Kamis, 13 September 2012

Korupsi : Politik Biaya Tinggi Vs Character Building

www.kompasiana.com/daudginting

13 September 2012


Ketika Bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno atmosfir politik nasional bernuansa melawan para imperialisme dan kapitalisme menjadi musuh utama, semua wacana dan jargon politik berkaitan dengan anti imperialisme dan membangun nilai-nilai nasionalisme. Beralihnya tampuk kekuasaan ke tangan Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru musuh utama beralih menjadi komunisme sebagai musuh laten dan menjadikan komunisme sebagai hantu menakutkan yang setiap saat bisa saja ditimpakan- bukan menimpa- kepada seseorang.
Paska runtuhnya orde baru dan munculnya era reformasi maka yang menjadi musuh utama adalah “korupsi” atau “koruptor”. Musuh baru di era reformasi ini memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan musuh yang dijadikan sebagai lawan pada orde lama atau orde baru, menjadikan imperialisme, kapitalisme dan komunisme menjadi musuh pada dasarnya dapat dilakukan dengan membuat defenisi dan batasan yang jelas tentang musuh yang hendak di lawan tersebut, artinya gampang dibedakan mana lawan serta yang mana kawan, serta gampang mengklasifikasikan karakteristik musuh tersebut.
Korupsi atau Koruptor sebagai objek  yang mesti dienyahkan dan menjadi musuh utama di era reformasi saat ini memiliki wujud yang tidak gampang dilihat secara kasat mata namun dapat dengan mudah dirasakan, dan ironisnya pelaku atau oknum yang melakukan korupsi yang mesti dijadikan sebagai objek yang mesti disingkirkan tersebut justru berada ditengah-tengah lingkaran kekuasaan yang diharapkan menjadi motor penggerak pemberangusan korupsi tersebut. Inilah salah satu kendala yang melintang menahan laju gerakan pengentasan praktek korupsi tersebut.
Dalam arti yang lebih sederhana, ada pertanyaan menarik yang layak dikemukakan, yaitu pertanyaan yang berbunyi “Mungkinkah kita berharap kepada para pelaku korupsi untuk melakukan pembersihan terhadap praktek korupsi tersebut ?”
Pertanyaan ini semakin menarik dikemukakan, karena sampai hari ini wacana atau atmosfir politik kehidupan berbangsa dan bernegara masih tetap saja sarat dengan issu kasus korupsi yang menimpa para elit politik itu sendiri baik itu lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif.  Ketiga lembaga ini sampai hari ini belum bisa dikatakan ada diantaranya yang benar-benar tidak terkait dengan kasus korupsi, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beberapa diantara lembaga ini justru menjadi sumber utama melahirkan korupsi itu sendiri, dan justru disanalah disusun skenario pelaksanaan korupsi tersebut.
Karena lembaga tersebut justru menjadi sumber utama melahirkan korupsi tersebut maka amat sulit mengharapkan lembaga tersebut sebagai institusi yang memiliki keseriusan mengentaskan ataupun memberangus korupsi. Ibarat sebuah bunyi kalimat iklan yang berkata “JERUK KOK MAKAN JERUK !!!”
Berangkat dari asumsi ini maka era reformasi berpikir untuk membidani lahirnya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pada awalnya lembaga ini diharapkan sebagai sebuah institusi yang indefenden dan memiliki kekuasaan yang luas dalam memberantas korupsi sehingga diposisikan tidak mendapat peluang dari campur tangan lembaga lainnya baik itu eksekutif, legeslatif maupun judikatif.
Namun akhir-akhir ini muncul keraguan ditengah-tengah publik bahwa lembaga KPK juga tidak luput dari kepentingan lembaga lain terutama dari para elit penguasa. Keraguan ini kembali menjadi pertanyaan menarik bertepatan dengan kehadiran Antasari Azhar dalam dengar pendapat dengan TIMWAS BANK CENTURY DPR RI kemarin 12 September 2012. Kehadiran Antasari dalam pertemuan tersebut diagendakan untuk mendengarkan kesaksian langsung Antasari tentang wacana bailout Bank Century yang sebelumnya diributkan di media massa bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membicarakannya di Istana Negara.
Sebagaimana yang telah diduga sebelumnya, dalam dengar pendapat di gedung DPR RI ternyata Antasari kembali menegaskan bahwa Presiden SBY tidak ada menyampaikan wacana tersebut.  Hal ini sebenarnya sangat gampang diprediksi sebelumnya, dan hasilnya juga sebagaimana yang diduga sebelumnya.
Sebenarnya banyak pihak yang memprediksi bahwa yang akan menarik dalam pertemuan tersebut adalah “Kasus Tuduhan Pembunuhan Yang Dituduhkan Kepada Antasari”.  Tapi sampai akhir pertemuan pembicaraan terhadap kasus ini sepertinya tidak menjadi pusat perhatian para pendekar politik di DPR RI walau Antasari sendiri telah berupaya mengutarakan keluh kesahnya tentang perlunya perhatian DPR RI terhadap kebenaran siapa sebenarnya pelaku utama pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnaen.
Pertemuan Antasari dengan Timwas Bank Century DPR RI akhirnya berjalan hambar tanpa ada nilai atau pesan penting yang mesti ditindaklanjuti dan dalam hal ini DPR RI juga bagaikan melakukan lakon sandiwara yang hanya meninabobokan publik dan terkesan banyak para politisi yang hanya mencari upaya membangun pencitraan terhadap diri sendirinya dan kelompoknya.
Hal ini merupakan salah satu contoh menarik paling mutakhir yang menggambarkan bagaimana sulitnya menyelusuri praktek korupsi ditengah-tengah lingkaran elit penguasa, karena memang kasus korupsi dalam level elit penguasa tersebut sarat dengan kepentingan segelintir orang yang memiliki kekuasaan di sekitar lingkaran kekuasaan itu sendiri. Dan kasus Bank Century ini juga menjadi salah satu batu ujian terhadap eksistensi KPK sebagai lembaga super body yang dianggap memiliki kekuasaan utama dalam memberantas dan mengungkap setiap kasus korupsi di tanah air.
Dalam kasus Bank Century justru yang paling getol membicarakannya adalah lembaga legislatif dan kalah jauh dibandingkan dengan KPK oleh karena itu wajar jika muncul pertanyaan ditengah-tengah masyarakat tentang independensi dan kemampuan KPK dalam memberantas korupsi.
Jika KPK juga sudah dianggap tidak mampu menyelesaikan tugas besar mengatasi korupsi di Tanah Air, lembaga mana lagi yang kita harapkan menjadi motor penggerakan gerakan penghapusan praktek korupsi di Negeri tercinta ini ?
Seperti yang telah dikemukakan diawal tulisan ini, menjadikan korupsi dan koruptor menjadi musuh utama sementara pelakunya justru berada di lingkaran lembaga yang diharapkan melakukan pemberantasan tersebut merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah dilakukan, namun bukan berarti kita mesti apatis bahkan sampai angkat tangan untuk menyerah, tetapi kita mesti merenungkan kembali dan mencari jawaban terhadap pertanyaaan “Sebenarnya apa yang telah hilang ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini ?”
POLITIK BER-BIAYA TINGGI
Dalam berbagai kesempatan telah sering mengemuka keluhan dari para politisi dan elit penguasa bahwa dalam praktek pelaksanaan kehidupan politik di Indonesia saat ini sangat membutuhkan biaya teramat mahal. Bila kita cermati proses pemilihan calon legislatif, eksekutif dan calon kepala daerah maka dapat dilihat bagaimana besarnya biaya yang dikeluarkan oleh para calon tersebut dalam mengikuti seluruh kegiatan dan proses pemilihan tersebut, dalam hitungan kasarnya jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut mampu membangun beberapa proyek besar yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Seorang calon bupati yang akan mengikuti proses pemilihan kepala daerah sampai terpilih mengeluarkan dana yang jumlahnya mampu membangun puluhan unit sekolah dasar, sangat tidak realistik jika dibandingkan dengan apa yang akan diperolehnya ketika menjadi seorang Bupati, ini baru untuk level Bupati, bagaimana pula besarnya biaya yang dibutuhkan jika ingin menjadi Presiden ?
Politik ber-biaya tinggi  sering dijadikan sebagai alasan utama yang mendorong terjadinya penjarahan dana anggaran pemerintah, dan cara pandang ini adakalanya dijadikan sebagai teori pembenaran terhadap terjadinya korupsi diberbagai lembaga pemerintahan selama ini. Sehingga akhirnya muncul juga gugatan terhadap efektifitas pemilihan langsung yang telah dilakukan selama ini, sehingga telah ada muncul usulan agar pemilihan langsung kepala daerah dihapuskan.
Usulan yang menginginkan dihapusnya pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah ini menjadi salah satu indikator bahwa diantara para eksponen bangsa ini masih senang melakukan teori Trial and Error alias coba-coba kemudian melakukan bongkar pasang tanpa mau berpikir capek mencari  akar permasalahan yang sesungguhnya.
Memang benar bahwa kehidupan politik di era reformasi dewasa ini sangat membutuhkan biaya yang sangat tinggi, tetapi apakah hanya melalui gelontoran biaya tinggi tersebut proses pemilihan langsung dapat berlangsung ? Inilah persoalan yang mesti direnungkan. dikaji dan dicari jalan keluarnya melalui kemampuan berpikir kreatif untuk menghasilkan alternatif.
Selain membutuhkan kemampuan berpikir lateral mencari jalan terbaru dalam mengantisipasi praktek kehidupan sosial politik yang berbiaya tinggi, salah satu yang telah lama hilang dari tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini adalah pembentukan karakter (Character Building). Kehidupan politik Indonesia akhir-akhir ini telah lama terjerumus kedalam budaya pragmatisme, kapitalistik dan sangat mengagungkan sistem mekanisme pasar sebagaimana lajim terjadi dalam teori ilmu ekonomu. semuanya diukur hanya melalui materi atau uang.
Sikap materialistik ini kemudian dicampur adukkan dengan budaya liberalistik sehingga kehidupan politik itu juga akhirnya benar-benar berorientasi kapitalistik, selama kerangka berpikir para politisi kita hanya mengandalkan sistem kapitalistis maka budaya korupsi yang menjadi musuh bersama tersebut akan tetap sulit diberangus dari bumi Indonesia, karena selain para elit politik juga sudah merasa mapan dengan cara berpikir demikian maka masyarakat juga lambat laun akan menganggap bahwa praktek korupsi tersebut dianggap hanya sebagai “Kelakuan Buruk Yang Terpelihara Dengan Baik” dan ironisnya suatu saat dianggap bukan sebagai penyimpangan moral lagi.
Oleh karena itu untuk menuju perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bersih dari praktek korupsi maka sangat mendesak untuk dilakukan gerakan pengembangan karakter bagi seluruh bangsa Indonesia, dan pengembangan karakter tersebut justru sangat mendesak diberikan kepada para elit penguasa atau atau elit politik yang menjadi sumber dan merupakan bagian dari masalah tersebut, bukan pembangunan karakter terhadap masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru dengan pelaksanaan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dimasa lalu.
Bukan masyarakat yang memerlukan penataran atau pembekalan Character Buildingtetapi para elit penguasa yang merupakan sumber utama terpeliharanya praktek korupsi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar