Kamis, 27 September 2012

Imperium Amerika di Ujung Tanduk?

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

                                                    Republika/Daan

 Imperium dari bahasa Latin menjadi empire dalam bahasa Inggris, yang berarti sekelompok negara atau negeri dengan wilayah kekuasaan yang luas di bawah otoritas tunggal. Dapat pula diartikan sebagai organisasi komersial raksasa yang dimiliki atau dipimpin oleh seseorang.

Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19, dengan merebut Filipina dari tangan Spanyol pada 1898, sedang bergerak dalam proses awal mengukuhkan dirinya sebagai sebuah imperium yang puncaknya terjadi pada era pascaPerang Dingin. Tetapi, untuk berapa lama lagi? Pertanyaan inilah yang telah dijawab oleh beberapa penulis terkenal, seperti Francis Fukuyama, Emmanuel Todd (Prancis), Fareed Zakaria (warga Amerika kelahiran India), dan Johan Galtung (Norwegia).

Untuk mendukung nafsu imperiumnya, Amerika telah menguras uang pajak rakyatnya sendiri dalam angka triliunan dan mengorbankan rakyat bangsa lain serta rakyatnya sendiri di medan pertempuran. Semuanya ini dilakukan dengan berbagai helat dan pembenaran, apakah untuk mengekspor demokrasi atau hak-hak asasi manusia. Dalam perspektif ini, Amerika memang adalah sebuah negara imperialis yang datang terlambat dibandingkan dengan negara-negara Eropa pada abad-abad yang silam.

Todd menulis karya After the Empire: The Breakdown of the American Order/terj dari bahasa Prancis oleh C Jon Delogu(London: Constable, 2004). Judulnya sendiri sudah menunjukkan, imperium Amerika sedang berada di ujung tanduk. Fareed Zakaria di bawah judul yang lebih lunak The Post American World (London: Penguin Books, 2008), juga sudah melihat bahwa imperium Amerika akan segera berakhir. Di antara penulis itu, adalah Galtung yang telah mematok tahunnya, yaitu pada 2120, menjadi tahun kejatuhan imperium Amerika dengan buku terbarunya, The Fall of the US Empire-and then What? Successors, Regionalization or Globalization? US Fascism or US Blossoming?
(Oslo: Transcend University Press, 2009).

Francis Fukuyama, yang karyanya akan disinggung sebentar lagi, membaca posisi Amerika sedang berada di persimpangan jalan, sebuah koreksi terhadap karya sebelumnya yang sarat dengan optimisme tentang sistem kapitalisme dan demokrasi liberal. Mohon Tuan dan Puan jangan salah raba.
Yang akan tumbang bukan Republik Amerika, melainkan Amerika Serikat sebagai imperium dengan politik luar negerinya yang imperialistik yang ternyata telah menebarkan kekacauan dan permusuhan di seluruh jagat raya, khususnya sejak pascaPerang Dunia (PD) ke-2.

Juga, Tuan dan Puan jangan salah sangka. Semua penulis di atas adalah pencinta Amerika sebagai republik, sebagai bangsa, tetapi pembenci imperium Amerika, terutama terbaca dengan sangat jelas dalam karya Todd dan Galtung. Amerika sebagai bangsa dan negara, menurut para penulis itu, akan tetap utuh, bahkan mungkin semakin jaya karena petualangan politik luar negerinya yang menguras pajak rakyat Amerika itu akan terpaksa dihentikan.

Kita lihat optimisme Fukuyama. Setelah memenangi Perang Dingin dengan keruntuhan Uni Soviet pada 1989/1990, Amerika muncul sebagai satu-satunya adikuasa tanpa lawan yang berarti. Sistem komunisme Uni Soviet berantakan karena pembusukan dari dalam, sedangkan lawannya kubu kapitalisme seolah-olah telah jadi pemenang. Francis Fukuyama, filsuf sosial warga Amerika berdarah Jepang, mengukuhkan kemenangan ini dengan menulis buku The End of History and the Last Man (New York: Avon Books, 1992) yang ramai dibicarakan secara global. Seakan-akan kapitalisme dan demokrasi liberal merupakan puncak peradaban, tidak ada lagi yang unggul dari itu. Itulah capaian tertinggi dari sejarah. Kemudian, mengapa Fukuyama berubah pandangan ?

Dalam bacaan saya, jawabannya terkait dengan politik luar negeri Amerika yang jingoistik (cinta tanah air yang berlebihan) dan ekspansif. Akibatnya, pada era Presiden Bush terutama, selalu merasa terancam oleh kekuatan luar yang membahayakan negaranya, sesuatu yang sama sekali palsu. George Bush adalah seorang paranoid (hidup dalam ketakutan).
Suasana batin yang labil ini dimanfaatkan secara maksimal oleh gerakan Zionisme, demi eksistensi Israel yang sebenarnya tidak lain ialah sebuah negara teror. Berbeda dengan Todd dan Galtung yang anti-Zionisme, Fukuyama sendiri tampaknya tidak punya nyali yang cukup untuk berbicara terus terang tentang ideologis fasis ini.

Todd sekalipun menghindari menyebut Zionisme, tetapi melihat dengan jelas peran strategisnya dalam mencoraki politik Amerika, dalam dan luar negeri. Todd juga punya perasaan simpati atas nasib rakyat Palestina dalam cengkeraman kolonisasi Yahudi. Kita baca, “Ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dari hari ke hari oleh kolonisasi Yahudi atas sisa-sisa tanah mereka dengan sendirinya adalah sebuah penyangkalan terhadap prinsip persamaan, yang menjadi fondasi demokrasi. Bangsa-bangsa demokrasi lain, terutama di Eropa, tidak punya simpati tanpa syarat terhadap Israel seperti yang dirasakan Amerika.” (Todd, hlm 114).

Adalah sebuah keheranan besar, penduduk Yahudi Amerika hanyalah sekitar 2.2 persen (Todd, hlm 115) dari total rakyat Amerika, mengapa perannya demikian menentukan? Dengan runtuhnya imperium Amerika, jawaban terhadap pertanyaan ini akan lebih mudah diperkirakan. Artinya, peta politik global akan berubah secara drastis, dan nasib Israel akan jadi taruhan, karena pelindung utamanya telah menarik diri sebagai sebuah imperium.
Dan, tidak tertutup kemungkinan Palestina akan muncul sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat. Jika ini terjadi, terorisme akan surut secara dramatis dan tiba-tiba, karena raison d'trĂȘ (pembenaran eksistensi) utamanya sudah tidak ada lagi. Perasaan aman secara global akan mengikutinya sebab biang kerok kekacauan ini tidak lain dari politik luar negeri Amerika yang paranoid di bawah pengaruh kuat Zionisme, yang memang “bukan bagian dari kemanusiaan”, tulis Gilad Atzmon (lihat Resonansi, 13 Januari 2009 dan 10 Juni 2010). Bagi Galtung, untuk mengakhiri terorisme, akhiri lebih dulu terorisme negara, maksudnya Amerika dan Israel. (Telusuri artikel Galtung dan Dietrich Fischer via Google, 20 September 2002, di bawah judul “To End Terrorism, End State Terrorism”).

Fukuyama yang semula adalah bagian kekuatan neo-konservatif berubah 180 derajat setelah Presiden George Bush menyerang Iraq dan menggantung Saddam Hussein. Maka beberapa tahun kemudian, muncullah buku keduanya di bawah judul "America at the Crossroads: Democracy, Power, and the Neoconservative Legacy" (New Haven-London: Yale University Press, 2006) sebagai ralat terhadap optimismenya yang berlebihan tentang hari depan kapitalisme dan demokrasi liberal.
Jika buku ini ditulis setelah krisis keuangan Amerika tahun 2008, tentu analisis Fukuyama akan lebih tajam lagi. Ternyata kapitalisme dengan doktrin pasar bebasnya punya penyakit kronisnya tersendiri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh seorang Milton Friedman (31 Juli 1912-16 Nop. 2006), ekonom pro-pasar, pemenang Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1976, yang pernah dipuja dunia itu, termasuk oleh pengikutnya di Indonesia.

Karya Fukuyama ini masih perlu kita bicarakan lagi, terutama yang menyangkut isu jihad yang kemudian semakin menyebabkan Presiden George Bush jadi gelap mata untuk menyerang negara-negara yang dikatakan sebagai pusat terorisme dan senjata kimia pemusnah massal, semula Afghanistan kemudian Iraq. Akibat serangan imperialistik itu, dua bangsa Muslim ini berantakan dengan korban jiwa ratusan ribu. Tetapi, akibatnya bagi Amerika tidak kurang fatalnya: mempercepat proses kerontokan imperiumnya yang baru saja mencapai titik puncaknya pada 1991 (Zakaria, hlm 4).
Jika ramalan Galtung menjadi kenyataan nanti, daya tahan imperium Amerika hanyalah akan berumur setahun jagung, tidak bisa menandingi imperium Romawi kuno yang berlangsung selama lima abad. Apalagi, jika disandingkan dengan imperium Turki Usmani atau imperium Sriwijaya yang bertahan selama tujuh abad.

Sumber :  www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar