Sabtu, 29 September 2012

BENTURAN PERADABAN ROAD MAP TO WORLD WAR III


BENTURAN PERADABAN
ROAD MAP TO WORLD WAR III

FROM THE DISTANCE GOD IS WATCHING US - RICHARD CLAYDERMAN & JAMEST LAST

Meski banyak ditentang, teori tentang benturan peradaban yang pernah dimunculkan oleh cendekiawan Amerika Samuel P. Huntington pada faktanya tidak bisa dipungkiri. Pasca era Perang Dingin, dengan melihat realitas politik yang ada, kita melihat bahwa benturan antara peradaban Barat dan Islam sesungguhnya sedang berlangsung. Bahkan, boleh dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya hanyalah lanjutan belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu, khususnya pada era Perang Salib.

Tulisan ini sekadar ingin menegaskan kembali tesis Huntington di atas dalam bukunya, Clash of Civilization, yang menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat adalah hal yang niscaya. 

Pengantar 

Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990 dan berakhirnya bipolaritas Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Namun, seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik. Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain.1 Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme Islam dan peradaban Cina (baca: Konfusianis).
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing setelah terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma Barat sebagai “newspeak” untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebut ideologi Islam sebagai 'ideologi setan'. Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslimin harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.

Hakikat Benturan Peradaban 

Peradaban (hadhârah) secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman.2
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa—yang kemudian dikenal dengan renaissance—dan rasa percaya diri terhadap karakter progresif era modern.3
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi—yang dimanifestsikan dalam perilaku—tentang kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.4
Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
(1) Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
(2) Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal.5
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun sistem.6 Ditinjau dari definisi ini, mabda’ menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau bertolak belakang.
Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh para pendusta dan pembohong.7
Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1. Faktor agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M.8 Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.9
Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata "christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2. Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat ini.
Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3. Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam—sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.10 Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.
Hubungan Peradaban dengan Negara
Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara adalah “wadah”-nya. Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain. Demikian pula peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniah di Turki (1924 M). 

Metode Islam menghadapi Benturan Peradaban 

Secara umum agenda untuk 'menyambut' benturan peradaban antara Islam dan Barat, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan di tengah-tengah umat.
Bagaimanapun, semua upaya penghancuran itu akan lebih mudah dihadapi kalau umat Islam kebal. Pembinaan (tatsqîf) di tengah umat adalah dalam rangka mewujudkan pola pikir yang islami, dan melatih ketahanan pola jiwa mereka dengan selalu berada dalam suasana taqarrub ilâ Allâh.
2. Melancarkan perang pemikiran dan mengungkap makar asing.
Penghancuran Islam sering tidask disadari oleh kaum Muslim. Karena itu, membongkar agenda tersembunyi dari penjajah (kasyf al-khuthath) harus selalu dilakukan. Mereka juga harus selalu mengkritisi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menyesatkan yang diklaim oleh kalangan liberal sebagai pemikiran Islam. Jika pemikiran-pemikiran ini tidak ditunjukkan kekeliruan dan kesalahnnya, maka umat Islam yang awam akan menyangka bahwa hal itu adalah bagian dari Islam.
3. Membangun kesadaran politik Islam dan memberikan gambaran Islam sebagai solusi.
Kesadaran politik Islam yang benar harus ditumbuhkan di tengah-tengah umat. Yang dimaksud adalah politik Islam yang akan membebaskan manusia dari ketertindasan dalam segala aspeknya menuju pada keridhaan Allah semata-mata. Untuk itu, para aktivitis dakwah harus mampu memberikan gambaran syariat Islam sebagai solusi atas segala masalah manusia.
4. Membangun tatanan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan tumbuhnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat maka berarti telah tersedia ‘perangkat keras’ (yaitu dukungan dari umat Islam) dan ‘perangkat lunak’ (yaitu konsep dan solusi Islam), yang diperlukan selanjutnya adalah membangun tatanan politik Islam, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Dengan tatanan ini, upaya untuk menghentikan penghancuran Islam akan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien lagi.
Keniscayaan Negara Khilafah dalam Menghadapi Benturan Peradaban
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan "wadah" bagi peradaban Islam Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekularlah yang kemudian mendominasi kaum Muslim saat ini.
Maka dari itu, eksistensi negara Khilafah adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar peradaban Islam dapat mengungguli peradaban Barat. Tentu, negara Khilafah yang akan terjun ke kancah benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung oleh kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal. Wallâhu a‘lam.

Liberalisme dan Kapitalisme Serta Benturan Peradaban Baru?

Wacana dan perdebatan tentang “Liberalisme” atau “Neoliberalisme” sampai hari ini masih saja aktual untuk diperbincangkan, bahkan tidak jarang pembicaraan tentang aliran pemikiran ini menimbulkan dua kutub yang saling berhadapan antara pro dan kontra, padahal paska runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya negara Uni Soviet muncul suatu perspektif yang mengklaim bahwa satu-satunya idiologi paling relevan di zaman moderen adalah kapitalisme sebagai anak kandungnya liberalisme.
Klaim keunggulan liberalisme dan kapitalisme ternyata sampai hari ini tidak luput dari gugatan bahkan kritik, ironisnya akhir-akhir ini gugatan terhadap relevansi dan dampak positif atau dampak negatif liberalisme justru semakin mengemuka di Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang paling mengagungkan liberalisme terutama karena terjadinya krisis finansial yang menimpa wallstreet, dan bentuk gugatan yang sama juga semakin gencar di belahan benua Eropa yang merasakan dampak krisis keuangan paling parah akhir-akhir ini.
Dibelahan dunia lain diluar Amerika dan Eropa gugatan terhadap aktualisasi liberalisme juga sangat gencar, terutama negara-negara miskin dan negara-negara berkembang yang selama ini sangat merasakan dampak negatif penerapan kapitalisme yang melahirkan imperialisme.
Fenomena ini menjadi sebuah bahan permenungan menarik untuk menyelusuri “apa gerangan” yang salah dalam aliran pemikiran liberalisme ini sehingga sampai hari ini masih tetap dikritik padahal komunisme sebagai lawan kerasnya telah dianggap tidak aktual lagi paska bubarnya Uni Soviet.
Berbicara tentang liberalisme tidak bisa mengabaikan kata “Liberal“. Kata liberal dapat dimaknai secara positif dan negatif, liberal dalam arti positif adalah sikap bathin yang otonom, mandiri (bebas) dan rasional, sedang Liberalisme dalam arti positif adalah merupakan faham yang menjungjung tinggi kemerdekaan bathin dan menolak segala macam pembatasan.
Sedangkan makna kata liberal dalam arti negatif merupakan sikap bathin semaunya tanpa memperdulikan aturan, konvensi, tradisi atau tidak menghiraukan segala sesuatu yang dianggap membatasi kebebasan/”Libertine”. Liberalisme dalam arti negatif adalah faham yang menganut bahwa manusia bebas bersikap dan bertindak dengan menghiraukan norma yang berlaku.
Memahami sejarah lahirnya aliran pemikiran liberalisme tidak bisa mengabaikan sejarah pemikiran Barat khususnya sejarah pemikiran renaissance dan modernisasi. Lahirnya renaissance di Italia pada abad ke empat belas merupakan titik tolak dan pintu awal lahirnya modernisasi di Eropa, istilah renaissance berasal dari kata rinascita (bahasa Italia) yang artinya kelahiran kembali, bahkan kemudian arti renaissance tidak hanya bermakna kelahiran kembali tetapi menggambarkan kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, otonom, dan memiliki kehendak bebas, dan inilah yang dianggap sebagai salah satuciri khas manusia modern. Manusia menjadi pusat dari alam (Anthroposentris), manusia dianggap sebagai dasar dalam kehidupan duniawi, manusia dianggap dapat berbuat apa saja karena dirinya sangat otonom.
Lahirnya zaman renaissance merupakan titik pangkal munculnya sekularisme di Barat, mengabaikan ajaran bahwa Allah yang maha kuasa (Theosentris) dan mengenyampingkan norma-norma moral. Kelahiran renaissance ingin merombak sikap manusia abad pertengahan yang terbelenggu oleh kaidah-kaidah moral yang dogmatis dan religiositas Gereja. Peran iman serta agama ditinggalkan dan menggantikannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, harapan akan kehidupan di akhirat (surga) digantikan dengan harapan hisup di dunia yang nyaman. Intinya antroposentris adalah essensi utama renaissance dan zaman modernisme, kelahiran renaissance erat kaitannya dengan munculnya faham liberalisme di Perancis dan Inggris.
Kelahiran masa renaissance membuat bangsa-bangsa Eropa mendobrak kelajiman theosentris yang dianggap telah memandulkan daya kritis akal budi manusia, dengan renaissance manusia diajak untuk kembali menjadi manusia rasional, bebas, otonom dan antroposentris, dan menganggap manusia sebagai subjek alam semesta sehingga kemudian melahirkan faham atau pemikiran yang merumuskan bagaimana hubungan manusia dengan alam, salah satu aliran pemikiran tersebut adalah liberalisme, faham ini kemudian berkembang melahirkan faham liberalisme di bidang ekonomi (kapitalis) dan politik (demokrasi).
Kapitalisme merupakan salah satu anak kandung renaissance dan liberalisme, kapitalisme sangat mengutamakan rasionalisme dan individualisme yang berorientasi kepada memberikan peluang seluas-luasnya melakukan persaingan bebas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan mengandalkan prinsif siapa ingin bertahan hidup dalam seleksi alam harus memiliki keunggulan.
Dalam sejarah selanjutnya ternyata kapitalisme ini menimbulkan dampak negatif sehingga menimbulkan kritik dari kaum sosialis dan kaum marxis. Tokoh paling fenomenal yang mengkritisi kapitalisme faham kapitalisme adalah Karl Marx yang kemudian dikembangkan oleh Lenin dan Stalin. Menurut Karl Marx kapitalisme hanya menguntungkan kaum majikan dan menimbulkan penindasan terhadap kaum lemah terutama eksploitasi terhadap kaum buruh sehingga ingin membuang sistem kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem ekonomi yang mampu menyelamatkan seluruh rakyat dengan sistem sosialis yang adil, merata dan membela kaum proletar, gagasan ini tertuang dalam bukunya Manifesto komunis dan Das Kapital.
Paska runtuhnya Uni Soviet, Francis Fukuyama mengklaim bahwa komunisme sudah runtuh dan sejarah telah menuju kemenangan penuh liberalisme ekonomi dan politik, artinya telah terjadi proses pemudaran terhadap semua idiologi diluar kapitalisme atau ide Barat. Lebih percaya diri Francis Fukuyama menyebutkan keruntuhan Uni Soviet sebagai sebuah momentum lahirnya “Akhir Sejarah”
Namun Samuel P Huntington dalam salah satu esseinya mengemukakan bahwa komunisme mungkin ambruk untuk saat ini, namun terlalu dini menganggap bahwa komunisme akan lenyap selamanya, kemenangan ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan ideologi baru karena tantangan baru terhadap kesejahteraan manusia akan selalu muncul sehingga orang akan mengembangkan konsep, teori dan ideologi baru untuk mengatasi tantangan tersebut.
Bahkan dalam esseinya yang lain Samuel P Huuntington mengutarakan hipotesisnya bahwa “Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan”. Konflik antar peradaban akan menjadi tahap terakhir evolusi konflik di dunia modern, peradaban sebagai salah satu bentuk pengelompokan dan identitas melalui unsur-unsur bahasa, agama, kebiasaan,institusi maupun identifikasi lainnya yang lebih subjektif dianggap sebagai faktor utama pertentangan dalam sejarah kehidupan manusia selanjutnya.
Analisis Samuel P Hutington ini sangat menarik dipertimbangkan dalam menilik arah kecenderungan perubahan geopolitik global paling mutakhir, memperhatikan arah perkembangan size perekonomian China yang diprediksi akan mengungguli size perekonomian Amerika Serikat dalam beberapa tahun yang akan datang, maka peranan China sebagai salah satu kekuatan baru ekonomi global akan membuka kemungkinan menjadikan China sebagai pusat peradaban baru dimasa yang akan datang.
Kemunculan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru membawa faham atau aliran pemikiran yang sangat berbeda dengan aliran pemikiran yang melatar belakangi kemunculan negara-negara Eropa dan Amerika ketika menuju negara modern dan maju, khususnya kemunculan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan politik paska perang dunia kedua identik dengan sikapnya yang eksploitatif dan hegemonis. Sementara China sekarang muncul sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru berkarakter lebih santun dan terkesan lebih berorientasi kepada pendekatan sumber daya manusia. Perbedaan ini hanyalah sebagian kecil diantara sejarah kemunculan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan dengan China. Namun, walaupun hanya perbedaan kecil hal tersebut merupakan salah satu contoh perbedaan peradaban diantara keduanya. Perbedaan inikah salah satu faktor yang memungkinkan timbulnya benturan peradaban dimasa yang akan datang ?
Mari kita serahkan kepada ruang dan waktu untuk mengujinya !!!!!
Sumber : http://www.facebook.com/groups/nasionalis/permalink/371683962901381/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar