Selasa, 21 Agustus 2012

Efektifkah Black Campaign Meruntuhkan Jokowi?


Paska PILGUB DKI Jakarta putaran pertama yang mengantarkan Joko Widodo yang akrab dipanggil dengan Jokowi sebagai pemenang perolehan suara menurut versiQuick Count, selain menjadikan kemenangan Jokowi sebagai fenomena baru ternyata juga memunculkan gerakan politik baru yang menjurus kearah menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama dan menjadi sasaran tembak yang mesti dibidik dari segala arah dan penjuru, bahkan terkesan menghalalkan segara cara.
Tingkat serangan terhadap Jokowi prekuensinya dari hari ke hari semakin meningkat dan panas dengan mempergunakan cara dan bentuk yang lebih beragam yang bertujuan untuk mendeskreditkan dan penghancuran kredibelitas Jokowi, misalnya menyebarkan isu tentang sara, money politik dan tuduhan Jokowi sebagai seorang yang haus kekuasaan.
Dalam sebuah kompetisi, dalam bentuk apapun itu, saling serang dan mencari titik kelemahan lawan merupakan suatu strategi yang lajim dipergunakan, khusus dalam kompetisi politik salah satu cara permainan yang lajim dilakukan adalah perang opini atau perang wacana yang bertujuan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan konstituen.
Dalam menentukan pilihan seorang konstituen memang tidak bisa dipisahkan dengan struktur keterkaitan antara cara berpikir dan sikap pilihan seseorang, karena secara psikis apa yang dilakukan seseorang, dalam hal ini dalam konteks memilih, akan dipengaruhi oleh kerangka berpikir (mindset) seseorang yang dibentuk oleh keyakinan (Belief) yang dianut oleh seseorang, serta mindset tersebut akan menentukan tindakan seseorang dalam menetapkan pilihannya dalam PIlkada Gubernur DKI Jakarta.
Oleh karena itu jika ingin menggeser atau merubah pilihan seorang konstituen maka salah satu cara strategi yang mesti dilakukan adalah merubah (Change) kerangka berpikir atau mindset seseorang, untuk merubah kerangka berpikir seseorang cara yang mesti dilakukan adalah menggeser keyakinan seseorang.
Black Campaign yang mengarah kepada upaya penghancuran personality Joko Widodo yang semakin gencar mengemuka akhir-akhir ini merupakan sebuah strategi dan taktik politis yang dipilih oleh pihak yang tidak menginginkan kemenangan Joko Widodo dan pasangannya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Perang wacana tersebut sebenarnya lajim dilakukan dalam sebuah kompetisi politik terutama dalam sebuah pemilihan umum yang akan memilih pigur tertentu seperti Pilkada Jakarta saat ini, namun yang memprihatinkan dan menjadi persoalan yang memiriskan hati adalah perang opini yang mengarah kepada eksploitasi unsur SARA (Suku, Agama dan Ras).
Pilgub DKI Jakarta merupakan barometer bagi kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara Indonesia, karena Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia maka secara inplisit kota ini merupakan milik semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan Jakarta merupakan kampung besar yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat berpendidikan, melek politik dan lebih rasionalistik jika dibandingkan dengan masyarakat daerah dan  sangat naif apabila unsur SARA masih dianggap layak sebagai produk jualan para politisi untuk mempengaruhi pilihan konstituen.
Menganggap masyarakat Jakarta sebagai komunitas rasional tidak terlalu berlebihan dan mestinya dianggap layak serta pantas jika bercermin pada fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta putaran pertama yang baru saja berlangsung, pelaksanaan pemilihan calon pimpinan Jakarta tersebut ternyata melahirkan sebuah fenomena baru dalam kehidupan politik nasional, yaitu munculnya pemenang yang sebelumnya diluar prediksi beberapa pihak, bahkan lembaga survey politik yang selama ini dianggap sebagai dukun politik modern untuk memprediksi cikal bakal pemenang dalam setiap pemilihan umum akhirnya menelan pil pahit yang menggugat kredibelitasnya.
Fenomena baru ini semestinya tidak hanya ditanggapi hanya dengan rasa kaget atau kagum, namun momentum tersebut seharusnya dijadikan sebagai tempat bercermin dan melakukan permenungan untuk mencari proyeksi atau gambaran utuh tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi ditengah-tengah kalbu atau hati nurani masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya menyelami jeritan hati nurani masyarakat Jakarta.
Dari sekian banyak tanggapan yang mengemuka dalam menganalisis atau mengamatai kememangan pasangan Jokowi dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta memang muncul beraneka ragam bentuk tanggapan, hipotesis ataupun kesimpulan, sehingga terasa terlalu sombong jika ingin menyatukan semua tanggapan tersebut kedalam satu defenisi, namun dari semua perbedaan tanggapan yang muncul tersebut ada sebuah benang merah yang dapat ditarik, yaitu masyarakat Jakarta menginginkan terjadinya sebuah perubahan, masyarakat Jakarta menginginkan pigur pemimpin baru diluar otokrasi yang semakin mapan selama ini dan masyarakat telah muak serta bosan dengan tingkah laku para pemimpin selama ini yang dianggap tidak memiliki Empathy, yaitu tidak mampu memproyeksikan perasaannya kedalam perasaan masyarakat yang sedang terjadi, dengan kalimat lebih sederhana pemimpin selama ini tidak mampu memahami perasaan masyarakat.
Proses pemilihan calon Gubernur DKI Jakarta kali ini, bercermin dari putaran pertama, dalam putaran kedua nantinya tidak cukup hanya dilakukan melalui pergeseran rasionalitas masyarakat Jakarta misalnya melalui perang wacana atau opini, tetapi jika ingin unggul dalam Pilgub putaran kedua calon gubernur yang bertarung mesti mampu berempati, memahami perasaan masyarakat Jakarta dan melalui pemahaman tersebut diharapkan akan mampu merebut perasaan masyarakat Jakarta.
Hasil analisis dan prediksi beberapa Lembaga Survey Politik yang sangat berbeda jauh ketika dipublikasikan sebelum pelaksanaan Pilgub dengan real quick countmenjadi sebuah indikator bahwa metode berpikir rasionalitas yang hanya mengandalkan nilai-nilai kuantitatif terbukti tidak cukup dipergunakan sebagai alat analisis untuk bisa mengerti sikap dan tindakan masyarakat, metode kuantitatif yang hanya mengandalkan belahan otak kiri tersebut terbukti tidak mampu memahami perasaan masyarakat Jakarta, oleh karena itu sudah tiba saatnya mengandalkan belahan otak kanan atau lmengandalkan EQ (Emotional Quotient) dan tidak cukup lagi hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotient).
EQ yang melahirkan kemampuan atau keterampilan berempati inilah yang telah lama hilang dari atmosfir kehidupan sosial politik berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini karena para elit politik telah terjerumus kedalam gua zona nyaman (Comfort Zone) perselingkuhan antara elit penguasa dengan pengusaha kapitalistik dengan membentuk kartelisasi politik berwujud oligarki, yaitu penguasa politik (elit politik) yang berasal dan terdiri dari kelompok tertentu dan kecil.
Konstruksi Oligarki politik ini telah menjelma menjadi kekuatan politik yang mengandalkan kekuatan kekuasaan dan kekuatan uang (capital), melalui perkawinan kedua kekuatan tersebut para pemimpin oligarki mengeksploitasi masyarakat dan sumber daya alam atau ekonomi, dan melalui kekuatan ekonomi kembali memupuk kekuatan politik untuk menjadi predator yang mengebiri dan menyengsarakan rakyat, pengebirian atau penjinakan rakyat tersebut dilakukan bukan dengan tindakan refresif sebagaiman jaman orde baru tetapi dilakukan melalui institusi, konstitusi dan persuasi, perang opini dan wacana tersebut menjadi senjata ampuh taktik persuasi.
Patronase antara pengusaha pemilik uang yang banyak dengan elit politik yang memiliki kekuasaan menjadi musuh bersama politik kontemporer Indonesia, dan kemenangan Joko Widodo dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta merupakan perspektif kemenangan masyarkat sipil, menjadi sintesa terhadap kemapanan oligarki atau dinasti politik kontemporer.
Penyebaran isu-isu yang kontraproduktif yang berbau sara dalam kompetisi Pilgub DKI Jakarta dewasa ini merupakan sebuah tindakan yang menunjukkan munculnya sikap kepanikan dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan merebut kembali kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok orang-orang kuat, disebutkan sebagai sebuah bentuk kepanikan karena strategi mengelindingkan isu sara tersebut dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak edukatif dan bertentangan dengan philosopi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Telah tiba saatnya dalam kehidupan sosial politik di era reformasi ini semua pihak untuk lebih berpikir jernih dan bertindak dewasa serta matang dalam berpolitik dengan mempergunakan cara-cara yang lebih elegant dan berempati yaitu mengasah keterampilan memahami perasaan orang lain, dan berusaha memproyeksikan perasaan kita kedalam perasaan orang lain dengan kemampuan melakukan keterampilan empati ini maka akan mampu merebut hati orang lain, ketika hati seseorang telah mampu kita rebut maka secara otomatis kita akan mampu menggerakkan tindakannya, misalnya untuk memilih kita atau orang yang kita kampanyekan, contohnya memilih Gubernur.
Bercermin dari sikap dan keputusan yang telah ditunjukkan oleh masyarakat Jakarta dalam Pilgub tahap pertama yang baru saja berlalu, menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta telah memberikan pilihannya berdasarkan bisikan hati nurani secara independen tanpa dipengaruhi oleh unsur materi dan kampanye yang mengandalkan pencitraan, oleh karena itu dalam Pilgub putaran kedua nantinya juga konstituen Jakarta juga akan tetap mendengarkan bisikan hati nuraninya sebagai hukum tertinggi dan pemberi keputusan terbaik dalam menentukan pilhannya.
Dengan mengandalkan bisikan hati nurani dalam menentukan pilihannya, kompetisi dalam Pilgub putaran kedua DKI Jakarta diyakini bahwa masyarakat Jakarta tidak akan mudah terhasut apalagi terpengaruh oleh isu-isu negatif atau Black Campaignapalagi mengeksploitasi unsur sara, masyarakat Jakarta yang sudah matang dalam kehidupan politik akan menentukan pilihannya berdasarkan kepentingan terbaik sehingga penyebaran isu sara sebagai perang opini akan menjadi “Senjata Makan Tuan”. Politik Black Campaign tidak akan efektik karena konstituen Jakarta telah dewasa dan matang berpolitik !!!. Selamat berpikir positif bagi masyarakat Jakarta dan selamat berpikir Merdeka…!!!

www.kompasiana.com/daudginting

18 Juli 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar