Rabu, 20 Juni 2012

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA



Pada periode 1993-2011 telah terjadi 13 (tiga belas) kali perubahan harga bersubsidi bahan bakar minyak (bensin premium, minyak tanah, dan minyak solar). Dari 13 kali perubahan tersebut, terjadi 9 (sembilan) kali berupa penaikan harga dan 4 (empat) kali penurunan harga. Tabel berikut ini menyajikan perubahan harga bersubsidi bahan bakar minyak sejak tahun 1993 sampai tahun 2011.

TABEL 1. PERUBAHAN HARGA BERSUBSIDI BBM SEJAK TAHUN 1993-2011

Tinjauan kebijakan harga bersubsidi BBM ini difokuskan terhadap faktor penyebab utama dari penyesuaian (penaikan atau penurunan) harga bersubsidi BBM, yaitu faktor harga minyak mentah dan faktor perubahan nilai tukar Rupiah. Di dalam analisis ini harga minyak mentah yang digunakan adalah harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) yang dipublikasikan oleh Kementerian ESDM dan perkembangan nilai tukar Rupiah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.  


Grafik berikut ini menyajikan perkembangan harga minyak mentah Indonesia atau ICP periode 1993 sampai tahun 2011, serta perkembangan nilai tukar Rupiah untuk periode yang sama. Data pada tabel ini digunakan untuk menganalisis apakah kebijakan kenaikan harga bersubsidi BBM sejak tahun 1993 sampai tahun 2011 sepenuhnya ditentukan oleh kedua faktor tersebut diatas atau oleh faktor lain yang menjadi pertimbangan didalam mengambil keputusan kebijakan harga BBM.  
 

GRAFIK 1. PERKEMBANGAN HARGA MINYAK MENTAH INDONESIA 1993-2011 (USD/BARREL)
033012grafik1.jpg

GRAFIK 2. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH 1993-2011 (Rp/USD)

033012grafik2.jpg

Selain faktor perubahan harga minyak mentah dan perubahan nilai tukar Rupiah, tinjauan ini juga menggunakan neraca antara realisasi penerimaan minyak bumi dan realisasi subsidi BBM sebagai alat analisis. Grafik berikut ini menyajikan neraca tersebut untuk periode tahun anggaran 1989/1990 sampai tahun anggaran 1999/2000 dan untuk periode tahun anggaran 2000 sampai tahun anggaran 2011.

GRAFIK 3. REALISASI PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN SUBSIDI BBM 1989/1990-1999/2000


033012grafik3.jpg


GRAFIK 4. REALISASI PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN SUBSIDI BBM 2000-2011


033012grafik4.jpg


Catatan:  Realisasi subsidi BBM 2011 merupakan angka sementara.

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (27 Maret 1968 – 21 Mei 1998)
Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto tercatat kenaikan harga BBM dilakukan sebanyak 19 (sembilan belas) kali, yaitu pada tahun 1968, 1970, 1972, 1973, 1974, 1975, 1976, 1979 ( 2 kali kenaikan harga), 1980, 1982, 1983, 1984, 1985, 1986, 1990, 1991, 1993 dan 5 Mei 1998 serta 1 (satu) kali penurunan harga BBM yaitu pada tanggal 15 Mei 1998. Periode 1993-1997 merupakan periode terpanjang yang tercatat dimana harga bersubsidi BBM tidak dinaikkan. Hal ini terjadi karena harga minyak mentah dan nilai tukar Rupiah yang relatif stabil pada periode tersebut. Pada periode 1993-1997 harga minyak mentah Indonesia berkisar antara USD 16/barrel sampai USD 20/barrel dan kurs Rupiah berada pada kisaran Rp 2.096/USD sampai Rp 2.342/USD.

Kebijakan harga bersubsidi BBM pada masa ini pada dasarnya memberikan subsidi harga yang relatif lebih besar terhadap minyak tanah, mengingat minyak tanah adalah bahan bakar rumah tangga sehingga subsidi harga diharapkan dapat meringankan beban pengeluaran keluarga berpendapatan rendah. Selanjutnya minyak solar juga mendapatkan subsidi harga yang cukup besar karena minyak solar digunakan untuk transportasi umum dan angkutan barang, sehingga dampak kenaikan harga minyak solar terhadap kenaikan harga barang atau inflasi selalu menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan harga bersubsidi minyak solar. Subsidi harga untuk bensin premium pada periode tersebut relatif lebih kecil dibandingkan subsidi harga minyak tanah dan minyak solar, karena bensin premium lebih banyak digunakan oleh kendaraan pribadi yang pemiliknya relatif memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik.

Kebijakan harga bersubsidi BBM pada periode 1993/1994 sampai tahun 1997/1998 menetapkan harga bensin premium Rp 700/liter, harga minyak tanah Rp 280/liter dan harga minyak solar Rp 380/liter. Dengan harga BBM ini realisasi subsidi pada tahun anggaran 1993/1994 dan 1995/1996 nihil, artinya untuk kedua tahun anggaran tersebut harga BBM ini bukanlah harga bersubsidi.

Akibat krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan memuncak pada tahun 1998, Pemerintah pada tanggal 5 Mei 1998 memutuskan untuk menaikkan harga BBM sehingga harga bensin premium menjadi Rp 1.200/liter, harga minyak tanah Rp 350/liter dan harga minyak solar Rp 600/liter. Pada tanggal 15 Mei 1998 harga BBM tersebut diturunkan sehingga harga bensin premium ditetapkan menjadi Rp 1.000/liter (142,8% dibanding harga 1993), harga minyak tanah kembali ke harga tahun 1993 yaitu Rp 280/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 550/liter (144,7% dibanding harga tahun 1993).

Analisis:
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau ICP pada tahun 1997 sebesar USD 19,10/barrel atau 110,7% dibanding harga minyak mentah tahun 1993 sebesar USD 17,25/barrel. Nilai tukar Rupiah rata-rata tahun 1997 Rp 2.955/USD atau terdepresiasi sebesar 140,9% dibanding nilai tukar Rupiah tahun 1993 sebesar Rp 2.096/USD. Berdasarkan tingkat kenaikan harga minyak mentah dan tingkat depresiasi nilai tukar rupiah pada tahun 1997 maka harga BBM  seharusnya menjadi (110,7% x 140,9%)= 155,9% dibanding harga tahun 1993 dengan rincian harga bensin premium menjadi Rp 1.090/liter, harga minyak tanah menjadi Rp 435/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 590/liter. Namun pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga bersubsidi BBM sehingga pada tahun anggaran 1997/1998 realisasi subsidi BBM mencapai Rp 9,8 triliun atau 593% dibanding realisasi subsidi BBM tahun anggaran 1996/1997 sebesar Rp 1,4 triliun.

Kenaikan harga bersubsidi BBM pada tahun anggaran 1998/1999 yang diputuskan pada tanggal 5 Mei 1998 dengan harga bensin premium ditetapkan menjadi Rp 1.200/liter, harga minyak tanah Rp 350/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 600/liter pada dasarnya sudah mendekati faktor tingkat kenaikan harga minyak mentah dan faktor depresiasi nilai tukar Rupiah yang terjadi selama tahun 1997 seperti terlihat pada Tabel 2. Namun atas situasi politik yang terjadi pasca kerusuhan tanggal 12 Mei 1998 harga bersubsidi BBM ini diturunkan untuk bensin premium Rp 1.000/liter, minyak tanah tidak dinaikkan atau tetap Rp 280/liter dan minyak solar Rp 550/liter.

TABEL 2. PERBANDINGAN HARGA BBM TANGGAL 5 MEI 1998 DENGAN HARGA BBM 1993 SETELAH FAKTOR KOREKSI HARGA MINYAK DAN DEPRESIASI NILAI TUKAR RUPIAH TAHUN 1998
 
Jenis BBM
Harga Bersubsidi BBM
Taanggal 5 Mei 1998 (Rp/liter)
Harga Bersubsidi BBM Tahun 1993 Setelah Faktor Koreksi Kenaikan Harga Minyak dan Depresiasi Nilai Tukar Rupiah (Rp/liter) Pada Tahun 1998
Bensin Premium
1.200
1.090
Minyak Tanah
    350
435
Minyak Solar
    600
590
 

Masa Pemerintahan Presiden B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)


Presiden B.J Habibie dilantik sebagai Presiden R.I pada tanggal 21 Mei 1998 atau beberapa hari setelah kerusuhan tanggal 12 Mei 1998 dan setelah Pemerintah memutuskan menurunkan harga BBM pada tanggal 15 Mei 1998. Pada masa pemerintahanan Presiden B.J Habibie pemerintah tidak menaikkan harga bersubsidi BBM.

Analisis:
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau ICP pada tahun 1998 sebesar USD 12,48/barrel atau 72,35% dibanding harga minyak mentah tahun 1993 sebesar USD 17,25/barrel. Sementara nilai tukar Rupiah rata-rata tahun 1998 sebesar Rp 10.464/USD atau terdepresiasi menjadi 499,2% dibanding nilai tukar rupiah tahun 1993 sebesar Rp 2.096/USD.

Jika hanya mempertimbangkan faktor harga minyak mentah dan faktor nilai tukar Rupiah dan menggunakan harga bersubsidi BBM tahun 1993 sebagai acuan, maka pada tahun 1998 harga bersubsidi BBM seharusnya menjadi (499,2% x 72,35%) atau 361,17% dibanding harga bersubsidi BBM tahun 1993 sehingga harga BBM seharusnya untuk bensin premium menjadi Rp 2.530/liter, harga minyak tanah seharusnya menjadi Rp 1.010/liter dan harga minyak solar seharusnya menjadi Rp 1.375/liter. Namun dalam kenyataannya kenaikan harga bersubsidi BBM pada tahun 1998 beberapa hari sebelum pelantikan Presiden B.J Habibie jauh dibawah tingkat perubahan harga minyak dan perubahan nilai tukar Rupiah sebesar 361,17%. Akibatnya subsidi BBM pada tahun anggaran 1998/1999 melonjak sangat tinggi  mencapai Rp 28,6 triliun atau 292% dari subsidi BBM tahun anggaran 1997/1998 sebesar Rp 9,8 triliun. Pada tahun anggaran 1998/1999 realisasi penerimaan minyak bumi mencapai Rp 25,9 triliun sedangkan realisasi subsidi sebesar Rp 28,6 triliun sehingga terjadi defisit terhadap penerimaan minyak bumi sebesar Rp 2,7 triliun.

Memasuki tahun anggaran 1999 tepatnya periode April sampai 20 Oktober 1999, pemerintah tidak menaikkan harga bersubsidi BBM. Kondisi ini memberikan kelanjutan tekanan fiskal pada pemerintahan berikutnya yaitu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. 
 
Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)

Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tercatat 2 (dua) kali kenaikan harga BBM yaitu pada tanggal 1 Oktober 2000 dan tanggal 16 Juni 2001.

Analisis:
Dalam melanjutkan sisa tahun anggaran 1999/2000, pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Realisasi subsidi BBM pada tahun anggaran 1999/2000 mencapai Rp 40,9 triliun atau 143% dibanding realisasi defisit tahun anggaran 1998/1999. Realisasi penerimaan minyak bumi pada tahun anggaran 1999/2000 mencapai Rp 33,1 triliun setelah dikurangi realisasi subsidi BBM sebesar Rp 40,9 triliun maka terjadi defisit sebesar Rp 7,8 triliun.

Pada tahun anggaran 2000 (April-Desember 2000) harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan mencapai USD 28,39/barrel atau 227,5% dibanding harga minyak tahun 1998 sebesar USD 12,48/barrel. Sementara itu nilai tukar Rupiah tahun 2000 mencapai Rp 8.402/USD atau mengalami penguatan menjadi 80,3% dibanding nilai tukar Rupiah tahun 1998 sebesar Rp 10.464/USD, sehingga harga bersubsidi BBM tahun 2000 seharusnya naik menjadi (227,5% x 80,3%) atau 182,7% dari harga bersubsi BBM di tahun 1998. Pemerintah memutuskan kenaikan harga bersubsidi BBM pada tahun 2000 jauh dibawah tingkat kenaikan harga minyak mentah dan faktor pelemahan nilai tukar rupiah tersebut, dimana harga bensin premium hanya dinaikkan menjadi Rp 1.150/liter (115% dari harga 15 Mei 1998), harga minyak tanah menjadi Rp 350/liter (125% dari harga 15 Mei 1998) dan harga minyak solar menjadi Rp 600/liter (109,10% dari harga 15 Mei 1998).

Dengan kenaikan harga bersubsidi BBM tersebut yang jauh dibawah faktor kenaikan harga minyak mentah dan perubahan nilai tukar Rupiah tersebut, maka subsidi BBM pada tahun anggaran 2000 (April-Desember) meningkat menjadi Rp 53,8 triliun atau 131,8% dari subsidi BBM tahun 1999/2000 sebesar Rp 40,9 triliun. Pada tahun 2000 realisasi penerimaan minyak bumi sebesar Rp 50,9 triliun sehingga terjadi defisit penerimaan minyak bumi sebesar Rp 2,9 triliun setelah dikurangi realisasi subsidi BBM.

Pada tahun 2001 harga minyak mentah Indonesia turun menjadi USD 23,89/barrel atau  84,15% dibanding harga minyak mentah tahun 2000 sebesar USD 28,39/barrel. Sementara itu nilai tukar Rupiah tahun 2001 mencapai Rp 10.244/USD atau terdepresiasi menjadi 121,92% dibanding nilai tukar tahun 2000 sebesar Rp 8.402/USD, sehingga faktor kenaikan harga BBM pada tahun 2001 sebesar (84,15% x 121,92%) atau 102,6% dibanding harga BBM tahun 2000. Kali ini pemerintah menaikkan harga bensin premium menjadi Rp 1.450/liter (126,09% dari harga tahun 2000), harga minyak tanah menjadi Rp 400/liter (114,28% dari harga tahun 2000) dan harga minyak solar menjadi Rp 900/liter (150% dari harga tahun 2000). Kenaikan harga BBM tahun 2001 lebih tinggi dibandingkan faktor perubahan harga minyak dan nilai tukar Rupiah karena kenaikan harga tahun 2000 masih jauh dibawah kenaikan harga yang seharusnya jika mengacu pada harga BBM tahun 1993.  Meski telah dilakukan kenaikan harga bersubsidi BBM, namun realisasi anggaran subsidi BBM tahun 2001 masih meningkat yaitu mencapai Rp 68,4 triliun atau 127,1% dari subsidi BBM tahun 2000 sebesar Rp 53,8 triliun. Dengan realisasi penerimaan minyak bumi pada tahun 2001 sebesar Rp 58,9 triliun dikurangi realisasi subsidi BBM sebesar Rp 68,4 triliun maka terjadi defisit sebesar Rp 9,5 triliun.

Bersamaan dengan penetapan harga bersusibdi BBM yang berlaku sejak tanggal 16 Juni 2001, Pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2001 tanggal 15 Juni 2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri telah menetapkan harga MOPS+5% sebagai acuan harga pasar BBM dalam negeri. MOPS adalah singkatan dari Mean of Platt’s Singapore yaitu harga rata-rata FOB produk BBM yang diperdagangkan di pasar spot Singapore sebagaimana dicatat oleh Platt’s Singapore. Dalam perjalanannya besar penetapan harga BBM ditetapkan sebesar MOPS + Alpha. Besaran Alpha ini setiap tahun dinegosiasikan antara Pemerintah dan PT.Pertamina (Persero).

Dapat disimpulkan bahwa pada akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid realisasi subsidi BBM masih lebih tinggi dibandingkan realisasi penerimaan negara yang berasal dari minyak bumi.
 
Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)

Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat 2 (dua) kali kenaikan harga bersubsidi BBM yaitu pada tanggal 17 Januari 2002 dan tanggal 2 Januari 2003.

Analisis:
Pada tahun 2002 harga rata-rata minyak mentah Indonesia mencapai USD 24,53/barrel atau 102,68% dibanding harga minyak mentah tahun 2001 sebesar USD 23,89/barrel. Nilai tukar Rupiah tahun 2002 sebesar Rp 9.318/USD atau menguat 90,96% dibanding nilai tukar tahun 2001 sebesar Rp 10.244/USD. Dengan demikian maka pada tahun 2002 faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi BBM sebesar (102,68% x 90,96%) atau 93,4% dari harga tahun 2001 atau tidak perlu dinaikkan. Namun demikian mengingat kenaikan harga BBM pada periode sebelumnya jauh dibawah tingkat kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan nilai tukar Rupiah serta realisasi anggaran subsidi yang melampaui penerimaan minyak bumi, maka Pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bersubsidi BBM pada 17 Januari 2002 untuk bensin premium Rp 1.550 (106,9% dari harga tahun 2001), untuk minyak tanah Rp 600 (150% dari harga tahun 2001) untuk minyak solar Rp 1.150 (127,28% dari harga tahun 2001). Kebijakan kenaikan harga bersubsidi ini berhasil menurunkan subsidi BBM menjadi Rp 31,2 triliun, atau 45,6% dibanding realisasi subsidi BBM tahun 2001 sebesar Rp 68,4 triliun. Realisasi penerimaan minyak bumi tahun 2002 mencapai Rp 47,7 triliun sehingga setelah dikurangi realisasi subsidi BBM terdapat surplus sebesar Rp 16,5 triliun.

Pada tahun 2003 harga rata-rata minyak mentah Indonesia mencapai USD 28,65/barrel atau 116,8% dibanding harga tahun 2002 sebesar USD 24,53/barrel. Sedangkan nilai tukar Rupiah tahun 2003 mencapai Rp 8.577/USD atau 92,05% dibanding nilai tukar tahun 2002, sehingga faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi BBM dibanding tahun sebelumnya sebesar (116,8% x 92,05%) atau 107,5%. Pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM pada tanggal 2 Januari 2003 untuk bensin premium Rp 1.810/liter (naik 116,67% dari harga tahun 2002), untuk minyak tanah Rp 700/liter (116,67% dari harga tahun 2002) dan untuk minyak solar Rp 1.890 ( 164,35% dari harga tahun 2002). Realisasi subsidi BBM pada tahun 2003 mencapai Rp 30,04 triliun atau sedikit lebih rendah dari realisasi subsidi BBM tahun 2002 sebesar Rp 31,2 triliun. Realisasi penerimaan minyak bumi tahun 2003 mencapai Rp 42,9 triliun sehingga setelah dikurangi realisasi subsidi BBM terdapat surplus sebesar 12,9 triliun.

Pada tahun 2004 harga minyak mentah Indonesia naik mencapai USD 37,18/barrel atau 129,78% dibanding harga minyak mentah tahun 2003 dan nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.289/USD atau 96,64% dibanding nilai tukar tahun 2003 sebesar Rp 8.577, sehingga faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi BBM tahun 2004 menjadi (129,78% x 96,64%) atau 125,4% dibanding harga bersubsidi BBM tahun 2003. Walaupun demikian pemerintah tidak menaikkan harga bersubsidi BBM pada tahun 2004, sehingga beban subsidi BBM kembali meningkat menjadi Rp 69 triliun atau 229,9% dibanding subsidi BBM tahun 2003 sebesar Rp 30,04 triliun. Realisasi penerimaan minyak bumi tahun 2004 mencapai Rp 63 triliun sehingga setelah dikurangi realisasi subsidi BBM terdapat defisit sebesar Rp 6 triliun.

Dapat disimpulkan bahwa pada akhir pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri realisasi subsidi BBM masih lebih tinggi dibandingkan realisasi penerimaan negara dari minyak bumi.
 
Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009)

Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I, pemerintah memutuskan 3 (tiga) kali kenaikan harga bersubsidi BBM yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 dan tanggal 1 Oktober 2005 serta tanggal 24 Mei 2008 dan 2 (dua) kali penurunan harga bersubsidi BBM yaitu pada tanggal 1 Desember 2008 dan tanggal 15 Desember 2008.

Analisis:
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada tahun 2005 mencapai USD 53,44/barrel atau naik 186,5% lebih tinggi dibanding harga minyak tahun 2003 sebesar USD 28,65/barrel. Sementara nilai tukar Rupiah pada tahun 2005 mencapai Rp 9.705 atau terdepresiasi menjadi 113,15% dibanding nilai tukar pada tahun 2003, sehingga faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi BBM tahun 2005 menjadi (186,5% x 113,15%) atau 211% dibanding harga BBM tahun 2003. Pada tanggal 1 Maret 2005 Pemerintah memutuskan menaikkan harga bersubsidi BBM dengan rincian harga bensin premium Rp 2.400/liter (132,60% dari harga tahun 2003), harga minyak tanah Rp 2.200/liter (314,3% dari harga tahun 2003), harga minyak solar Rp 2.100/liter (111,11% dari harga tahun 2003).

Pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah kembali memutuskan kenaikan harga BBM dengan rincian harga bensin premium Rp 4.500/liter (187,5% dari harga 1 Maret 2005), harga minyak tanah Rp 2.000/liter (90,9% dari harga 1 Maret 2005), harga minyak solar Rp 4.300/liter ( 204,8% dari harga 1 Maret 2005).

Kenaikan harga bersubsidi BBM yang cukup tinggi pada bulan Oktober tahun 2005 telah mengakibatkan inflasi pada bulan Oktober mencapai 8,70%. Walaupun sudah menaikkan harga bersubsidi BBM sebanyak 2 (dua) kali dengan tingkat kenaikan tertinggi dalam sejarah kenaikan harga BBM, realisasi subsidi BBM tahun 2005 meningkat menjadi Rp 95,6 triliun atau 138,6% dibanding realisasi subsidi BBM tahun 2004 sebesar Rp 69 triliun. Realisasi penerimaan minyak bumi tahun 2005 mencapai Rp 72,8 triliun sehingga setelah dikurangi realisasi subsidi BBM terdapat defisit sebesar Rp 22,8 triliun.

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada tahun 2008 mencapai USD 97,02/barrel atau  181,6% dibanding harga minyak tahun 2005 sebesar USD 53,44/barrel. Sementara nilai tukar Rupiah pada tahun 2008 mencapai Rp 9.706/USD atau relatif sama dengan nilai tukar tahun 2005 sebesar Rp 9.705/USD, sehingga faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi tahun 2008 sebesar 181,6% dibanding harga BBM tahun 2005. Pada tanggal 24 Mei 2008 Pemerintah memutuskan menaikkan harga bersubsidi BBM dengan rincian harga bensin premium Rp 6.000/liter (133,33% dibanding harga tahun 2005), harga minyak tanah Rp 2.500/liter (125% dibanding harga tahun 2005), harga minyak solar Rp 5.500/liter (atau 127,9% dibanding harga tahun 2005).

Kemudian pada tanggal 1 Desember 2008 dan dilanjutkan pada tanggal 15 Desember 2008 pemerintah menurunkan harga bersubsidi BBM, sehingga pada akhir 2008 harga bensin premium menjadi Rp 5.000/liter (turun 16,66%), harga minyak tanah tetap Rp 2.500/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 4.800/liter (turun 12,73%).

Penurunan harga bersubsidi BBM pada akhir tahun 2008 tersebut diputuskan berdasarkan pada kenyataan bahwa harga minyak mentah Indonesia yang sempat mencapai USD 135/barrel pada bulan Juli 2008 turun menjadi USD 38,45/barrel pada bulan Desember 2008.

Dengan kenaikan harga pada bulan Mei 2008 dan penurunan harga bersubsidi BBM pada bulan Desember 2008, maka realisasi anggaran subsidi BBM tahun 2008 mencapai 139,1 triliun. Realisasi penerimaan minyak bumi pada tahun 2008 mencapai Rp 169,02 triliun sehingga terdapat surplus sebesar Rp 29,92.
 
Untuk mengurangi ketergantungan energi rumah tangga terhadap BBM khususnya minyak tanah maka sejak akhir tahun 2006 pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan minyak tanah ke LPG. Program ini cukup berhasil menurunkan konsumsi minyak tanah dan menurunkan beban subsidi harga minyak tanah.
 
Ada fakta yang cukup menarik dari program pengalihan minyak tanah ke LPG ini yang ditemukan setelah seluruh wilayah Jabodetabek selesai dilaksanakan program pengalihan diketahui bahwa realisasi pemakaian 1 liter minyak tanah setara dengan 0,25 kg LPG, padahal berdasarkan hasil percobaan dan penelitian menunjukkan 1 liter minyak tanah setara dengan 0,57 kg LPG. Fakta ini setidaknya menunjukkan bahwa lebih dari 50% minyak tanah yang didistribusikan di wilayah Jabodetabek selama ini dinikmati oleh masyarakat yang tidak termasuk kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini mengkonfirmasi teori yang menyatakan bahwa suatu komoditi apabila dijual dibawah harga pasar maka akan terjadi misalokasi sumber daya (miss-allocation of resources).
 
Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2009 – 20 Oktober 2014)

Pada tanggal 15 Januari 2009, pemerintah memutuskan penurunan kembali harga bersubsidi BBM setelah sebelumnya secara berturut-turut menurunkan harga bersubsidi BBM pada tanggal 1 dan tanggal 15 Desember 2008, sehingga harga bersubsidi bensin premium menjadi Rp 4.500/liter (turun 10%), harga minyak tanah tetap Rp 2.500/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 4.500/liter (turun 6,25%).

Analisis:
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada tahun 2009 mencapai USD 61,58/barrel atau turun 36,52% dibanding harga minyak mentah tahun 2008 sebesar USD 97,02/barrel. Sementara nilai tukar Rupiah pada tahun 2009 mencapai Rp 10.400/USD atau terdepresiasi sebesar 7,15% dibanding nilai tukar tahun 2008 sebesar Rp 9.706/USD. Dengan kondisi tersebut pemerintah tidak menaikkan harga BBM pada tahun 2009. Realisasi subsidi BBM tahun 2009 mencapai Rp 45,09 triliun turun 67,62% dibanding realisasi subsidi tahun 2008 sebesar Rp 139,1 triliun.

Jika mengacu pada harga bersubsidi yang diputuskan pada tanggal 1 Oktober 2008, maka harga minyak mentah pada tahun 2011 sebesar 114.97% dibanding harga minyak mentah tahun 2008 dan nilai tukar Rupiah tahun 2011 sebesar 90,42% dibanding nilai tukar tahun 2008, sehingga faktor tingkat kenaikan harga bersubsidi BBM tahun 2011 menjadi (114,97% x 90,42%) atau 103,9%  atau paling tidak sama dengan harga BBM tahun 2008 sehingga harga bensin premium pada tahun 2011 seharusnya naik menjadi Rp 6.000/liter, harga minyak tanah tetap Rp 2.500/liter dan harga minyak solar menjadi Rp 5.500/liter.

Dengan tidak dinaikkannya harga bersubsidi BBM tahun 2011 maka realisasi sementara subsidi BBM tahun 2011 mencapai Rp 165,2 triliun, jauh melampaui anggaran subsidi BBM APBN-P 2011 yaitu Rp 129,7 triliun atau 100% lebih tinggi dibanding subsidi BBM tahun 2010 sebesar Rp 82,3 triliun. 
 
KESIMPULAN:
Dari tinjauan kebijakan harga bersubsidi BBM tersebut diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
 
  1. Harga minyak mentah dan nilai tukar Rupiah merupakan faktor utama yang mendorong pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga bersubsidi BBM. Namun dalam realisasinya keputusan tentang besaran kenaikan harga bersubsidi BBM tidak mengikuti secara linier tingkat kenaikan harga minyak maupun tingkat perubahan nilai tukar Rupiah. Tidak dinaikkannya harga BBM pada tahun 2004 dan tahun 2011 merupakan realitas dalam kebijakan harga bersubsidi BBM walaupun harga minyak pada kedua tahun tersebut meningkat cukup signifikan dan terjadinya defisit yang cukup besar antara penerimaan minyak bumi dengan realisasi anggaran subsidi BBM.
  2. Selain perubahan harga minyak mentah dan perubahan nilai tukar Rupiah, realisasi subsidi BBM yang melampaui realisasi penerimaan minyak bumi merupakan faktor yang dipertimbangkan pemerintah dalam memutuskan kenaikan harga BBM seperti yang terjadi pada tahun 2000 dan tahun 2001 serta tahun 2005.
  3. Penggunaan MOPS (Mean of Platts Singapore) sebagai acuan harga pasar BBM secara formal untuk pertama kali ditetapkan pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2001 tanggal 15 Juni 2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri.
  4. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden B.J Habibie subsidi harga minyak tanah dan minyak solar relatif lebih tinggi dibandingkan subsidi harga bensin premium. Selanjutnya secara bertahap porsi subsidi harga minyak solar berkurang sampai saat ini, dimana harga bersubsidi minyak solar sama dengan harga bersubsidi bensin premium.
  5. Untuk mengurangi ketergantungan energi rumah tangga terhadap BBM khususnya minyak tanah maka sejak akhir tahun 2006 pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan minyak tanah ke LPG. Program ini cukup berhasil menurunkan konsumsi minyak tanah dan menurunkan beban subsidi harga minyak tanah. Keberhasilan ini kiranya dapat menjadi pendorong untuk mendiversifikasi BBM ke bahan bakar gas (BBG) maupun LPG (Vigas) sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Chairil/Dodik/Hamidi, http://www.setneg.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar