Sabtu, 16 Juni 2012

Pangkalan Militer Amerika Serikat di ASEAN : Quo Vadis Indonesia?



Facebook 14 Juni 2012 pukul 19:45
               


Asia Tenggara, Wilayah Paling Stabil di Dunia selama 30 tahun (Sumber Photo : Piala Suzuki 2010)

Ya memang Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism (Letjen Ahmad Yani, mengenai ancaman Nekolim).

Ada berita yang sayup-sayup terdengar minggu lalu dan kalah gegap gempitanya ketimbang siaran Sepakbola Eropa 2012, kalah mengilapnya dengan pemeriksaan ulang Angelina Sondakh, atau kalah seru daripada ancam-ancaman gebuk Yani-Ruhut. Berita itu adalah ‘Rencana Pembentukan Pangkalan Militer ASEAN’ walaupun agak mendapat sambutan dari para mahasiswa di Makassar yang marah besar mendengar rumor ini dan melakukan demonstrasi penolakan rencana ini, namun dibalik sunyinya berita rencana Pangkalan militer ini terdapat pengaruh besar bagi perkembangan politik Indonesia baik didalam negeri ataupun luar negeri.


 Pasukan Marinir AS ditempatkan di Darwin (Sumber Photo : Okezone.com)
Diterjunkannya ribuan pasukan Marinir AS ke Darwin yang hanya 3.000 km dari Jakarta, datangnya kapal USNS Mercy yang merupakan kapal kesehatan terbesar di Teluk Manado dan rencana latihan gabungan dengan nama sandi CARAT (Cooperation Afloat Readiness and Training) mengundang banyak kernyit orang yang memperhatikan geopolitik Indonesia dewasa ini, ada apa dengan geopolitik Indonesia dan ASEAN?

Beberapa tahun yang lalu tepatnya di tahun 2004, ada isu yang pernah ditanggapi serius Departemen Luar Negeri RI, yaitu : munculnya proposal permintaan pembangunan Pangkalan Militer di Selat Malaka yang kemudian isu itu ditanggapi positif oleh tiga negara ASEAN : Singapura, Thailand dan Filipina kemudian datang penolakan keras dari Indonesia dan Malaysia. Proposal pembangunan Pangkalan Militer ini berkaitan erat dengan alasan terjadinya banyak perompakan di Laut Cina Selatan dan perairan selat Malaka, namun yang menjadi pertanyaan : ancaman perompakan itu bukan merupakan ancaman negara, tapi ancaman kriminalitas yang merupakan tanggungjawab negara yang bersangkutan, pangkalan militer bisa diadakan bila kemudian menjadi persoalan geopolitik serius yang melibatkan banyak negara dan harus memperhatikan kesejarahan dari watak kedaulatan suatu negara. Singapura misalnya yang merasa selalu terancam, Thailand yang sepanjang sejarahnya tidak mengalami perang penjajahan karena memang menjadi ‘buffer state’ atau ‘daerah penyangga jajahan Perancis di Vietnam dan Jajahan Inggris di Malaya sementara Filipina memiliki hubungan dekat dengan Amerika Serikat. – Yang paling getol jelas Singapura, karena selama ini Singapura merupakan wilayah kantong ekonomi paling maju bagi kepentingan Inggris-Amerika Serikat sejak kejatuhan Sukarno 1967.

Penolakan yang keras dari Indonesia membuat Amerika Serikat mengurungkan rencananya, namun tiba-tiba di akhir tahun 2011 datang penempatan pangkalan militer di Australia yang menempatkan ribuan marinir, penempatan pesawat mata-mata dan tentunya jaringan intelijen, sementara Indonesia memiliki kerapuhan rawan konflik separatis di Indonesia Timur. Terlebih permasalahan kepualauan Spratly yang menjadi ajang sengketa banyak negara. Indonesia sendiri masih rawan konflik perbatasan dengan Malaysia, namun yang jelas beberapa kali Presiden SBY secara lihai walaupun agak memalukan, menghindari konflik itu untuk menjauhi jebakan ‘permintaan’ Singapura kepada Amerika Serikat agar negara-nya aman dari konflik Malaysia-Indonesia.

Ada dua negara di ASEAN yang mengalami sejarah kelam akibat konflik geopolitik dan konflik global, Vietnam dan Indonesia. Kedua negara memiliki kesejarahan yang amat mirip : -Merebut Kemerdekaannya sendiri dengan kekerasan senjata-. Vietnam yang awalnya lepas dengan Perancis lewat perang Dien Bien Phu 1954 kemudian diserbu Amerika Serikat yang memancing Sovjet Uni untuk menjadikan ASEAN sebagai Proxy War dalam ‘Perang Dingin 1960-1975’ Pembantaian besar terjadi di Vietnam, Sukarno yang saat itu ingin menjaga wilayahnya juga tak ingin Sarawak, Sabah dan Brunei menjadi mainan politik Inggris, karena rakyat di Kalimantan Utara telah mengirim telegram resmi pada Bung Karno untuk meminta kemerdekaannya sendiri, tapi suara itu kemudian diredam dengan pembentukan Federasi Malaysia, Bung Karno yang awalnya tidak ingin ikut campur malah sengaja dipancing –ujung dari kisah konflik Sukarno dan Federasi Malaysia justru terjadi di Djakarta sendiri saat enam Jenderal berhasil diculik dan dibunuh oleh Perwira Menengah yang kemudian justru menyeret Sukarno dalam pusaran tuduhan terhadap pembunuhan ini, Sukarno jatuh pada tahun 1967. Dalam kejatuhannya itu 3 juta nyawa terbantai pada konflik kelam ditengah masyarakat Oktober-Desember 1965. Juga ratusan ribu orang dipenjara dan dikirim ke kamp-kamp kerja paksa sebagai usaha penggantian total rezim.

Jelas melihat kesejarahan geopolitik ini, kenangan akan sejarah buruk itu amat sensitif bagi Indonesia, lalu bagaimana membaca sejarah wilayah zona aman ASEAN dalam melihat bangunan geopolitik ASEAN dan memeriksa sejauh mana sensitifitas rasa keamanan Indonesia ditilik dari kesejarahan pertahanan keamanan di Asia Tenggara, maka kita bisa memeriksa ini dalam sejarah Indonesia modern 1950-1977.

Doktrin Geopolitik Sukarno

Dalam pembentukan cara pandang politik Indonesia modern ada tiga pemikiran besar yang berebutan tempat dalam mempengaruh fase-fase kemerdekaan, pertama Pemikiran Tan Malaka yang menitikberatkan pada Revolusi Sosial, Kedua Pemikiran Sukarno yang selalu mempersoalkan Geopolitik sebagai landasan modal dalam pembentukan bangsa dan yang ketiga Sjahrir yang menempatkan humanisme universal, politik tanpa batas wilayah dan internasionalisme kemanusiaan sebagai landasan berpikir perjuangan Indonesia.

Dalam perseteruan ini Sukarno merupakan primus inter pares (yang terunggul dari yang unggul). Ia memilih geopolitik sebagai tahapan awal pembentukan sebuah bangsa, geopolitik sebagai alat modal kekayaan wilayah serta menjadikan geopolitik sekaligus sebagai modal sosial dalam membentuk perubahan total terhadap sejarah perkembangan masyarakat.

Sukarno mendasarkan pemahaman geopolitiknya pada pemikir politik Perancis, Ernest Renan (1823-1892) yang selalu disebut-sebut Bung Karno dalam pidato politiknya jika menyinggung sebuah bangsa.

Ce qui constitue une nation, ce n’est pas de parler la même langue, ou d’appartenir à un groupe ethnographique commun, c’est d’avoir fait ensemble de grandes choses dans le passé et de vouloir en faire encore dans l’avenir” (”Apa yang membuat satu bangsa, bukanlah menutur bahasa yang sama, atau menjadi bagian dari kelompok etnografis yang sama, tapi sempat membuat hal-hal besar pada masa lampau dan ingin membuat lagi hal-hal besar pada masa depan”) – inilah kutipan pidato Sukarno yang selalu menyebutkan Renan dalam keabsahan suatu negara, Sukarno juga mampu menjadikan Indonesia sebagai kesatuan imajinasi yang utuh dan seakan-akan menjadi suci, ini juga didasarkan pada pemikiran Ernest Renan : -Man makes holy what he believes. (manusia akan membentuk kesucian terhadap apa yang ia percayai).

 
Bung Karno Dan Mao Tse Tung, 
Peletak Landasan Dasar Garis Jakarta-Peking, 
Geopolitik Dominan di Asia (Sumber Photo : Antara)


Gagasan nasionalisme yang sakral dan penuh dengan gairah sejarah membuat Sukarno perlu melindungi Indonesia dari ancaman potensial, ancaman terbesar Indonesia di awal berdirinya Republik Indonesia memang ancaman ekspansi militer negara asing, kedatangan NICA pada dalam dua kali operasi militer 1947 dan 1948 membuat Sukarno amat sensitif atas geopolitik wilayah, namun Sukarno menyerahkan kebijakan politik yang umumnya bernada diplomasi kepada Sutan Sjahrir, Sukarno mengabaikan gagasan ‘Merdeka 100%’ ala Tan Malaka dengan alasan ‘memperpendek perang’ sekaligus sebagai strategi Sukarno untuk mengeliminir kekuatan kiri yang akan menjegal dia. Sukarno menginginkan kekuatan kiri dikendalikan oleh dia sendiri dalam kerangka yang ia susun kemudian dan tanpa perlu korban dalam menghadapi perang dengan negara asing. Sukarno memerlukan politik diplomasi sebagai tahap awal dalam pembentukan kesatuan wilayah nasional.

 
Bung Karno menerima Peta Asia Centris dari Adinegoro yang diterbitkan 
oleh Djambatan, 1952 (Sumber Photo Djambatan)


Bung Karno sendiri dengan imajinasinya sudah memproyeksikan Indonesia sebagai ‘Kekuatan Asia’ gagasan ini merupakan kelanjutan dari alam bawah pikir Sukarno yang sudah terpola pada masa pendudukan militer Jepang 1942-1945 dimana Sukarno amat terpengaruh dengan doktrin-doktrin geopolitik Jepang dalam penguasaan wilayah. –Pada tahun 1952 Sukarno memberi order kepada wartawan senior, Adinegoro untuk membuat peta dengan ‘Indonesia sebagai pusat Asia’. –Walaupun memang lazim saja sebuah negara menjadikannya sebagai pusat dalam gambar PETA, namun peta yang diinginkan Sukarno adalah Indonesia dan Asia Pasifik diletakkan ditengah, Sukarno sudah menilai kelak dikemudian waktu, Asia Pasifik akan jadi pusat dunia paling maju, paling kaya dan paling fenomenal dalam perjalanan sejarah peradaban modern manusia.

Hasil Konferensi Medja Bundar 1949 yang menyisakan ruang konflik yaitu tidak dilepasnya Irian Barat membuat Sukarno memiliki keuntungan politik menghidupkan kembali kekuatan kiri ekstrim dalam hal ini PKI. Saat itu PKI sudah mengalami kehancuran politiknya sejak ikut-ikutan dalam Front Demokrasi Rakyat 1948 buatan Amir Sjarifuddin dan tokoh tua PKI Muso, lalu PKI juga dihancurkan lewat ‘Operasi 17 Agustus 1951’ dimana Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo yang menyepakati perjanjian rahasia dengan Amerika Serikat dalam pembersihan unsur kiri. –Kehancuran ini menjadikan momentum arah politik Sukarno dalam perebutan Irian Barat menjadi amat penting bagi revitalisasi PKI dan penentuan dalam kongres IV PKI untuk mendekat pada Sukarno yang selama ini dinilai PKI sebagai bagian dari Borjuis Nasional.

 DN Aidit digunakan Sukarno untuk menyuarakan penantangan pada Politik Intervensi AS di Asia Tenggara (Sumber Photo : Harian Rakjat, 1964)

Sukarno sendiri dengan taktis menutupi rencana tujuannya dalam menghidupkan kembali gugatan terhadap Irian Barat dengan memperalat PKI sebagai kekuatan radikal dan omongan-omongan tentang perebutan Irian Barat tidak didengar dari suara langsung Sukarno sendiri untuk menghindari perdebatan dan serangan Belanda serta kelompok pro KMB 1949. Adalah DN Aidit ketua CC PKI pada tahun 1953 sebagai bentuk pemicu awal untuk Indonesia memperhatikan faktor geopolitik, DN Aidit berpidato “Rakyat bersatu membubarkan Uni Indonesia-Belanda dan memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia”. Ucapan ini seakan-akan jadi mantera pembuka kemauan Sukarno dan politisi lain membubarkan perjanjian KMB serta mempercepat penguasaan Irian Barat, adanya pakta militer di Asia Tenggara juga merupakan bagian dari ancaman perang di Indonesia, Sukarno mendiamkan saja aksi Aidit ini sekaligus menilai keadaan, sementara dari pihak politisi lain kelompok Murba menyerang terus parlemen untuk membatalkan secara sepihak perjanjian KMB. Irian Barat setidak-tidaknya adalah katalisator terpenting dalam pemanasan situasi di wilayah Asia Tenggara.

Konflik geopolitik di Asia Tenggara menjadi rentan ketika Amerika Serikat di tahun 1952 meletakkan landasan doktrin kebijakan luar negeri baru yang anti komunis dan mengoreksi landasan Truman untuk ‘tidak saling mengganggu’ menjadi landasan Eisenhower “Netralitas adalah sebuah kesalahan”. Eisenhower menginginkan bahwa ‘seluruh wilayah di dunia harus masuk ke dalam barisan ‘free world’ (dunia bebas)’, barisan ini juga akan menentukan kemenangan Eisenhower dalam melawan komunisme, taktik pembiaran Truman terhadap Cina dan lebih menginginkan Cina yang satu daripada terpecah-pecah menjadi bumerang sendiri untuk Eisenhower Presiden AS yang menggantikan Truman, karena setelah Cina bersatu dibawah kendali Komunisme Mao, RRC jadi amat sulit dikendalikan dan menjadi wilayah terkuat di Asia, kemenangan RRC atas Nasionalis di tahun 1949 juga menjadikan Asia terancam bukan lagi secara ideologi dengan komunisme tapi juga sudah menjadi realitas militer.

Dibalik aksi Eisenhower yang amat anti komunis dan mendapatkan keuntungan politik atas kesalahan Truman di RRC ada sebuah ‘keinginan terselubung’ untuk menggantikan dominasi Inggris, Perancis dan Belanda di wilayah Asia Tenggara, inilah yang menyebabkan kenapa AS separuh hati membantu Perancis di perang Vietnam-Perancis 1954 tapi mengerahkan ratusan ribu tentaranya secara serius dalam menghadapi Vietnam dengan alasan mencegah Vietnam Utara masuk ke Selatan. –Hasrat keinginan dominasi Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggaran inilah yang kemudian dibaca Sukarno pada tahun 1953.

Politik Liberalisme di Indonesia pada era demokrasi parlementer tidak tanggap terhadap perkembangan geopolitik mereka masih ribut soal pembagian kursi kekuasaan di kabinet, soal-soal pembangunan ekonomi dan persoalan yang bagi Sukarno ‘tidak mengundang gairah saya sebagai patriotis’. Perkembangan menjadi semakin menguntungkan bagi Amerika Serikat ketika sejumlah Kolonel membangkang di Sumatera dan meminta Sukarno mengoreksi kebijakannya terhadap Komunis serta memberikan keleluasaan yang besar bagi para perwira di luar Jawa. – CIA menanggapinya ini dengan senang hati dan menjadi alat sekutu bagi mereka, bahkan CIA mengedrop bantuan senjata lewat ‘Operasi Hance’. Bantuan ini tidak begitu digubris oleh PRRI sebagai pemberontak terhadap kekuasaan Sukarno, karena mereka lebih menginginkan bantuan ekonomi, dan lebih mengherankannya lagi ketika agen CIA berhadapan dengan Simbolon, pemimpin pemberontak, foto Sukarno masih tergantung di markas Simbolon, ketika ditanya, Simbolon menjawab “dia masih Presiden kami”.

Sikap mendua ini jelas membingungkan Amerika Serikat, mereka masih belum pasti dalam menguasai wilayah Indonesia lewat intervensi militer dan persekutuan politik, apalagi persoalan Vietnam sudah amat memanas, bila ini dilakukan dua front : Jakarta dan Hanoi maka akan berbiaya tinggi, sementara Eropa belum pulih benar keuangannya. –Amerika Serikat rupanya melakukan politik pembagian wilayah sementara di Asia Tenggara, di Vietnam ia cebur langsung ke dalam pertempuran sementara di wilayah lebih selatan, Amerika Serikat menyerahkan kepada Inggris.

Kegagalannya dalam operasi militer bersama PRRI yang separuh memalukan membuat AS harus mundur teratur sebelum matangnya operasi intelijen, keputusan lebih mementingkan operasi intelijen ketimbang operasi militer menjadi keputusan AS sampai Eisenhower digantikan J.F Kennedy.

Sukarno menanggapi kemunduran aksi militer AS ini dengan menyerang sisa-sisa imperialisme di Belanda, serta memanfaatkan keraguan JF Kennedy terhadap politik intervensi militer di Asia Tenggara, yang juga membuat JFK menekan Belanda. Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah, bahwa apa yang dilakukan JFK merupakan bagian terencana dalam –pengusiran diam-diam Belanda, lalu membiarkan Irian Barat dikuasai Indonesia, sehingga AS tidak akan rikuh lagi menguasai Sumber Daya Alam Irian Barat tanpa harus berhadapan dengan Belanda sebagai ‘sekutu terkuat di Eropa’. –Bila Irian Barat tetapdikuasai Belanda, tentu Belanda tidak akan memberikan konsesi Sumber Daya Alam dengan mudah kepada Amerika Serikat, semudah ketika kelak AS mendapatkan konsesi sumber daya alam pada jaman Orde Baru.

Sukarno bisa dikatakan amat mudah merebut Irian Barat, namun Sukarno mudah terjebak pada konflik dengan Federasi Malaysia yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat diperhatikan, apa yang terjadi pada Malaysia merupakan bagian internal negara yang bersangkutan, dan Kalimantan Utara wilayah yang dicaplok Malaysia bukanlah bagian dari negara 17 Agustus 1945, dimana kesepakatan politik bersama saat itu bahwa : “Hanya negara bekas Hindia Belanda yang berubah menjadi Republik Indonesia”. Kesepakatan ini menjadi komitmen kuat untuk Indonesia tidak mengganggu wilayah lain di Asia Tenggara ataupun wilayah Asia Pasifik lainnya. Namun Sukarno masih mengenakan doktrin yang ia ciptakan sendiri yaitu : “Membantu kemerdekaan bagi negara-negara terjajah” sementara bagi Sukarno Sarawak dan Sabah menghendaki Kemerdekaan.

Konflik yang tidak penting ini menjadi amat penting ketika harga diri Sukarno terusik dengan kabar diinjak-injaknya lambang Garuda Indonesia di Istana Perdana Menteri Tun Abdulrachman.

Di titik konflik dengan Malaysia inilah wilayah zona Asia Tenggara memanas, sementara di Vietnam masih dengan pertempuran hebat, di Kamboja terancam pembantaian karena ketidaktegasan kepemimpinan dan di Birma mulai muncul gerakan barisan yang dekat dengan RRC. Inggris dengan cantik memainkan operasi Intelijennya di Indonesia dan dibantu dengan CIA, sepanjang tahun 1964-1965 perang data intelijen meningkat, salah satu akibat perang data intelijen itu adalah timbulnya gerakan aneh Letkol Untung dalam menculik enam Jenderal, bisa dikatakan aneh karena seakan-akan ‘gerakan ini dibuat secara sengaja untuk gagal’. Pasukan penculik yang kemudian setelah membunuhi para Jenderal tidak memiliki alur komando yang jelas, lari ke jalan-jalan ibukota dan tidak mendapatkan makanan, menjadikan pasukan ini seperti tanpa induk semang dan dengan mudah diburu pasukan yang kemudian memihak kepada Mayjen Suharto.

Setelah perburuan dan peringkusan pasukan Untung, di Indonesia terjadi eforia besar yaitu saling bunuhnya antar warga, -banyak kalangan menilai peristiwa saling bunuh Oktober-Desember 1965 ini merupakan tenggang waktu tawar menawar antara Presiden Sukarno dengan Jenderalnya, Mayjen Suharto yang secara de facto sudah mendapatkan realitas kekuaaan ketika menolak perintah pemanggilan Sukarno ke Halim Perdanakusumah 1 Oktober 1965.

Apa yang diinginkan Sukarno dalam geopolitik di Asia Tenggara yaitu menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai ‘pasar tersendiri’ yang bebas dari intervensi pasar asing. Sukarno melihat potensi Asia Tenggara sebagai pemain terkuat sedunia dalam soal ekonomi, dan soal ini bisa terlaksana bila Asia Tenggara memiliki kedaulatannya, sementara itu juga Sukarno percaya Indonesia akan jadi kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan menjadi kekuatan nomor dua di Asia setelah RRC. –Sukarno juga menolak pembentukan Pangkalan Militer Asing di Asia Tenggara, ia sendiri mendirikan KIAPMA (Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing) tahun 1966 dimana Utami Surjadarma dan Arudji Kartawinata memiliki peran penting dalam menjalin komunikasi antar negara yang menentang penempatan pangkalan militer asing, tapi kemudian sejarah mencatat Sukarno dijatuhkan dengan korban pembantaian yang mengerikan sebanyak 3 juta nyawa.

 Letjen Suharto, Pemain Penting Politik Asia Tenggara Selama 32 Tahun (Sumber Photo : LIFE) ca. 1966, Djakarta, Indonesia --- This is a close up of the fifth Deputy Premiere, Lt. General Soeharto. --- Image by © Bettmann/CORBIS © Corbis. All Rights Reserved.

Setelah kejatuhan Sukarno, muncul kekuatan baru yaitu : -Kekuatan Para Jenderal Angkatan Darat, dibawah pengaruh kuat Letjen Suharto, orang yang ditunjuk Sukarno sebagai penertib keamanan tapi dengan licin mampu mentransformasi surat perintah pengamanan, menjadi surat perintah transfer kekuasaan.

Suharto agak longgar dalam soal politik konsesi sumber daya alam tapi ia memiliki kesamaan persis dengan Sukarno yaitu : -harga mati bahwa tidak boleh ada pangkalan militer asing di wilayah Asia Tenggara apalagi di Indonesia, dalam soal Nasionalisme, Suharto lebih kolot dan konservatif ketimbang Sukarno.

Awalnya ada desakan dari Amerika Serikat dan ditanggapi beberapa perwira intelijen yang senang bahwa Indonesia akan masuk dalam Pakta Militer Asia Tenggara, namun yang terjadi kemudian Suharto mendiamkan pengajuan proposal Pakta Militer itu, Suharto kuatir ikut campurnya pangkalan militer asing akan menjadikan wilayah Asia Tenggara tidak stabil, Suharto yang merasa bisa menghantam Komunis balik menekan pihak Amerika Serikat untuk menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah zona aman, bebas pangkalan militer asing dan tidak boleh terjadi intervensi antar negara : -Stabilitas adalah ‘kepentingan diatas kepentingan’. Keinginan Suharto yang kuat dan tidak boleh ditawar itu kemudian didukung oleh Malaysia, Suharto saat itu juga masih marah pada Lee Kuan Yew, karena permintaannya lewat utusan Jenderal Soemitro untuk membatalkan penggantungan dua prajurit KKO di Singapura sama sekali tak digubris, bila kemudian Singapura menjadi kuat secara militer dan menjadi basis pangkalan militer maka Singapura adalah ancaman terbesar Indonesia.

 
LB Moerdani, Penebar Jaringan
 Lobi Awal di ASEAN 
(Sumber Photo : Antara)

Pada tahun 1969 lobi-lobi LB Moerdani di Malaysia, perwira intelijen andalan Suharto dan Ali Moertopo melanjutkan jalur lobi yang sudah dibentuk sejak tahun 1967, lobi LB Moerdani ini meluas ke berbagai negara yang menanggapi secara positif permintaan Suharto untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai zona aman.
Hanya saja kemudian Malaysia-lah yang buka suara, Malaysia paling getol mendukung Suharto, karena pengalaman buruknya ketika negara ini terancam diserang Sukarno. Lalu pada tanggal 27 November 1971 terbentuklah apa yang disebut ZOPFAN (Zone of Peace Freedom And Neutrality) Pada tahun 1984 kesepakatan lebih maju yaitu menyatakan wilayah ASEAN harus bebas nuklir.
Konsepsi damai yang ditawarkan Suharto berhasil menciptakan wilayah ASEAN paling stabil di dunia, sepanjang 40 tahun dari kesepakatan itu tidak ada perang sama sekali di wilayah ASEAN kecuali sisa-sisa perang AS dan konflik ideologi di negara Indocina.

Bangkitnya Kekuatan Cina di ASEAN

Kebangkitan ekonomi Cina sudah terjadi lebih dari satu dekade lalu, namun pengakuan secara resmi dari pihak barat nampaknya bermula pada pidato Kevin Rudd di London yang berjudul pada 24 Januari 2012. : Fault Lines in the 21st Century Global Order: Asia Rising, Europe Declining and the Future of ‘The West.’ Ramalan kebangkitan ekonomi Cina dan mundurnya kekuatan ekonomi barat tentunya akan berdampak pada masalah geopolitik.

Pengaruh Cina akan amat terasa di ASEAN apalagi banyak negara ASEAN yang memiliki hubungan historis kuat dengan Cina, dua negara terbesar di ASEAN, Indonesia dan Vietnam memiliki kenangan manis terhadap RRC. Dan kemungkinan besar dari dua negara inilah ditarik garis ASEAN-RRC sebagai garis ekonomi baru yang akan menghancurkan pasar barat di ASEAN.

Penempatan pasukan AS di ASEAN jelas akan mengganggu rencana besar dibentuknya garis ASEAN-RRC serta menghambat stabilitas ASEAN, sementara ada juga yang terancam bila Jakarta dan Ho Chi Minh maju yaitu : Singapura. Selama ini Singapura menikmati kemajuan ekonomi yang pesat ditengah-tengah Asia Tenggara dibawah perlindungan AS dan Inggris.

Munculnya Garis Sukarno dalam Politik Indonesia

Ada yang diperhatikan amat serius dalam konstelasi politik nasional Indonesia oleh CIA dan pihak-pihak yang berkepentingan yaitu : -munculnya kekuatan garis Sukarnois dalam menentukan keputusan konsesi-konsesi atas kontrak pertambangan-. Mereka sudah muncul sebagai gerakan politik, ormas dan masuk ke dalam jaringan kekuatan oposisi, pembicaraan-pembicaraan soal perebutan konsesi yang merugikan Indonesia dalam kontrak-kontrak energi seperti minyak dan gas menjadi permainan politik penting di Indonesia dalam waktu dekat ini, bahkan dua stasiun berita besar di Indonesia : TV One dan Metro TV secara lugas menyampaikan debat-debat soal perebutan konsesi kontrak energi yang dinilai merugikan dan mencaplok kedaulatan bangsa Indonesia. Basis pemikiran mereka adalah keputusan Presiden Sukarno tahun 1960, usulan Chaerul Saleh Juni 1960 dan Keputusan MPRS soal kontrak energi tahun 1960.

 Kurtubi, Analis Perminyakan Nasional Yang Kerap Mengeritik Soal Konsesi dan Pemikirannya Dekat dengan Garis Sukarno (Sumber Photo : Beritabatavia.com)

Bila garis Sukarno memenangkan politik di Indonesia bukan tak mungkin garis Sukarno akan menghidupkan kembali –garis geopolitik : Jakarta-Beijing mengingat bahwa dalam cakupan wilayah garis ini tersimpan kekayaan alam dan kekayaan jumlah manusia yang amat luar biasa, dua kekayaan inilah yang membentuk : Pasar.

Amerika Serikat akan keblingsatan bila garis Sukarno mengajukan usulan penghapusan konsesi padahal sudah berapa trilyun AS, menikmati kekayaan alam Indonesia seperti ucapan Nixon saat menggambarkan kejatuhan Sukarno dan hancurnya komunisme di Indonesia “Indonesia adalah hadiah terbesar (the greatest prize) di wilayah Asia Tenggara.

-Apakah hadiah itu harus lepas? – maka pendirian pangkalan militer Amerika Serikat di ASEAN untuk mengontrol agar jangan sampai terbentuk poros ekonomi ASEAN-RRC adalah perlu agar dominasi AS di ASEAN tidak jatuh ke tangan RRC.

Sampai saat ini persoalan rencana pangkalan militer ASEAN tidak menjadi agenda utama kerja Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, yang merupakan menteri paling buruk kinerjanya sepanjang sejarah Kementerian Luar Negeri Indonesia sejak Indonesia merdeka, tidak seperti Subandrio yang amat lihai memainkan politik diplomasi Internasional sehingga menguntungkan geopolitik Indonesia, atau Mochtar Kusumahatmadja yang mampu mengatur irama perkembangan diplomasi antara Indonesia dengan negara besar secara cerdik dan Alex Alatas yang dengan kemampuan diplomasinya mampu mengulur-ulur waktu soal Timtim agar Suharto tidak kehilangan muka, tampaknya kerja Marty hanya menunggu perkembangan persoalan dan menanggapinya dengan agak malas-malasan, seharusnya Marty mampu menjelaskan kepada masyarakat luas baik pihak DPR atau pers tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat soal rencana pendirian pangkalan militer AS di wilayah ASEAN.

Persoalan pangkalan militer di ASEAN ini juga harus menjadi bahan perhatian serius anggota DPR Komisi I DPR dan jangan hanya memperhatikan soal jual beli senjata saja yang rawan fee makelar, persoalan-persoalan strategis menjadi sangat penting dalam memahami perkembangan geopolitik di Asia Tenggara seiring memanasnya persaingan Amerika Serikat dan RRC dalam lomba kekuatan pengaruh di Asia Tenggara ini.

-Hari Priyantoro-

(*bila ingin mengutip artikel diatas sebagai bahan referensi, sertakan credit title untuk penulis artikel ini).

Bahan Bacaan :

-Tan Malaka : Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, Harry Poeze

-Catatan-Catatan Arsip Pidato DN Aidit, 1952-1965

-United States in World Affair, Richard F. Stebbins, (New York : Council on Foreign Relations).

-Ernest Renan : Kutipan Pidato Sukarno, 1952

-Intervention : How American became involved in Vietnam (New York, Doubleday, 1986)

-Biografi Sukarno, Cindy Adams, 1966.

-‘Semua bisa diatur, Adam Malik, 1983

- ASEAN and the Problem of Regional Order (Politics in Asia) by Amitav Acharya

-Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of Nations., Gunnar Myrdal, Twentieth Century Fund, 1968

-Awakening Giants, Feet of Clay: Assessing the Economic Rise of China and India, Pranab Bardhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar