Jumat, 06 Juli 2012

KETIKA TUHAN MENCIPTAKAN WANITA

Ketika Tuhan menciptakan wanita, malaikat datang dan bertanya,
“Mengapa begitu lama menciptakan wanita, Tuhan?”
Tuhan menjawab,
“Sudahkah engkau melihat setiap detail yang saya ciptakan untuk wanita?” Lihatlah dua tangannya mampu menjaga banyak anak pada saat bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan, dan semua itu hanya dengan dua tangan“.

Malaikat menjawab dan takjub,
“Hanya dengan dua tangan? tidak mungkin!
Tuhan menjawab,
“Tidakkah kau tahu, dia juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari“.

Malaikat mendekat dan mengamati wanita tersebut dan bertanya,
“Tuhan, kenapa wanita terlihat begitu lelah dan rapuh seolah-olah terlalu banyak beban baginya?”
Tuhan menjawab,
“Itu tidak seperti yang kau bayangkan, itu adalah air mata.”
“Untuk apa?“, tanya malaikat.

Tuhan melanjutkan,
“Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan, dan kebanggaan, serta wanita ini mempunyai kekuatan mempesona laki-laki, ini hanya beberapa kemampuan yang dimiliki wanita. Dia dapat mengatasi beban lebih dari laki-laki, dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri, dia mampu tersenyum saat hatinya menjerit, mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan. Dia berkorban demi orang yang dicintainya, dia mampu berdiri melawan ketidakadilan, dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang, dia girang dan bersorak saat kawannya tertawa bahagia, dia begitu bahagia mendengar suara kelahiran. Dia begitu bersedih mendengar berita kesakitan dan kematian, tapi dia mampu mengatasinya. Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.”

“Cintanya tanpa syarat. Hanya ada satu yang kurang dari wanita, Dia sering lupa betapa berharganya dia ..”


(DuniaPustaka.com)

Senin, 02 Juli 2012

IMF LEMBAGA TIDAK DEMOKRATIS DAN DOMINASI KEPENTINGAN KAPITALISME

www.kompasiana.com/daudginting

Berbicara tentang IMF (International Monetary Fund) sering mengundang rasa curiga dan penilaian negative, terutama bagi sebagian kalangan di Indonsia karena lembaga ini memang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan terselubung para negara-negara maju secara ekonomi seperti Amerika Serikat dan Beberapa Negara Eropa. Sehingga IMF sering dianggap identik dengan lembaga moneter yang mengemban misi para kapitalis.
Pandangan sinis terhadap IMF kembali mengemuka di Indonesia karena disulut oleh sinyal yang diutarakan oleh pemerintah melalui menteri keuangan yang mempunyai rencana akan memberikan pinjaman kepada IMF sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9,4 triliun berasal dari cadangan devisa Indonesia untuk membantu negara-negara dunia yang tengah menghadapi krisis.
Alasan beberapa elemen masyarakat mengkritisi rencana pemerintah ini sebagai berikut
Pertama : Masih dominannya peran negara maju dalam pengambilan keputusan dalam organisasi IMF menunjukkan bahwa lembaga ini semakin menunjukkan ujudnya sebagai perpanjangan tangan kapitalisme.
Kedua : Deregulasi, privatisasi dan pengetatan anggaran sosial masih menjadi resep generik IMF kepada negara peminjam. Upaya untuk mereformasi persyaratan utang IMF kepada negara peminjam juga jauh dari harapan. Kebijakan pengetatan fiskal dan moneter masih diberlakukan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF, termasuk di Eropa saat ini.
Umumnya persyaratan yang dikenakan adalah membatasi atau mengurangi pengeluaran pemerintah untuk anggaran publik, membatasi defisit anggaran, mencabut berbagai subsidi publik, privatisasi dan liberalisasi seluruh sektor perekonomian.
Ketiga : Utang IMF untuk mengatasi krisis Eropa hanya menguntungkan bank-bank besar penyebab krisis di Amerika dan Eropa, Bank-bank swasta Jerman dan Perancis adalah pemilik 70% dari total utang Yunani. Sehingga pemberian pinjaman oleh IMF kepada pemerintah Yunani akhirnya digunakan untuk membayar utang kepada bank-bank swasta tersebut. Sebagaimana terjadi pada Indonesia tahun 1997/1998 yang menunjukkan bahwa resep ekonomi IMF telah menyebabkan beralihnya utang swasta menjadi utang pemerintah, bahkan hingga sekarang, hampir 60 triliun setiap tahunnya dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap tersebut.
Keempat : Pemerintah SBY dianggap lebih mementingkan membangun citra di panggung internasional daripada memikirkan kondisi rakyat Indonesia, pemberian sejumlah dana kepada IMF mengusik rasa keadilan. Pemerintah dipandang lebih mandahulukan kepentingan IMF daripada menambah anggaran pendidikan, kesehatan, pertanian, nelayan, anggaran pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.
Christine Lagarde Managing Director IMF mengatakan, negara-negara anggota IMF telah sepakat mengumpulkan US$ 456 miliar (Rp 4.300 triliun) dana baru yang akan digunakan untuk mengantisipasi krisis ekonomi global. Dana yang akan dikumpulkan itu nilainya lebih tinggi US$ 26 miliar dari target yang ditetapkan pada bulan April 2012.Kemudian Christine Lagarde mengemukakan bahwa China akhirnya menjanjikan US$ 43 miliar dana baru bagi IMF setelah dua bulan tidak member keputusan dan kepastian berapa nilai yang akan mereka tawarkan.
Munculnya kritisi dan keengganan untuk memberikan kontribusi dana kepada IMF tidak dapat dilepaskan dari keenganan IMF yang tidak sudi mereformasi lembaga itu, dan saratnya kepentingan para negara-negara industry maju didalamnya, dan system kuota dan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak adil dalam lembaga tersebut.
Negara-negara anggota IMF mempunyai kewajiban memberikan kontribusi sejumlah dana kepada IMF sebagai deposit dan penyertaan yang disebut dengan kuota (quota subscription), besarnya kuota ini dipergunakan IMF sebagai dasar untuk menetapkan akses pembiayaan yang dapat ditarik oleh suatu Negara anggota dalam bentuk pinjaman dalam rangka mengatasi kesulitan keuangan, artinya semakin besar kontribusi suatu Negara maka semakin besar dana yang dapat dipinjam dari IMF, dan besarnya kontribusi dana yang disetorkan oleh suatu Negara akan menentukan besarnya “Voting Power” masing-masing Negara, artinya besarnya kuota suatu Negara menentukan besarnya voting power suatu Negara dalam pengambilan keputusan dalam IMF.
Semakin besar kuota yang dimiliki suatu Negara maka semakin besar voting power suatu Negara dalam organisasi IMF, sampai hari ini Negara yang memiliki voting power terbesar adalah Amerika Serikat dan kelompok Negara-negara Eropa.
Isu tentang voting power ini semakin mendapat kritisi dewasa ini dan menjadi salah satu variable yang menunjukkan bahwa IMF sebenarnya sebuah lembaga yang tidak demokratis, hal ini juga dapat dilihat dalam proses penentuan posisi Dewan Eksekutif IMF, dalam Articles of Agreement IMF disebutkan bahwa Negara anggota dengan share kuota yang termasuk dalam lima besar secara otomatis dapat menunjuk Direktur Eksekutif untuk mewakili Negara mereka.
Ketidakseimbangan ini dianggap akan menimbulkan terjadinya ketimpangan selanjutnya dalam berbagai aspek, misalnya pengambilan keputusan, monitoring, prioritas kebijakan, dan komposisi Direktur Eksekutif akan mempengaruhi kepentingan dan prioritas kebijakan yang cenderung akan mementingkan kepentingannya masing-masing asal Negara Direktur Eksekutif tersebut.
Isu seputar voting power ini semakin sering digugat sebagai bagian kritik terhadap IMF dalam aspek governance IMF dan system kuota dan voting power yang diterapkan IMF selama ini cenderung menimbulkan distorsi dan ketidakseimbangan karena Negara industry maju sangat mendominasi dan menguasai voting power yaitu sebesar 60 % sedangkan Negara-negara lainnya hanya memiliki voting power sebesar 40 %.
Mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang berencana akan memberikan dana pinjaman kepada IMF bukan hanya sekedar antipati terhadap kebijakan IMF yang selama ini hanya menyalurkan kepentingan para negara-negara maju yang kapitalis, tetapi dalam kritisi tersebut tersirat suatu gugatan terhadap mekanisme organisasi IMF yang dianggap sebagai sebuah lembaga tidak demokratis. Dalam wacana hangat dewasa ini, dimana negara-negara anggota IMF diminta mengumpulkan dana untuk dipergunakan oleh dan untuk membantu krisis keuangan negara-negara yang memiliki dominasi kekuatan dalam mengambil kebijakan dalam lembaga IMF menjadi sebuah pertanyaan besar  dan mengundang gugatan karena dipandang tidak adil dan mengusik rasa ketidak adilan dan cenderung hanya mengeksploitasi negara-negara diluar negara industri maju.
Jika IMF ingin mendapatkan respon positif maka salah satu hal yang mesti dilakukan oleh IMF adalah mereformasi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha menjadi sebuah lembaga yang berkeinginan dan bertujuan membangun kembali sistem ekonomi internasional dan membina kerjasama internasional dibidang moneter sebagai tujuan utamanya ketika didirikan paska perang dunia kedua.

Jadi Gubernur Sumatera Utara “di Tepi Pintu Penjara”

Beberapa minggu terakhir di bulan Juni 2012, Sumatera Utara yang berada di ujung pulau Sumatera dibanjiri berita hangat tentang bakal calon Gubernur Sumatera. Berbagai surat kabar terbitan Medan penuh dengan berita tentang pigur-pigur calon Gubernur. Seiring dengan berita hangat yang tersaji di media massa maka wacana dan obrolan tentang calon gubernur ini juga menjadi pembicaraan masyarakat Sumatera Utara mulai dari ruang perkantoran yang memiliki pasilitas Air Conditioner hingga sampai warung kopi  atau warung tuak di sudut desa paling terpencil.
Berkat informasi yang disampaikan media massa tentang pencalonan Gubernur, masyarakat pedesaan yang berjarak demikian jauh dari pusat ibukota Propinsi Sumatera Utara juga turut larut dalam hiruk pikuk dalam perbincangan dan mengkritisi tingkah para peminat menjadi Gubernur Sumatera Utara, kebetulan sampai saat ini nama-nama yang bermunculan kepermukaan sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara jumlahnya lumayan banyak, puluhan orang jumlahnya, dengan latar belakang pendidikan, jabatan, pengalaman dan partai yang beraneka ragam.
Suatu ketika di sebuah warung kopi di sebuah desa di sebuah Kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Nangroe Darusalam, saya tiba-tiba mendengar celotehan seorang pengunjung warung tersebut ” Wah.. Banyak juga ya yang berminat jadi Gubsu (Gubernur Sumatera Utara) ini !!!” Ucap seorang pria dewasa yang sedang membaca sebuah koran terbitan Medan. Mendengar ucapan sang Bapak yang berprofesi sebagai seorang petani tersebut, seorang pengunjung lain warung tersebut yang berprofesi sebagai supir Angkutan Antar Desa menimpali “Enak memang daya tariknya jadi Gubernur itu, seperti semut mencari gula-lah“.
Sebagaimana lajimnya di warung kopi, apabila sudah ada yang memulai mengangkat sebuah topik menarik maka dialog dan perdebatan di warung akan saling sahut menyahut tanpa menghiraukan latar belakang masing-masing, siapa saja bisa ikut menyampaikan tanggapan dan gagasannya, sehingga suasana akan menjadi ramai dengan adu argumentasi mengalahkan keseruan adu argumentasi para wakil rakyat di gedung DPR RI.
Para pengunjung kedai kopi juga menikmati suasana seperti ini, dan menganggap kebebasan mengemukakan pendapat dengan gaya bebas seperti ini merupakan kebebasan yang sesungguhnya yang dimiliki masyarakat pedesaan di Sumatera Utara, warung kopi memang tempat mereka untuk saling bertukar informasi dan saling beradu argumentasi tanpa menghiraukan tinggi rendahnya mutu atau kualitas argumen yang disampaikan, karena memang adu argumentasi di warung kopi bebas tanpa sekat, mumpung bicara belum dikenakan pajak jawab mereka jika ada yang mengkritisi kebiasaan adu argumentasi yang sering tidak jelas ujung dan pangkalnya di warung kopi itu.
Namun yang menjadi menarik bagi saya, ternyata diantara dialog yang mengemuka diantara pengunjung warung kopi tersebut, ada juga kalimat-kalimat yang disampaikan masyarakat pedesaan tersebut yang menarik, bermutu bahkan sangat layak untuk dipermenungkan sebagai bahan dialog dalam bathin.
Misalnya, menanggapi jumlah bakal calon Gubernur Sumatera yang lumayan banyak, ada pengunjung warung kopi tersebut yang menanggapi dan berkata ” Apa sebenarnya yang ingin dicari  para orang-orang yang ingin menjadi Gubernur tersebut sehingga peminatnya sangat banyak ?”. Bahkan ada juga pengunjung yang lain berujar “Ternyata masih banyak juga mantan-mantan pejabat atau pengusaha yang masih ingin tetap mempertaruhkan hidupnya di tepi pintu penjara !!!”
Tanggapan terakhir tentang “Tepi Pintu Penjara” ini menjadi salah satu bahan perbincangan paling banyak mengundang perdebatan diantara pengunjung warung tersebut. Istilah atau kalimat “Tepi Pintu Penjara” ini juga saya peroleh dari perdebatan di warung tersebut, saya sendiri merasa kagum dan salut atas kata-kata yang diramu masyarakat yang bermukim di pedesaan ini. Istilah tersebut penuh makna philosopis karena menggambarkan bahwa menjadi pejabat saat ini, baik menjadi Bupati maupun Gubernur serta jabatan politis lainnya sangat gampang masuk penjara, dan inilah kasus terbesar yang terjadi menimpa para elit politik daerah maupun politisi tingkat pusat dewasa ini, dan ternyata hal tersebut juga menjadi bahan pengamatan para saudara kita yang bermukim di pedesaan, sebuah wacana yang aktual dan cerdas di mata warga desa.
Dan ketika mereka mencermati dan membahas beberapa pigur bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang muncul beberapa minggu terakhir ini, masyarakat desa yang ada di warung kopi tersebut juga memberi penilaian bahwa banyak diantara bakal calon tersebut yang diindikasikan tidak luput dari praktek korupsi selama ini sehingga jika nanti terpilih menjadi Gubernur juga akan tetap melanggengkan praktek korupsi tersebut.
Kekuatiran terhadap Gubernur Sumatera Utara yang akan terpilih nantinya merupakan tokoh-tokoh elit politik yang sarat dengan praktek korupsi ini ternyata membuat masyarakat apatis dan tidak antusias untuk berbicara tentang pigur terbaik dan berkualitas, bahkan masyarakat beranggapan bahwa siapapun yang akan terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara praktek korupsi tidak akan dapat dihindarkan apalagi dibasmi, oleh karena itu masyarakat berpendapat dalam pemilihan Gubernur (Pilkada) yang akan datang masyarakat juga akan melakukan pilihan dengan pertimbangan untung rugi bagi masyarakat secara pribadi.
Nah,  artinya : Dalam melakukan pilihan masyarakat sekarang ternyata sudah membuat perhitungan, dan perhitungan tersebut dalam bentuk “Pragmatisme” dan serba “Instan”. Perhitungan tersebut tidak lain tidak bukan “Ada Uang Ada Pemberian Suara”, alasan mereka sederhana saja, siapapun yang akan menjadi Gubernur mereka akan memperkaya dirinya sendiri, kelompok dan koroninya, maka rakyat juga berpikir yang sama, siapa mampu bayar itu yang dipilih…. ????”
Ini sekilas pembicaraan di warung kopi yang sempat terekam benak saya ketika mengunjungi sebuah desa di ujung pulau Sumatera. Ironis memang tetapi perlu juga kita renungkan apakah sudah se-pragmatis itu kehidupan sosial dan politik masyarakat kita dewasa ini ????