Rabu, 17 Oktober 2012

PERNYATAAN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

PERNYATAAN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA (Dignitatis Humanae (DH)-KONSILI VATIKAN II)

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

TENTANG HAK PRIBADI DAN MASYARAKAT ATAS KEBEBASAN SOSIAL DAN SIPIL DALAM HAL KEAGAMAAN

1. MARTABAT PRIBADI MANUSIA semakin disadari oleh manusia zaman sekarang[1]. Bertambahlah juga jumlah mereka yang menuntut, supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari tugasnya. Begitu pula mereka menuntut supaya wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, supaya batas-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok-kelompok jangan dipersempit. Dalam masyarakat manusia tuntutan kebebasan itu terutama menyangkut harta-nilai rohani manusia, dan teristimewa berkenaan dengan pengalaman agama secara bebas dalam masyarakat. Dengan saksama Konsili Vatikan ini mempertimbangkan aspirasi-aspirasi itu, dan bermaksud menyatakan betapa keinginan-keinginan itu selaras dengan kebenaran dan keadilan. Maka Konsili ini meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja, dan dari situ menggali harta baru, yang selalu serasi dengan khazanah yang sudah lama.
Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya.
Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat. Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat.

I. AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. (Objek dan dasar kebebasan beragama)
Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi[2]. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil.
Menurut martabat mereka semua orang – justru sebagai pribadi, artinya berakalbudi dan berkehendak bebas, oleh karena itu mengemban tanggung jawab pribadi, – berdasarkan kodrat mereka sendiri terdorong, dan karena kewajiban moral terikat untuk mencari kebenaran, terutama yang menyangkut Agama. Mereka wajib juga berpegang pada kebenaran yang mereka kenal, dan mengatur seluruh hidup mereka menurut tuntunan kebenaran. Tetapi manusia hanyalah dapat memenuhi kewajiban itu dengan cara yang sesuai dengan kodrat mereka, bila mereka mempunyai kebebasan psikologis pun sekaligus bebas dari paksaan dari luar. Jadi hak atas kebebasan beragama tidak didasarkan pada keadaan subjektif seorang pribadi, melainkan pada kodratnya sendiri. Maka dari itu hak atas kebebasan itu tetap masih ada juga pada mereka, yang tidak memenuhi kewajiban mereka mencari kebenaran dan berpegang teguh padanya; dan menggunakan hak itu tidak dapat dirintangi, selama tata masyarakat tetap berdasarkan keadilan.
3. (Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah)
Itu semua menjadi lebih jelas lagi, bila dipertimbangkan bahwa tolok ukur hidup manusia yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta obyektif, dan berlaku bagi semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat manusia. Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu, sehingga manusia, berkat penyelenggaraan ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami kebenaran yang tak dapat berubah. Maka dari itu setiap orang mempunyai tugas dan karena itu juga hak untuk mencari kebenaran perihal keagamaan, untuk dengan bijaksana, melalui upaya-upaya yang memadai, membentuk pendirian suara hatinya yang cermat dan benar.
Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan, sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran. Atas persetujuannya sendiri manusia harus berpegang teguh pada kebenaran yang dikenalnya.
Manusia menangkap dan mengakui ketentuan-ketentuan hukum ilahi melalui suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh kegiatannya, untuk mencapai tujuannya yakni Allah. Jadi janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan. Sebab menurut sifatnya sendiri pengalaman agama pertama-tama terdiri dari tindakan-tindakan batin yang dikehendaki orang sendiri serta bersifat bebas, dan melalui tindakan-tindakan itu ia langsung mengarahkan diri kepada Allah: tindakan-tindakan seperti itu tidak dapat diperintahkan atau dihalang-halangi oleh kuasa manusiawi semata-mata[3]. Sedangkan kodrat sosial manusia sendiri menuntut, supaya ia mengungkapkan tindakan-tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi dengan sesama dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya secara bersama-sama.
Maka terjadilah ketidak-adilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan oleh Allah baginya, bila ia tidak diperbolehkan mengamalkan agamanya secara bebas dalam masyarakat, padahal ketertiban umum yang adil tetap dihormatinya.
Kecuali itu tindakan-tindakan keagamaan, yang dijalankan manusia untuk sebagai pribadi maupun dimuka umum mengarahkan diri kepada Allah berdasarkan keputusan pribadi, pada hakekatnya mengatasi tata duniawi yang fana. Maka dari itu pemerintah, yang bertujuan mengusahakan kesejahteraan umum di dunia ini memang wajib mengakui kehidupan beragama para warganegara dan mendukungnya. Tetapi harus dikatakan melampaui batas wewenangnya, bila memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius.
4. (Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan)
Kebebasan dari paksaan dalam hal agama, yang menjadi hak setiap pribadi yang harus diakui juga bila orang-orang bertindak bersama. Sebab kodrat sosial manusia maupun hakekat sosial agama menuntut adanya jemaat-jemaat keagamaan.
Maka asal tuntutan-tuntutan ketertiban umum yang adil jangan dilanggar, jemaat-jemaat itu berhak atas kebebasan, untuk mengatur diri menurut kaidah-kaidah mereka sendiri, untuk menghormati Kuasa ilahi yang tertinggi dengan ibadat umum, untuk membantu para anggota mereka dalam menghayati hidup keagamaan serta mendukung mereka dengan ajaran, dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga, tempat para anggota bekerja sama untuk mengatur hidup mereka sendiri menurut azas-azas keagamaan mereka.
Begitu pula jemaat-jemaat keagamaan berhak untuk memilih, membina mengangkat dan memindahkan petugas-petugasnya sendiri, untuk berkomunikasi dengan para pemimpin dan jemaat-jemaat keagamaan, yang berada di kawasan-kawasan lain di dunia, untuk mendirikan bangunan-bangunan bagi keperluan keagamaan, dan untuk memperoleh serta mengelola harta-milik yang mereka perlukan; itu semua tanpa dihalang-halangi oleh upaya-upaya hukum atau oleh tindakan administratif kuasa sipil.
Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman mereka dan memberi kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui tulisan. Tetapi dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-pihak lain.
Selain itu kebebasan beragama berarti juga, bahwa jemaat-jemaat keagamaan tidak dilarang untuk secara bebas menunjukkan daya-kemampuan khusus ajaran mereka dalam mengatur masyarakat dan dalam menghidupkan seluruh kegiatan manusiawi. Akhirnya pada kodrat sosial manusia dan pada sifat Agama sendiri didasarkan hak orang-orang, untuk – terdorong oleh cita rasa keagamaan mereka – mengadakan dengan bebas pertemuan-pertemuan atau mendirikan yayasan-yayasan pendidikan, kebudayaan, amal kasih dan sosial.
5. (Kebebasan beragama dan keluarga)
Setiap keluarga, sebagai rukun hidup dengan hak aslinya sendiri, berhak untuk dengan bebas mengatur hidup keagamaan dalam pangkuannya sendiri dibawah bimbingan orang tua. Mereka itu berhak menentukan menurut keyakinan keagamaan mereka sendiri, pendidikan keagamaan manakah yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu pemerintah wajib mengakui hak orang tua, untuk dengan kebebasan sepenuhnya memilih sekolah-sekolah atau upaya-upaya pendidikan lainnya. Pun janganlah karena kebebasan memilih itu mereka secara langsung atau tidak langsung diharuskan menanggung beban yang tidak adil. Kecuali itu hak orang tua dilanggar, bila anak-anak dipaksa mengikuti pelajaran-pelajaran sekolah, yang tidak cocok dengan keyakinan keagamaan orang tua mereka, atau bila hanya ada satu cara pendidikan saja yang diwajibkan, tanpa pendidikan keagamaan sama sekali.
6. (Tanggung jawab atas kebebasan beragama)
Kesejahteraan umum masyarakat, yakni keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial, yang memungkinkan orang-orang mencapai kesempurnaan mereka secara lebih utuh dan lebih mudah, terutama terletak pada penegakan hak-hak serta tugas-tugas pribadi manusia[4]. Maka ada kewajiban menjaga hak atas kebebasan beragama pada para warganegara, pada kelompok-kelompok sosial, pada pemerintah-pemerintah, pada Gereja dan jemaat-jemaat keagamaan lainnya, demi tugas mereka memelihara kesejahteraan umum.
Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat[5]. Maka kuasa sipil wajib, melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warganegara, dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian para warga negara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci[6].
Bila karena keadaan istimewa bangsa-bangsa tertentu suatu jemaat keagamaan mendapat pengakuan sipil istimewa dalam tata hukum masyarakat, sungguh perlulah bahwa hak semua warganegara dan jemaat-jemaat keagamaan atas kebebasan beragama diakui dan dipatuhi.
Akhirnya pemerintah wajib mengusahakan, supaya kesamaan yuridis para warganegara, yang termasuk kesejahteraan umum masyarakat, jangan pernah secara terbuka ataupun diam-diam dilanggar berdasarkan alasan-alasan agama, pun juga supaya diantara mereka jangan sampai ada diskriminasi.
Oleh karena itu pemerintah sama sekali tidak boleh – melalui paksaan atau ancaman atau upaya-upaya lainnya – mengharuskan para warganegara untuk mengakui atau menolak agama mana pun juga, atau menghalang-halangi siapa pun juga untuk memasuki atau meninggalkan jemaat keagamaan tertentu. Masih lebih lagi merupakan tindakan melawan kehendak Allah dan melawan hak-hak keramat pribadi serta keluarga bangsa-bangsa, bila dengan cara manapun digunakan kekerasan untuk menghancurkan atau merintangi agama, entah diseluruh bangsa manusia entah dikawasan tertentu entah dalam kelompok tertentu.
7. (batas-batas kebebasan beragama)
Hak atas kebebasan beragama dilaksanakan dalam masyarakat manusia. Maka dari itu penggunaannya harus mematuhi kaidah-kaidah tertentu yang mengaturnya.
Dalam penggunaan semua kebebasan harus ditaati azas moral tanggung jawab pribadi dan sosial: Dalam memakai hak-haknya setiap orang maupun kelompok sosial diwajibkan oleh hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan wajib-wajibnya sendiri terhadap orang-orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang . Semua orang harus diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan.
Selain itu, karena masyarakat sipil berhak melindungi diri terhadap penyalahgunaan yang dapat timbul atas dalih kebebasan beragama, terutama pemerintahlah yang wajib memberi perlindungan itu. Tetapi itu harus terjadi bukan sewenang-wenang, atau dengan cara tidak adil memihak pada satu golongan, melainkan menurut kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan tata moral yang objektif. Kaidah-kaidah itu diperlukan demi kehidupan mereka bersama secara damai; diperlukan juga untuk menjalankan usaha-usaha secukupnya demi ketentraman umum yang sepantasnya, yakni kehidupan bersama dan teratur dalam keadilan yang sejati; diperlukan pula untuk menjaga kesusilaan umum sebagamana harusnya. Itu semua merupakan unsur dasar kesejahteraan umum, dan termasuk tata-tertib umum. Memang dalam masyarakat pada umumnya perlu dipertahankan kebebasan seutuhnya. Itu berarti, bahwa harus diakui kebebasan manusia sepenuh mungkin; dan kebebasan itu jangan dibatasi kecuali bila dan sejauh memang perlu.
8. (Pembinaan penggunaan kebebasan)
Manusia zaman sekarang menghadapi pelbagai tekanan, dan terancam bahaya kehilangan kebebesan mengikuti cara berfikirnya sendiri. Tetapi dilain pihak tidak sedikit orang yang agaknya begitu condong untuk dengan dalih mau bebas menolak setiap bentuk kepatuhan dan meremehkan ketaatan yang sewajarnya.
Itulah sebabnya mengapa Konsili ini menganjurkan kepada semua, terutama mereka yang bertugas sebagai pendidik, supaya berusaha membina orang-orang, yang mematuhi tata-kesusilaan, mentaati kekuasaan yang sah, dan mencintai kebebasan sejati. Dengan kata lain: orang-orang, yang dengan pertimbangannya sendiri menilai kenyataan dalam terang kebenaran, mengatur kegiatannya dengan kesadaran bertanggungjawab, dan berusaha mencari apa pun yang benar dan adil, dengan hati yang rela untuk bekerja sama dengan orang-orang lain.
Demikianlah termasuk hasil dan tujuan kebebasan beragama juga, bahwa dalam menunaikan tugas-tugasnya sendiri manusia bertindak dalam hidup memasyarakat dengan tanggung jawab yang lebih besar.

II. KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. (Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam wahyu)
Apa yang oleh Konsili Vatikan ini dinyatakan tentang hak manusia atas kebebasan beragama, mempunyai dasarnya dalam masyarakat pribadi. Tuntutan-tuntutan martabat itu disadari semakin mendalam oleh akalbudi manusia melalui pengalaman berabad-abad. Bahkan ajaran tentang kebebasan itu berakar dalam Wahyu ilahi. Oleh karena itu harus semakin dipatuhi oleh Umat kristiani. Sebab Wahyu memang tidak dengan jelas sekali mengiyakan hak atas kebebasan terhadap paksaan dari luar dalam hal kegamaan. Namun memaparkan martabat pribadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Wahyu memperlihatkan, bagaimana Kristus mengindahkan kebebasan manusia dalam menunaikan wajibnya beriman akan sabda Allah. Wahyu mengajar kita tentang semangat, yang dalam segalanya harus diterima dan diikuti oleh para murid Sang Guru itu. Dengan itu semua diperjelas azas-azas umum, yang mendasari ajaran Pernyataan tentang kebebasan beragama ini. Terutama kebebasan beragama dalam masyarakat selaras sepenuhnya dengan kebebasan beragama dalam masyarakat selaras dengan kebebasan faal iman kristiani.
10. (Kebebasan dan faal iman)
Salah satu pokok amat penting ajaran katolik, yang tercantum dalam sabda Allah dan terus-menerus diwartakan oleh para Bapa Gereja[7], yakni: manusia wajib secara sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seorang pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman[8]. Sebab pada hakekatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak yang bebas, karena manusia – yang ditebus oleh Kristus Sang Penyelamat, dan dengan perantaraan Yesus Kristus dipanggil untuk diangkat menjadi anak Allah[9], – tidak dapat mematuhi Allah yang mewahyukan Diri, seandainya Bapa tidak menariknya[10], dan ia tidak dengan bebas menyatakan kepada Allah ketaatan imannya yang menurut nalar dapat dipertanggungjawabkan. Jadi sama selaras dengan sifat iman, bahwa dalam hal keagamaan tidak boleh ada bentuk paksaan mana pun juga dari pihak manusia. Oleh karena itu ketetapan tentang adanya kebebasan beragama sangat membantu untuk memelihara kondisi hidup, yang memungkinkan manusia dengan mudah diajak menerima iman kristiani, memeluknya secara suka rela, dan secara aktif mengakuinya dengan seluruh cara hidupnya.
11. (cara bertindak Kristus dan para Rasul)
Memang Allah memanggil manusia untuk mengabdi diri-Nya dalam roh dan kebenaran. Maka ia juga terikat dalam suara hati, tetapi tidak dipaksa. Sebab Allah memperhitungkan martabat pribadi manusia yang diciptakan-Nya, yang harus di tuntun oleh pemikirannya sendiri dan mempunyai kebebasan. Adapun itu nampak paling unggul dalam Kristus Yesus, yang bagi Allah menjadi Perantara untuk dengan sempurna menampakkan Diri serta jalan-jalan-Nya. Sebab Kristus, Guru dan Tuhan kita[11], yang lemah-lembut dan rendah [12], dengan sabar mengambil hati dan mengajak para murid-Nya[13]. Memang dengan mukjizat-mukjizat Ia mendukung dan meneguhkan pewartaan-Nya, untuk membangkitkan dan mengukuhkan iman para pendengar-Nya, bukan untuk memaksa mereka[14]. Memang Ia mengecam ketidak-percayaan para pendengar-Nya, tetapi sambil menyerahkan hukuman kepada Allah pada hari Pengadilan[15]. Ketika mengutus para Rasul ke dunia Ia bersabda: “Barang siapa beriman dan dibabtis akan selamat; tetapi siapa tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). Tetapi, melihat bahwa bersama gandum telah ditaburkan lalang, Ia memerintahkan supaya keduanya dibiarkan tumbuh sampai waktu menuai, yakni pada akhir zaman[16]. Yesus tidak mau menjadi Almasih tokoh politik yang memerintah dengan kekerasan[17]. Ia lebih senang menyebut diri Putera Manusia yang datang “untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Ia membawakan Diri sebagai Hamba Allah yang sempurna[18], yang “tidak akan memutuskan buluh yang patah terkulai, dan tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya” (Mat 12:20). Ia mengakui pemerintah serta hak-haknya, ketika menyuruh membayar pajak kepada kaisar, tetapi dengan jelas mengingatkan, bahwa hak-hak Allah yang lebih tinggi wajib di patuhi: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Akhirnya Ia menyempurnakan perwahyuan-Nya ketika menyelesaikan karya penebusan-Nya di salib, untuk memperoleh keselamatan dan kebebasan sejati bagi manusia. Sebab Ia memberi kesaksian dan kebenaran[19], tetapi tidak mau memaksakannya kepada mereka yang membantahnya. Kerajaan-Nya tidak dibela dengan menghantam dengan kekerasan[20], melainkan dikukuhkan dengan memberi kesaksian akan kebenaran serta mendengarkannya. Kerajaan itu berkembang karena cinta kasih, cara Kristus yang ditinggikan di salib menarik manusia kepada diri-Nya[21].
Para Rasul belajar dari sabda dan teladan Kristus, serta menempuh jalan yang sama. Sejak masa awal Gereja para murid Kristus berusaha, supaya orang-orang bertobat dan mengakui Kristus Tuhan, bukan dengan tindakan memaksa atau dengan siasat-siasat yang tak layak bagi Injil, melainkan pertama-tama dengan kekuatan sabda Allah[22]. Dengan berani mereka mewartakan kepada semua orang rancana Allah Penyelamat, “yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4). Tetapi sekaligus para murid Tuhan menghormati mereka yang lemah, juga bila sedang sesat; dan dengan demikian mereka menunjukkan , bagaimana “setiap orang diantara kita akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Rom 14:12)[23], dan sejauh itu wajib menganut suara hatinya sendiri. Seperti kristus, begitu pula para Rasul selalu bermaksud memberi kesaksian akan kebenaran Allah, penuh keberanian untuk di hadapan rakyat serta para penguasa mewartakan “sabda Allah dengan kepercayaan” (Kis 4:31)[24]. Dengan iman yang teguh mereka yakin, bahwa Injil sendiri benar-benar merupakan kekuatan Allah demi keselamatan setiap orang yang beriman[25]. Maka dari itu mereka meremehkan “senjata duniawi”[26], mengikuti teladan kelemah-lembutan serta keugaharian Kristus, dan mewartakan sabda Allah, dengan penuh kepercayaan akan kekuatan ilahi sabda itu untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang Allah[27], dan untuk mengembalikan orang-orang kepada iman serta kepatuhan terhadap Kristus[28]. Seperti Sang Guru, begitu pula para Rasul mengakui pemerintahan yang sah: “setiap orang hendaklah takhluk kepada pemerintah yang diatasnya; … barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah” (Rom 13:1-2)[29]. Tetapi serta merta mereka tidak takut menyanggah pemerintah yang menentang kehendak Allah yang suci: “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5:29)[30]. Jalan itu disepanjang zaman dan diseluruh dunia ditempuh juga oleh para martir dan kaum beriman yang tak terhitung jumlahnya.
12. (Gereja menempuh jalan Kristus dan para Rasul)
Maka Gereja, yang setia kepada kebenaran Injil, menempuh jalan Kristus dan para Rasul, bila mengakui dan mendukung azas kebebasan beragama sebagai prinsip yang selaras dengan martabat manusia dan wahyu Allah. Ajaran yang diterima dari Sang Guru dan dari para Rasul oleh Gereja dipelihara dan diteruskan di sepanjang masa. Sungguhpun dalam kehidupan Umat Allah, melalui silih-bergantinya kenyataan-kenyataan sejarah bangsa manusia yang sedang berziarah, ada kalanya ditempuh cara bertindak yang kurang selaras dengan semangat Injil, bahkan bertentangan dengannya, namun selalu tetaplah ajaran gereja, bahwa tak seorangpun boleh dipaksa untuk beriman.
Demikianlah ragi Injil cukup lama merasuki jiwa orang-orang, dan menyumbangkan banyak, sehingga dari masa ke masa makin bertambahlah jumlah mereka yang mengakui martabat pribadinya, dan makin masaklah keyakinan bahwa dalam masyarakat kebebasannya perihal keagamaan harus tetap dipertahankan dari setiap paksaan manusia.
13. (Kebebasan gereja)
Di antara hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja, bahkan kesejahteraan masyarakat dunia, dan yang di mana-mana selalu harus dipelihara serta dilindungi terhadap segala ketidakadilan, pasti yang paling utama yakni: supaya Gereja menikmati kebebasan bertindak yang secukupnya untuk mengusahakan keselamatan manusia[31]. Sebab sungguh kuduslah kebebasan, yang dikurniakan oleh Putera Tunggal Allah kepada Gereja yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya. Kebebasan itu begitu khas bagi Gereja, sehingga barang siapa menentangnya bertindak melawan kehendak Allah. Kebebasan Gereja merupakan azas dasar dalam hubungan antara Gereja dan pemerintah-pemerintah serta seluruh tata masyarakat.
Dalam masyarakat manusia dan terhadap pemerintah mana pun Gereja menuntut kebebasan, sebagai kewibawaan rohani yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan, dan yang atas perintah ilahi bertugas pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada semua makluk[32]Begitu pula Gereja mengutarakan haknya atas kebebasan, sebagai masyarakat manusia juga, yang berhak hidup dalam masyarakat menurut kaidah-kaidah iman kristiani[33].
Adapun hanya bila berlakulah ketetapan tentang kebebasan beragama, yang bukan saja dimaklumkan dengan kata-kata atau melulu dikukuhkan dengan undang-undang, melainkan secara jujur dipraktikkan juga, maka Gereja akan memperoleh kondisi stabil menurut hukum maupun dalam kenyataan, yakni kemerdekaan dalam menunaikan perutusan ilahinya, yang secara makin mendesak dituntut oleh para pemimpin Gereja dalam masyarakat[34]. Sekaligus Umat beriman kristiani, seperti semua orang lainnya, mempunyai hak sipil untuk tidak dirintangi dalam menghayati hidup menurut suara hati mereka. Jadi terdapat keselarasan antara kebebasan Gereja dan kebebasan keagamaan, yang oleh semua orang dan jemaat harus diakui sebagai hak dan dikukuhkan dalam perundang-undangan.
14. (Peran Gereja)
Untuk mematuhi perintah ilahi: “Ajarilah semua bangsa” (Mat 28:19), Gereja katolik wajib sungguh-sungguh mengusahakan, supaya “sabda Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes 3:1).
Maka dari itu Gereja meminta dengan mendesak, supaya para putera-puterinya pertama-tama menganjungkan “permohonan-permohonan, doa-doa syafaat serta ucapan syukur bagi semua orang … Sebab itu baiklah dan berkenan kepada Allah Penyelamat kita, yang menghendaki agar semua orang diselamatkan dan mencapai pengertian tentang kebenaran” (1Tim 2:1-4).
Tetapi kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan saksama ajaran Gereja yang suci dan pasti[35]. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaannya azas-azas kesusilaan, yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya Umat kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar, “dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2Kor 6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan[36] dan kekuatan rasuli, hingga penumpahan darah.
Sebab seorang murid terikat oleh kewajiban yang berat terhadap Kristus Sang Guru, yakni semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya dengan setia, membelanya dengan berani, tanpa menggunakan upaya-upaya yang berlawanan dengan semangat Injil. Tetapi sekaligus cinta kasih Kristus mendesaknya, untuk bertindak penuh kasih, kebijaksanaan dan kesabaran terhadap mereka, yang berada dalam keadaan sesat atau tidak tahu menahu mengenai iman[37]. Maka perlu dipertimbangkan baik tugas-tugas terhadap Kristus Sabda yang menghidupkan, yang harus diwartakan, pun juga hak-hak pribadi manusia, maupun besarnya rahmat yang oleh Allah dikurniakan melalui Kristus kepada manusia, yang diundang untuk dengan suka rela menerima dan mengakui iman.
15. (Penutup)
Maka jelaslah manusia zaman sekarang menghendaki untuk dengan bebas dapat mengakui agamanya baik secara perorangan maupun di muka umum. Bahkan jelas pula kebebasan beragama dalam kebanyakan Undang-Undang Dasar sudah dinyatakan sebagai hak warganegara dan dalam dokumen-dokumen internasional diakui secara resmi[38].
Akan tetapi ada pula sitem-sistem pemerintahan, yang – meskipun dalam Undang-Undang Dasar kebebasan ibadat keagamaan diakui, namun pemerintah-pemerintahnya sendiri berusaha menjauhkan para warganegara dari pengakuan agama mereka, dan sangat mempersukar dan membahayakan kehidupan jemaat-jemaat keagamaan.
Dengan gembira Konsili suci menyambut gejala-gejala pertama sebagai tanda-tanda zaman sekarang yang sungguh baik, sedangkan fakta-fakta lainnya yang layak disesalkan dan dikecamnya dengan sedih hati. Konsili menganjurkan Umat katolik, tetapi mengajukan permohonan mendesak kepada semua orang, supaya mereka penuh perhatian mempertimbangkan, betapa perlulah kebebasan beragama, terutama dalam keadaan keluarga manusia zaman sekarang.
Sebab jelaslah, bahwa semua bangsa makin bersatu, bahwa orang-orang dari pelbagai kebudayaan dan agama saling terikat secara semakin erat, akhirnya bahwa bertambahlah kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Maka dari itu, supaya hubungan-hubungan damai dan kerukunan pada bangsa manusia diperbaharui dan diteguhkan, perlulah bahwa dimana-mana kebebasan beragama didukung dengan perlindungan hukum yang tepat guna, dan bahwa tugas-tugas serta hak-hak manusia yang tertinggi untuk secara bebas menghayati hidup beragama dalam masyarakat dipatuhi.
Semoga Allah dan Bapa semua orang menganugerahkan, supaya keluarga manusia, berkat usaha yang tekun untuk menegakkan kebebasan beragama dalam masyarakat, karena rahmat Kristus dan kekuatan Roh Kudus dihantar kepada “kebebasan kemuliaan putera-puteri Allah” (Rom 8:21) yang amat luhur dan kekal.
Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Pernyataan ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.
Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

[1] Lih. YOHAHES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 279; lihat juga hlm. 265. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 14. [2] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 260-261. PIUS XII, Amanat radio, 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 19. PIUS XI, Ensiklik Mit brennender Sorge, 14 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 160. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissnum, 20 Juni 1888: Acta Leonis XIII 8, 1888, hlm. 237-238.
[3] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 270. PAULUS VI, Amanat radio, 22 Desember 1964: AAS 57 (1965) hlm. 181-182.
[4] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 417. IDEM, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273.
[5] Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 273-274. PIUS XII, Amanat radio, 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200.
[6] Lih. LEO XIII, Ensiklik Immortale Dei, 1 november 1885: ASS 18 (1885) hlm. 161.
[7] Lih. LAKTANSIUS, Ajaran-ajaran Ilahi, V, 19: CSEL 19, hlm. 463-464, 465; PL 6,614 dan 616 (bab 20). S. AMBROSIUS, Surat 21 kepada Kaisar Valentinianus: PL 16, 1005. S. AGUSTINUS, Melawan surat-surat Petilianus, II, 83: CSEL 52, hlm 112; PL 43, 315; lih. C.23, q.5, c.33: FRIEDBERG, kolom 939. IDEM, surat 23: PL 33,98. IDEM, surat 34: PL 33,132. IDEM, Surat 35: PL 33,135. S. GREGORIUS AGUNG, Surat kepada Uskup Virgillius dan Uskup Teodorus di Massilia, Gallia, Daftar Surat-surat I,45: MGH Ep.1 hlm. 72; PL 77,510-511 (jilid I, surat 47). IDEM, Surat kepada Yohanes Uskup Konstantinopel, Daftar Surat-surat III, 52: MGH Ep. 1, hlm. 210; PL 77,649 (jilid III, surat 53); lih. D.45, c.1: FRIEDBERG, kolom 160. KONSILI TOLEDO IV, bab 57: MANSI 10,633; lih. D.45, c.5: FRIEDBERG, kolom 161-162. KLEMENS III: X., V,6,9: FRIEDBERG, kolom 774. INOSENSIUS III, Surat kepada Uskup Agung di Arles, X., III,42,3: FRIEDBERG, kolom 646.
[8] Lih. Kitab Hukum Kanonik (lama), kanon 1351. PIUS XII, Amanat kepada para Prelat auditor serta para pejabat dan petugas lainnya pada Pengadilan Rota Romana, 6 Oktober 1946: AAS 38 (1946) hlm. 394. IDEM, Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 243.
[9] Lih. Ef 1:5.
[10] Lih. Yoh 6:44.
[11] Lih. Yoh 13:13.
[12] Lih. Mat 11:29.
[13] Lih. Mat 11:28-30; Yoh 6:67-68.
[14] Lih. Mat 9:28-29; Mrk 9:23-24; 6:5-6. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 642-643.
[15] Lih. Mat 11:20-24; Rom 12:19-20; 2Tes 1:8.
[16] Lih. Mat 13:30 dan 40-42.
[17] Lih. Mat 4:8-10; Yoh 6-15.
[18] Lih. Yes 42:1-4.
[19] Lih. Yoh 18:37.
[20] Lih. Mat 26:51-53; Yoh 18:36.
[21] Lih. Yoh 12:32.
[22] Lih. 1Kor 2:3-5; 1Tes 2:3-5.
[23] Lih. Rom 14:1-23; 1Kor 8:9-13; 10:23-33.
[24] Lih. Ef 6:19-20.
[25] Lih. Rom 1:16.
[26] Lih. 2Kor 10:4; 1Tes 5:8-9.
[27] Lif. Ef 6:11-17.
[28] Lih. 2Kor 10:3-5.
[29] Lih. 1Ptr 2:13-17.
[30] Lih. Kis 4:19-20.
[31] Lih. LEO XII, Surat Officio sanctissimo, 22 Desember 1887: ASS 20 (1887) hlm. 269. IDEM, Surat Ex litteris, 7 April 1887: ASS 19 (1886) hlm. 465.
[32] Lih. Mrk. 16:15; Mat 28:18-20. PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, 20 oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 445-446.
[33] Lih. PIUS XI, Surat Firmissimam constantiam, 28 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 196.
[34] Lih. PIUS XII, Amanat Ci riesce, 6 Desember 1953: AAS 45 (1953) hlm. 802.
[35] Lih. PIUS XII, Amanat radio, 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 270-278.
[36] Lih. Kis 4:29.
[37] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 299-300.
[38] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 295-296.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar