Jumat, 17 Agustus 2012

Reorientasi Kebijakan Pertanian Serta Pengaruh Neoliberalisme


Oleh Daud Ginting 
OPINI Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan
 Thursday, 16 March 2006 
http://www.hariansib.com/index.php?option=com_content&task=view&id=692&Itemid=37
Menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu andalan perekonomian kerakyatan ditengah globalisasi ekonomi dan pengembangan industrialisasi transnasional, membutuhkan kajian dan keberpihakan yang lebih komprehensip. Terutama pada saat kondisi ekonomi nasional yang diprediksi tidak akan mengalami pertumbuhan secara signifikan pada tahun ini. Sebagai akibat paling nyata dari stagnasi ekonomi makro ini adalah terjadinya peningkatan jumlah pengangguran, dan semakin sempitnya lowongan pekerjaan di sektor industri. Pertanian sebagai pilihan terakhir sebagai sumber penghasilan dan kesinambungan hidup sebagian masyarakat Indonesia, juga merasakan imbas kebijakan makro ekonomi yang tidak populis. Padahal sektor ini merupakan alternatif terakhir untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Oleh karena itu, peningkatan peranan sektor pertanian sebagai salah satu alternatif sumber penghasilan bagi petani merupakan pilihan yang masih relevan dan sangat mendesak untuk diperbaharui. Karena produktivitas hasil pertanian beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran, penyebabnya adalah karena banyaknya persoalan yang melingkupinya. Secara statistik dapat dilihat bahwa lahan pertanian mengalami penyusutan dari tahun ke tahun akibat penggunaan lahan produktif untuk pembangunan lokasi industri dan pemukiman. Cepatnya pertambahan jumlah penduduk menjadi salah satu faktor yang mempercepat semakin luasnya penggunaan lahan pertanian untuk pemukiman. Proses pengurangan besar-besaran lahan pertanian ini mengakibatkan menurunnya hasil produksi pertanian padi secara nasional. Dilema ini semakin diperparah lagi oleh terjadinya proses penurunan tingkat kesuburan tanah sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan (rusaknya ekosistem). Hama dan penyakit pertanian juga semakin kebal terhadap pestisida. Ironisnya lagi penggunaan pestisida ini ternyata menyebabkan biaya produksi dan proses pengolahan lahan pertanian membutuhkan biaya tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh semakin mahalnya harga pupuk, dan naiknya ongkos tanam sampai panen. Konsekuensinya adalah mengakibatkan harga jual tidak seimbang jika dibandingkan dengan biaya produksi. Dewasa ini, keadaan penghasilan petani menjadi semakin dilematis, karena biaya produksi tinggi tetapi hasil produksi jumlahnya semakin turun dan harga jual hasil pertanian juga tidak seimbang. Fenomena ini menjadi bahan renungan paling relevan untuk saat ini, terutama untuk melakukan kilas balik terhadap sejarah pertanian nasional. Beberapa waktu yang lalu para elit politik Bangsa Indonesia ribut soal impor beras dari Vietnam. Impor beras memang menjadi dilema ditengah sebagian besar penduduk Indonesia merupakan komunitas petani. Pada tahun 1985 Bangsa Indonesia pernah menyandang gelar sebagai negara swasembada beras, sehingga mendapatkan penghargaan dari organisasi pangan sedunia (FAO) pada tahun 1986 di Roma, Italia. Untuk prestasi gemilang ini sebenarnya sejak awal juga menjadi bahan perdebatan kontraversial diantara pengamat ekonomi dan pertanian. Sehingga ada julukan yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan prestasi semu, bahkan pemberian penghargaan tersebut diduga sarat dengan kepentingan korporatokrasi global, yaitu untuk sarana melegitimasi program intensifikasi pertanian dengan mempergunakan pupuk anorganik (Zat Kimia) hasil produksi korporasi negara barat. Padahal penggunaan pupuk anorganik menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dari hasil penelitian beberapa lembaga sosial ekonomi pertanian, diindikasikan bahwa penggunaan pupuk anorganik atau pupuk kimia secara terus menerus, serta penerapan komposisi yang tidak tepat, mengakibatkan kondisi tanah pertanian menjadi kritis, dan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Saat ini para petani sudah sangat tergantung pada penggunaan pupuk kimia. Sehingga semakin lama penggunaan pupuk kimia yang tidak dibatasi mengakibatkan lahan pertanian semakin kritis karena terjadinya proses endapan atau residu pupuk kimia terhadap tanah. Secara historis proses intensifikasi pertanian dengan penggunaan pupuk kimia ini, ditengarai dipenuhi oleh kepentingan kaum kapitalis internasional (korporatokrasi), yaitu koalisi pemerintah, bank dan korporasi bangsa barat. John Perkins dalam bukunya Confessions of economics hit man, mengisahkan peranannya sebagai salah satu agen yang direkrut oleh suatu lembaga yang merupakan bagian dari kepentingan kolusi korporatokrasi hegemoni sebuah negara adikuasa. Dalam hal ini sebagai Economic Hit Man tugasnya adalah mendorong para pemimpin dunia, khususnya negara berkembang, agar menjadi bagian dari jaringan luas yang mengutamakan kepentingan komersial bangsa barat. Melalui pemberian bantuan pinjaman dan program pembangunan yang secara sistematis, diupayakan para pemimpin negara berkembang terjerat didalam belitan utang, sehingga terjadi loyalitas yang kuat terhadap hegemoni bangsa barat. Dengan demikian negara berkembang akan menjadi sasaran empuk ketika bangsa barat memerlukan dukungan terhadap kepentingan negaranya, misalnya untuk keperluan pangkalan militer, hak suara di PBB, atau akses untuk mengeksploitasi minyak dan sumber daya alam lainnya. Disamping itu penggunaan pupuk kimia sebagai hasil produksi industri negara maju merupakan sumber penghasilan bagi korporasi bangsa barat yang berkoalisi dengan penguasa. Pelaksanaan program pembangunan pertanian bermuatan kepentingan terselubung ini terjadi di Indonesia sejak tahun 1970-an, yaitu saat itu dikenal dengan nama Program Revolusi Hijau. Program ini tidak terlepas dari peranan CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research), suatu lembaga penelitian pertanian yang khusus menyebarluaskan program Revolusi Hijau. Lembaga ini didirikan pada tahun 1971 oleh Robert S. Mc Namara, presiden bank dunia saat itu. Dan merupakan mantan pimpinan perusahaan Ford dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat ketika terjadi perang Vietnam. Program itu memaksa para petani mengolah lahan pertaniannya secara modern. Pemerintah Indonesia saat itu mensosialisasikan program Bimas sebagai bentuk implementasinya. Melalui pembentukan BULOG, dilakukan pemberian subsidi pupuk, pemberian kredit pertanian dan Penetapan Harga Dasar Gabah. Pinjaman uang dari negara asing yang nota bene memiliki kepentingan terselubung, dipergunakan untuk pembangunan irigasi. Petani pada saat itu harus mempergunakan pupuk, obat (Pestisida), dan benih yang berasal dari impor. Misalnya penggunaan benih padi IRRI dari Filipina. Padi IRRI dibudidayakan dengan teknik eksploitatif, yaitu teknik mereproduksi genetic varietas padi hingga semakin kecil (kerdil), agar energi yang dimiliki oleh padi lebih banyak dipergunakan untuk perkembangan buah. Bercocok tanam dengan varietas padi IRRI sangat tergantung kepada penggunaan pupuk kimia, dan irigasi selama proses penanaman sampai tiba waktu untuk panen.
  Perdebatan terhadap strategi pembangunan pertanian ini sejak awal juga telah 
terjadi. Disatu sisi pemerintahan orde baru ingin menata basis bagi 
infrastruktur pedesaan yang bermanfaat untuk masyarakat dan kesejahteraan 
petani yang merupakan penduduk Indonesia paling dominan. Tujuan awalnya adalah 
pertumbuhan pertanian dapat mendongkrak seluruh kegiatan ekonomi dan 
kesejahteraan para petani. Untuk rencana merealisasikan kebijakan pembangunan 
yang berorientasi kepada kesejahteraan para petani, maka ditugaskan Bustanil 
Arifin dan Prof Widjojo Nitisastro untuk menganalisis dan menyusun formulasi 
kebijakan pangan, terutama untuk mengatasi rawan pangan. Namun Walter P Falcon, 
seorang guru besar dari Standford University, yang bertugas membantu para 
ekonom Indonesia yang sering disebut dengan Mafia Berkeley (arsitek ekonomi 
orde baru), memiliki pandangan khusus dalam pembangunan ekonomi pertanian. 
Menurut Falcon sebaiknya kebijakan ekonomi tidak berdasarkan pada kebijakan 
pertanian,melainkan pada kebijakan pangan. 
   
  Ada perbedaan penting dari kedua kebijakan ini. Kebijakan pertanian 
difokuskan pada kesejahteraan petani, sedangkan kesejahteraan pangan fokusnya 
dititikberatkan untuk konsumen dan produsen. Oleh karena itu kebijakan 
pertanian tidak hanya berpihak kepada para petani miskin, melainkan juga untuk 
kepentingan konsumsi masyarakat kota sebagai konsumen. Untuk menjaga 
keseimbangan ini maka Bulog ditugasi sebagai lembaga yang menjaga keseimbangan 
harga panen. Ketika terjadi surplus beras maka bulog akan membeli. Oleh karena 
itu Bulog dituntut untuk memiliki daya beli yang tinggi untuk menyangga harga 
beras. 
   
  Maka selama pemerintahan orde baru Bulog memiliki peranan yang sangat 
strategis dalam politik perberasan nasional. Oleh karena itu, kebijaksanaan 
pengembangan pertanian di era orde baru sarat dengan muatan kepentingan politik 
nasional dan global, sehingga pertanian sebagai sumber utama penghasilan dan 
kesejahteraan masyarakat bukan menjadi tujuan utama. 
   
  Proses pembangunan dan modernisasi pertanian seharusnya berorientasi kepada 
pemberdayaan serta mengangkat kesejahteraan para petani. Tetapi selama kurun 
waktu orde baru tersebut, para petani ternyata tetap berada di posisi 
terpinggirkan, dan bahkan banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. 
   
  Di era reformasi dewasa ini, keberadaan para petani yang memiliki jumlah 
sangat besar secara nasional, belum juga mendapatkan perhatian yang lebih 
khusus, terutama program yang berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan 
para petani itu sendiri. Hiruk pikuk kontroversi impor beras dari Vietnam, 
merupakan salah satu indikasi minimnya kepedulian elit politik terhadap 
kesejahteraan petani. Dengan berbagai cara manuver politik tingkat tinggi, 
kepentingan elit penguasa akhirnya mampu mengeliminir kepentingan komunitas 
petani. Hal ini selaras dengan orientasi ekonomi nasional yang mengarah kepada 
liberalisasi. 
   
  IMF sebagai agen  lembaga keuangan yang banyak memberikan pinjaman kepada 
Bangsa Indonesia, akhirnya mampu mempengaruhi kebijaksanaan ekonomi nasional 
untuk menjadi pro mekanisme pasar dan liberalisasi. Berkat tekanan IMF pada 
tahun 1998, bangsa Indonesia akhirnya melakukan kebijakan berdasarkan 
agresivitas neoliberalisme. 
   
  Langkah-langkah liberalisasi dilakukan dengan privatisasi, menjual 
asset-asset negara, liberalisasi pertanian, perdagangan, dan keuangan, 
mekanisme pasar digunakan sebagai barometer. Bukan lagi berdasarkan fungsi 
sosial dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah 
penghapusan subsidi terhadap kepentingan kebutuhan pokok rakyat. Demikian pula 
masuknya impor bahan-bahan pertanian telah mengacaukan dan menghancurkan sektor 
pertanian dan penghidupan petani. Masuknya berbagai bahan pangan impor terutama 
beras dan gula, membuat harga-harga produk lokal jatuh. Neoliberalisme secara 
agresif telah menyerang sendi-sendi kehidupan rakyat, dan akhirnya rakyat 
berada dalam kondisi tidak menguntungkan. 
   
  Pada tahun 1999, melalui konferensi World Trade Organization (WTO), di 
Seattle, Amerika Serikat, ideologi neoliberalisme yang bermuatan nilai-nilai 
arogansi, tipu daya, keserakahan dan kekuasaan tanpa batas, dipertunjukkan 
kembali. Selaras dengan kesepakatan semangat liberalisasi pasar tersebut, maka 
pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 7/tahun 2003, yang 
pada intinya merubah peranan Bulog dalam menyangga harga beras nasional. 
Melalui peraturan ini Bulog berubah menjadi perusahaan umum (PERUM BULOG). IMF 
memberi alasan bahwa peranan Bulog sebagai lembaga monopoli dibidang Pangan, 
mengakibatkan terjadinya distorsi pasar. Peranan tersebut dianggap bertentangan 
dengan prinsip liberalisasi pasar. 
   
  Sebagai Perum, Bulog akhirnya tidak mendapatkan dana bantuan khusus dari 
anggaran pemerintah, maupun fasilitas kredit berbunga lunak dari Bank Indonesia.
Sebagai sebuah lembaga yang diarahkan bertujuan untuk mencari rente atau 
keuntungan, akhirnya fungsi Bulog sama dengan perusahaan umum. Maka Bulog 
dipaksa mencari dana dari Bank Umum dengan suku bunga komersial. Dengan suku 
bunga pinjaman dikisaran 12%-14% maka peranan bulog untuk menyangga jumlah dan 
harga beras adalah sangat berat. 
   
  Selain masalah sumber pendanaan dan kewenangan, Bulog juga mengalami tugas 
berat untuk menetapkan harga (floor price) dan harga atas (celling price), 
sesuai dengan Inpres No.2/2005, Bulog ditugasi menjaga harga pembelian 
pemerintah (HPP). Penerapan kebijakan HPP merupakan konsep baru, dan berbeda 
dengan kebijakan ketika Bulog belum menjadi Perum. Sebelumnya konsep yang 
dipergunakan adalah Harga Dasar (HD), sehingga ketika harga beras berada 
dibawah HD maka dapat dikatakan harga beras jatuh, dan dilakukan intervensi 
Pemerintah melalui Bulog harus bertanggung jawab untuk mengatasinya. Tetapi 
pada konsep HPP, angka atau besaran harga yang ditetapkan merupakan patokan. 
Dengan demikian maka timbul persepsi yang menganggap bahwa pemerintah tidak 
peduli terhadap harga beras, serta tidak memperhitungkan penghasilan petani. 
Hal ini dapat kita lihat dengan keengganan pemerintah menetapkan harga atas 
(ceiling price). Karena dengan menetapkan harga atas tersebut, maka pemerintah 
dituntut untuk memberikan subsidi dan melakukan intervensi agar harga tidak melewati patokan tersebut. 
   
  Dihadapkan kepada kondisi perekonomian yang pekat dengan paham liberalisasi, 
maka nasib dan kesejahteraan para petani Indonesia, semakin lemah. Oleh karena 
itu para petani dituntut untuk lebih proaktif, jangan reaktif untuk menyiasati 
kondisi pasar dan perekonomian. Untuk itu dibutuhkan kemampuan kewirausahaan 
(Entrepreneurship) di bidang pertanian (Agrobisnis) bagi petani. Yang 
membedakan antara yang proaktif dengan reaktif adalah cara pandang terhadap 
suatu masalah. 
   
  Pandangan yang terlalu fokus dan terlena pada rintangan, serta bukan 
menganggapnya sebagai tantangan, akan menyebabkan petani disetir oleh keadaan 
itu sendiri. Sebaliknya orang yang proaktif tidak membiarkan keadaan akan 
menyetir dirinya, mereka akan konsentrasi untuk memikirkan hal-hal yang dapat 
dilakukan untuk mendobrak hambatan dan mencari alternatif jalan keluar. 
Mengharapkan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang populis dan berpihak 
kepada kepentingan para petani, sepertinya merupakan cita-cita uthopis, karena 
kepentingan global telah lebih dominan mempengaruhinya. Tidak ada jalan keluar 
selain melahirkan solusi dari petani sendiri dan untuk para petani itu sendiri, 
alias mandiri dan kreatif menyiasati keadaan.

  Salah satu alternatif dan solusi terhadap peningkatan hasil pertanian, 
khususnya Tanaman Padi Sawah (beras), adalah merubah cara bertani yang 
mengandalkan pupuk anorganik (Zat Kimia) menjadi pertanian organik maupun semi 
organik. Berdasarkan uji coba (hasil demplot) penerapan pupuk semi organik pada 
budidaya tanaman padi di Pasuruan, Jawa Timur, ternyata penggunaan pupuksemi 
organik mampu memperkecil biaya produksi  (lebih ekonomis). Hasil uji coba 
penggunaan pupuk semi organik dengan komposisi 50%, dan sisanya 125 kg urea, 25 
Kg SP-36, 25 kg KCL, menunjukkan angka lebih tinggi dibandingkan dengan 
penggunaan pupuk zat kimia sebesar 100%, yaitu 250 kg Urea, 50% kg SP-36 dan 50 
kg KCL untuk masing-masing percobaan pada lahan seluas 0,75 Ha. 
   
  Percobaan dengan mempergunakan pupuk semi organik (P1) mampu menghasilkan 
panenan gabah kering sebanyak 6.375 kg, sedangkan mempergunakan pupuk zat kimia 
100% (PO) hanya menghasilkan gabah kering sebesar 5.437 kg, atau memiliki 
selisih kenaikan hasil panen gabah kering sebesar 17,25%. 
   
  Setelah dilakukan proses pengeringan menjadi gabah kering giling dan 
dilakukan proses penggilingan, diperoleh hasil P1 sebesar 3.558 kg beras, 
sedangkan PO menghasilkan 2.738 beras, maka selisih P1-P0 adalah 3.558 
kg-2.783= 775 kg beras/0,75 ha. Bahkan penampilan atau perfomance fisik tanaman 
padi menunjukkan daun lebih hijau, tanaman lebihtinggi dan jumlah anakan lebih 
banyak, Penggunaan jumlah pupuk juga dapat dihemat.

  Percobaan dilakukan dengan mempergunakan pupuk semi organik dengan 
pertimbangan tidak mungkin melakukan perubahan secara drastis dari pertanian 
penggunaan pupuk anorganik menjadi pertanian organik. Karena kondisi lahan 
pertanian sudah terlanjur terkontaminasi oleh residu pupuk anorganik.

  Selain melakukan perubahan cara bercocok tanam, para petani melalui kemampuan 
entrepreneurship-nya diharapkan mampu melakukan diversifikasi produk. 
Purwiyatno Hariyadi, Kepala Southeast Asian Food & Agricultural Science & 
Technology Center IPB (Tabloid Kontan No 22, Maret 2006) mengatakan, selama 
tanaman padi hanya dimanfaatkan secara terbatas, hasil utama dari kegiatan 
petani hanyalah beras. Oleh karena itu pengembangan industri berbasis padi 
harus dikembangkan untuk menghasilkan berbagai produk turunan berbasis padi, 
dan melahirkan berbagai industri lainnya yang menggunakan  bahan baku dari 
beras. Misalnya pemakaian beras dan pati beras sebagai ingredient pangan. Hal 
ini sudah sangat berkembang di negara-negara maju yang justru bukan pengonsumsi 
beras. 
   
  Dedak atau bekatul padi (rice bran) ternyata mengandung fitokimia, dan 
berbagai vitamin seperti Thiamin, niacin, vitamin B-6, dan mineral seperti 
besi, fosfor, magnesium serta potassium. Oleh karena itu dedak padi berpotensi 
untuk digunakan dalam berbagai industri pangan, farmasi dan makanan suplemen. 
   
  Potensi lain dedak adalah, menjadikan ekstrak minyak dedak. Berdasarkan 
penelitian, minyak dedak ini ternyata  memiliki kualitas tinggi dan bermanfaat 
untuk mengurangi kolesterol dalam darah. Demikian juga tepung beras yang 
mempunyai sifat fisik dan sensosi yang khas, mempunyai potensi untuk 
menyubstitusi tepung lainnya (khususnya tepung terigu). Selain itu tepung beras 
bisa diproses secara ekstrusi menjadi berbagai produk pasta, keripik (chips) 
dan produk makanan ringan lainnya. Tepung beras ini bisa diperoleh dari beras 
pecah ukuran 3/4 ukuran biji beras utuh. Beras pecah ini umumnya dipisahkan 
dari beras utuh (kepala), dengan demikian beras patah ini hasil sampingan dalam 
proses penggilingan padi.

  Kemampuan melakukan diversifikasi produksi pertanian secara kreatif dan 
inovatif merupakan salah satu ciri petani yang memiliki kemampuan 
entrepreneurship. Dalam arus globalisasi dunia yang notabene terjadinya proses 
kompetisi yang sangat ketat, terutama untuk menghadapi negara-negara industri 
maju yang terlebih dahulu telah menguasai pasar, dibutuhkan peningkatan 
kemampuan kewirausahaan para petani. 
   
  Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, mengatakan bahwa perusahaan 
(usahawan) yang tidak berinovasi pasti akan menua dan merosot. Dan dalam 
masa-masa dimana terjadi perubahan cepat seperti sekarang ini, yaitu periode 
wirausaha, kemerosotan itu akan menjadi lebih cepat. Diantara hegemoni 
kepentingan pengusaha negara adidaya dan kepentingan korporasi transnasional, 
sehingga pemerintah Indonesia terpaksa mengikuti kecenderungan idiologi 
globalisasi. 
   
  Maka para petani yang merupakan sebagian besar profesi masyarakat Indonesia, 
membutuhkan keberpihakan, terutama untuk menjadikan hasil produksi pertanian 
sebagai sumber kesejahteraan. Untuk mewujudkan hasil pertanian yang ekonomis 
dibutuhkan kemauan pemerintah untuk memberdayakan para petani menjadi petani 
yang memiliki keterampilan ber-wirausaha (entrepreneurship) secara kreatif dan 
inovatif. 
   
  Terutama untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menghadapi kecenderungan 
pasar yang lebih liberal dan menjadikan para petani menjadi tuan di negerinya 
sendiri. Bukan menjadikan petani sebagai objek eksploitasi kepentingan bisnis 
orang-orang yang tamak, rakus dan imperialistik. Sesuai dengan harapan dan 
cita-cita para the founding father bangsa kita yang telah memerdekakan 
Indonesia sebagai pintu gerbang menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar