Senin, 02 Juli 2012

IMF LEMBAGA TIDAK DEMOKRATIS DAN DOMINASI KEPENTINGAN KAPITALISME

www.kompasiana.com/daudginting

Berbicara tentang IMF (International Monetary Fund) sering mengundang rasa curiga dan penilaian negative, terutama bagi sebagian kalangan di Indonsia karena lembaga ini memang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan terselubung para negara-negara maju secara ekonomi seperti Amerika Serikat dan Beberapa Negara Eropa. Sehingga IMF sering dianggap identik dengan lembaga moneter yang mengemban misi para kapitalis.
Pandangan sinis terhadap IMF kembali mengemuka di Indonesia karena disulut oleh sinyal yang diutarakan oleh pemerintah melalui menteri keuangan yang mempunyai rencana akan memberikan pinjaman kepada IMF sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9,4 triliun berasal dari cadangan devisa Indonesia untuk membantu negara-negara dunia yang tengah menghadapi krisis.
Alasan beberapa elemen masyarakat mengkritisi rencana pemerintah ini sebagai berikut
Pertama : Masih dominannya peran negara maju dalam pengambilan keputusan dalam organisasi IMF menunjukkan bahwa lembaga ini semakin menunjukkan ujudnya sebagai perpanjangan tangan kapitalisme.
Kedua : Deregulasi, privatisasi dan pengetatan anggaran sosial masih menjadi resep generik IMF kepada negara peminjam. Upaya untuk mereformasi persyaratan utang IMF kepada negara peminjam juga jauh dari harapan. Kebijakan pengetatan fiskal dan moneter masih diberlakukan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF, termasuk di Eropa saat ini.
Umumnya persyaratan yang dikenakan adalah membatasi atau mengurangi pengeluaran pemerintah untuk anggaran publik, membatasi defisit anggaran, mencabut berbagai subsidi publik, privatisasi dan liberalisasi seluruh sektor perekonomian.
Ketiga : Utang IMF untuk mengatasi krisis Eropa hanya menguntungkan bank-bank besar penyebab krisis di Amerika dan Eropa, Bank-bank swasta Jerman dan Perancis adalah pemilik 70% dari total utang Yunani. Sehingga pemberian pinjaman oleh IMF kepada pemerintah Yunani akhirnya digunakan untuk membayar utang kepada bank-bank swasta tersebut. Sebagaimana terjadi pada Indonesia tahun 1997/1998 yang menunjukkan bahwa resep ekonomi IMF telah menyebabkan beralihnya utang swasta menjadi utang pemerintah, bahkan hingga sekarang, hampir 60 triliun setiap tahunnya dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap tersebut.
Keempat : Pemerintah SBY dianggap lebih mementingkan membangun citra di panggung internasional daripada memikirkan kondisi rakyat Indonesia, pemberian sejumlah dana kepada IMF mengusik rasa keadilan. Pemerintah dipandang lebih mandahulukan kepentingan IMF daripada menambah anggaran pendidikan, kesehatan, pertanian, nelayan, anggaran pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.
Christine Lagarde Managing Director IMF mengatakan, negara-negara anggota IMF telah sepakat mengumpulkan US$ 456 miliar (Rp 4.300 triliun) dana baru yang akan digunakan untuk mengantisipasi krisis ekonomi global. Dana yang akan dikumpulkan itu nilainya lebih tinggi US$ 26 miliar dari target yang ditetapkan pada bulan April 2012.Kemudian Christine Lagarde mengemukakan bahwa China akhirnya menjanjikan US$ 43 miliar dana baru bagi IMF setelah dua bulan tidak member keputusan dan kepastian berapa nilai yang akan mereka tawarkan.
Munculnya kritisi dan keengganan untuk memberikan kontribusi dana kepada IMF tidak dapat dilepaskan dari keenganan IMF yang tidak sudi mereformasi lembaga itu, dan saratnya kepentingan para negara-negara industry maju didalamnya, dan system kuota dan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak adil dalam lembaga tersebut.
Negara-negara anggota IMF mempunyai kewajiban memberikan kontribusi sejumlah dana kepada IMF sebagai deposit dan penyertaan yang disebut dengan kuota (quota subscription), besarnya kuota ini dipergunakan IMF sebagai dasar untuk menetapkan akses pembiayaan yang dapat ditarik oleh suatu Negara anggota dalam bentuk pinjaman dalam rangka mengatasi kesulitan keuangan, artinya semakin besar kontribusi suatu Negara maka semakin besar dana yang dapat dipinjam dari IMF, dan besarnya kontribusi dana yang disetorkan oleh suatu Negara akan menentukan besarnya “Voting Power” masing-masing Negara, artinya besarnya kuota suatu Negara menentukan besarnya voting power suatu Negara dalam pengambilan keputusan dalam IMF.
Semakin besar kuota yang dimiliki suatu Negara maka semakin besar voting power suatu Negara dalam organisasi IMF, sampai hari ini Negara yang memiliki voting power terbesar adalah Amerika Serikat dan kelompok Negara-negara Eropa.
Isu tentang voting power ini semakin mendapat kritisi dewasa ini dan menjadi salah satu variable yang menunjukkan bahwa IMF sebenarnya sebuah lembaga yang tidak demokratis, hal ini juga dapat dilihat dalam proses penentuan posisi Dewan Eksekutif IMF, dalam Articles of Agreement IMF disebutkan bahwa Negara anggota dengan share kuota yang termasuk dalam lima besar secara otomatis dapat menunjuk Direktur Eksekutif untuk mewakili Negara mereka.
Ketidakseimbangan ini dianggap akan menimbulkan terjadinya ketimpangan selanjutnya dalam berbagai aspek, misalnya pengambilan keputusan, monitoring, prioritas kebijakan, dan komposisi Direktur Eksekutif akan mempengaruhi kepentingan dan prioritas kebijakan yang cenderung akan mementingkan kepentingannya masing-masing asal Negara Direktur Eksekutif tersebut.
Isu seputar voting power ini semakin sering digugat sebagai bagian kritik terhadap IMF dalam aspek governance IMF dan system kuota dan voting power yang diterapkan IMF selama ini cenderung menimbulkan distorsi dan ketidakseimbangan karena Negara industry maju sangat mendominasi dan menguasai voting power yaitu sebesar 60 % sedangkan Negara-negara lainnya hanya memiliki voting power sebesar 40 %.
Mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang berencana akan memberikan dana pinjaman kepada IMF bukan hanya sekedar antipati terhadap kebijakan IMF yang selama ini hanya menyalurkan kepentingan para negara-negara maju yang kapitalis, tetapi dalam kritisi tersebut tersirat suatu gugatan terhadap mekanisme organisasi IMF yang dianggap sebagai sebuah lembaga tidak demokratis. Dalam wacana hangat dewasa ini, dimana negara-negara anggota IMF diminta mengumpulkan dana untuk dipergunakan oleh dan untuk membantu krisis keuangan negara-negara yang memiliki dominasi kekuatan dalam mengambil kebijakan dalam lembaga IMF menjadi sebuah pertanyaan besar  dan mengundang gugatan karena dipandang tidak adil dan mengusik rasa ketidak adilan dan cenderung hanya mengeksploitasi negara-negara diluar negara industri maju.
Jika IMF ingin mendapatkan respon positif maka salah satu hal yang mesti dilakukan oleh IMF adalah mereformasi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha menjadi sebuah lembaga yang berkeinginan dan bertujuan membangun kembali sistem ekonomi internasional dan membina kerjasama internasional dibidang moneter sebagai tujuan utamanya ketika didirikan paska perang dunia kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar