Kamis, 18 Oktober 2012

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME

OLEH : BUNG KARNO

            Sebagai Aria Bima Putera, yang lahirnya dalam jaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam jaman yang rakyat – rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekonominya, tak senang dengan nasib politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.
Zaman baru : jaman muda, sudahlah dating sebagai fajar yang terang cuaca.
Jaman teori kaum kuno, yang mengatakan bahwa “siapa yang ada dibawah, harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tidak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-baligh”, atau “masak”.
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemahsyuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.
“ Yang pertama – tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal  hidup dalam tanah airnya sendiri “, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat – rakyat eropah mencari rezeki dinegeri lain !. Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat ibu menjajah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin ”ontvoodging”-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.
Begitulah bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa eropah-baratlah yang bukan main tambah kekayaannya.
Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragic inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu, sebab walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragic inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat : NASIONALISTIS, ISLAMISTIS, dan MARXISTIS-lah adanya.
Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tidak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.
Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita kearah terkabulnya impian kita, Indonesia-Merdeka !.
Entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah juga bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi tetaplah bahwa kapal yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah kapal persatuan adanya!. Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan kapal persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mestilah dating saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri ditengah kita.
Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
            Inilah azaz-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah paham-faham yang menjadi rohnya pergerakan – pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.
Partai Budi Utomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain, itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, Roh Islamisme, atu roh Marxisme adanya. Dapatkan roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu roh yang besar, roh persatuan?. Roh persatuan, yang akan membawa kita ke lapang kebesaran?.
Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan marxisme yang bersifat perjuangan internasional?
Dapatkah islamisme itu, ialah sesuatu agama dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya marxisme yang mengajar perbendaan?.
Akan hasilkah usaha kita merapatkan Budi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radical-militant terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Chartill, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan – pemberontakan itu biasanya bagian-bagian terkecil, dan bagian-bagian yang terkesil sekali”?
Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun 1962 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis  lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya.
Nasionalisme itu jalan suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!
Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan diatas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri didalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.
Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang member keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Djawa-Besar, rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia-Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa Nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nasionaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), apakah nasionalisme itu dalam pejuangan jajahan bisa bergandengan dengan islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras, apakah nasionalisme itu dalam politik colonial bisa rapat diri dengan marxisme yang internasional, interracial itu?
Dengan ketetapan hati kita menjawab, bisa!
Sebab, walaupun nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tidak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu, walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu, walaupun kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” bahwa mereka dengan kaum nasionalis itu merasa “ satu golongan, satu bangsa”. Bahwa segala fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, berates-ratus tahun lamanya ada persatuan “hal ikhwal”, berates-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul “rasa golongan” ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain, betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh diantara fihak-fihak pergerakan di Indonesia kita ini, akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, ambrol, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchan Gandhi : “Buat saya, maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya seorang manusia dan bercara manusia, saya tidak mengecualikan siapa juga”. Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak islam dengan fihak hindu, pihak parsi, pihak jain, dan pihal sikh yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampis seperlima dari jumlah manusia yang ada dimuka bumi ini!
Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis da Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis-Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya Partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridha hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada Kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada Kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya asal mau saja, tak kuranglah jalan kearah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin sentosa” (Itulah sebaik-baiknya jembatan kearah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini.
Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangan Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersam-sama dengan Islamis dan Marxis.
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit budi itu.  Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau turunan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasonalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bhakti, adalah terhindar dari segalam faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar