Selasa, 18 September 2012

JOKOWI : MONEY POLITIC Vs CHARACTER BUILDING


Segala sesuatu yang berbau  rezim Orde Baru tidak ubahnya bagaikan virus penyakit menular bagi sebagian eksponen bangsa ini, sehingga segala sesuatu yang ada kaitannya dengan orde baru dianggap tidak baik, dan perlu untuk disingkirkan bahkan dibumu hanguskan. Ironisnya yang menunjukkan sikap antipati terhadap yang dianggap anasir-anasir orde baru ini justru orang yang hidup dan bertumbuh dari asinnya garam kehidupan orde baru.
Tanpa ada niat untuk membela, apalagi untuk mendukung orde baru sebagai suatu era kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik, kritik ini justru ingin menggugat para kalangan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan degan rezim orde baru tetapi sekarang bagaikan orang suci yang menjadi penggawa menyerang balik rezim orde baru.
Sikap tidak konsisten dan gampang ber-metamorfosis menjadi bentuk baru yang sebenarnya hanya sebatas lapis luar saja ini  menjadi salah satu sikap yang banyak mengemuka dan dipertontonkan oleh para pendekar politik nasional saat ini. Sikap yang cenderung hanya ingin membangun citra ini menjadi sumber utama perdebatan tidak produktif serta menimbulkan persaingan tidak sehat, bahkan menjurus kearah kompetisi menghalalkan segala cara dan pragmatis.
Ironisnya  wacana yang dikemukakan untuk membenci orde baru dan menjadikan rezim orde baru sebagai biang kerok persoalan justru muncul ketika kepentingan diri dan kelompoknya terancam tidak terpenuhi. Misalnya peraturan perundang-undangan yang dilahirkan di era reformasi diklaim sarat dengan aroma paradigma orde baru ketika konstitusi tersebut dianggap sebagai rintangan terhadap keinginan pribadi dan kelompok.
Salah satu wacana paling anyar dan masih hangat dalam atmosfir kehidupan politik nasional saat ini adalah menggugat kembali penerapan system pemilihan langsung kepala daerah, baik itu pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Sekarang muncul kembali perbincangan yang mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada system pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), karena pemilihan langsung dinilai membutuhkan biaya tinggi, melahirkan politik uang (money politik) dan hanya melestarikan Oligarki politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilihan langsung kepala daerah merupakan anak kandung reformasi dan lahir dari rahim reformasi yang menginginkan terjadinya proses perubahan dan demokratisasi kehidupan polotik, berbangsa dan bernegara. Namun ketika system pemilihan langsung ini ditenggarai sarat dengan politik uang apakah menggantinya kembali kepada system semula merupakan satu-satunya jawaban yang paling tepat serta dianggap menjadi solusi paling efektif ?
Jangan-jangan ususl yang mengemuka ini hanya merupakan indikasi dan gambaran tengah terjadinya keadaan frustrasi dan kehilangan akal sehat di dalam diri orang-orang yang mengemukakannya ? Karena sudah kehilangan cara untuk melestarikan akses kepentingannya maka tidak sadar untuk melakukan tindakan trial and error terhadap system kehidupan politik nasional. Jika dugaan ini memang benar-benar yang terjadi, alangkah naif-nya, dan betapa mahalnya nilai yang mesti disia-siakan hanya demi kepentingan sebagian kecil pihak tertentu.
Munculnya keinginan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD merupakan wacana tidak terpuji, dan hanya akan menjadikan bangsa ini asik dengan diri sendiri melakukan eksprimen terhadap system kehidupan politik, dan akan selalu melakukan gugatan demi gugatan hanya untuk melampiaskan libido politik liar  dan tidak terkendali.
Kalau memang money politik sebagai alasan utama menilai pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah tidak efesien dan efektif, bukankah mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD  justru akan hanya memindahkan budaya money politik tersebut ke ruang kekuasaan DPRD ? Secara kasat mata dapat kita lihat bahwa institusi DPRD juga bukan merupakan sebuah lembaga yang sangat bersih dari praktek politik uang, bahkan menurut data KPK justru kalangan DPR / DPRD merupakan oknum yang terbanyak menjadi sasaran tembak KPK dibandingan dengan oknum dari lembaga lain.
Dan sejarah masa lalu juga penuh dengan kasus politik uang ketika pemilihan kepala daerah masih dilakukan melalui DPRD, dan tidak dapat ditutup-tutupi bahwa karena maraknya politik uang pada pemilihan kepala daerah yang dilakukan kalangan DPRD tersebut menjadi salah satu sumber semangat melahirkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung pada era reformasi. Jadi jika masih ada keinginan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD berarti niat tersebut tidak ubahnya bagaikan menyemai persoalan baru yang ujung dan pangkalnya tidak jelas dimana.
Mencermati semakin maraknya keinginan untuk mengusulkan pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada pangkuan tangan DPRD, salah satu pertanyaan dan bahan permenungan yang sangat menarik untuk dikemukakan adalah,  ” Apa sebenarnya yang telah lama hilang dari kerangka berpikir anak bangsa ini ? “  
Jika kita masih berkenan melakukan penziarahan untuk menyelusuri sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ada salah satu ciri khas yang sering menyelimuti cara berpikir para elit penguasa di negeri ini, yaitu menjadi bangsa pelupa dan asik menarik garis untuk memilih siapa kawan serta siapa lawan. Ironisnya yang dijadikan menjadi lawan atau musuh bersama tersebut justru sesame anak bangsa sendiri, sehingga dengan menggumpalnya rasa perlawanan tersebut maka budaya melupakan apa yang baik dari pihak lawan juga semakin terakumulasi. Bahkan adakalanya timbul pemikiran yang menganggap bahwa segala sesuatu yang memiliki kaitan dengan rezim masa lalu semuanya tidak benar dan dianggap bagaikan sebuah virus penyakit menular yang mesti dihindarkan, bahkan bila perlu dihancurkan.
Dengan lahirnya orde baru tidak dapat disangkal bahwa rezim ini telah melakukan diferensiasi pemikiran terhadap orde lama, dan berupaya dengan segala cara mengeliminir buah pemikiran yang sebelumnya dilahirkan oleh The Founding Father, bahkan menjadikan buah pemikiran pejuang bangsa ini yang sebenarnya masih layak menjadi virus menakutkan -  misalnya buah pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta-, dan memformulasikan pemikiran baru hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok berdasarkan interpretasi sendiri demi melanggengkan kekuasaan dan akses terhadap eksploitasi politik dan ekonomi.
Demikian juga kelahiran era reformasi tidak terlepas dari sikap yang menginginkan munculnya tindakan untuk membenci semua yang dianggap memiliki kaitan dengan orde baru, segala sesuatu yang ada hubungannya dengan orde baru dijadikan sebagai musuh bersama. Padahal pada kenyataannya oknum-oknum yang paling getol menyebarkan kebencian kepada rezim orde baru tersebut justru orang yang tidak dapat dipisahkan dari kejayaan orde baru. Sulit rasanya membuat kriteria siapa diantara para elit politik dewasa ini yang benar-benar bias dianggap tidak memiliki kaitan dengan elit politik orde baru, bahkan banyak diantaranya justru tokoh-tokoh penting yang ikut berkiprah dan menikmati lezatnya kue racikan orde baru.
Justru yang membuat hati semakin miris dan pilu, para elit politik era reformasi yang saat ini masih bercokol dan menari-nari di tengah-tengah lingkaran kekuasaan eksekutif, legislative maupun yudikatif justru terjebak kedalam sikap yang sama untuk menjadikan sesamanya yang mengaku sebagai pejuang reformasi menjadi lawan dan musuh. Lengkaplah sudah bentuk permusuhan yang terpelihara dengan baik ditengah – tengah para elit politik dewasa ini sehingga semakin larut dan terjerumus semakin dalam ke ruang bangsa pelupa.
Karena keasikan dengan ritme kehidupan politik yang sarat dengan permusuhan yang tidak sehat maka anak bangsa ini juga banyak yang ikut larut kedalam sikap melupakan sejarah, terutama melupakan karakter.
Karakter Bangsa Indonesia telah lama kehilangan wujud aslinya karena para anak bangsa larut dalam permusuhan diantara sesama. Maka jangan menyesal jika atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya system kehidupan politik dewasa ini sarat dengan karakter bangsa lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan politik dewasa ini telah dijangkiti oleh politik liberal, dan tidak ubahnya seperti system ekonomi pasar yang mengandalkan mekanisme pasar berkarakter hukum suplay and demand atau hukum penawaran dan permintaan.
Ketika kehidupan politik didominasi oleh aliran pemikiran yang menganut system liberalisasi tanpa karakter yang jelas, maka tidak mengherankan jika dalam setiap pemilihan umum yang sering terjadi adalah money politik, bukankah dalam system ekonomi pasar semuanya dihitung berdasarkan keuntungan atau kerugian, serta segala sesuatunya dinilai berdasarkan nilai-nilai nominal uang.
Masyarakat juga dinilai berdasarkan kebutuhan material, oleh karena itu para politisi ketika ingin mendapatkan dukungan atau pilihan dari masyarakat maka politisi juga harus mampu memenuhi kebutuhan materi calon pemilihnya.
Berbeda halnya jika kehidupan politik diwarnai oleh budaya pengembangan karakter (Character Building),  dalam system pengembangan karakter yang menjadi dominan dalam menentukan sikap dan tindakan seseorang adalah kerangka berpikirnya (mindset) dan keyakinan (belief).  Karena kerangka berpikir yang mempengaruhi cara menentukan pilihan maka untuk menggeser atau merubah tindakannya juga harus melalui pergeseran cara berpikir dan keyakinannya, oleh karena itu berlaku indoktrinisai wacana pemikiran, idiologi maupun  visi dan misi, dan uang atau materi bukan menjadi sebuah ukuran.
Oleh karena itu jika masih ada keinginan untuk mengutak-atik pemilihan langsung kepala daerah dengan alasan hanya karena dituduh penuh dengan praktek money politik, itu terlalu naïf dan tidak proporsional, dan  perlu direnungkan kembali relevansinya, dan bukan hanya money politik yang mesti dijadikan sebagai akar persoalan satu-satunya, dan persoalannya bukan hanya sebatas karena suka tidak suka, tetapi persoalan terbesar yang tengah terjadi dalam kehidupan sosial politik nasional adalah kehilangan karakter.   
Dalam kasus pemilihan Gubernur Jakarta yang akan berlangsung memasuki putaran kedua, issu money politik juga masih saja ada yang mengemuka, walaupun sampai hari ini belum bias dibuktikan. Namun ditengah-tengah semaraknya perbincangan tentang pemilihan kepala daerah yang umumnya sarat dengan praktek politik uang, sebenarnya ada sebuah harapan terhadap pemilihan Gubernur Jakarta memberikan pembelajaran berharga bahwa tidak selamanya factor uang yang dominan menentukan keberhasilan seorang calon kepala daerah untuk memenangkan pemilihan umum.
Secara sederhana dapat kita amati bahwa pasangan Jokowi dalam pertarungan menuju Gubernur Jakarta, sejak awal pencalonan telah memulai menunjukkan suasana baru dalam mendapatkan dukungan dan kampanye, yaitu dalam mengatasi kebutuhan biaya kampanye yang sangat besar, pasangan ini menciftakan system jaringan berantai atau system sel untuk mengumpulkan dana kampanye. Salah sat contohnya adalah membuat baju kotak-kotak sebagai cirri khas atau brand image, dan kemudian menjual produk baju tersebut ke konstituennya, bahkan menurut informasi terakhir malahan baju tersebut laku dijual ke berbagai pelosok daerah diluar Jakarta.
Cara ini selain merupakan strategi untuk mengumpulkan dana, secara inplisit sebenarnya memuat nilai-nilai pembelajaran yang berkaitan dengan sikap gotong royong dan pembangunan karakter untuk saling membantu satu sama lain. Dan yang terpenting dari proses penjualan baju dan diperolehnya dana bantuan dari konstituren pasangan Jokowi menunjukkan sikap bahwa mereka akan dibebankan tanggungjawab untuk tidak melakukan praktek korupsi jika nantinya terpilih menjadi Gubernur Jakarta.
Demikian juga sebaliknya, masyarakat pemilih Jokowi secara tidak langsung dengan membeli baju kotak-kotak menunjukkan bahwa jika ingin mendapatkan seorang pepimpin yang sesuai dengan harapan dibutuhkan kerjasama yang baik serta kemauan untuk bergotongroyong untuk mewujudkannya, dengan memberi bantuan dana kepada sang calon  maka secara philosopis tersirat pesan khusus kepada calon tersebut untuk tidak melakukan pencurian terhadap uang yang seharusnya dialokasikan kepada rakyat, karena terpilihnya sang calon tersebut sudah ditunjukkan karena memang rakyat yang membantunya.
Apa yang dilakukan oleh pasangan Joko Widodo dalam proses pemilihan Gubernur Jakarta hanya sebagian dari contoh yang bisa dijadikan proses pengembangan karakter untuk melahirkan pemilihan umum yang berkarakter sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.  Dan contoh kasus ini menjadi sebuah indikator bahwa ternyata masih terbuka kesempatan untuk melakukan pemilihan kepala daerah tidak hanya harus dilakukan dengan mengandalkan uang atau materi.
Dan yang membanggakan, ternyata masyarakat kita, khususnya di Jakarta, ternyata masih banyak yang tidak menjadikan uang atau materi sebagai satu-satunya ukuran untuk menentukan pilihan dan dating ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Kenyataan ini menjadi sebuah pukulan balik terhadap pihak-pihak yang selama ini menganggap bahwa rakyat itu dapat dibeli dengan kekuatan uang. Belajar dari pengalaman pasangan Jokowi yang telah berhasil menggerakkan pemilihnya untuk ikut berpartisipasi menyumbangkan dananya secara sukarela maka wajar jika kita memberikan rasa hormat kepada Pasangan Jokowi dan masyarakat Jakarta yang telah mampu memberikan pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Khususnya kepada para politisi yang selama ini hanya mengandalkan kekuatan uang untuk terpilih dalam pemilihan umum fenomena ini menjadi sebuah cermin bening untuk menilai diri.
Dan semoga realita ini menjadi virus yang baik dalam kehidupan politik nasional kedepan, dan menjadi pola anutan bagi pemilihan kepala daerah diwilayah lain, serta menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia dan pertanda bahwa masih memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kehidupan social politik yang tidak mengandalkan money politik.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar