Sabtu, 15 September 2012

Keunggulan Jokowi Meramu “Primal Leadership”


Kemenangan pasangan Joko Widodo dalam putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta sampai hari ini masih merupakan wacana yang menarik untuk diperbincankan. Keberhasilan yang diraih pasangan tersebut menjadi bahan analisa bagi banyak kalangan karena menyisakan pertanyaan menggelitik tentang faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi dan yang menyebabkan pasangan Jokowi berhasil meraih puncak keunggulan tersebut.
Selain kemenangan pasangan Jokowi ini mengejutkan serta diluar perkiraan sebelumnya, fenomena ini menjadi sebuah bahan permenungan menarik untuk mencari jawaban tentang faktor-faktor apa sebenarnya yang menjadi nilai jual paling menarik mempengaruhi konstituen dan mampu menggerakkan sikap dan tindakannya untuk menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya.
Perolehan suara yang diberikan masyarakat Jakarta memilih pasangan Jokowi pada putaran pertama pemilihan Gubernur yang lalu bukan merupakan suatu kejadian kebetulan belaka, apalagi dianggap sebagai sebuah fenomena yang tidak rasional, tetapi kemenangan pasangan Jokowi tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai lebih yang dimiliki oleh pasangan ini, yaitu sebuah keunggulan komparatif yang dianggap pemilih ada pada diri Joko Widodo  (Jokowi) maupun  Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bila dicermati melalui wacana yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, baik itu masyarakat Solo, Jakarta dan Masyarakat Indonesia di daerah lain salah satu variabel yang dianggap sangat menarik dalam pasangan ini adalah karakteristik pigur Joko Widodo yang telah terkenal luas sebagai salah seorang pemimpin yang dianggap memiliki kompetensi, dan merupakan salah satu Walikota memiliki predikat terbaik di Indonesia bahkan dalam tingkat Internasional.
Jokowi menjadi seorang pigur pemimpin yang dianggap mampu memberikan alternatif pilihan serta memiliki rekam jejak yang dianggap mampu mewakili apa yang sebenarnya yang di idam-idamkan khalayak ramai selama ini, sehingga kehadiran Jokowi di panggung politik pemilihan Gubernur Jakarta serta menjadi buah bibir diberbagai perbincangan masyarakat Indonesia bagaikan sebuah oase ditengah apatisme masyarakat yang selama ini telah merasa muak dan bosan melihat tingkah laku para elit politik yang hanya sibuk sendiri dengan politik pencitraan, mementingkan diri sendiri serta kelompoknya dan tidak mampu berempathy terhadap jeritan hati nurani rakyat.
Ruang kosong yang berbentuk kerinduan atau harapan yang tidak mampu di isi oleh pemimpin lainnya ini merupakan peluang yang berusaha dimasuki oleh pasangan Jokowi melalui pendekatan kecerdasan emosional (emotional intelligence / EI),  yaitu memancing tumbuhnya perasaan positif  dari dalam diri masyarakat Jakarta sebagai konstituennya. Pigur Jokowi bagaikan sebuah resonance - sumber sifat-sifat positif- yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mengeluarkan aspirasinya.
Model yang dipergunakan oleh Jokowi ini merupakan sebuah terobosan baru untuk meretas kemapanan cara berpikir para elit politik yang terpelihara dengan baik selama ini, dan dalam hal ini Jokowi dapat dilihat secara kasat mata mampu mempergunakan kecerdasan emosional tersebut untuk menyelami isi perasaan masyarakat yang sesungguhnya (ber-empathy), dan berusaha menempatkan diri serta perasaannya sebagaimana perasaan masyarakat sebenarnya, artinya tidak cukup hanya ber-simpati tetapi harus mampu ber-empathy. Ber-empathy dalam hal ini berarti mampu memahami perasaan masyarakat dan mampu memproyeksikan perasaannya sesuai dengan perasaan masyarakat.
Dalam teori manajemen, kemampuan mempergunakan kecerdasan emosional ini disebut dengan model primal leadership, yaitu sebuah model kepemimpinan yang dibangun berdasarkan pendekatan sistem neurologi yang melalui riset mengenai otak diperoleh pengetahuan baru yang mengatakan bahwa  suasana hati dan tindakan seorang pemimpin memiliki dampak signifikan kepada orang-orang yang dipimpinnya, dan penelitian tersebut membuktikan seorang pemimpin yang cerdas secara emosi akan mampu menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme serta membuat orang lain termotivasi dan berkomitmen.
Sejarah telah banyak mencatat bahwa pemimpin besar yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya adalah seorang pemimpin yang mampu menyelami perasaan rakyatnya, mampu membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi baik itu melalui pikiran, perkataan dan tindakannya maupun melalui visi dan ide-ide yang dikemukakannya. Sehingga untuk menjadi seorang pemimpin besar tidak cukup dengan hanya mengandalkan kharisma dan pencitraan tetapi harus mampu melibatkan emosi.
Kecerdasan emosi ini bagi seorang pemimpin bersifat primal -yang utama-  atau memiliki fungsi sangat penting dalam sebuah kepemimpinan karena melalui kemampuan mempergunakan kecerdasan emosi ini seorang pemimpin akan mampu menggerakkan emosi orang-orang yang dipimpinnya terutama untuk menggerakkan emosi kolektif  ke arah yang positif.
Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi mumpuni akan dianggap berhasil apabila mampu mendorong emosi masyarakat ke arah postif, antusiasme, dan berkomitmen, dan seorang pemimpin pecundang umumnya hanya mengandalkan kemampuannya mendorong orang lain ke arah negative thingking, kebencian dan kecemasan.
Seorang pemimpin yang mampu mengembangkan perasaan positif maka pemimpin tersebut akan menjadi resonansi (resonance), yaitu pemimpin yang mampu menyelaraskan diri dengan perasaan orang-orang yang dipimpinnya dan menggerakkan perasaan mereka ke arah emosi positif.  Kata resonansi (resonance) berasal dari bahasa latin resonare yang artinya “menggemakan”, sedangkan menurut Oxford English Dictionary arti resonance adalah “penguatan atau pemanjangan suara melalui pemantulan” atau “melalui getaran yang selaras”.
Jadi kepemimpinan yang resonan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kepemimpinan yang mampu memantulkan bunyi untuk menggerakkan nada emosi positif orang yang dipimpinnya yang terlihat ketika seorang pemimpin mampu membuat getaran yang selaras secara emosional dan berada pada gelombang yang sama didalam perasaan yang sama.
Salah satu tanda pemimpin yang resonan adalah ketika seorang pemimpin mampu menjadikan pengikutnya bervibrasi dengan energi semangat dan antusiasme pemimpin dan ketika seorang pemimpin mampu menciftakan perekat yang mengikat orang yang dipimpin kedalam sebuah cita-cita atau visi bersama, dan inilah satu lagi contoh terpenting dalam model primal leadership.
Model primal leadership inilah yang telah lama hilang dari tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini, dan bagaikan sebuah kerinduan yang telah lama tidak terobati dalam atmosfir kehidupan politik Bangsa Indonesia. Keberhasilan Jokowi sebagai Walikota Solo yang dianggap mampu memimpin masyarakat Solo dengan metode merakyat, mengatasi masalah rakyat dengan mempergunakan kaca mata rakyat serta kedekatan dirinya dengan perasaan masyarakat Solo menjadi sebuah contoh model kepemimpinan yang mengandalkan kecerdasan emosional dalam arti keterampilan kepemimpinan yang mengandalkan kemampuan memproyeksikan diri pemimpin kedalam perasaan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Kemenangan pasangan Jokowi pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta menjadi sebuah indikator bahwa masyarakat Indonesia umumnya juga tengah dilanda kerinduan terhadap seorang pigur pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional, apa yang terjadi di Jakarta menjadi sebuah barometer kehidupan dan detak jantung masyarakat Indonesia karena Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia merupakan mikrokosmos kehidupan nasional.
Oleh karena itu selayaknyalah jika fenomena kemenangan pasangan Jokowi pada putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta dijadikan sebagai sebuah wahana permenungan dan otokritik terhadap para elit politik dan elit penguasa negeri ini, dan menggoreskan catatan bertinta emas tentang terungkapnya sebuah realita baru bahwa sesungguhnya masyarakat dewasa ini menginginkan lahirnya pigur pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional, yaitu pemimpin yang mampu menyelami perasaan rakyatnya dan mampu memenuhi keinginan rakyatnya.
Keberhasilan Jokowi dalam pertarungan pemilihan Gubernur Jakarta merupakan sebuah cermin besar yang tidak kabur diselimuti debu sebagai sebuah wahana yang tepat dipergunakan untuk melihat raut wajah kehidupan sosial politik Bangsa Indonesia, dan menjadi sebuah sarana untuk melakukan ziarah bathin untuk mendengarkan bisikan hati kecil masing-masing yang telah lama diabaikan karena selama ini memiliki penuh keyakinan untuk hanya mengandalkan kemampuan rasionalitas, serta menganggap bahwa segala sesuatunya dalam kehidupan ini seakan bisa diselesaikan dengan pendekatan kuantitatif  dan materialistik.
Sudah tiba saatnya untuk berpaling kembali kepada orisinalitas bisikan sayup-sayup hati nurani masing, karena walaupun hati nurani itu telah lama diabaikan, sudah merupakan sifat hakikinya untuk tetap setia dengan keberadaannya untuk menantikan kita kembali kepadanya. Itulah keunggulan hati nurani yang tidak pernah membenci walaupun sering kita abaikan, secongkak apapun kita mengabaikannya dan sejauh apapun kita meninggalkannya hati nurani kita akan tetap merentangkan tangannya secara terbuka untuk menerima kita kembali kedalam pelukannya.
Setulus hati nurani itulah kerinduan perasaan rakyat Indonesia menantikan kehadiran pemimpin nasional yang suatu saat diharapkan akan lahir ditengah-tengah kehidupan saat ini yang sarat dengan cerita basi tentang tingkah laku pemimpin korup, mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki rasa peduli terhadap  jeritan hati masyarakatnya.
Jika kerinduan ini juga tidak mampu menggugah perasaan para elit politik dan penguasa negeri ini maka wajarlah jika kita bertanya sekali lagi “Apa sebenarnya yang telah hilang dari kehidupan politik Indonesia dewasa ini ?”.  Padahal bangsa ini telah banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan diantara tulisan namanya tersemat lebih dari satu gelar sarjana.
Jawaban atas pertanyaan ini mengingatkanku kepada sebuah artikel tulisan sahabatku yang berjudul ” KANCIL : KECERDASAN TANPA KARAKTER”. Iya di negeri ini telah banyak orang cerdas, bahkan kecerdasannya itu mampu mengalahkan kecerdikan seekor kancil ketika mengelabui segerombolan buaya di sebuah sungai, cerita ini tidak asing bagi kita karena merupakan sebuah cerita populer untuk konsumsi anak-anak, jadi kita sepakat untuk mengatakan bahwa kancil itu memang memiliki kecerdasan, lebih tepatnya cerdik, tetapi seorang sahabat saya memvonnisnya bahwa kecerdasan kancil tersebut tanpa karakter.
Selamat menyelusuri bisikan hati kecil masing-masing dan sekali lagi saya sampaikan salam selamat mempertimbangkan siapa yang akan dipilih menjadi Gubernur Jakarta yang akan datang melalui putaran kedua PILGUB Jakarta yang akan segera akan berlangsung.
Saya tidak akan ikut memilih, bukan berarti saya Golput tetapi karena memang saya bukan warga Jakarta……. !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar