itu untuk pergi berjuang dan kembali kalau sudah mati.
Walaupun demikian, Beliau juga dengan berani menghadap kedua kubu-kubu yang bertikai untuk mengusahakan perdamaian dan pembicaraan diantara keduanya.
Sementara Rama Kanjeng ini sendiri dengan kepiawaiannya berdiplomasi, beliau berhasil menembus blokade Belanda dengan tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat.
“… aksi militer tersebut untuk merebut yang telah hilang,
dilakukan untuk membalas semua kekalahan,
mencoba menghidupkan kembali apa yang sudah mati,
mencoba memperbaiki dengan kekerasan senjata,
dengan menunjukan semua noda dan menghina yang menderita.”
kritikan atas serangan Agresi Belanda I di Majalah ANP 16 Mei 1949 yang terbit di Amsterdam.
Tulisan-tulisan ini membuka mata dunia tentang situasi yang terjadi di Indonesia, tentang ketidakadilan bangsa Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Belanda memang berhasil memblokade Pusat pemerintahan, tetapi gagasan-gagasan dari Rama Kanjeng tidak bisa diblokade dimana pikiran-pikirannya menembus batas diplomasi yang ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh merdeka.
Akhir Perang Kemerdekaan, Berhadapan Dengan Komunis
Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani tanggal 27 Desember 1949 Rama Kanjeng kembali pindah ke Semarang dan mulailah berkarya sebagai Uskup pada jaman kemerdekaan.
Salah satu yang masih menjadi perhatiannya adalah serangan ideologi komunis yang mulai berkembang di Indonesia pada jaman itu dan sudah ia waspadai sejak muda.
Pada masa itu Rama Kanjeng dengan dibantu Rama Djikstra mulai bekerja di bidang sosial dan ekonomi.
Saat itu mulai dibentuklah serikat-serikat buruh, petani, dan nelayan yang diberi nama Panca Sila. Maka mulailah dikenal Buruh Panca Sila, Petani Panca Sila, dan Nelayan Panca Sila untuk menghadapi ideologi komunis yang mulai merebak.
Akhir Hidupnya
Pada tahun 1963, di lingkungan Gereja sendiri pada masa itu terjadi Konsili Vatikan II.
Dalam kondisi sakit, Rama Kanjeng harus banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka konsili.
Dalam perjalanan Konsili dan berobat, beliau singgah di Belanda untuk  mengunjungi keluarga-keluarga misionaris Belanda yang bekerja di Indonesia dan ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Kelelahan ini tidak dirasakan lagi, sampai pada malam hari pukul 22.20 tanggal 22 Juli 1963 beliau meninggal dunia di negeri Belanda.
Berita meninggalnya Rama Kanjeng langsung tersebar dan sampai juga ke telinga Soekarno dan atas perintah Presiden Soekarno, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, dalam upacara kemiliteran.
Sebagai Uskup ABRI yang pertama, ia diberi pangkat Jenderal (Anumerta) dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.
___*).Disadur  dari tulisan FX. MURTI HADI WIJAYANTO SJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar