Jumat, 17 Agustus 2012

Merdeka dari Eksploitasi Kaum Petani?


Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia sudah merupakan kalender acara yang dilakukan setiap tanggal 17 Agustus, dan merupakan even yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Namun sebagai sebuah momen memperingati tonggak sejarah kemeredekaan Bangsa Indonesia maka semestinya peringatan tersebut menjadi sebuah wahana dan kesempatan untuk merenungkan kembali makna dan nilai-nilai yang tersirat dalam proses proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 2012 kemerdekaan Bangsa Indonesia berusia 67 (enam puluh tujuh ) tahun, sebuah usia yang dapat dikategorikan telah beranjak menuju matang dan tua, jika dibandingkan dengan umur seorang manusia maka  usia yang demikian tersebut telah menjadikan seseorang sebagai seorang kakek atau nenek yang telah memiliki cucu bahkan cicit.
Sebagai sebuah Negara dan bangsa yang dapat dikatakan telah berumur panjang maka Indonesia semestinya telah matang dan mapan dalam mengaktualisasikan serta mencapai cita-cita (goal) atau tujuan yang telah direncanakan sebelumnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pejuang dan pendiri (the founding father) Bangsa Indonesia.
Salah satu cita-cita mulia dan agung yang dirangkai oleh pendiri bangsa ini adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur diseberang jembatan emas kemeredekaan, artinya kemerdekaan itu merupakan jembatan atau jalan yang menghubungkan bangsa Indonesia mencapai kemakmuran dari jurang penjajahan dan kemelaratan yang ditimbulkan oleh imperialisme sebagai anak kandungnya kapitalisme yang serakah, eksploitatif dan berdarah dingin.
Bung Karno sebagai salah seorang The Founding Father Bangsa Indonesia suatu ketika menggambarkan bentuk kemelaratan rakyat Indonesia, khususnya petani, sebagai sebuah golongan kaum Marhaen, yaitu penduduk yang memiliki alat atau faktor-faktor produksi misalnya sebidang tanah sawah dan peralatan kerja tetapi tidak dapat menikmati kesejahteraan karena terbelenggu oleh kepentingan kaum penjajah.
Kata Marhaen pertama sekali dikemukakan oleh Bung Karno untuk melambangkan petani yang mengerjakan sebidang tanah kecil tetapi hidup dalam kemelaratan karena menjadi korban penindasan dan penghisapan kaum imperialis dan kapitalis, sebutan Marhaen ini kemudian diperluas sebagai yang menggambarkan kondisi seluruh rakyat Indonesia yang hidup miskin dan melarat  karena disebabkan oleh system yang menindas dari feodalisme dan kapitalisme.
Oleh karena itu marhaen bias mencakup seorang yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi sendiri atau bias juga melambangkan seseorang yang bekerja untuk seorang majikan yaitu misalnya seorang buruh yang tidak memiliki alat produksi sendiri, artinya kaum marhaen adalah manusia yang hidupnya tertindas, dimiskinkan oleh suatu system yang menindas.
Ketika Indonesia belum mencapai kemerdekaan system yang menindas tersebut dapat terlihat jelas dengan kasat mata yaitu kekuasaan bangsa lain yang menjajah dibumi Indonesia yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia Indonesia. Namun dalam era kemerdekaan ini saat ini, sebagaimana arti frasa kemerdekaan bahwa bangsa Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajahan maka semestinya bangsa Indonesia benar-benar merdeka secara multidimensional.
Namun apabila kita kaji lebih mendalam, ditengah kemerdekaan tersebut sebenarnya masih terbalut suatu kondisi yang menyebabkan bahwa sebenarnya petani Indonesia, yang jumlahnya merupakan sebagaian besar dari penduduk Indonesia, sebenarnya masih terbelenggu oleh penjajahan oleh bangsa lain, terutama bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan transnasional agribisnis yang didukung oleh lembaga pemerintah dan organisasi internasional, Ironisnya bentuk eksploitasi atau penjajahan gaya baru ini tidak dapat dilihat secara kasat mata, bahkan petani itu sendiri adakalanya tidak menyadari keberadaan eksploitasi dan penjajahan ini sehingga menjadikan para petani juga merasa terasing didunianya sendiri.
Tanpa disadari, sebenarnya telah terjadi proses marginalisasi atau penyingkiran  terhadap kaum tani secara sistematik oleh perusahaan-perusahaan agribisnis  nasional dan transnasional yang memiliki kebijakan yang didukung oleh elit penguasa dan organisasi internasional, misalnya melalui kebijakan pemerintah dan organisasi internasional dalam kebijakan pangan, hak paten, hak kekayaan intelektual dan ideology atau politik ekonomi.
Melalui kebijakan World Trade Organization (WTO) kekuasaan pemerintah secara berlahan-lahan dikurangi bahkan dilucuti dengan cara memberlakukan kebijaksanaan pengurangan perlindungan terhadap petani, memangkas pemberian subsidi perhadap para petani, membuat kebijakan memangkas hambatan tariff impor bagi industry pangan dan menyingkirkan semua rintangan yang dianggap menghambat investasi di bidang agribisnis.
Melalui lembaga WTO perusahaan transnasional memaksakan kehendaknya untuk dilaksanakannya mekanisme pasar bebas, termasuk memaksakan liberalisasi perdagangan pangan. Selain karena liberalisasi pangan marginalisasi petani dari lahan ladangnya sendiri juga terjadi melalui perubahan alat dan akses produksi yang telah dikuasai oleh perusahaan transnasional.
Melalui program revolusi hijau, petani Indonesia kini sangat tergantung pada budaya bertani yang harus mempergunakan bibit-bibit varietas baru hasil bioteknologi yang diproduksi oleh perusahaan transnasional, selain ketergantungan terhadap bibit hasil rekayasa genetika tersebut petani kita juga sangat tergantung kepada herbisida dan insektisida yang diproduksi oleh perusahaan transnasional, dan ironisnya mekanisme pasar penjualan hasil produksi petani kita juga diatur oleh pemerintah berdasarkan kepentingan politik dan ekonomi global.
Maka dapat dikatakan bahwa Ekonomi Pasar dan Politik telah meminggirkan (under value) sector pertanian kita, dengan kata lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah tidak berpihak terhadap basis ekonomi rakyat pedesaan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan merupakan salah satu sector strategis.
Dewasa ini telah terjadi paradox pembangunan (development paradox), yaitu paradigma ekonomi pembangunan yang salah kaprah, karena sebagai sebuah Negara agraris atau pertanian semestinya pemerintah justru lebih melindungi dan memberikan keberpihakan kepada para petani, namun yang terjadi justru sebaliknya, yaitu Negara-negara maju atau negara-negara industry maju, yang nota bene sangat memiliki pengaruh besar dalam organisasi internasional terutama WTO, sangat getol mempengaruhi kebijakan WTO untuk penerapan liberalisasi pertanian tetapi disisi lain justru lebih protektif dan memberi subsidi terhadap pertaniannya.
Dalam suasana memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-67 saat ini merupakan suatu momentum yang tepat dijadikan sebagai sarana melakukan permenungan terhadap nasib dan masa depan para petani kita, yang jumlahnya sangat signifikan, dan merupakan profesi yang digeluti oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang awalnya ingin menyelamatkan para petani di diseberang jembatan emas kemerdekaan maka layak dan sepantasnyalah jika kita kembali menengadahkan pandangan kita terhadap nasib dan penderitaan para petani yang terjerat oleh kepentingan perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional.

www.kompasiana.com/daudginting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar