Selasa, 03 Desember 2013

PEMAKZULAN BUPATI KARO MERUPAKAN DOMAIN DPRD KABUPATEN KARO

Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfir kehidupan demokrasi secara konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung pimpinan daerahnya, seperti Bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. 
Masyarakat juga memiliki peluang untuk menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap memiliki penyimpangan dalam kepemimpinannya, tetapi untuk melakukan pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah dibutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan DPRD.

Menilik demo yang dilakukan masyarakat Karo untuk meminta Bupati Karo diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana keseriusan dan kemampuan anggota DPRD Kabupaten Karo menampung dan mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional hanya DPRD yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya memakzulkan Bupati Karo merupakan domain atau wewenang anggota DPRD Kabupaten Karo.

Secara kasat mata terlihat dengan jelas demo yang sedang terjadi menunjukkan sebagaian besar masyarakat Kabupaten Karo mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja Bupati yang sedang menjabat saat ini, terutama terhadap tindakan-tindakan bupati yang diduga tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal Bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas, dapat dibuktikan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan jalur, ruang dan waktu panjang, serta menyita energy yang banyak, dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit. Bahkan kemungkinan tidak luput dari dinamika kepentingan politik seseorang maupun kelompoknya, sehingga adakalanya produk akhirnya bisa jadi tidak sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok yang melakukan demo.

Untuk melakukan pemakzulan Bupati Kabupaten Karo yang menjabat saat ini, dibutuhkan kemampuan merumuskan apa sesungguhnya kesalahan Bupati Karo, hal itu yang akan dijadikan sebagai alasan utama perlunya dilakukan pemberhentian dari jabatannya. Jika alasan tersebut tidak tepat maka proses pemakzulan tersebut dikuatirkan akan sia-sia dan tidak membuahkan hasil.

Peristiwa pemakzulan Bupati di Indonesia, bukan merupakan peristiwa baru, dan telah pernah dilakukan di beberapa daerah, secara konstitusional ketentuan mengenai pemakzulan kepala daerah diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Peristiwa ini pernah dilakukan di Propinsi Riau dan Jawa Timur, dan yang paling heboh adalah pemakzulan Aceng Fikri Bupati Garut Provinsi Jawa Barat yang dianggap amoral dan melanggar etika.

Pemakzulan kepala daerah, pada intinya dapat dilakukan apabila memenuhi tiga hal mendasar, yaitu perbuatan kriminal, pengkhianatan dan perbuatan tercela. Dalam UU No. 32 diatur ketentuan, mekanisme dan tata cara pemberhentian kepala daerah, baik melalui peran DPRD maupun tindakan langsung yang dilakukan oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD. Atau, DPRD akan menggunakan hak menyatakan pendapatnya untuk menentukan apakah Bupati akan dinonaktifkan atau tidak yang selanjutnya akan diajukan ke Mahkmah Agung.

Pasal 29 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004, menyebutkan Mahkamah Agung berwenang memutus pendapat DPRD atas pemberhentian kepala daerah yang diusulkan jika kepala daerah dinilai melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya, putusan usul pemberhentian itu disampaikan kepada presiden dan memprosesnya paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul itu.

Dalam kasus Aceng Fikri, pemakzulan dapat terealisasi karena kasusnya dirumuskan sebagai pelanggaran etika. Setelah melalui demontrasi masyarakat dan menjadi berita utama di media massa, DPRD Garut membentuk pansus untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran etika yang diduga dilakukan Aceng Fikri, kemudian pansus dalam sidang paripurna DPRD memutuskan Aceng Fikri melanggar etika, perundang-undangan dan sumpah jabatan.

Mahkamah Agung juga akhirnya mengabulkan permohonan DPRD Garut, kemudian DPRD mengeksekusi keputusan tersebut melalui sidang paripurna DPRD dan disampaikan kepada Menteri Dalam Negri, kemudian pemberhentian bupati akan dilakukan oleh presiden.

Untuk melakukan pemakzulan seorang Bupati berdasarkan konstitusi, menjadi domainnya DPRD, dalam peristiwa demo terhadap Bupati Karo yang diminta masyarakat agar berhenti dari jabatannya, keberhasilan tuntutan ini sangat tergantung kepada kemauan dan kemampuan DPRD Tingkat II Kabupaten Karo. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya proses pemberhentian Bupati Karo berada didalam wewenang para anggota DPRD. Maka saat ini wajar jika masyarakat Karo yang menginginkan terjadinya pemberhentian Bupati Karo sangat menggantungkan harapannya kepada para anggota DPRD Kabupaten Karo.

Pada intinya masyarakat telah mengungkapkan perasaan dan keinginannya melalui demo yang dilakukan, dan secara terus terang masyarakat sudah menunjukkan sikap tidak tidak menerima keberadaan Bupati saat ini, persoalannya mampukah para anggota DPRD mendengarkan suara rakyat ini dan sanggup-kah para anggota DPRD tersebut merumuskan alasan yang tepat untuk memuluskan proses pemberhentian Bupati ?

Wacana ini sangat layak dan pantas kita sampaikan kepada para anggota DPRD Kabupaten Karo karena berhasil atau tidaknya tuntutan rakyat ini sangat tergantung kepada kemauan para anggota DPRD Kabupaten Karo, dan untuk menggagalkan pemberhentian Bupati Karo para anggota DPRD tersebut juga memiliki kekuatan secara politis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar