Minggu, 04 November 2012

Fenomenologi Politik II: Membongkar Krisis Legitimasi, Depolitisasi, dan Dehumanisasi Dalam Politik



Oleh: Ito Prajna-Nugroho**

(Naskah Kerja yang dibawakan dalam Forum Studi Sanggar Kebangsaan di Toba, Sumatera Utara)
Sebelum kita mempertimbangkan satu pertanyaan yang selalu tampil seolah-olah sebagai satu-satunya pertanyaan yang paling penting dan mendesak: ‘apakah yang harus kita perbuat?’, terlebih dahulu kita perlu mempertimbangkan pertanyaan ini: ‘bagaimanakah kita harus berpikir?’ Sebab, berpikir adalah perbuatan/tindakan yang sejati dan sesungguhnya.[i][i]
Manusia tidak lagi dapat mencari dan mengarahkan diri sebab ia tidak lagi dapat berpikir.[ii][ii]
[Martin Heidegger]
Jika kita mencoba sejenak mengamati gerak sejarah pemikiran politik di masa modern, sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 ini, kita akan segera melihat bahwa kata Kedaulatan tidak lagi menjadi kosakata pokok-utama dalam diskursus teori politik. Politik dalam bentuk ekspresinya yang modern lebih menekankan pada tema seputar kesahihan-kesempurnaan sistem politik, kesetaraan partisipasi politik, dan kecanggihan aparatus legal-birokratis. Tentu tidak ada yang keliru dengan pendekatan politik modern ini, bahkan baik adanya. Persoalan muncul saat pendekatan politik modern tersebut mengorbankan kedaulatan politik atas nama kesahihan sistem politik, memisahkan dua hal yang sebenarnya saling mengandaikan. Persis relasi yang saling menegasi, saling memisahkan dan saling mengorbankan inilah yang pada kenyataannya terjadi dalam realitas politik kontemporer, realitas yang di dalamnya setiap orang dapat berbicara mengenai ‘politik’ dan ‘demokrasi’ secara gampang-gampangan tanpa pernah mempertanyakan syarat-syarat kemungkinan paling pokok yang niscaya menopang ideal demokrasi.[iii][iii]
Kita tidak lagi mempertanyakan “apakah itu politik?” dan “apakah itu demokrasi?” sebab kita menerima begitu saja seluruh pengandaian teori politik modern tanpa mempertanyakannya lebih lanjut. Kita tidak lagi terbiasa untuk membongkar secara kritis pengandaian-pengandaian tersembunyi di balik suatu cara-pandang dunia (Welt-anschauung) yang menggerakkan jalannya sejarah. Padahal, realitas politik yang konkret dan praktis itu (yang terbatas / partikular) akan selalu digerakkan oleh – dan terkait erat dengan – cara-pandang dunia yang melatarbelakanginya (yang menyeluruh / universal) berikut segala pengandaian-pengandaian dasar yang menopangnya.
Tema kedaulatan politik selalu terkait erat dengan persoalan seputar pergulatan-diri serta pemahaman-diri manusia (Self-Understanding) sebagai darah dan daging yang hidup dan mati di dalam suatu sistem kekuasaan politik tertentu. Sementara tema kesahihan-kesempurnaan sistem politik selalu terkait erat dengan persoalan seputar kecukupan-diri (Self-Sufficiency) serta kesempurnaan bentuk sistem politik yang terbaik yang dapat berguna secara efektif-efisien bagi para manusia yang menjalankan/menggunakannya. Jika problem kedaulatan berbicara mengenai keutuhan manusia sebagai subjek/pelaku/dasar dari segala aktivitas politik dalam segala dimensinya, maka problem kesempurnaan sistem politik berbicara mengenai keutuhan bangunan sistem politik sebagai objek kajian yang paling penting dari seluruh aktivitas politik. Jika pembicaraan mengenai kedaulatan langsung menelisik pada aspek eksistensial-subjektif manusia dalam politik, maka pembicaraan mengenai kesempurnaan sistem langsung menekankan pada dimensi netral-objektif sistem politik.
Lebih spesifik lagi, tema kedaulatan politik mengangkat problem subjektivitas dan individualitas manusia sebagai subjek politik yang khas, dan kekhasan ini akan selalu menentukan perbedaan corak dan perbedaan karakter politik dalam komunitas-komunitas politik yang berbeda-beda, di dalam konteks ruang-waktu yang berbeda-beda pula. Sementara tema kesempurnaan-kesahihan sistem politik mengangkat problem rasionalitas dan objektivitas sistem yang berlaku sahih di manapun dan kapanpun tanpa tergantung pada para manusia di dalam ruang-waktu yang tertentu. Singkatnya, problem kedaulatan akan selalu mengarah pada otentisitas dan eksistensialitas manusia sebagai penggerak seluruh aktivitas politik. Sementara problem kesempurnaan-kesahihan sistem akan selalu mengarah pada netralitas dan teknisitas sistem politik di hadapan manusia yang sekadar menjalankannya.
Lewat naskah ini saya akan mencoba masuk lebih jauh ke dalam beberapa problem dasar (Grundprobleme) filsafat politik kontemporer. Satu problem pokok yang terus menjadi poros pergulatan filsafat politik kontemporer dapat dirumuskan sebagai berikut: di dalam sistem tatanan politik-sosial yang semakin modern dan canggih manusia modern justru semakin mengalami kecenderungan dekadensi yang tertampakkan dalam gejala teknologisasi, ekonomisasi, privatisasi, depolitisasi, dan dehumanisasi manusia dalam segala dimensinya. Pertanyaannya: bagaimana pendekatan cara-pandang modern yang awalnya bermotif mulia, yaitu untuk mewujudkan kebebasan manusia yang semakin paripurna (libertas, liberté, to liberalize), ternyata pada gilirannya justru mengekang, melumpuhkan, dan mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, dari sesamanya, dan dari dunianya (a.l., dunia sosial, dunia politik, dunia psikis-batin jiwa, dunia gagasan, dll). Dengan kata lain, bagaimana mungkin cara-pandang yang awalnya bermotif mulia itu justru akhirnya mengasingkan-melumpuhkan manusia dari kemampuannya untuk bersikap otentik, mengambil keputusan, dan mewujudkan kebebasannya. Di wilayah filsafat politik dan teori politik, pertanyaan ini membawa kita masuk lebih jauh ke dalam problem krisis legitimasi (1), problem depolitisasi hidup politik (2), dan problem kedaulatan subjek politik (3).[v][iv] Tiga hal ini merupakan problem-dasar (Grundprobleme) yang dihadapi oleh seluruh bentuk tatanan sosial-politik-ekonomi modern hingga saat ini. Fenomenologi Husserl dan Heidegger, dan khususnya fenomenologi politik Carl Schmitt, akan kita gunakan sebagai ‘alat baca’ untuk membaca, mengkonfrontasi, dan membongkar problem-problem dasar ini.
Zuruck zu den Sachen selbst (back to the things themselves) merupakan salah satu konsep kunci dalam fenomenologi Husserl. Konsep ini menjadi titik tolak metode reduksi fenomenologis Husserl yang disebut juga sebagai metode epochē.[vi][v] Secara sederhana, metode fenomenologis ini merupakan suatu metode kritis-meditatif yang hendak masuk ke dalam lapisan dasar kesadaran (noesis) untuk kemudian mencoba menunda/menangguhkan segala pra-paham, pra-sangkaan, dan pra-dugaan, yang telah selalu membentuk cara-berpikir manusia. Dari ruang noesis-meditatif itulah metode fenomenologi kemudian mencoba melihat ‘sesuatu’ sebagai sesuatu itu sendiri, menyingkapkan dasar yang mendasari ‘sesuatu’ itu, serta menarik saling-keterkaitan (zusammengehörigkeit) antara sesuatu itu dengan keseluruhan realitas (horizon) yang melatarinya. Secara sederhana, metode reduksi fenomenologis bermaksud untuk membongkar segala artifisialitas konstruksi sistem untuk kembali kepada primordialitas dunia-kehidupan yang mendasarinya. Melalui ‘pembongkaran metodologis’ ini segala klaim kebenaran dan penilaian ditangguhkan validitasnya, dibekukan keberlakuannya. Lewat ‘penangguhan/pembekuan fenomenologis ini (Einklammerung) kita dapat sejenak melepaskan-membebaskan diri dari segala jerat kungkungan metode dan ideologi sehingga dapat ‘melihat’ dasar dari segala sesuatu dengan lebih jernih dan terang-benderang.[vii][vi] ‘Sesuatu’ itu, sebagai pengandaian formal-konseptual, bisa diisi oleh apa saja, mulai dari ‘manusia’, ‘uang’, ‘hasrat’, ‘jiwa’, ‘kuasa’, sampai dengan ‘masyarakat’ dan ‘politik’.
Jika metode yang sama diterapkan dalam ruang politik (ruang kesadaran politik), maka hasilnya adalah penelanjangan atau penyingkapan tanpa tedeng aling-aling terhadap pengandaian-pengandaian dasar yang problematis dalam teori maupun praktik politik modern. Pengandaian dasar yang problematis itu dapat dirumuskan secara sederhana sebagai kerancuan cara-berpikir atau kekeliruan kategoris (kategorien Miβdeutung)[viii][vii] yang termuat dalam cara-pandang filsafat modern yang kemudian mendefinisikan dan mendominasi seluruh teori dan praktik politik modern. Kekeliruan kategoris atau kerancuan cara-berpikir itu pada pokoknya berkenaan dengan ketidakmampuan dalam membedakan perbedaan ontologis (ontologische Differenz)[ix][viii] antara: 1) sesuatu yang mendasar/primer dan hal-hal turunan/sekunder yang muncul sebagai konsekuensinya, 2) antara keseluruhan (the Whole) dan bagian-bagian (Parts) yang terdapat dalam keseluruhan itu, 3) antara universalitas yang menyeluruh dan partikularitas yang terbatas, 4) antara faktisitas-ontologis yang mendasar dan faktualitas-ontis yang sementara/empiris.
Kerancuan kategoris inilah yang kemudian mengakibatkan konsekuensi yang serba salah-kaprah dalam memutlakkan apa yang sebetulnya partikular menjadi sesuatu yang universal, memutlakkan hal-hal sekunder menjadi sesuatu yang primer, memutlakkan kategori empiris-ontis menjadi prinsip ontologis-fundamental. Singkatnya, kekeliruan dalam menguniversalisasikan sesuatu yang secara kategoris/mendasar tidaklah universal. Dalam teori dan praktik politik modern, kerancuan kategoris inilah yang menyebabkan mengapa misalnya dalam praktik demokrasi (yang secara ide sebetulnya baik) penekanan pada prosedur-prosedur formal demokrasi justru menginjak atau mengesampingkan kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Demikian juga penekanan pada rasionalitas-netralitas sistem hukum (legalitas) justru menekuk-melipat kapasitas partisipatif suatu komunitas politik yang hidup di dalamnya (legitimitas). Atau penekanan pada formalitas prosedural kenegaraan (birokrasi politik dan administrasi ruang publik) justru memasung-melumpuhkan identitas serta otoritas subjek-subjek politik yang seharusnya meniupkan ruh/karakter yang khas dari suatu Negara.
Kerancuan atau sesat kategoris inilah yang oleh Carl Schmitt disebut sebagai ‘sesat penyalahgunaan metonymik’ (metonymic abuse) dalam teori dan praktik politik modern (dalam konteks Schmitt berarti juga meliputi sistem liberalisme maupun komunisme).[x][ix] Kerancuan kategoris dan sesat berpikir dalam memahami kesejatian dari politik inilah yang menurut Schmitt menjadi sebab-musabab dari seluruh proses de-politisasi dunia politik modern. De-politisasi ini dimulai dari motif yang bukan saja manusiawi, tetapi sebenarnya juga mulia, yaitu hasrat untuk menyusun tatanan (Ordnung) sosial-politik yang stabil dan dapat menjadi arah hidup kolektif (Ortung).[xi][x] Hasrat untuk menyusun tatanan itulah yang mengawali segala kontrak sosial, kontrak politik, dan kontrak dagang-ekonomi. Tetapi bersamaan dengan berjalannya proses modernisasi dan teknologisasi, tatanan sistem yang awalnya bermula dari kontrak kolektif itu kemudian lepas-landas semakin jauh meninggalkan pergulatan-diri dan kepentingan manusia-manusia konkret yang hidup-mati di dalamnya. Dinamika sistem tidak lagi berjalan bersamaan dengan dinamika pergulatan-diri konkret setiap manusia di dalamnya.
Akibatnya dari kesenjangan ini adalah perkembangan sistem sosial-politik, sebagaimana juga perkembangan teknologi, justru menciptakan relasi ketergantungan a-simetris yang tidak setara antara tuntutan objektivitas sistem yang satu-dimensi dan tuntutan subjektivitas manusia sebagai makhluk multi-dimensi. Relasi ketergantungan asimetris yang tidak setara inilah yang menjadi sasaran kritik Schmitt jika ia mengritik proses domestifikasi, ekonomisasi, depolitisasi, dan dehumanisasi yang terjadi dengan semakin brutal di dalam sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik demokrasi liberal-konstitusional. Sistem politik demokrasi liberal-konstitusional, dalam bahasa Schmitt, menciptakan makhluk-makhluk politik yang anonim dan terasingkan satu sama lain. Makhluk-makhluk politik ini sekadar menjadi massa anonim yang tanpa identitas sebab rasionalitas serta netralitas sistem birokrasi-konstitusi modern memang dimaksudkan untuk mensterilkan ruang-publik dari faktor subjektif. Akibatnya, dalam sistem seperti ini seluruh pertanyaan tentang legitimasi (legitimitas) direduksi ke dalam rumusan-rumusan birokratis-prosedural (legalitas).[xii][xi] Kecenderungan ini berjalan sejajar dengan kepercayaan naif sains (ilmu-ilmu alam) yang naturalistik bahwa alam bekerja secara objektif-netral-rasional terlepas dari intensi manusia-manusia yang ada di dalamnya. Dalam sistem ekonomi kapitalistik juga terjadi kenaifan dan kerancuan yang sama, yaitu bahwa sistem pasar diandaikan bekerja menurut hukum-hukumnya sendiri yang berlaku objektif-netral-rasional, sehingga manusia-manusia yang terlibat di dalam mekanisme pasar itu diandaikan tidak mempunyai daya-kuasa atas sistem tersebut.
Maka baik dalam wilayah politik maupun ekonomi manusia mengalami depolitisasi dan dehumanisasi entah sebagai massa anonim yang tanpa karakter ataupun sebagai objek komoditas yang tanpa arah. Bersama dengan depolitisasi dan dehumanisasi itu manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali: 1) semakin tersudutkan ke dalam ruang privatnya masing-masing yang terpisah dari ruang publik, dan dengan itu semakin terasing dari keputusan-keputusan publik-politik (mengalami de-politisasi), atau 2) semakin terlempar ke luar ke mekanisme ruang publik (entah politik atau ekonomi) yang anonim di mana intensi-intensi subjektifnya tidaklah relevan, dan dengan itu semakin mengalami keterasingan dari dirinya sendiri (de-humanisasi). Apa yang semakin terkikis dari manusia bersamaan dengan depolitisasi dan dehumanisasi ini adalah dua hal yang sebetulnya telah selalu menjadi bagian dari diri manusia, yaitu: 1) kemampuannya untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab, dan 2) kemampuannya untuk mengarahkan diri ke masa depan. Inilah sebabnya mengapa sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistik selalu ditandai oleh satu ciri umum yang akan selalu menyertainya, yaitu: kerentanan terhadap krisis.
Menjadi jelas bahwa depolitisasi dan dehumanisasi adalah sebuah konsekuensi dari suatu sistem. Sebagai konsekuensi, keduanya tidaklah muncul karena demokrasi dan kapitalisme pada dirinya buruk dan rancu. Kerancuan itu muncul lebih sebagai akibat dari pemahaman, penafsiran, dan penerapan cara-pandang modern saintifik-positivistik atas sistem itu yang membuatnya rancu/salah-kaprah. Maka problemnya tidak terletak pada demokrasi ataupun kapitalisme itu sendiri, melainkan lebih pada cara bagaimana keduanya dipahami, ditafsirkan, dan dijalankan.
Dalam cara baca yang tidak jauh berbeda dengan Schmitt, Jürgen Habermas juga sampai pada kesimpulan yang kurang lebih serupa dengan analisis Schmitt. Dalam naskah kerja hasil penelitian yang dilakukan Habermas bersama dengan Max Planck Institut pada 1970 (Max Planck Institut zur Erforschung der Lebensbedingungen der wissenschaftlich-technischen Welt), ia sampai pada kesimpulan sebagai berikut: bahwa proses integrasi sistem tidak selalu berjalan bersamaan dengan proses integrasi sosial, bahkan integrasi sistem sering menafikkan pentingnya proses integrasi sosial.[xiii][xii] Artinya, suatu sistem (entah itu sistem nilai, sistem politik-ekonomi, dsb) yang berproses menjadi semakin otonom seringkali membuat masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi semakin tergantung pada sistem itu dan membuat mereka justru semakin tidak otonom. Otonomi sistem ternyata justru sering berlawanan (kontradiktif) dengan otonomi sosial.
Salah satu sebab utamanya adalah karena sistem selalu cenderung untuk membuat subjek-subjek berdaulat di dalam sistem itu mengalami automatisasi dan anonimisasi. Inilah sebabnya jika terjadi interupsi, diferensiasi, dan distraksi terhadap sistem tersebut, maka identitas para manusia di dalamnya juga ikut terganggu dan terancam. Ancaman terhadap integrasi sistem (yang bersifat eksternal-struktural) yang secara langsung ikut mengancam integrasi sosial para manusia di dalamnya (yang bersifat internal-eksistensial), inilah yang disebut Habermas sebagai Krisis.[xiv][xiii] Maka, jika mengikuti alur penelitian Habermas ini, krisis terjadi karena logika sistem telah begitu jauh meresap ke dalam diri masing-masing manusia yang membuatnya tidak lagi dapat berpikir dan bertindak di luar kerangka sistem tersebut. Dengan kata lain, tercipta ketergantungan yang tidak setara/imbang antara sistem dan manusia. Jika terjadi berbagai masalah menyangkut keberlangsungan sistem tersebut, manusia-manusia di dalamnya juga ikut terguncang karena tidak lagi dapat dipisahkan antara dirinya dengan sistem yang menaunginya (terjadi identifikasi).[xv][xiv] Maka terjadinya suatu krisis ekonomi (yang bekerja menurut logika sistem pasar) secara langsung juga mengakibatkan krisis sosial bahkan krisis personal.[xvi][xv]
Cukup menarik melihat bahwa Habermas mengatakan hal yang kurang lebih sama dengan Schmitt, yaitu bahwa cara-kerja sistem yang mekanis-anonim itu telah mendominasi dan merasuk sedemikian rupa ke dalam cara-berpikir manusia yang seharusnya berproses secara komunikatif-hermeneutis. Oleh karena itu setiap krisis sebetulnya merupakan krisis yang berkenaan dengan problem legitimasi atas cara kerja suatu sistem. Mesin tidak dapat dan tidak perlu melegitimasi dirinya. Problem legitimasi adalah problem yang khas manusia dan hanya bisa terjadi pada manusia. Sebabnya tidak lain karena tanggung jawab dan apropriasi (menjadikan sesuatu sebagai milik atau bagian dari diri kita) hanya dapat muncul dari manusia sebagai subjek yang memiliki kesadaran. Ketidakmampuan manusia untuk menanggapi/merespon (to respond/being responsible) berbagai problem legitimasi yang muncul dari suatu krisis menunjukkan bagaimana manusia sebagai subjek yang sadar itu telah mengalami depolitisasi dan dehumanisasi yang sedemikian parah. Pengandaian inilah yang berdiri di balik analisis Habermas saat ia menyebut sistem politik-ekonomi modern yang kapitalistik itu sebagai “suatu proses pertumbuhan yang akan selalu ditunggangi oleh krisis.” (a crisis-ridden course of economic growth)[xvii][xvi]
Dalam perspektif fenomenologi Husserlian-Schmittian, analisis tentang krisis legitimasi, depolitisasi, dan dehumanisasi tidak tinggal begitu saja sebagai perspektif teoretis. Sebaliknya, analisis itu sendiri muncul sebagai sebuah bentuk ekspresi dari apa yang senyatanya terjadi dalam dunia-kehidupan konkret manusia-manusia politik modern. Dari perspektif fenomenologi Husserlian-Schmittian, analisis mengenai krisis ini semakin menegaskan kembali dimensi terdalam tetapi juga tergelap dari diri dan hidup manusia, yaitu: dimensinya yang tanpa-dasar (Grundlos / Groundless). Dari situasi ontologis-eksistensial yang tanpa-dasar inilah manusia mulai membangun sistem (apapun) untuk melangsungkan hidup dan merawat dirinya. Maka setiap sistem, apapun itu, akan selalu memuat kemungkinan untuk kembali terjatuh ke dalam situasi yang tanpa-dasar. Apa yang menjadi awal (alfa) dari segala sesuatu dapat pula menjadi akhir dari segalanya itu (omega).
Untuk manusia sebagai pribadi, situasi tanpa-dasar itu akan selalu mungkin dialaminya melalui pengalaman-pengalaman kejatuhan eksistensial yang membuat seluruh normalitas hidupnya bergeser ke dalam ab-normalitas, seluruh kewarasan bergerak ke arah kegilaan, seluruh kenyamanan-diri bergeser menjadi pertanyaan/pergulatan-diri. Manusia seringkali mengalami kejatuhan eksistensial ini dalam pengalaman-pengalaman otentik yang seringkali juga traumatis, seperti misalnya dalam situasi perang, konflik batin, situasi-situasi kritis, dll. Untuk dunia politik, situasi tanpa-dasar yang selalu mengintai di ambang batas segala tatanan sosial-politik adalah keadaan total chaos dan total disorder. Chaos dan ambruknya tatanan (disorder) menjadi extremus necessitatis casus (kasus-kasus ekstrem yang niscaya) yang justru menentukan karater otentik dari setiap aktivitas politik.[xviii][xvii] Bagi Schmitt, normalitas tidaklah muncul dari normalitas itu sendiri layaknya tautologi yang tidak bermakna. Seluruh normalitas dibangun di atas dasar ab-normalitas, sebagaimana semua pendasaran (tatanan) dibangun di atas situasi tanpa-dasar (tanpa-tatanan).
Dengan menyingkapkan situasi ab-normal/tanpa-dasar dari seluruh sistem, Schmitt memperlihatkan bahwa politik, sebagaimana hidup manusia sendiri, tidak akan pernah dapat dilepaskan dari satu senyawanya yang paling penting, yaitu: Kedaulatan. Hanya manusia yang sadar sajalah yang mampu menegaskan dirinya di atas segala pengecualian, menegaskan dirinya di atas segala ab-normalitas dan ketanpa-dasaran. Inilah sebab mengapa hanya manusia saja satu-satunya makhluk yang dapat disebut sebagai subjek-berdaulat yang mampu mewujudkan kedaulatannya. Kedaulatan itu sendiri bukanlah sebuah ruang kosong nihilistik, melainkan selalu memuat tiga dimensi dasarnya: 1) keputusan, 2) tanggung jawab, 3) keterjangkaran pada tradisi (historisitas) dan keterarahan ke arah masa depan (temporalitas). Ketiganya merupakan faktor dasar yang mendefinisikan karakter setiap orang dalam kekhasannya masing-masing, sebagaimana ketiganya juga mendefinisikan karakter kolektivitas setiap bangsa dalam kekhasannya masing-masing. Dimensi kedaulatan inilah yang kemudian terjinakkan bersama dengan semakin meluasnya pengaruh ilmu-ilmu modern yang saintifik-naturalistik-positivistik ke dalam wilayah politik. Proses penjinakkan manusia (depolitisasi dan dehumanisasi) menjadi makhluk-makhluk yang pasif, konsumtif, dan a-politis melalui sistem politik-ekonomi modern inilah yang menyebabkan mengapa manusia-manusia modern lebih rentan terhadap krisis: sejak awal ia telah terasing dari historisitasnya, terasing dari temporalitasnya, asing dari pengertian tanggung jawab, dan asing dengan dimensi eksistensial keputusan.
Dari sudut pandang fenomenologi Husserlian-Schmittian, segala krisis, ancaman, dan pengalaman negatif yang selalu menyertai manusia memperlihatkan bahwa tema kedaulatan tidak akan pernah dapat dipinggirkan dari epicentrum pergerakan tatanan sosial-politik. Tema kedaulatan menyingkapkan ciri dunia-kehidupan yang tidak hanya bersifat pra-reflektif, tetapi juga extra-sistem, extra-legal, extra-yuridis, dan extra-regular.[xix][xviii] Dimensi ‘extra’ ini tidak lain dari dimensi peristiwa (Ereignis / l’ événement) yang akan selalu luput dari kapasitas rasional-prediktif-manipulatif manusia dan dapat selalu menyergap manusia kapan saja di mana saja. Dimensi ‘extra’ ini menyingkapkan sisi lain dunia-kehidupan yang melampaui segala rutinitas, regularitas, dan legalitas. Dalam dimensi ‘extra’ inilah seluruh problematika politik yang legalistik-proseduralistik kehilangan daya jangkaunya, dan beralih ke wilayah keputusan politik di tangan subjek politik yang berdaulat. Lewat dimensi ‘extra’ ini setiap manusia, entah individu ataupun kolektif, dihadapkan/dikonfrontasikan langsung dengan titik masa depannya yang paling ekstrem, yaitu: kematiannya. Di hadapan kematian ini masa depan hadir sebagai cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas, dan di hadapan ketidakterbatasan kemungkinan inilah manusia menegaskan-diri melalui pengambilan risiko dan tanggung jawab.
Risiko kematian dan tangung jawab tidak memungkinkan manusia untuk tinggal anonim, sebab risiko kematian/masa depan yang berbeda-beda dalam situasi setiap orang (juga setiap bangsa) menuntut penegasan-diri dan pengambilan tanggung jawab yang berbeda-beda pula bagi setiap manusia. Dalam perbedaan situasi eksistensial inilah ditegaskan otentisitas setiap manusia dan juga otentisitas setiap bangsa. Maka risiko di hadapan kematian dan kapasitas tanggung jawab mentransformasi manusia menjadi Subjek yang memiliki kesadaran, dan dengan kesadaran itu menata diri (Ordnung) serta mengarahkan diri (Ortung).[xx][xix]
Pembahasan mengenai dimensi ‘extra’ dari dunia-kehidupan dan dunia politik oleh Schmitt dimaksudkan untuk mengembalikan problem otoritas (autoritas) dalam perdebatan teori politik. Pembahasan mengenai otoritas akan selalu berkenaan dengan keputusan dan tanggung jawab. Dalam ruang otoritas ini seluruh perdebatan mengenai legalitas berhenti dan beralih ke dalam pertanyaan tentang legitimitas. Sebab hukum hanya dapat berfungsi secara sah-legal jika keberlakuannya dapat dilegitimasikan, dan legitimasi hanya dapat dituliskan/ditegaskan/disahkan (authorized) oleh manusia sebagai subjek (author).
Bertolak dari pengandaian inilah maka Schmitt, dengan mengutip kembali Thomas Hobbes, dapat mengatakan bahwa hukum tidak ditentukan oleh kebenaran, melainkan ditentukan oleh otoritas (autoritas, non veritas facit legem).[xxi][xx] Bagi Schmitt, bukan legalitas dan netralitas yang menjadi tulang punggung dari politik, melainkan otoritas dan legitimitas. Otoritas, legitimitas, dan bersamaan dengan itu juga otentisitas dan keberpihakan adalah syarat-syarat pengandaian paling mendasar yang mendefinisikan politik sebagai politik.
Mendengar penegasan Schmitt ini kita wajar saja merasa gelisah-khawatir, sebab penegasan seperti ini bagaikan (seolah-olah) mau menghidupkan kembali ruh otoritarianisme, militerisme, fasisme, kediktatoran proletariat à la Marxisme-Leninisme atau Maoisme dan semua jenis “isme-isme” yang memang horor menakutkan itu. Tetapi kita akan mudah terjebak dalam ketakutan serta kesempitan cara-berpikir seperti ini dalam membaca Schmitt jika mengikuti tafsir gampang-gampangan yang umum terjadi di dalam kultur masyarakat akademis yang serba instan, populer, dan dangkal.
Suara dari para pemikir radikal seperti Schmitt, Leo Strauss, juga Husserl, Heidegger, dan juga Jan Patočka adalah suara-suara “sumbang” yang hendak menghentak kita yang terlena hanyut dalam alunan nada-nada musik yang terlalu indah. Suara orang-orang seperti Schmitt adalah nada-nada minor yang menginterupsi alunan simfoni yang terlalu melodik terlalu megah.[xxii][xxi] Suara para pemikir seperti Schmitt adalah suara perlawanan, suara dissident, suara lain yang mengajak kita untuk berani mengkonfrontasi cara-pandang umum yang telah mendominasi dengan begitu mutlaknya. Suara-suara dissident seperti ini adalah suara yang menarik kita untuk berani melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam dimensi eksistensial manusia dalam segala pergulatannya. Suara-suara dissident seperti Schmitt ini adalah suara ‘lain’ yang memanggil kita di kejauhannya dan menarik kita untuk menyimaknya dalam segala keberlainannya.
Dan pertanyaannya, mengapa pula pemikiran Schmitt harus diperlawankan dengan demokrasi? Bukankah demokrasi berdiri tidak saja di atas gagasan dasar mengenai kesetaraan, melainkan juga bahwa dengan kesetaraan itu setiap manusia dalam demokrasi diandaikan mampu berpartisipasi dalam ruang publik-politik sebagai subjek yang berdaulat, dan bukan sebagai objek-objek yang anonim?
Meniupkan kembali ruh kedaulatan ke dalam tubuh politik (1), dan menghembuskan kembali nafas subjek-eksistensial ke dalam tubuh mekanis manusia modern (2), dua hal inilah yang menjadi poros pergerakan serta pergulatan pemikiran Carl Schmitt. Dua hal inilah yang oleh Antonio Negri disebut sebagai dasar dari seluruh pembicaraan mengenai demokrasi sebagai ruang-horizon terbuka yang memungkinkan penegasan-diri/tindakan manusia sebagai makhluk politik, entah secara pribadi ataupun secara kolektif.[xxiii][xxii] Di titik akhir ini, melalui pembahasan mengenai eksistensialitas, situasionaitas, dan otentisitas manusia politik yang berkonfrontasi/berhadap-hadapan dengan depolitisasi dan dehumanisasi, menjadi jelas bahwa fenomenologi politik akan selalu berjalan bersamaan dengan fenomenologi eksistensial.***


* Tulisan ini merupakan naskah kerja untuk Sanggar Pembasisan Pancasila bekerja sama dengan Lingkaran HUSSERL&Fenomenologi Terapan (LUFT), dan naskah kerja ini adalah kelanjutan dari naskah sebelumnya: “Fenomenologi Politik – Dari Fenomenologi Husserl dan Heidegger hingga ke Teori Politik Carl Schmitt,” yang ketika itu dibawakan dalam Konferensi Studi Pergerakan Kebangsaan pada 12 Mei 2012.
** Ito Prajna adalah dosen filsafat yang mengkhususkan studinya dalam kajian-kajian filsafat fenomenologi khususnya fenomenologi Husserl dan Heidegger.
[i][i] Martin Heidegger, “The Turning,” in Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, translated by William Lovitt (New York: Harper Colophon Books, 1977), p. 40.
[ii][ii] Martin Heidegger, “The Word of Nietzsche,” Op. Cit., p.. 112.
[iii][iii] Leo Strauss termasuk seorang filsuf politik yang secara tajam, kritis, dan tanpa-kompromi berani mempertanyakan pengandaian-pengandaian politik modern, khususnya ‘demokrasi liberal-konstitusional’, di saat semua kalangan intelektual dan politisi modern sedang tenggelam dalam euforia demokrasi sejak berakhirnya Perang Dunia II. Suara Leo Strauss yang mengagetkan dan menggelisahkan itu mengingatkan kita pada suara Carl Schmitt yang di awal abad ke-20 telah mendiagnosis berbagai patologi politik modern yang akan mendera manusia-manusia politik di abad ke-20 dan 21. Suara Strauss dan Schmitt adalah suara ‘disiden’ (dissident), yaitu: suara perlawanan, suara disensus, suara konfrontasi, suara keberlainan yang menghentak diskursus politik yang tidak lagi dapat mendengar ‘Yang Lain’ di dalam kecenderungan cara-pandang modern untuk mentotalisasi dan menguniversalisasikan ruang publik. Lihat Leo Strauss, “Philosophy as Rigorous Science and Political Philosophy,” in Journal of Political Philosophy, 2, no. 1 (1971), pp. 29-30. Lihat juga Thomas L. Pangle, Leo Strauss: An Introduction to His Thought and Intellectual Legacy (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2006), pp. 1-3.




[v][iv] Bdk., Paul Ricoeur, “Jan Patočka: A Philosopher of Resistance,” in The Crane Bag, vol. 7, no. 1, Socialism and Culture (1983), pp. 116-117. Diunduh dari JSTOR pada 13/10/2010, 09:00.
[vi][v] Mengenai penjabaran epochē sebagai metode reduksi fenomenologis dapat dibaca tulisan saya: Ito Prajna-Nugroho, “Kebenaran dalam Tegangan antara Intensionalitas Kesadaran dan Kepenuhan Makna – Sketsa Awal Tesis-tesis Dasar Fenomenologi Husserl,” Jurnal Filsafat Driyarkara (Jurnal Ilmiah Nasional), Th. XXIX, no. 2 / 2007, hlm. 11-38.
[vii][vi] Maurice Merleau-Ponty merumuskan metode fenomenologi Husserl ini dengan bagus sebagai: “A philosophy which puts essences back into existence, and does not expect to arrive at an understanding of man and the world from any starting point other than that of their Facticity. It is the search for a philosophy as a rigorous science, but it also offers an account of space, time, and the world as we ‘live’ them”. Lihat Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, translated by Colin Smith (New York: The Humanities Press, 1974), p. vii.
[viii][vii] Edmund Husserl, Logical Investigations – Volume I, translated by J. N. Findlay (New York: The Humanities Press, 1970), § 2, § 22, pp. 55, 104.
[ix][viii] Martin Heidegger, The Basic Problems of Phenomenology, translated by Albert Hofstadter (Bloomington: Indiana University Press, 1982), pp. 318-324.
[x][ix] Michael Marder, Groundless Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt (London: The Continuum International Publishing Group Ltd, 2012), pp. 104-105.
[xi][x] Bdk., William Hooker, Carl Schmitt’s International Thought – Order and Orientation (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), pp. 105-122.
[xii][xi] Michael Marder, Groundless Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt, pp. 107-108.
[xiii][xii] Juergen Habermas, Legitimation Crisis, translated by Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1973), pp. 4-5.
[xiv][xiii] Ibid., pp. 23-24.
[xv][xiv] Ibid., p. 27.
[xvi][xv] Ibid., p. 29.
[xvii][xvi] Ibid., p. 28.
[xviii][xvii] Michael Marder, Groundless Existence, pp. 15-16.
[xix][xviii] Michael Marder, Groundless Existence, pp. 40-42.
[xx][xix] Ibid., 49-52.
[xxi][xx] Carl Schmitt, Political Theology – Four Chapters on the Concept of Sovereignty, translated by George Schwab (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 1988), pp. 33-35. Bandingkan juga: Thomas Hobbes, Leviathan, edited by C. B. McPherson (Penguin Books, 1974), § 26, pp. 322-333.
[xxii][xxi] Paul Ricoeur, “Jan Patočka: A Philosopher of Resistance,” pp. 117-118.
[xxiii][xxii] Antonio Negri, “Reliqua Desiderantur: A Conjecture for a Definition of the Concept of Democracy in the Final Spinoza,” in The New Spinoza, edited by Warren Montag and Ted Stolze (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), pp. 225-231.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar