Rabu, 17 Oktober 2012

KONSEPSI TRI SAKTI AJARAN BUNG KARNO DAN KONTEKS REALITA BANGSA


Oleh : Daud Ginting

Materi Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Komisariat FKIP Universitas Darma Agung (UDA)
Medan, Oktober 2012

Term of Reference yang diberikan panitia untuk “materi kaderisasi” ini pada intinya terdiri dari dua “indikator”, yaitu Menjelaskan Konsepsi Tri Sakti Ajaran Bung Karno dan  Menjelaskan Konsep Tri Sakti Bung Karno Pada Konteks Realita Bangsa.

Kedua indikator ini sangat menarik dan relevan diaktualisasikan sebagai bahan pemberdayaan kemampuan analisa kader GMNI dalam memahami kondisi kontemporer kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mencermati arah perkembangan atmosfir kehidupan sosial, politik dan ekonomi global kontemporer.

Untuk memahami ajaran Bung Karno tentang Tri Sakti dibutuhkan kemauan untuk menyelami “endapan”  pemikiran dan hasil refleksi Bung Karno yang telah dilakukan beliau sejak masa mudanya ketika menjadi mahasiswa, karena Konsepsi Tri Sakti tidak dapat dipisahkan dengan arus pemikiran Bung Karno sejak awal, dan Tri Sakti merupakan salah satu ajaran Bung Karno yang kemudian muncul sebagai produk pemikiran sesuai dengan tuntutan zaman ketika itu.
Konsep Tri Sakti dikumandang Bung Karno dalam Pidato menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1964 dengan judul “Tahun Vivere Pericoloso” yang kemudian terkenal dengan sebutan “TAVIP”,  antara lain mengungkapkan tiga paradigma besar yang bisa membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar baik secara politik maupun ekonomi. Vivere pericoloso, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Italia yang artinya kurang lebih adalah, "hidup secara berbahaya".

I.        KONSEP TRI SAKTI BUNG KARNO
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963 menegaskan:
  1. Berdaulat secara politik
  2. Berdikari secara ekonomi
  3. Berkepribadian secara sosial budaya
Dalam bidang politik, Memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi negara sendiri. Soekarno  berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap pemberontakan yang terjadi seperti Permesta, PRRI, DI/NII. Dalam politik luar negeri, Soekarno menerapkan politik bebas aktif,  tidak berpihak pada salah satu blok dunia, sosialis atau kapitalis, namun ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia,.Soekarno mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA)

Dalam bidang sosial budaya,  Soekarno secara tegas menolak budaya asing.

Dalam bidang ekonomi,  Soekarno menegaskan lebih baik potensi sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan asing. Pada masa ini, semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi perusahaan asing menjadi perusahaan milik negara. PandanganlLiberalisasi ekonomi sebagai musuh Negara.

II.            BUNG KARNO MELAWAN IMPERIALISME 

Gerakan politik yang diusung oleh Soekarno adalah penyebaran gagasan-gagasan yang mengancam eksistensi kekuasaan kolonial.
Soekarno denga gerakan aliran nasionalisme progressif  menganalisa watak imperialisme dan cara-cara melawannya.

EMPAT STRATEGI IMPERIALISME
Pada tahun 1930, di dalam penjara kolonial, Bung Karno menyusun sebuah pidato pembelaannya (pledoi). Salah satu analisa Bung Karno yang sangat menarik adalah empat strategi imperialisme untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia :
Pertama, sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-belah.
Menurut Soekarno, imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan yang sama: “Verdeel en heers”—pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain.
Itu pula yang terjadi di Indonesia. Ada banyak cara untuk menjalankan politik adu domba ini: menggunakan media massa untuk meniupkan perpecahan. Di sini, pers-pers belanda selalu merendahkan, bahkan melemahkan, setiap upaya pembangkitan nasionalisme kaum bumiputra, menjalankan politik memecah belah administrasi pemerintahan.
Kedua, Imperialisme menjadikan bangsa Indonesia ke arah kemunduran, yaitu melalui penghancuran fikiran-fikiran (akal budi) rakyat. Politik kolonial mengubah rakyat Indonesia menjadi rakyat kecil, “nrimo”, rendah pengetahuannya, lembek kemauannya, sedikit nafsu-nafsunya, hilang keberaniannya.
Ketiga, Kolonialisme di mana saja, kata Bung Karno, selalu berusaha menutupi maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuan mereka. Kaum imperialismengatakan misi kolonialisme adalah “misi suci” (mission sacree): penyebaran agama, menyebarkan pencerahan, dan membuat rakyat jajahan menjadi “beradab”.
Keempat, sistem imperialisme membangun kepercayaan di dalam hati dan fikiran rakyat, bahwa kepentingan rakyat akan sejalan dengan kepentingan imperialisme. Imperialisme juga sangat piawai menutupi adanya pertentangan kepentingan antara pihaknya dengan rakyat di negara jajahan. Di bidang ekonomi, misalnya, dikatakan bahwa imperialisme memberi keuntungan, seperti adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.
Penanaman modal asing, sebagai salah satu ciri imperialisme, dipropagandakan membawa keuntungan bagi rakyat jajahan: ada proses pembangunan, ada pembukaan lapangan kerja, ada pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya.
Dengan keempat senjata di atas, kolonialisme Belanda sanggup mempertahankan kekuasannya ratusan tahun di Indonesia.

EMPAT STRATEGI KONTRA IMPERIALISME

Dengan berpegan pada analisa di atas, Bung Karno pun merumuskan dasar politik anti-imperalismenya.
Pertama, menjalankan politik kontra pecah belah, dengan menyadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai tanpa adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia. Tahun 1926,  Bung Karno sudah merumuskan konsep persatuan  “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.
Bung Karno menegaskan :
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,”  
Kedua, Melakukan gerakan kontra dekadensi akal-budi, perlunya memperluas pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, dan mengurangi buta-huruf di kalangan rakyat, perlu adanya kursus politik, penciptakan mesin propaganda berupa koran, dan pembentukan “massa aksi”.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno menyadari bahwa mental warisan kolonial belum sepenuhnya menghilang. Karenanya, ia pun menggagas apa yang disebut sebagai pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building). Dengan revolusi mental semacam itu, kita berharap bisa menjebol fikiran kolot dan fikiran-fikiran rendah diri.
Ketiga, Menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa besar, bukan bangsa tempe,  oleh karena ditekankan
Azas “self-reliance” -jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri-,  dan “self help”  -jiwa berdikari- bagi rakyat Indonesia. Memberantas segala sikap inferioriteit ini, Bung Karno juga membongkar kebohongan-kebohongan di balik teori penghalusan kolonialisme,supaya tidak terperangkap kembali dalam jebakan imperialisme.
Keempat, Menentang kolaborasi  dengan kaum imperialis, karena ada pertentangan kepentingan yang tak terdamaikan antara negara jajahan dan imperialism,negara jajahan tidak akan bisa melakukan emansipasi, bahkan dalam derajat paling minimum sekalipun, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, dalam strategi perjuanganBung Karno menganjurkan sikap radikalisme (non-koperasi), yakni perjuangan yang tidak setengah-setengah, apalagi tawar-menawar, yakni perjuangan hendak menjebol kapitalisme-imperialisme hingga ke akar-akarnya

III.             SEKILAS ANALISIS KOMPERATIF

TRI SAKTI
Bung Karno
Situasi KontemporerIndonesia
1
Berdaulat Secara Politik
Ø  Imperialisme melalui politik devide et impera menjajah bangsa lain (Tidak Merdeka/Tidak berdaulat)
Ø  Persatuan : Nasionalisme, Islamisme, Marxisme
Ø  Liberalisme
Ø  Hegemoni politik Negara barat pada Negara periferi
Ø  Organisasi atau Institusi Internasional didominasi kepentingan Negara Barat
Ø  Berkurangnya peranan pemerintah dalam ekonomi pasar, dan kepedulian kepada penderitaan rakyat
2
Berdikari Di Bidang Ekonomi
Ø  Imperialisme adalah eksploitasi manusia dan sumber daya alam Indonesia
Ø  Self  Helf
Ø  Runtuhnya Komunisme
Ø  Kapitalisme ideology satu-satunya
Ø  Liberalisasi ekonomi, privatisasi, minim peran pemerintah di pasar (mekanisme pasar), dan penghapusan subsidi
Ø  Cengkeraman  Multi National Company
Ø  Quo Vadis Ekonomi Indonesia
3
Berkepribadian Secara Sosial Budaya
Ø  Imperialisme menjadikan kemunduran, berpikir kerdil
Ø  Bangsa Inferior
Ø  Self Reliance
Ø  Nation and Character Building
Ø  Westernisasi symbol modernisasi
Ø  Pungkasan sejarah ala “  “ dan Perang Peradaban “Samuel Hutington
Ø  Demokrasi Liberal dan politik “rent seeker”
Ø  Relevansi dan aktualisasi Pancasila



IV.              ANALISIS LIBERALISASI INDONESIA

Menurut America Heritage Foundation, Indonesia menduduki posisi 115 dalam daftar 180 negara dengan sistem perekonomian paling liberal, skor liberalisasi ekonomi Indonesia mencapai 56,4, skor itu dipicu 10 sektor, diantaranya liberalisasi sistem moneter, perdagangan serta pembatasan peran pemerintah dalam pembangunan melalui pengetatan anggaran.Indonesia menduduki rangking 23 dari 41 negara Asia Pasifik yang masuk dalam daftar ini. Namun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia relatif tertinggal. Malaysia menduduki posisi 53 dengan skor 66.4, sedangkan Thailand menempati posisi 60 dengan skor 64.9. Heritage menilai Indonesia berhasil melakukan reformasi untuk mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam perekonomian serta berupaya meningkatkan daya saing. 

SKOR LIBERALISASI EKONOMI INDONESIA
BERDASARKAN PENILAIAN “HERITAGE FOUNDATION”
KATEGORI
SKOR
Pembatasan belanja Negara
91.6
Liberalisasi fiscal
83.5
Liberalisasi moneter
75.2
Liberalisasi perdagangan
73.9
Kebebasan berusaha
54.6
Perburuhan
52.1
Liberalisasi Finansial
40.0

V.                 DAMPAK LIBERALISASI “ANTARA PERAN PEMERINTAH DAN SWASTA”

Paradigma atau teori tentang peranan negara dalam masyarakat, ada dua kutub berlawanan, kutub pertama Negara kapitalis barat berpijak pada ide “laisser-faire”,  memberikan peranan terbatas pada negara, dengan kepercayaan bahwa sistem pasar bebas akan membuahkan efisiensi. Fungsi pemerintah dalam sistem kapitalis hanyalah sebagai hansip (penjaga malam), sebagai penegak hukum atau pelindung agar mekanisme pasar bebas dapat berlangsung. Bagi negara kapitalis liberal kekuasaan birokrasi dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, sehingga peran birokrasi dibatasi hanya di bidang pertahanan keamanan          
Pada ujung kutub  lain, negara-negara sosialis atau komunis sangat melecehkan peranan pasar bebas karena dinilai hanya menguntungkan kaum pemilik modal dan sangat merugikan kaum buruh (proleter). Dalam sistem komunis, negara mengambil peranan sangat besar sebagai pemilik faktor-faktor produksi (tanah, sumber daya alam dan manusia, kapital, sarana, dsb) dan pelaku utama dalam aktivitas ekonomi (menentukan harga dan alokasi barang dan jasa)..
Kecenderungan memperluas dan mempersempit peranan birokrasi tidak bisa dilepaskan dari gerak perubahan  tatanan ekonomi politik internasional. Ada kondisi ekonomi politik didominasi oleh sistem ekonomi politik yang pro-pasar (kapitalis), ada  tatanan yang pro-negara (statisme). Gerak perubahan dari “statisme” ke anti-state” ini jelas berdampak pada peran negara terhadap administrasi publik.  Era saat ini dikenal sebagai era globalisasi, era perdagangan bebas atau liberalisasi ekonomi. Salah satu ciri menonjol era liberalisasi ekonomi terjadi pergeseran dari ekonomi yang dikendalikan negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar. Campur tangan negara dibidang ekonomi dianggap hanya akan membunuh inisiatif masyarakat. Untuk menyesuaikan diri dengan gelombang liberalisasi, negara “Welfare state” seperti Inggris melakukan privatisasi besar-besaran. Gelombang privatisasi juga menerpa negara-negara di dunia lainnya. Selama tahun 1980-an pemerintah Australia dan Selandia Baru melepaskan kontrol harga, menghapus subsidi, memperkuat kompetisi pasar bebas, serta mengurangi state intervention dan state ownership. Pemerintah Pakistan pada tahun 1990 menjual perusahaan-perusahaan negara rekayasa ke swasta. .Privatisasi di Indonesia mulai marak dilakukan pada tahun 1980-an dengan dilakukannya deregulasi dan privatisasi BUMN melalui penjualan saham untuk publik. Komitmen pada kebijakan pro-pasar semakin menguat dengan ditandatanganinya kesepakatan dengan IMF dimana salah satu butir kesepakatan tersebut mengurangi peran birokrasi terutama campur tangannya dibidang ekonomi seperti mengurangi monopoli Bulog, subsidi minyak dan listrik, hambatan impor dan ekspor. Era sekarang ini peranan sector publik menjadi semakin berkurang, sebaliknya sector swasta menjadi semakin kuat.
 Dalam Megatrends 2000, John Naisbitt dan Patricia Aburdene  (1990) mengemukakan terjadi kecenderungan sebagai berikut :
-          From public housing to home ownership.
-          From monolithic national health service to private option.
-          From government regulation to market mechanism.
-          From welfare to workfare.
-          From collectivism to individualism,
-          From government monopoly to competitive enterprise.
-          From state industries to privatized companies
-          From state ownership to employee ownership.
-          From government social securities plans to private insurance and investment
-          From tax burden to tax reduction.

PENUTUP

1.                  Kemandirian Bangsa Indonesia dewasa ini diuji oleh zaman yang cenderung mengutamakan faham liberalisme dan kapitalisme. Secara empiris dapat kita cermati dampak negatif aliran pemikiran ini yang menjadikan Bangsa Indonesia tidak memiliki kemandirian dan tidak memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam karena terikat consensus kerjasama ekonomi dengan Negara lain. Hal ini dapat dirasakan dalam cengkeraman “Hegemoni” Amerika.

2.                  Kerjasama ekonomi Internasional yang dilakukan melalui WTO, APEC dll, ternyata tidak mampu memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional, khususnya mengutamakan kepentingan perekonomian rakyat, bahkan tidak mampu melindungi kebutuhan “pangan” (Liberalisasi Bulog).

3.                  Pemerintah sering “absen” ditengah-tengah jerit tangis rakyat, contohnya para petani yang terjerat dalam cengkeraman Multi National Company  karena liberalisasi pasar.

4.                  Westernisasi yang hegemonik berlahan tapi pasti merubah life style masyarakat sebagai salah satu bentuk penjajahan budaya modernisasi.

5.                  Liberalisasi demokrasi “kebablasan” yang menganut paradigma kapatlisme dan melahirkan elit politik “rent seeker”.

TERIMA KASIH
MERDEKA…………………!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar