Mendengar kantor berita Malaysia, Bernama, mempublikasikan Menteri
Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Rais Yatim berencana
mendaftarkan dua budaya masyarakat Sumatera Utara Tor-tor dan Gondang sembilan dalam
Seksyen Akta Warisan Kebangsaan sebagai salah satu cabang warisan Negara Malaysia menimbulkan
reaksi protes keras dari berbagai pihak.
Politikus Partai Demokrat asal Sumatera Utara, Ruhut
Sitompul, menilai Indonesia harus bersikap tegas terhadap Malaysia yang selalu
mengklaim kebudayaan Indonesia. “Sekali-sekali perlulah kita bom. Biar jadi shock therapy," ujarnya di
Jakarta, Minggu, 17 Juni 2012 ketika diwawancari Tempo.
Sebagai pemilik Tor-tor dan Gondang Sembilan, masyarakat
Sumatera Utara khususnya dan terutama pemerintah Indonesia wajar memberikan
protes terhadap Malaysia jika ingin mengklaim warisan budaya daerah Sumatera
Utara ini, namun seperti ungkapan sebuah pepatah yang berbunyi “Tidak ada asap
jika tidak ada api”, maka kita juga harus menanggapinya dengan kepala dingin,
serta melakukan klarifikasi tentang bagaimana sebenarnya proses yang terjadi
sehingga pemerintah Malaysia
berkeinginan mendaftarkan Tor-Tor dan Gondang Sembilan sebagai asset
budaya Malaysia.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur
telah menghubungi Kementerian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia
terkait isu klaim tari tortor dan alat musik gondang sambilan pada hari senin
18 Juni 2012. Menurut penjelasa koordinator Pemberitaan Kementerian Penerangan
Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Nor Azli, pada hari Kamis 14 Juni 2012 dalam
pertemuan antara Menterian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan, Rais Yatim,
dan Perhimpunan Anak-anak Mandailing, para peserta yang merupakan warga
Malaysia keturunan Mandailing meminta pemerintah mengangkat tari tortor dan
alat musik gondang sambilan setara dengan budaya lainnya di Malaysia.
Berdasarkan hasil klarifikasi ini, ada sebuah bahan permenungan
yang sangat menarik dilakukan, yaitu peranan dan eksistensi warga Malaysia
keturunan Mandailing di Malaysia. Keturunan
Mandailing yang telah menjadi warga Malaysia ingin menunjukkan eksistensinya
dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Malaysia, karena dengan
diterimanya tor-tor dan gondang sembilan sebagai salah satu warisan budaya
Mandailing di Malaysia berarti warga
Malaysia keturunan suku Mandailing yang berasal dari Sumatera Utara mendapat
penghargaan karena pemerintah Malaysia akan memberikan perhatian dan bantuan
terhadap pelestarian tor-tor dan gondang tersebut.
Warga Malaysia keturunan Mandailing yang berada di negeri jiran ini konon jumlahnya sudah sangat signifikan, mereka sudah berada di Malaysia sejak 100 tahun lalu. Warga Mandailing sudah turun-temurun berada di Malaysia, mereka membawa kebudayaan asli Mandailing selama di perantauan dan warga Mandailing di Malaysia meminta kebudayaan-kebudayaan asli itu tetap dilestarikan.
Warga Malaysia keturunan Mandailing yang berada di negeri jiran ini konon jumlahnya sudah sangat signifikan, mereka sudah berada di Malaysia sejak 100 tahun lalu. Warga Mandailing sudah turun-temurun berada di Malaysia, mereka membawa kebudayaan asli Mandailing selama di perantauan dan warga Mandailing di Malaysia meminta kebudayaan-kebudayaan asli itu tetap dilestarikan.
Menurut Abdur-Razzaq Lubis, seorang pakar Mandailing di
Malaysia, orang-orang Mandailing di Semenanjung Melayu datang dari daerah
Sumatera Utara yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Mereka eksodus di masa
Perang Paderi di abad 19 dulu. Sebagai pengikut Paderi, mereka direpresi
kolonial Belanda sehingga terpaksa bermigrasi ke luar dari kampungnya menuju
Malaysia.
Dalam makalah berjudul "Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided" yang dipresentasikan dalam Konvensi Internasional Cendekiawan Asia di Kuala Lumpur, Agustus 2007, Lubis menyatakan warga keturunan Mandailing ini merantau ke Malaysia dan Singapura.
Istilah Mandailing sendiri ditemukan dalam Nagarakertagama, sebuah epik yang ditulis di zaman Majapahit sekitar tahun 1365. Mandailing disebutkan sebagai salah satu daerah di bawah kekuasaan Majapahit.
Lubis menyebutkan, ada spekulasi Mandailing berasal dari kata Minangkabau "Mande Hiliang" yang berarti "Ibu Hilang". Jadi menarik, karena Minangkabau bersistem matrilineal, sementara Mandailing hari ini bersistem patrilineal.
Di Nagari Pagaruyung, salah satu negeri tertua di Minangkabau, "Mandahiliang" merupakan salah satu dari tujuh jorong. Mandahiliang juga menjadi salah satu suku (semacam marga) di Minangkabau.
Kedekatan Mandailing dengan Minangkabau ini juga tercermin di perantauan Malaysia. Di semenanjung, orang-orang Mandailing ini awalnya hidup di Negeri Sembilan, satu dari sembilan kerajaan di Malaysia. Raja Negeri Sembilan ini merupakan keturunan raja Pagarruyung di Minangkabau. Mereka bekerja sama erat, selain karena berdekatan kampung, juga sama-sama pengikut Islam yang taat.
Di Malaysia, orang-orang Mandailing ini dikenal sebagai pembuat masalah. Perang Pahang yang terjadi pada 1857-1863 pecah karena aksi orang-orang Mandailing ini. Bahkan, setelah Perang Selangor, Sultan Abdul Samad mengeluarkan keputusan menyatakan orang Mandailing sebagai tukang onar yang harus dienyahkan sehingga mereka diusir keluar dari negeri itu.
Awalnya, di bawah administrasi kolonial Inggris, Mandailing dikategorikan sebagai "Melayu Asing" lalu menjadi "Melayu Sumatera" dan kemudian "Melayu Mandeling" dan lama-lama menjadi "Melayu" saja. Tahun 1921, istilah Mandailing benar-benar hilang, dilebur ke "Melayu" namun istilah "Orang Aceh", "Orang Batak" dan "Orang Jawa" tetap ada. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia, administrasi kolonial justru memasukkan "Mandailing" sebagai bagian dari Batak.
"Sejarah imperialis dan proses pembangunan bangsa telah berdampak pada orang Mandailing dan penyebaran mereka sehingga terbagi atas dua etnis dan identitas budaya; di Indonesia, Mandailing adalah Batak-Mandailing dan di Malaysia, mereka Melayu," kata Lubis.
Penerimaan Mandailing ke dalam Melayu membuat mereka benar-benar diakui eksistensinya. Dalam artikel Lubis yang lain, "Mandailing-Islam Across Borders" pada tahun 2004, jumlah orang Mandailing di Malaysia lebih dari 30 ribu orang. Mereka tersebar di sejumlah negara bagian seperti Perak, Selangor dan juga Kuala Lumpur, Ibukota Malaysia.
Di perantauan, orang-orang Mandailing membawa kebudayaan mereka. Salah satu yang unik adalah Gordang Sambilan atau Sembilan Gendang.
Di Selangor, orang-orang Mandailing ini berhasil melobi kerajaan untuk menjadikan Gordang Sambilan sebagai alat musik resmi kerajaan. Tahun 2001, Pesta Pulang Pinang di Penang, secara resmi dibuka dengan Gordang Sambilan dan puncaknya, Gordang Sambilan dimainkan di peringatan puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 2002.
Dalam makalah berjudul "Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided" yang dipresentasikan dalam Konvensi Internasional Cendekiawan Asia di Kuala Lumpur, Agustus 2007, Lubis menyatakan warga keturunan Mandailing ini merantau ke Malaysia dan Singapura.
Istilah Mandailing sendiri ditemukan dalam Nagarakertagama, sebuah epik yang ditulis di zaman Majapahit sekitar tahun 1365. Mandailing disebutkan sebagai salah satu daerah di bawah kekuasaan Majapahit.
Lubis menyebutkan, ada spekulasi Mandailing berasal dari kata Minangkabau "Mande Hiliang" yang berarti "Ibu Hilang". Jadi menarik, karena Minangkabau bersistem matrilineal, sementara Mandailing hari ini bersistem patrilineal.
Di Nagari Pagaruyung, salah satu negeri tertua di Minangkabau, "Mandahiliang" merupakan salah satu dari tujuh jorong. Mandahiliang juga menjadi salah satu suku (semacam marga) di Minangkabau.
Kedekatan Mandailing dengan Minangkabau ini juga tercermin di perantauan Malaysia. Di semenanjung, orang-orang Mandailing ini awalnya hidup di Negeri Sembilan, satu dari sembilan kerajaan di Malaysia. Raja Negeri Sembilan ini merupakan keturunan raja Pagarruyung di Minangkabau. Mereka bekerja sama erat, selain karena berdekatan kampung, juga sama-sama pengikut Islam yang taat.
Di Malaysia, orang-orang Mandailing ini dikenal sebagai pembuat masalah. Perang Pahang yang terjadi pada 1857-1863 pecah karena aksi orang-orang Mandailing ini. Bahkan, setelah Perang Selangor, Sultan Abdul Samad mengeluarkan keputusan menyatakan orang Mandailing sebagai tukang onar yang harus dienyahkan sehingga mereka diusir keluar dari negeri itu.
Awalnya, di bawah administrasi kolonial Inggris, Mandailing dikategorikan sebagai "Melayu Asing" lalu menjadi "Melayu Sumatera" dan kemudian "Melayu Mandeling" dan lama-lama menjadi "Melayu" saja. Tahun 1921, istilah Mandailing benar-benar hilang, dilebur ke "Melayu" namun istilah "Orang Aceh", "Orang Batak" dan "Orang Jawa" tetap ada. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia, administrasi kolonial justru memasukkan "Mandailing" sebagai bagian dari Batak.
"Sejarah imperialis dan proses pembangunan bangsa telah berdampak pada orang Mandailing dan penyebaran mereka sehingga terbagi atas dua etnis dan identitas budaya; di Indonesia, Mandailing adalah Batak-Mandailing dan di Malaysia, mereka Melayu," kata Lubis.
Penerimaan Mandailing ke dalam Melayu membuat mereka benar-benar diakui eksistensinya. Dalam artikel Lubis yang lain, "Mandailing-Islam Across Borders" pada tahun 2004, jumlah orang Mandailing di Malaysia lebih dari 30 ribu orang. Mereka tersebar di sejumlah negara bagian seperti Perak, Selangor dan juga Kuala Lumpur, Ibukota Malaysia.
Di perantauan, orang-orang Mandailing membawa kebudayaan mereka. Salah satu yang unik adalah Gordang Sambilan atau Sembilan Gendang.
Di Selangor, orang-orang Mandailing ini berhasil melobi kerajaan untuk menjadikan Gordang Sambilan sebagai alat musik resmi kerajaan. Tahun 2001, Pesta Pulang Pinang di Penang, secara resmi dibuka dengan Gordang Sambilan dan puncaknya, Gordang Sambilan dimainkan di peringatan puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 2002.
Komunitas Mandailing di Malaysia meminta saudara mereka di
Indonesia memahami usulan soal tari Tor-tor masuk dalam warisan kebudayaan
negeri jiran. Salah satu alasannya adalah agar Tari Tor-tor bisa lestari dan
mendapat pengakuan negara, tidak hanya dipentaskan di rumah saja.
"Kami sudah 200 tahun di sini, sebelum wujud Malaysia dan Indonesia, kami sudah ada di sini. Kenapa tidak boleh kebudayaan Mandailing ada," ujar tokoh Mandailing di Malaysia, Ramli Abdul Karim Hasibuan, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/6/2012).
Ramli juga mempersoalkan bahasa yang digunakan media di Indonesia soal 'klaim'. Tidak ada yang namanya Malaysia mengklaim tari Tor-tor. Dia bercerita tor-tor merupakan bahasa Mandailing yang artinya tarian-tarian.
Dia bersama 500 ribu warga komunitas warga Mandailing dari berbagai macam marga di Malaysia antara lain Nasution dan Siregar, ingin budaya Mandailing diakui juga oleh pemerintahnya.
"Ini sudah hampir 70 tahun kami perjuangkan. Kemarin 14 Juni ada acara Perhimpunan Anak Mandailing, dan kami meminta kepada yang terhormat Menteri Penerangan supaya kebudayaan Mandailing diangkat sama tingginya dengan budaya China dan India, juga dengan budaya Minang dan Jawa. Saat itu disebutkan akan dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam akta warisan negara, sebagai pelestarian suatu budaya," terang Ramli yang sempat mengajak detikcom berbicara bahasa Mandailing ini.
Ramli menegaskan, tari Tor-tor diusulkan sebagai warisan kebudayaan bangsa bukan berarti diklaim Malaysia, tapi justru agar dilestarikan, dipelihara dan dipertahankan supaya jangan hilang.
"Selepas masuk dalam pelestarian budaya, akan diberi peruntukan budget keuangan bagi kebudayaan ini. Jadi tidak ada niat Malaysia mengklaim milik Malaysia, kalau disebut itu milik Mandailing," jelasnya.
Masyarakat Mandailing sudah selama 200 tahun berkiprah di Malaysia. Mereka tersebar mulai dari wilayah Perak, Selangor, Negeri Sembilan, hingga Kuala Lumpur. Keturunan Mandailing dari marga Nasution dan Siregar bahkan banyak yang menjadi pejabat di pemerintahan Malaysia.
"Kami ingin budaya Mandailing juga diangkat di sini. Kami berpesan kepada saudara kami di Mandailing, kami juga warga Mandailing, kami ingin kebudayaan kami diakui di Malaysia. Tidak ada diklaim, tapi dilestarikan. Bukan hanya sekadar dipentaskan di belakang rumah," tuturnya.
Ramli mengibaratkan dengan kesenian Barongsai yang di era Gus Dur diperbolehkan dipertunjukkan di Indonesia. Tapi kesenian Barongsai itu pun tidak otomatis diklaim menjadi milik Indonesia, sebatas hanya menjadi kebudayaan saja.
"Kami hanya ingin budaya Mandailing di Malaysia dilestarikan," tegas Ramli yang juga editor di harian Utusan Malaysia ini.
"Kami sudah 200 tahun di sini, sebelum wujud Malaysia dan Indonesia, kami sudah ada di sini. Kenapa tidak boleh kebudayaan Mandailing ada," ujar tokoh Mandailing di Malaysia, Ramli Abdul Karim Hasibuan, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/6/2012).
Ramli juga mempersoalkan bahasa yang digunakan media di Indonesia soal 'klaim'. Tidak ada yang namanya Malaysia mengklaim tari Tor-tor. Dia bercerita tor-tor merupakan bahasa Mandailing yang artinya tarian-tarian.
Dia bersama 500 ribu warga komunitas warga Mandailing dari berbagai macam marga di Malaysia antara lain Nasution dan Siregar, ingin budaya Mandailing diakui juga oleh pemerintahnya.
"Ini sudah hampir 70 tahun kami perjuangkan. Kemarin 14 Juni ada acara Perhimpunan Anak Mandailing, dan kami meminta kepada yang terhormat Menteri Penerangan supaya kebudayaan Mandailing diangkat sama tingginya dengan budaya China dan India, juga dengan budaya Minang dan Jawa. Saat itu disebutkan akan dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam akta warisan negara, sebagai pelestarian suatu budaya," terang Ramli yang sempat mengajak detikcom berbicara bahasa Mandailing ini.
Ramli menegaskan, tari Tor-tor diusulkan sebagai warisan kebudayaan bangsa bukan berarti diklaim Malaysia, tapi justru agar dilestarikan, dipelihara dan dipertahankan supaya jangan hilang.
"Selepas masuk dalam pelestarian budaya, akan diberi peruntukan budget keuangan bagi kebudayaan ini. Jadi tidak ada niat Malaysia mengklaim milik Malaysia, kalau disebut itu milik Mandailing," jelasnya.
Masyarakat Mandailing sudah selama 200 tahun berkiprah di Malaysia. Mereka tersebar mulai dari wilayah Perak, Selangor, Negeri Sembilan, hingga Kuala Lumpur. Keturunan Mandailing dari marga Nasution dan Siregar bahkan banyak yang menjadi pejabat di pemerintahan Malaysia.
"Kami ingin budaya Mandailing juga diangkat di sini. Kami berpesan kepada saudara kami di Mandailing, kami juga warga Mandailing, kami ingin kebudayaan kami diakui di Malaysia. Tidak ada diklaim, tapi dilestarikan. Bukan hanya sekadar dipentaskan di belakang rumah," tuturnya.
Ramli mengibaratkan dengan kesenian Barongsai yang di era Gus Dur diperbolehkan dipertunjukkan di Indonesia. Tapi kesenian Barongsai itu pun tidak otomatis diklaim menjadi milik Indonesia, sebatas hanya menjadi kebudayaan saja.
"Kami hanya ingin budaya Mandailing di Malaysia dilestarikan," tegas Ramli yang juga editor di harian Utusan Malaysia ini.
SEJARAH GORDANG
SAMBILAN
Alat musik gondang sembilan (sembilan gendang) dan tari
tor-tor adalah budaya yang telah lama ada dan dikenal luas di suku Batak dan
Mandailing, budaya itu sudah ada sejak 500 tahun lalu di Mandailing.
Alat musik gondang sembilan dan tari tor-tor digelar bersamaan untuk perayaan, hajatan, dan penyambutan tamu yang dihormati.
Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para raja dan sebagai bentuk perlawanan terhadap serdadu Belanda. Ada bunyi tertentu yang ditabuh, menandakan kedatangan serdadu Belanda. Ketika gondang dibunyikan, masyarakat diminta mengungsi. "Bunyi lainnya meminta masyarakat untuk kembali ke kampung karena serdadu sudah pergi.”
Suku Mandailing pun berbeda-beda dalam menyebut alat musik gondang. Mandailing yang bermukim di wilayah Angkola, Sidimpuan, Tapanuli Selatan, mengenal dengan sebutan gondang 2, sebelumnya disebut gondang 7 di tiga wilayah itu. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai sekarang, gondang 9.
Adanya perubahan sebutan gondang 7 menjadi gondang 2 karena kesenian budaya ini sempat dilarang pada masa penjajahan karena sering digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap kompeni dan alatnya juga berat untuk dibawa bila mengungsi.
Alat musik gondang sembilan dan tari tor-tor digelar bersamaan untuk perayaan, hajatan, dan penyambutan tamu yang dihormati.
Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para raja dan sebagai bentuk perlawanan terhadap serdadu Belanda. Ada bunyi tertentu yang ditabuh, menandakan kedatangan serdadu Belanda. Ketika gondang dibunyikan, masyarakat diminta mengungsi. "Bunyi lainnya meminta masyarakat untuk kembali ke kampung karena serdadu sudah pergi.”
Suku Mandailing pun berbeda-beda dalam menyebut alat musik gondang. Mandailing yang bermukim di wilayah Angkola, Sidimpuan, Tapanuli Selatan, mengenal dengan sebutan gondang 2, sebelumnya disebut gondang 7 di tiga wilayah itu. Hanya di Mandailing Natal yang sebutannya tetap sampai sekarang, gondang 9.
Adanya perubahan sebutan gondang 7 menjadi gondang 2 karena kesenian budaya ini sempat dilarang pada masa penjajahan karena sering digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap kompeni dan alatnya juga berat untuk dibawa bila mengungsi.
SEJARAH TOR-TOR
Tari tor-tor sawan atau tari cawan diyakini masyarakat batak
sebagai salah satu budaya tarian paling tua masyarakat Batak dan merupakan
warisan leluhur Bangsa Batak yang
berasal dari Puncak Pusuk Buhit kawasan
Desa Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir ribuan tahun silam. Orang Batak
mempercayai bahwa keturunan pertama suku Batak yang disebut “Si
Raja Batak” berasal dari Pusuk Buhit.
Tarian ini diyakini
memiliki nilai magis dan berawal dari sebuah mimpi seorang Raja Batak keturunan
GURU TATEA BULAN, suatu ketika sang raja bermimpi kawasan
pegunungan pusuk buhit tempat keturunan pertama si raja batak akan runtuh, akibat
mimpi tersebut sang raja gelisah.
Kemudian sang raja memerintahkan Panglimanya (PANGLIMA ULUBALANG) agar memanggil seorang ahli nujum yang bergelar GURU PANGATIHA untuk menanyakan arti mimpinya. Namun sang Guru Pangatiha mengaku tidak tahu arti mimpi sang raja, akan tetapi Guru Pangatiha meminta supaya raja menggelar sebuah acara ritual yang dinamakan acara membuka debata ni parmanukon atau membuka tabir mimpi.
Oleh Guru Pangatiha, kemudian meminta sang raja agar acara membuka tabir mimpi ini dilaksanakan sebelum bulan purnama tiba atau dalam bahasa batak disebut BULAN SAMISARA. Akan tetapi, untuk membuka tabir mimpi itu jelas-jelas tidak dapat terpenuhi, akan tetapi untuk menangkis hal-hal buruk yang akan terjadi ke daerah kekuasaannya, GURU PANGATIHA menghimbau agar sang raja memanggil seorang sibaso atau dukun perempuan, dimana dukun perempuan yang diyakini masih gadis itu bergelar SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI.
Selanjutnya, oleh dukun perempuan tersebut bersama enam gadis lainnya datang memenuhi panggilan raja untuk membersihkan daerahnya dari mara bahaya, ketujuh gadis tersebut kemudian menari sambil menjingjing sebuah mangkuk atau cawan dikepala masing-masing dengan diiringi alunan musik gondang batak. Dengan tarian barbau mistis, ketujuh gadis itupun menari-nari sambil menyiramkan air dalam sawan/cawan keseluruh arah penjuru desa. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan masuk kewilayah kekuasaan raja. Bahwa SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI menari dengan ikat kepala terbuat dari benang tiga warna (merah,hitam dan putih) dan pengikat lain dikitar tubuh.
Kemudian sang raja memerintahkan Panglimanya (PANGLIMA ULUBALANG) agar memanggil seorang ahli nujum yang bergelar GURU PANGATIHA untuk menanyakan arti mimpinya. Namun sang Guru Pangatiha mengaku tidak tahu arti mimpi sang raja, akan tetapi Guru Pangatiha meminta supaya raja menggelar sebuah acara ritual yang dinamakan acara membuka debata ni parmanukon atau membuka tabir mimpi.
Oleh Guru Pangatiha, kemudian meminta sang raja agar acara membuka tabir mimpi ini dilaksanakan sebelum bulan purnama tiba atau dalam bahasa batak disebut BULAN SAMISARA. Akan tetapi, untuk membuka tabir mimpi itu jelas-jelas tidak dapat terpenuhi, akan tetapi untuk menangkis hal-hal buruk yang akan terjadi ke daerah kekuasaannya, GURU PANGATIHA menghimbau agar sang raja memanggil seorang sibaso atau dukun perempuan, dimana dukun perempuan yang diyakini masih gadis itu bergelar SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI.
Selanjutnya, oleh dukun perempuan tersebut bersama enam gadis lainnya datang memenuhi panggilan raja untuk membersihkan daerahnya dari mara bahaya, ketujuh gadis tersebut kemudian menari sambil menjingjing sebuah mangkuk atau cawan dikepala masing-masing dengan diiringi alunan musik gondang batak. Dengan tarian barbau mistis, ketujuh gadis itupun menari-nari sambil menyiramkan air dalam sawan/cawan keseluruh arah penjuru desa. Hal ini dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang akan masuk kewilayah kekuasaan raja. Bahwa SIBASO BOLON PANURIRANG PANGARITTARI menari dengan ikat kepala terbuat dari benang tiga warna (merah,hitam dan putih) dan pengikat lain dikitar tubuh.
kesainta.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar