PEMAKZULAN BUPATI KARO MERUPAKAN DOMAIN DPRD KABUPATEN KARO
Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfir kehidupan demokrasi secara
konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung pimpinan
daerahnya, seperti Bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan
mereka di lembaga legislatif.
Masyarakat juga memiliki peluang untuk
menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap memiliki penyimpangan dalam kepemimpinannya, tetapi untuk melakukan
pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah
dibutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan DPRD.
Menilik demo yang dilakukan masyarakat Karo untuk meminta Bupati Karo
diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana
keseriusan dan kemampuan anggota DPRD Kabupaten Karo menampung dan
mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional
hanya DPRD yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya memakzulkan Bupati Karo merupakan domain atau wewenang anggota DPRD Kabupaten Karo.
Secara kasat mata terlihat dengan jelas demo yang sedang
terjadi menunjukkan sebagaian besar masyarakat Kabupaten Karo
mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja Bupati yang sedang menjabat
saat ini, terutama terhadap tindakan-tindakan bupati yang diduga tidak
sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal Bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas, dapat dibuktikan
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun
konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini
maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan
jalur, ruang dan waktu panjang, serta menyita energy yang banyak,
dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit. Bahkan kemungkinan
tidak luput dari dinamika kepentingan politik seseorang maupun
kelompoknya, sehingga adakalanya produk akhirnya bisa
jadi tidak sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok yang melakukan
demo.
Untuk melakukan pemakzulan Bupati Kabupaten Karo yang
menjabat saat ini, dibutuhkan kemampuan merumuskan apa sesungguhnya
kesalahan Bupati Karo, hal itu yang akan dijadikan sebagai alasan utama perlunya
dilakukan pemberhentian dari jabatannya. Jika alasan tersebut tidak
tepat maka proses pemakzulan tersebut dikuatirkan akan sia-sia dan tidak
membuahkan hasil.
Peristiwa pemakzulan Bupati di Indonesia,
bukan merupakan peristiwa baru, dan telah pernah dilakukan di beberapa
daerah, secara konstitusional ketentuan mengenai pemakzulan kepala
daerah diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Peristiwa ini pernah dilakukan di Propinsi Riau
dan Jawa Timur, dan yang paling heboh adalah pemakzulan Aceng Fikri Bupati Garut
Provinsi Jawa Barat yang dianggap amoral dan
melanggar etika.
Pemakzulan kepala daerah, pada intinya dapat
dilakukan apabila memenuhi tiga hal mendasar, yaitu perbuatan kriminal,
pengkhianatan dan perbuatan tercela. Dalam UU No. 32 diatur ketentuan,
mekanisme dan tata cara pemberhentian kepala daerah, baik melalui peran
DPRD maupun tindakan langsung yang dilakukan oleh presiden tanpa melalui
usulan DPRD. Atau, DPRD akan menggunakan hak menyatakan pendapatnya
untuk menentukan apakah Bupati akan dinonaktifkan atau tidak yang
selanjutnya akan diajukan ke Mahkmah Agung.
Pasal 29 ayat 4 UU
No. 32 Tahun 2004, menyebutkan Mahkamah Agung berwenang memutus pendapat
DPRD atas pemberhentian kepala daerah yang diusulkan jika kepala daerah
dinilai melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya, putusan usul pemberhentian itu
disampaikan kepada presiden dan memprosesnya paling lambat 30 hari sejak
DPRD menyampaikan usul itu.
Dalam kasus Aceng Fikri,
pemakzulan dapat terealisasi karena kasusnya dirumuskan sebagai
pelanggaran etika. Setelah melalui demontrasi masyarakat dan menjadi
berita utama di media massa, DPRD Garut membentuk pansus untuk melakukan
investigasi terhadap pelanggaran etika yang diduga dilakukan Aceng
Fikri, kemudian pansus dalam sidang paripurna DPRD memutuskan Aceng
Fikri melanggar etika, perundang-undangan dan sumpah jabatan.
Mahkamah Agung juga akhirnya mengabulkan permohonan DPRD Garut, kemudian
DPRD mengeksekusi keputusan tersebut melalui sidang paripurna DPRD dan
disampaikan kepada Menteri Dalam Negri, kemudian pemberhentian bupati
akan dilakukan oleh presiden.
Untuk melakukan pemakzulan
seorang Bupati berdasarkan konstitusi, menjadi domainnya DPRD, dalam
peristiwa demo terhadap Bupati Karo yang diminta masyarakat agar
berhenti dari jabatannya, keberhasilan tuntutan ini sangat tergantung
kepada kemauan dan kemampuan DPRD Tingkat II Kabupaten Karo. Oleh karena
itu, berhasil atau tidaknya proses pemberhentian Bupati Karo berada
didalam wewenang para anggota DPRD. Maka saat ini wajar jika masyarakat
Karo yang menginginkan terjadinya pemberhentian Bupati Karo sangat
menggantungkan harapannya kepada para anggota DPRD Kabupaten Karo.
Pada intinya masyarakat telah mengungkapkan perasaan dan keinginannya
melalui demo yang dilakukan, dan secara terus terang masyarakat sudah
menunjukkan sikap tidak tidak menerima keberadaan Bupati saat ini,
persoalannya mampukah para anggota DPRD mendengarkan suara rakyat ini
dan sanggup-kah para anggota DPRD tersebut merumuskan alasan yang tepat
untuk memuluskan proses pemberhentian Bupati ?
Wacana ini
sangat layak dan pantas kita sampaikan kepada para anggota DPRD
Kabupaten Karo karena berhasil atau tidaknya tuntutan rakyat ini sangat
tergantung kepada kemauan para anggota DPRD Kabupaten Karo, dan untuk
menggagalkan pemberhentian Bupati Karo para anggota DPRD tersebut juga
memiliki kekuatan secara politis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar