Rabu, 30 Mei 2012

Pentingnya Peranan HULA-HULA atau KALIMBUBU dalam masyarakat Toba dan Karo


Dalam adat masyarakat batak toba ada ungkapan yang mengatakan :  Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, elek marboru, sedangkan dalam adat masyarakat karo berbunyi : Mehamat erkalimbubu, mediate ersina, metami man anak beru, pada intinya kedua bahasa ini dan kedua suku ini memliki tujuan yang sama dalam menghargai dan memelihara bentuk persaudaraan yang erat di antara keluarga besar.
                Bentuk jalinan kekerabatan  yang terdiri dari tiga bagian ini dalam masyarakat batak toba disebut dengan “Dalihan Natolu” sedangkan dalam masyarakat Karo disebut dengan “Daliken Sitelu” atau “Raku Sitelu”, istilah ini diambil sebagai symbol bentuk kekerabatan keluarga diilhami oleh tungku tempat memasak yang terbuat dari batu zaman dahulu yang umumnya terdiri dari tiga buah batu sebagai tempat meletakkan kuali memasak. Karena begitu pentingnya fungsi ketiga batu tersebut dalam memasak dan menjaga keseimbangan kuali ketika memasak, jika hanya terdiri dari dua buah batu saja maka tidak akan kokoh dan kuat, maka bentuk kekerabatan dalam adat batak toba dan karo juga dianggap demikian juga pentingnya.
                Hula-Hula  (Toba) dan Kalimbubu (Karo) dalam bentuk kekerabatan kedua adat masyarakat ini memiliki peranan dan derajat sangat penting serta sangat dihormati dan dihargai kedudukannya yang disebut sebagai tindakan “Somba” dan “Mehamat”, karena sangat hormat dan menghargai kalimbubu di kalangan masyarakat karo kalimbubu ini  sering juga disebut dengan “Dibata Ni Idah” atau Tuhan yang nampak, yang dapat dilihat oleh mata, memang pemberian kata Tuhan disini bukan berarti menduakan Tuhan, tetapi memberi gambaran begitu tingginya kedudukan dan keberadaan kalimbubu dalam pelaksanaan adat masyarakat karo dan toba. Dalam masyarakat Toba bahkan  hula-hula itu diangga sebagai wakil dari Batara Guru yang dipercayai bahwa semua berkat yang ada dibumi ini datang melalui perantaraan Batara Guru, jadi hula-hula itu dianggap sebagai perantara sumber berkat (Pangalapan Pasu).
                Penghargaan yang tinggi terhadap Hula-hula dan Kalimbubu  dalam masyarakat Toba dan Karo sebenarnya merupakan salah satu bentuk  penghargaan terhadap pihak Ibu atau Istri  didalam keluarga besar, sehingga  fungsi “hula-hula” merupakan posisi “tertinggi”,  mendapat posisi demikian karena dari marga inilah isteri dipinang, dan karena ibu/isteri  yang melahirkan anak-anak dan merawat keluarga, member pendidikan anak-anak, dan sebagainya.  
Dalam masyarakat karo juga kalimbubu ini sangat memiliki kedudukan yang sangat penting, masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat,  sehingga kalimbubu itu disebut dibata ni idah (Tuhan yang nampak secara kasat mata ). Peranan dan fungsi Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah sebagai supremasi keadilan dan pemberi saran kalau diminta, terutama saran yang obyektif konstruktif membina   keutuhan keluarga.  Dalam acara-acara adat, dia harus hadir, dan masing-masing mendapat peran. Misalnya dalam acara upacara kematian, ketika jenajah akan dikebumikan, bagian kepala dari jenajah dipanggul oleh pihak kalimbubu dari yang meninggal. Dalam pesta sukacita, yang berperan sebagai kalimbubu dilayani sebaik mungkin oleh pihak anak beru dalam hal ini adalah penyelenggara pesta. Pada dasarnya setiap orang Karo, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah  mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila seorang pria suku karo  menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang. 
Penghormatan kepada hula-hula ini dalam masyarakat toba digambarkan dengan isi ungkapan sebagai berikut : “Martahuak manuk mira, ditoru bara ni rumah, Halak na burju /somba marhula-hula, gabe jala mamora sahat dina saur matua”. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar