Minggu, 30 September 2012

Sedatifa, Hipnotika dan Geliat Asimetris Amerika Terhadap Ekonomi Indonesia


http://www.antaranews.com
Paska berakhirnya perang dingin blok Timur Versus Blok Barat yang ditandai oleh runtuhnya Uni Soviet musuh bebuyutan Amerika Serikat membuat konfigurasi politik global mengalami pergeseran. Euforia kemenangan blok Barat yang identik dengan faham liberalisme dan kapitalisme menjadi wacana menarik dan menjadi monumen kemenangan hegemoni Amerika Serikat dalam percaturan politik Internasional.
Antonio Gramsci  mengatakan  hegemoni merupakan  upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Proses indoktrinisasi dan penerimaan ide-ide tersebut berlangsung dengan cara berlahan-lahan, lembut dan tanpa terasa, sehingga masyarakat atau kelompok tertentu menerima hegemoni tersebut dengan senang dan suka rela. Proses internalisasi aliran pemikiran yang bermuara menjadikan Amerika Serikat sebagai pola anutan system kehidupan politik, ekonomi dan budaya modern berlangsung secara massif, dan seakan ideology lain dianggap telah mati. Francis Fukuyama mengatakan  berakhirnya perang dingin  merupakan akhir sejarah, yakni titik akhir evolusi ideology umat manusia yang menjadikan demokrasi liberal barat semakin universal.
Samuel P. Huntington kemudian  mengatakan  jalur genting selanjutnya bukan bersifat ideologis, ekonomi atau politik, melainkan bersifat budaya, yaitu ketika peradaban-peradaban dunia saling berbenturan. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan, namun konflik utama  politik global akan terjadi antara Negara dan kelompok peradaban yang berbeda. Selama perang dingin dunia terbagi menjadi dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga, pembagian ini dianggap tidak relevan lagi, karena pengelompokkan negara-negara bukan lagi berdasarkan system politik atau ekonomi tetapi berdasarkan budaya dan peradaban.
Wacana yang dikemukakan Fukuyama dan Hutington tersebut akhirnya menjadi bahan perbincangan hangat seluruh  dunia, sehingga kedua esai itu sangat legendaris. Banyak pihak meyakini dan turut membenarkan bahwa masa depan umat manusia  berjalan lebih baik dibandingkan ketika terjadi perang dingin. Thesis Fukuyama dan Hutington ini kemudian  bagaikan obat penenang (sedatifa),  atau obat tidur (hipnotika) yang membuat orang lupa terhadap inti persoalan sesungguhnya, misalnya kerjasama ekonomi yang tidak adil dan hegemoni AS terhadap Negara lain.
Paska berakhirnya perang dingin pertarungan ideology tidak begitu kentara lagi, namun secara fenomena dapat dilihat penampakan gejala  negatif praktek konfigurasi politik global kontemporer. Yaitu semakin menguatnya cenkeraman kepentingan Negara adi daya terhadap  perekonomian Negara lain,  kebijakan dan konsensus yang tercifta  hanya berpihak kepada Negara besar. Sifat eksploitasi terhadap pihak lemah muncul dengan gaya baru (neo-imperialism). Negara besar semakin berkuasa sedangkan negara pinggiran terkoptasi dan terbelit ketergantungan. Keadilan yang sesungguhnya hanya sebatas retorika belaka karena cengkeraman hegemoni telah menusuk ke seluruh dimensi.  
Indonesia sebagai entitas politik global, tidak luput dari cengkeraman dampak negatif interaksi ekonomi internasional, dan khususnya dampak geliat asimetris Amerika Serikat dalam  Trans Pasific Partnership. Di dalam dokumen Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC) Pentagon memprediksi akan muncul  persaingan sengit antara AS dan Cina dalam bidang ekonomi. Tahun 2004 dokumen senada diterbitkan Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) bertajuk Mapping The Global Future yang meramal kebangkitan Asia dengan Cina dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia pada dekade 2020-an.
AS gencar mengembangkan asymmetric strategy (non militer) untuk mengantisipasi perubahan geopolitik. Kendati manuver simetris (militer) masih eksis, dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan strategi asimetris ,  karena perang terbuka dirasakan hanya melahirkan sikap benci kepada AS,butuh dana besar dan merusak reputasi. Pola asimetris dikembangkan selain lebih murah dianggap cukup handal, hanya melalui diplomasi mampu mengacak-acak sistem informasi negara lain, menggerakkan massa, dan mengadu-domba elemen bangsa lain, dan menghancurkan ekonomi suatu bangsa melalui aturan serta system.
Trans Pasific Partnership  dalam bentuk  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) salah satu wadah persemaian cengkeraman hegemoni AS. APEC beranggotakan lintas benua, ada Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, Chile dan  Indonesia. Kerjasama ini dirasuki agenda terselubung untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. AS didalamnya memiliki kepentingan terselubung untuk mempertahankan hegemoninya dan  mengantisipasi kebangkitan Ekonomi China yang diprediksi akan melampaui volume ekonomi AS pada tahun 2016. Gerakan asimetris AS dilakukan dengan mendesak pemberlakuan undang-undangan  hak paten, pembukaan akses produk perusahaan multinasional. Peraturan pada skema APEC diupayakan   menguntungkan perusahaan multinasional, dan sekaligus memperlemah dan menghancurkan perusahaan lokal. Negara penghasil bahan mentah (raw material) ditegaskan kembali posisinya hanya sekedar penghasil  bahan mentah (the country of origin should be the state-producer of raw materials).
Lebih memprihatinkan lagi, selain gagasan tersebut bersifat proteksionis bagi ekonomi AS, selalu mengaitkan kerjasama ekonomi dengan isu-isu demokrasi, lingkungan hidup dan  HAM.  Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam ekspor Kelapa Sawit ke berbagai negara, termasuk AS, skema tersebut digunakan untuk membendung ekspor Kelapa Sawit Indonesia ke Amerika. Dalih yang digunakan mengatakan kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan, merusak habitat alam dan menimbulkan pemanasan global, padahal agenda tersembunyi AS ingin melindungi pertanian domestiknya dan ekspor kedelai.
Awal tahun 2012 AS  menolak produk sawit Indonesia dengan alasan tingkat emisi karbon yang tidak sesuai dengan standar. Hal ini menjadi tangtangan bagi Indonesia yang memiliki luas lahan sawit sekitar 9 juta hektar dan hasil produksi CPO  mencapai lebih dari 22 juta ton per tahun, yang menempatkannya sebagai negara yang memproduksi minyak sawit terbesar di dunia. Tekanan yang dilakukan  AS sangat ambinguitas karena alasan kelestarian lingkungan yang dikemukanan tidak proporsional.   Berbicara tentang emisi gas rumah kaca, AS merupakan negara penyebab emisi karbon terbesar di dunia. Jika dilihat dari faktor penggunaan lahan, dan dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, dan rap seed yang ditanam besar-besaran di Amerika, kelapa sawit hanya memerlukan 0,26 hektare lahan untuk memproduksi satu ton minyak. Sedangkan kedelai memerlukan luas lahan 2,22 hektare, bunga matahari 2 hektare, dan rap seed memerlukan 1,52 hektare.
Pada bulan Oktober 2013, di Bali, Indonesia akan menjadi tuan rumah  Konferensi Tingkat Tinggi APEC, disatu sisi kita harus memberi apresiasi atas kesempatan yang diberikan kepada Indonesia, namun disisi lain muncul pertanyaan dan gugatan, sejauh mana substansi pertemuan tersebut memberi manfaat kepada perekonomian Indonesia, terutama manfaatnya kepada stake holder atau pemangku kepentingan ekonomi nasional, termasuk didalamnya petani dan industry kelapa sawit.
KTT APEC tahun 2013 memiliki nilai strategis bagi Indonesia,  selain  Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus menjadi ketua forum kerja sama ekonomi negara-negara Asia Pasifik. Sebagai salah satu negara pendiri, Indonesia semestinya mendukung kelangsungan forum APEC, tetapi  jauh lebih penting adalah keberadaan Indonesia di APEC harus diperhitungkan,  dan kepentingan Indonesia diperjuangkan. Indonesia harus tetap menjadi motor penggerak di dalam dan menjadikan KTT APEC di Bali tahun 2013 sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri Indonesia.
Harapan ini kita sampaikan kepada pemerintah, terutama untuk menunjukkan kehadirannya ditengah himpitan dinamika perekonomian global yang menjadikan para petani kita merasa terasing di ladangnya sendiri. Kelapa sawit sudah merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dan merupakan produk yang memiliki keunggulan komperatif bagi Bangsa Indonesia, oleh karena itu sangat mengharapkan kehadiran pemerintah untuk membela dan memberi stimulus melalui regulasi maupun perjuangan diplomasi di forum  Internasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar