Sabtu, 15 September 2012

Konstituen Jakarta Memilih dengan Hati Nurani


Soegeng Sarjadi School of Goverment (SSSG)  baru-baru ini mempublikasikan hasil Telesurvey yang dilakukannya,  dimana hasilnya memberi gambaran bahwa mayoritas responden dalam menentukan pilihannya pada putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta akan memberi pilihan berdasarkan hati nurani. Tujuh puluh persen responden memilih berdasarkan hati nurani, 8 persen memilih berdasarkan agama, dan satu persen memilih berdasarkan instruksi partai politik, uang, dan instruksi tokoh masyarakat.

Hasil survey ini menjadi sebuah indikator bahwa bahwa masyarakat Jakarta sebagai konstituen memiliki karakteristik menarik untuk diperbincangkan dan dijadikan sebagai studi kasus tentang perilaku memilih (Voting Behavior). Hasil survey yang mengemukakan bahwa mayoritas penduduk Jakarta menentukan pilihan berdasarkan hati nurani justru semakin menarik karena hasil temuan ini menjadi sebuah antithesis dan bertolak belakang dengan pendapat beberapa kalangan yang mengatakan bahwa kemenangan pasangan Joko Widodo pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta merupakan bentuk pilihan tidak rasional.

Para pengikut aliran pemikiran identifikasi perilaku pemilih berdasarkan perilaku rasional (rational choice) mengasumsikan bahwa pada dasarnya masyarakat dalam menentukan pilihannya cenderung mempergunakan perhitungan atau rasionalitas untung dan rugi, yaitu menentukan pilihan berdasarkan sejauh mana orang yang dipilih tersebut mampu memberi keuntungan paling besar kepada pemilih serta memilih pemimpin yang dianggap memperkecil kerugian kepada pemilih, keuntungan tersebut boleh jadi secara ekonomi maupun kepentingan kelompok.

Dalam analisis dan arus pemikiran kaum penganut rational choice ini, pada putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta kemarin pigur yang dianggap mampu mewakili kriteria pilihan masyarakat yang melakukan pilihan berdasarkan perilaku rasional adalah Pasangan FOKE atau Fauzi Bowo. Pandangan ini juga selaras dengan hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey yang memprediksi pasangan Foke akan menjadi pemenang dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada saat putaran pertama.

Namun hasil perolehan suara yang resmi menunjukkan bahwa yang menjadi pemenang justru pasangan Jokowi sehingga fenomena kemenangan ini memutarbalikkan arus pemikiran yang telah mapan saat itu, lembaga survey runtuh nama baiknya, para pengamat politik terkejut, para elit politik terbangun dari mimpinya  dan masyarakat umum banyak yang merasa mendapat pengalaman baru dan idola baru.

Atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara di selimuti pertanyaan besar tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi ditengah-tengah masyarakat kita sehingga bisa muncul suatu hal yang sebelumnya tidak diperkirakan, sehingga kemenangan pasangan Joko Widodo ini dianggap bentuk pilihan tidak rasional.Asumsi tersebut tidak bisa disalahkan bulat-bulat karena memang telah lama eksponen bangsa ini larut kedalam kerangka pemikiran yang lebih berorientasi kepada mengandalkan kemampuan rasionalitas, semua dianalisa dan diputuskan dengan pendekatan rasional, kuantitatif dan hitungan matematik sebagaimana biasanya diberikan didalam institusi pendidikan yang cenderung hanya ingin memberdayakan kecerdasan belahan otak kiri.

Para elit politik bangsa ini sudah mapan dan merasa nyaman dengan hanya mengandalkan kemampuan kecerdasan rasionalitasnya sehingga belahan otak kanannya yang merupakan sumber penggerak naluri, hati kecil dan rasa empati-nya  tertidur dan tumpul sehingga wajar jika kemudian merasa terasing (teralianisasi), yaitu suatu kondisi merasa terasing atau keberasingan dari komunitasnya,

Jika dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada putaran kedua yang akan datang masih saja jita terjebak kedalam lembah kontraversi menentukan pilihan dengan mengklaim salah satu calon menjadi pilihan rasional dan memilih calon lain dianggap tidak rasional maka hal itu menjadi sebuah indikator bahwa sebenarnya masih banyak diantara para eksponen bangsa ini masih tetap merasa nyaman dengan cara berpikirnya yang telah mapan atau tetap berada pada zona nyamannya (Comport Zone),  dan merasa sulit untuk melakukan pergeseran kerangka berpikirnya. Bahkan terlalu sombong untuk mau menerima tanda-tanda zaman yang telah menunjukkan signal-signal yang tengah menuju perubahan. Kondisi ini membenarkan sebuah thesis yang mengatakan bahwa umat manusia umumnya lebih lambat merubah dirinya sendiri dibandingkan dengan  perubahan zaman tersebut.

Kemenangan Joko Widodo pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat sebenarnya menginginkan terjadinya proses perubahan terhadap atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini dan hasil Telesurvey SSSG (Soegeng Sarjadi School of Goverment) juga  menunjukkan bahwamayoritas responden memilih pasangan cagub dan wacagub Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. 

Dari hasil survei tersebut, jumlah responden yang memilih pasangan Jokowi-Ahok sebanyak 36,74 persen, sedangkan yang memilih pasangan Foke-Nara sebesar 29,47 persen. Namun dari hasil survei ini juga nampak 22,04 persen pemilih yang belum memutuskan pilihannya, 2,72 persen calon pemilih memilih golput, dan 9,03 persen menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar