Minggu, 30 September 2012

Sedatifa, Hipnotika dan Geliat Asimetris Amerika Terhadap Ekonomi Indonesia


http://www.antaranews.com
Paska berakhirnya perang dingin blok Timur Versus Blok Barat yang ditandai oleh runtuhnya Uni Soviet musuh bebuyutan Amerika Serikat membuat konfigurasi politik global mengalami pergeseran. Euforia kemenangan blok Barat yang identik dengan faham liberalisme dan kapitalisme menjadi wacana menarik dan menjadi monumen kemenangan hegemoni Amerika Serikat dalam percaturan politik Internasional.
Antonio Gramsci  mengatakan  hegemoni merupakan  upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Proses indoktrinisasi dan penerimaan ide-ide tersebut berlangsung dengan cara berlahan-lahan, lembut dan tanpa terasa, sehingga masyarakat atau kelompok tertentu menerima hegemoni tersebut dengan senang dan suka rela. Proses internalisasi aliran pemikiran yang bermuara menjadikan Amerika Serikat sebagai pola anutan system kehidupan politik, ekonomi dan budaya modern berlangsung secara massif, dan seakan ideology lain dianggap telah mati. Francis Fukuyama mengatakan  berakhirnya perang dingin  merupakan akhir sejarah, yakni titik akhir evolusi ideology umat manusia yang menjadikan demokrasi liberal barat semakin universal.
Samuel P. Huntington kemudian  mengatakan  jalur genting selanjutnya bukan bersifat ideologis, ekonomi atau politik, melainkan bersifat budaya, yaitu ketika peradaban-peradaban dunia saling berbenturan. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik. Negara-bangsa masih menjadi aktor dominan, namun konflik utama  politik global akan terjadi antara Negara dan kelompok peradaban yang berbeda. Selama perang dingin dunia terbagi menjadi dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga, pembagian ini dianggap tidak relevan lagi, karena pengelompokkan negara-negara bukan lagi berdasarkan system politik atau ekonomi tetapi berdasarkan budaya dan peradaban.
Wacana yang dikemukakan Fukuyama dan Hutington tersebut akhirnya menjadi bahan perbincangan hangat seluruh  dunia, sehingga kedua esai itu sangat legendaris. Banyak pihak meyakini dan turut membenarkan bahwa masa depan umat manusia  berjalan lebih baik dibandingkan ketika terjadi perang dingin. Thesis Fukuyama dan Hutington ini kemudian  bagaikan obat penenang (sedatifa),  atau obat tidur (hipnotika) yang membuat orang lupa terhadap inti persoalan sesungguhnya, misalnya kerjasama ekonomi yang tidak adil dan hegemoni AS terhadap Negara lain.
Paska berakhirnya perang dingin pertarungan ideology tidak begitu kentara lagi, namun secara fenomena dapat dilihat penampakan gejala  negatif praktek konfigurasi politik global kontemporer. Yaitu semakin menguatnya cenkeraman kepentingan Negara adi daya terhadap  perekonomian Negara lain,  kebijakan dan konsensus yang tercifta  hanya berpihak kepada Negara besar. Sifat eksploitasi terhadap pihak lemah muncul dengan gaya baru (neo-imperialism). Negara besar semakin berkuasa sedangkan negara pinggiran terkoptasi dan terbelit ketergantungan. Keadilan yang sesungguhnya hanya sebatas retorika belaka karena cengkeraman hegemoni telah menusuk ke seluruh dimensi.  
Indonesia sebagai entitas politik global, tidak luput dari cengkeraman dampak negatif interaksi ekonomi internasional, dan khususnya dampak geliat asimetris Amerika Serikat dalam  Trans Pasific Partnership. Di dalam dokumen Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC) Pentagon memprediksi akan muncul  persaingan sengit antara AS dan Cina dalam bidang ekonomi. Tahun 2004 dokumen senada diterbitkan Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) bertajuk Mapping The Global Future yang meramal kebangkitan Asia dengan Cina dan India menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia pada dekade 2020-an.
AS gencar mengembangkan asymmetric strategy (non militer) untuk mengantisipasi perubahan geopolitik. Kendati manuver simetris (militer) masih eksis, dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan strategi asimetris ,  karena perang terbuka dirasakan hanya melahirkan sikap benci kepada AS,butuh dana besar dan merusak reputasi. Pola asimetris dikembangkan selain lebih murah dianggap cukup handal, hanya melalui diplomasi mampu mengacak-acak sistem informasi negara lain, menggerakkan massa, dan mengadu-domba elemen bangsa lain, dan menghancurkan ekonomi suatu bangsa melalui aturan serta system.
Trans Pasific Partnership  dalam bentuk  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) salah satu wadah persemaian cengkeraman hegemoni AS. APEC beranggotakan lintas benua, ada Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, Chile dan  Indonesia. Kerjasama ini dirasuki agenda terselubung untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. AS didalamnya memiliki kepentingan terselubung untuk mempertahankan hegemoninya dan  mengantisipasi kebangkitan Ekonomi China yang diprediksi akan melampaui volume ekonomi AS pada tahun 2016. Gerakan asimetris AS dilakukan dengan mendesak pemberlakuan undang-undangan  hak paten, pembukaan akses produk perusahaan multinasional. Peraturan pada skema APEC diupayakan   menguntungkan perusahaan multinasional, dan sekaligus memperlemah dan menghancurkan perusahaan lokal. Negara penghasil bahan mentah (raw material) ditegaskan kembali posisinya hanya sekedar penghasil  bahan mentah (the country of origin should be the state-producer of raw materials).
Lebih memprihatinkan lagi, selain gagasan tersebut bersifat proteksionis bagi ekonomi AS, selalu mengaitkan kerjasama ekonomi dengan isu-isu demokrasi, lingkungan hidup dan  HAM.  Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam ekspor Kelapa Sawit ke berbagai negara, termasuk AS, skema tersebut digunakan untuk membendung ekspor Kelapa Sawit Indonesia ke Amerika. Dalih yang digunakan mengatakan kelapa sawit Indonesia tidak ramah lingkungan, merusak habitat alam dan menimbulkan pemanasan global, padahal agenda tersembunyi AS ingin melindungi pertanian domestiknya dan ekspor kedelai.
Awal tahun 2012 AS  menolak produk sawit Indonesia dengan alasan tingkat emisi karbon yang tidak sesuai dengan standar. Hal ini menjadi tangtangan bagi Indonesia yang memiliki luas lahan sawit sekitar 9 juta hektar dan hasil produksi CPO  mencapai lebih dari 22 juta ton per tahun, yang menempatkannya sebagai negara yang memproduksi minyak sawit terbesar di dunia. Tekanan yang dilakukan  AS sangat ambinguitas karena alasan kelestarian lingkungan yang dikemukanan tidak proporsional.   Berbicara tentang emisi gas rumah kaca, AS merupakan negara penyebab emisi karbon terbesar di dunia. Jika dilihat dari faktor penggunaan lahan, dan dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak nabati lain seperti kedelai, bunga matahari, dan rap seed yang ditanam besar-besaran di Amerika, kelapa sawit hanya memerlukan 0,26 hektare lahan untuk memproduksi satu ton minyak. Sedangkan kedelai memerlukan luas lahan 2,22 hektare, bunga matahari 2 hektare, dan rap seed memerlukan 1,52 hektare.
Pada bulan Oktober 2013, di Bali, Indonesia akan menjadi tuan rumah  Konferensi Tingkat Tinggi APEC, disatu sisi kita harus memberi apresiasi atas kesempatan yang diberikan kepada Indonesia, namun disisi lain muncul pertanyaan dan gugatan, sejauh mana substansi pertemuan tersebut memberi manfaat kepada perekonomian Indonesia, terutama manfaatnya kepada stake holder atau pemangku kepentingan ekonomi nasional, termasuk didalamnya petani dan industry kelapa sawit.
KTT APEC tahun 2013 memiliki nilai strategis bagi Indonesia,  selain  Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus menjadi ketua forum kerja sama ekonomi negara-negara Asia Pasifik. Sebagai salah satu negara pendiri, Indonesia semestinya mendukung kelangsungan forum APEC, tetapi  jauh lebih penting adalah keberadaan Indonesia di APEC harus diperhitungkan,  dan kepentingan Indonesia diperjuangkan. Indonesia harus tetap menjadi motor penggerak di dalam dan menjadikan KTT APEC di Bali tahun 2013 sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri Indonesia.
Harapan ini kita sampaikan kepada pemerintah, terutama untuk menunjukkan kehadirannya ditengah himpitan dinamika perekonomian global yang menjadikan para petani kita merasa terasing di ladangnya sendiri. Kelapa sawit sudah merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dan merupakan produk yang memiliki keunggulan komperatif bagi Bangsa Indonesia, oleh karena itu sangat mengharapkan kehadiran pemerintah untuk membela dan memberi stimulus melalui regulasi maupun perjuangan diplomasi di forum  Internasional. 

Sabtu, 29 September 2012

Cara 'CIA' Membasmi Komunis dan Kaum Kiri

Cara CIA Membasmi Komunis dan Kaum Kiri

Oleh: Dian Su

 http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8354355162375900794#editor/target=post;postID=3803778691209144941

Peristiwa pembunuhan tahun 1965, pembasmian komunis dan kaum kiri di Indonesia bukanlah kejadian pembantaian manusia satu-satunya dalam sejarah. Tahun 1950, gerilya anti Jepang yang seusai Perang Dunia kedua berkembang jadi gerilya bersenjata di bawah pimpinan Huk Balahap di Filipina dibasmi liwat pembantaian, kekerasan bersenjata di bawah pimpinan CIA. Dari penyimpulan pengalamannya membasmi gerilya di Filipina, CIA merumuskan gagasan OPERASI PHOENIX. Operasi ini dijalankan di Vietnam untuk membasmi gerilya di bawah pimpinan Partai Komunis Vietnam liwat pembunuhan besar-besaran. Cara-cara pembasmian komunis dan kaum kiri ini menjadi bahan pendidikan di akademi militer Fort Leavenworth yang mendidik perwira-perwira Vietnam Selatan dan Indonesia. Dari Indonesia terdapat antara lain, Jenderal Ahmad Yani, Brigjen Soewarto, Sarwo Edhie dll. Pada tahun 1965 di Indonesia sudah terdapat dua ribu perwira hasil didikan akademi-akademi militer Amerika.

William Colby, mantan Direktur CIA menyatakan, bahwa program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah sama dengan Program Phoenix. Para pembunuh, teroris-teroris ini dididik dan dilatih di sekolah-sekolah Western Hemisphere Institute For Security Cooperation, yang dulunya The School of The Americas, Ft. Benning, Georgia dan The Counter-Insurgency Training Center, Ft. Bragg, Fayetville, N.C. [Baca The REAL Phoenix Program, Posted By: tenavision Date: Friday, 6-Jan-2006 12:38:49]:

Program Phoenix diramu oleh Kepala Divisi Timur Jauh CIA, William Colby, dilaksanakan oleh Kepala Kantor CIA, William Casey. Tom Ridge, Oliver North dan Bob Kerry adalah diantara mata-mata pelaksana Program Phoenix. Di sekitar tahun enampuluhan, beberapa orang pengajar masalah kontra-pemberontakan datang di Indonesia memberi latihan. Latihan militer Amerika Serikat ini dilakukan dengan rahasia karena Washington menganggap pemimpin negeri ini yang netralis, Sukarno adalah dicurigai secara politik. Latihan hanya diperbolehkan, agar Amerika Serikat mendapat pengaruh dalam militer Indonesia yang dianggap dapat disadari.

Bantuan dan latihan yang diberikan Amerika secara rahasia, yang bagian terbesarnya diberi nama yang tidak menakutkan “civic action”, yang umumnya diperkirakan berarti untuk membangun jalan, memberi tenaga untuk klinik-klinik kesehatan dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya dengan pekerja sivil berupa kegiatan-kegiatan saling-bantu. Tetapi “civic action” juga memberi syarat untuk kerja rahasia di Indonesia, demikian pula di Filipina dan Vietnam, yaitu untuk perang syaraf.

Untuk menangkal Partai Komunis Indonesia yang kuat, Beret Merah Angkatan Darat melancarkan pembunuhan ratusan ribu manusia, priya dan wanita serta kanak-kanak. Begitu banyak mayat dilemparkan masuk sungai-sungai di Jawa Timur hingga airnya menjadi merah oleh darah. Dalam taktik perang syaraf klasik, mayat-mayat yang telanjang juga mengabdi untuk peringatan bagi para penduduk di desa-desa di hilir sungai.

“Supaya tidak tenggelam, mayat-mayat itu secara sembarangan diikatkan pada pancang-pancang bambu”, tulis saksi mata Pipit Rochijat. “Dan hanyutnya mayat-mayat itu dari daerah Kediri ke daerah hilir Kali Brantas mencapai tujuan pentingnya dengan mayat-mayat itu ditumpuk di atas rakit berhiaskan panji-panji PKI berkibar dengan bangga” [Baca Rochijat: “Am I PKI or Non-PKI?”, Indonesia, Oct. 1985]

Sementara penulis sejarah, menghubungkan kekerasan yang luarbiasa ini dengan sikap tentara yang keterlaluan kegila-gilaan yang bertindak dengan “kekejaman yang tak direncanakan” atau “histeria massa” yang menyebabkan berlangsungnya pembunuhan sampai hampir setengah juta orang Indonesia, banyak di antaranya adalah turunan Tionghoa.

Tetapi taktik yang berulang-kali menempatkan mayat secara menakutkan itu adalah cocok dengan doktrin perang syaraf militer, yang menurut seorang perwira pimpinan para pembunuh, itu adalah satu bentuk isyarat tuntutan untuk pembasmian PKI.

Sarwo Edhie, komandan para komando yang terkenal dengan pasukan Baret Merah, memberi peringatan, bahwa perlawanan komunis “jangan diberi kesempatan untuk berkonsentrasi atau mengkonsolidasi diri. Secara sistimatik harus dipukul mundur dengan segala cara, termasuk perang syaraf” [Baca The Revolt of the G30S/PKI and Its Suppression, diterjemahkan oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings.] Sarwo Edhie sudah dikenal sebagai seorang penghubung CIA, ketika dia bertugas di Kedutaan Indonesia di Australia. [Baca Pacific, May-June 1968]

Dalam The Very Dark Side of U.S. History, Consortium News / By Peter Dale Scott and Robert Parry, Oct. 8, 2010, dipaparkan bahwa dalam memoirnya, Lansdale membual mengenai salah satu trick perang syaraf yang legendaris, yang dipergunakan melawan gerilya Huk, melawan mereka yang dianggap percaya akan tahayul dan takut pada makhluk seperti vampir penghisap darah, yang disebut dalam bahasa penduduk setempat asuang.

“Pasukan psy-war melakukan penghadangan di jalan yang biasanya ditempuh oleh rombongan gerilya Huk,” tulis Lansdale. “Ketika rombongan patroli Huk itu liwat di tempat penghadangan, pasukan psy-war dengan diam-diam menangkap orang yang paling belakang dari rombongan patroli Huk itu. Karena malam gelap, peristiwa ini tak diketahui oleh rombongan patroli itu. Orang yang ditangkap itu dibunuh, dengan diberi dua lobang di lehernya, sepertinya bekas gigitan vampir penghisap darah, ditegakkan mayat itu diatas tumitnya, dikeringkan darahnya, dan dibawa kembali mayat itu ke jalan semula.

Ketika rombongan gerilya Huk itu kembali mencari temannya yang hilang, menemukan mayat kawan mereka tanpa darah, maka setiap anggota patroli Huk itu akan percaya, bahwa asuang sudah menghisap darah nya” [Baca Lansdale: In the Midst of Wars ] Inilah operasi perang syaraf untuk menakut-nakuti gerilya Huk.

“Taktik khusus dari pasukan adalah mengepung suatu daerah; semua yang ada dalam daerah kepungan itu dianggap sebagai musuh” , kata seorang kolonel Filipina yang pro Amerika. “Hampir setiap hari didapati mayat mengapung di sungai, banyak diantara mereka adalah korban dari kesatuan Nenita dari pasukan mayor Napoleon Valeriano [Baca Benedict J. Kerkvliet, The Huk Rebellion: A Study of Peasant Revolt in the Philippines.]

Kurt Nimmo menulis dalam: CIA Assassination Program Revealed: Nothing New Under the Sun, bahwa Program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah didasarkan pada pengalaman-pengalaman CIA di Filipina. Para penasehat militer Amerika dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG) dan Kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah terhadap kekuatan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan [Catatan Roland G Simbulan: Operasi Rahasia dan CIA, Hidden History in the Philipines]

Sebuah petunjuk perintah CIA mengenai pembunuhan menyatakan, bahwa adalah perlu membunuh seorang pemimpin politik yang karirnya jelas menunjukkan bahaya bagi usaha kemerdekaan. CIA tidak memilih-milih ketika melakukan pembunuhan sejumlah besar orang di Indonesia. Sesudah membasmi komunis di tahun 1965, perwira-perwira militer Indonesia memimpin pasukan mereka melikwidasi Partai Komunis Indonesia dan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno.

Peter Dale Scott menulis, bahwa tugas terbesar membasmi PKI dan pendukungnya yang berlumuran darah yang sekarang diakui oleh para sahabat Suharto sudah mengorbankan lebih dari setengah juta jiwa. Untuk pertama kalinya pejabat-pejabat Amerika mengakui bahwa tahun 1965 secara sistimatik mereka telah menghimpun daftar nama pimpinan komunis dari pimpinan atasan sampai kader-kader desa. Sebanyak 5.000 nama diserahkan kepada Tentara Indonesia, dan kemudian diperiksa oleh pejabat Amerika nama-nama mereka yang ditangkap dan dibunuh, menurut pejabat-pejabat Amerika. [Kathy Kadane menulis untuk South Carolina’s Herald Journal on May, 1990]

Semua program CIA semenjak Perang Vietnam, sesungguhnya adalah kelanjutan dari PROGRAM PHOENIX. Ke dalamnya termasuk operasi penyeludupan senjata dan narkotik di Iran; operasi di Nicaragua yang dikendalikan oleh William Casey dan Oliver North; serangan atas Panama yang mengakibatkan 20.000 orang mati. Masih dapat disebutkan tentang kejadian-kejadian di Amerika Selatan dan Tengah, Irlandia, Kroatia, Serbia, Kosovo, Makedonia, Montenegro, Afganistan, Indonesia yang selama empat bulan dengan 500.000 terbunuh, nama-nama orang yang akan dibasmi dikumpulkan pejabat Kedutaan Besar AS dan diserahkan pada Suharto yang naik berkuasa liwat kup CIA, pasukan Suharto mendapat bimbingan dan diberi bantuan jeep, senjata, radio-radio lapangan. Sinyal siaran pesan-pesan radio single side band. KWM-2s dapat dimonitor National Security Agency.

Para penasehat militer dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG) dan kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah terhadap gerakan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan (HMB) yang seusai Perang Dunia kedua menentang dengan keras amendemen Parity Rights dan persetujuan militer yang berat sebelah dengan Amerika Serikat. Berhasilnya CIA mematahkan pemberontakan Huk yang berlandaskan kaum tani di tahun 1950, menjadikan operasi ini satu model untuk operasi-operasi kontra pemberontakan di masa depan di Vietnam dan Amerika Latin. Kolonel Lansdale dan koleganya kolonel Napoleon Valeriano kemudian menggunakan pengalaman kontra-gerilyanya di Filipina ini untuk mendidik mata-mata para pekerja rahasia di Vietnam dan di sekolah yang diselenggarakan Amerika, yang melatih pembunuh-pembunuh kontra-gerilya di Amerika Latin. Jadi, Filipina sudah menjadi prototipe contoh operasi-operasi rahasia yang sukses dan perang syaraf. [Baca Covert Operations and the CIA’s Hidden History in the Philippines, By Roland G. Simbulan, Convenor/Coordinator, Manila Studies Program University of the Philippines, Lecture at the University of the Philippines-Manila, Rizal Hall, Padre Faura, Manila, August 18, 2000.]

Pada akhir tahun limapuluhan, CIA juga aktif menggunakan daerah Filipina, terutama pangkalan udara Clark Air Base, untuk latihan dan melancarkan operasi mata-mata dan logistik, dimana Amerika Serikat secara rahasia mendukung para kolonel yang memberontak di Indonesia (PRRI-Permesta), tapi gagal menggulingkan Presiden Sukarno. Waktu itu CIA memberi bantuan suplai, latihan dan pangkalan logistik di beberapa pulau Filipina, termasuk landasan udara di pulau Tiwi-Tiwi, Sanga-Sanga. Sebuah maskapai milik CIA, the Civil Air Transport, secara aktif dipergunakan oleh CIA dari daerah Filipina untuk memberikan bantuan langsung bagi grup pemberontakan militer yang berusaha menggulingkan Presiden Sukarno di ujung tahun limapuluhan. [Ibid]

Sekali lagi, dalam hubungan dengan ini, keunggulan-keunggulan dari model Indonesia menunjukkan dengan jelas, bahwa di masa selanjutnya, Amerika akan mencari kesempatan-kesempatan untuk sasaran-sasaran pembunuhan besar-besaran dan bila terjadi bisa direkayasa secara rahasia dengan lebih baik. Ini bisa berarti menggunakan mereka sebanyak mungkin untuk berjuang membasmi musuh atas dasar apapun. “Mantan Direktur CIA, William Colby, dalam satu wawancara, menyatakan bahwa kegiatan Kedutaan Besar AS di Indonesia menyiapkan daftar nama pemimpin-pemimpin PKI adalah sama dengan pelaksanaan Program Phoenix CIA di Vietnam. Tahun 1965, Colby adalah Direktur Divisi Timur Jauh dari CIA yang bertanggung jawab untuk memimpin strategi rahasia Amerika di Asia” [San Fancisco Examiner, 20/5/90]. Ketika di tahun 1962 dia mengambil jabatan ini, Colby mengatakan “dia mendapati bahwa Amerika tidak mempunyai daftar lengkap para aktivis PKI” di Indonesia, dan dia berpendapat bahwa “ini adalah satu celah dalam sistim intelijen” [Ibid]. Maka tak pelak lagi dia pun mengambil langkah untuk mengatasi keadaan ini.

OPERASI PHOENIX pada dasarnya adalah proyek pembunuhan yang dikelola Amerika dengan menggunakan Pasukan Khusus, dan ditujukan pada kader-kader Front Pembebasan Nasional Vietnam. Perang Vietnam yang berkembang sampai sedemikian jauh, walaupun liwat saringan politik dan media pers, terhitung juga bahwa Operasi Phoenix telah menyebabkan 41.000 rakyat Vietnam mati [“The CIA: A Forgotten History”, p145]

Dengan OPERASI PHOENIX yang tak berperi kemanusiaan, diiringi dengan pemboman besar-besaran hingga bom-bom yang dijatuhkan di Vietnam melebihi jumlah bom dalam Perang Dunia kedua, walaupun menggunakan semua senjata termodern pada waktu itu, Amerika tidak berhasil membasmi komunis Vietnam dan menundukkan Republik Demokrasi Vietnam.

CIA tidak hanya melakukan pembasmian komunis dengan pembunuhan- pembunuhan yang tak berperi kemanusiaan. Di samping operasi pembasmian secara fisik, CIA menggalakkan operasi-operasi psikhis. Operasi di bidang propaganda anti-komunis juga merupakan kegiatan sangat penting dari CIA. Untuk itu, dibangun dan digalakkan siaran Radio Svoboda, Radio Free Europe dengan berbagai bahasa yang ditujukan ke daerah Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Timur. Di Asia digalakkan Radio Free Asia, yang terutama ditujukan ke daerah Republik Rakyat Tiongkok. Isi siarannya adalah berpropaganda anti-komunis, mendiskreditkan sistim sosialis. Seiring dengan propaganda anti-komunis CIA dengan siaran radio ini, terdapat kegiatan internet yang menggunakan berbagai Website, terutama website World Socialist Web Site (WSWS), jaringan Internasionale Ke-IV Trotskis. Tidak kalah dengan kampanye CIA, Website ini sangat tangguh dalam berpropaganda anti Partai Komunis Tiongkok, anti sistim sosialis yang dibangun di Tiongkok.

Dengan dananya yang melimpah ruah, Ford Foundation sangat intensif bergerak di bidang penerbitan mengabdi propaganda anti-komunis. Para penulis yang kehausan dana akan mendapat fasilitas dari Ford Foundation untuk menerbitkan karya-karya yang anti komunis. Praeger Publishers, yang dibangun Frederick A. Praeger tahun 1949, adalah salah satu Badan Penerbit penting yang memenuhi pesan CIA telah menerbitkan banyak karya tentang komunisme, yang sebenarnya mengabdi pada propaganda anti komunisme. Church Committee Senat Amerika tahun 1976 menyatakan, bahwa selama tiga puluh tahun atas permintaan dan subsidi CIA telah diterbitkan lebih dari seribu judul buku proganda anti komunisme.

Dengan dukungan CIA, Penerbit Praeger sudah menerbitkan buku-buku anti-komunisme antara lain “The Dynamic of Soviet Society” oleh Walt Rostow; “The New Class” oleh Milovan Djilas; “Concise History of the Communist Party” oleh Robert A.Burton; “The Foreign Aid Programs of the Soviet Bloc and Communist China” oleh Kust Muller; “In Pursuit of World Order” oleh Richard N. Gardner; “Peking and People’s Wars” oleh Jenderal Mayor Sam Griffith; “The Yenan Way” oleh Eudocio Ravines”; “Life and Death in Soviet Russia” oleh Valentin Gonzales; “The Anthill” oleh Suzanne Labin; “The Politics of Struggle: The Communist Front and Political Warfare” oleh James D.Atkinson; “From Colonialism to Communism” oleh Hoang Van Chi; “Why Vietnam” oleh Frank Trager; dan “Terror in Vietnam” oleh Jay Malin.

Bekerjasama dengan berbagai Penerbit, memberi dana bagi penerbitan karya-karya tulis yang anti komunis adalah salah satu kegiatan CIA liwat Ford Foundation. Kegiatan ini sudah memainkan peranan penting dalam melaksanakan the policy of containment di semua benua,.. termasuk Indonesia. Buku Negara Madiun? yang terbit dengan dana Ford Foundation, bermanfaat menyalahkan PKI dalam Peristiwa Madiun adalah sejenis buku yang dideretkan di atas.

Kenapa di Vietnam, Operasi Phoenix membunuh, memenjarakan, menyiksa jutaan rakyat, gagal membasmi Partai Komunis Vietnam dan gagal mengalahkan Republik Demokrasi Vietnam, tapi di Indonesia berhasil menghancurkan PKI dan menggulingkan Pemerintah Bung Karno? Sebabnya adalah: di Indonesia, semenjak tahun 1949 di bawah rekayasa CIA, Ford Foundation dengan program duapuluh tahunnya berkolaborasi dengan RAND Corporation, Rockefeller Foundation, menggunakan berbagai akademi militer AS Fort Leavenworth, Fort Benning, Fort Bragg mendidik sejumlah besar perwira Angkatan Darat, mendidik sejumlah besar intelektual hingga terbentuknya kelompok “Berkeley Mafia”, dengan dukungan partai-partai kanan anti komunis Masjumi, kaum sosial demokrat PSI dan penganut aliran Trotskis, semuanya menjadi kekuatan anti-komunis anti Bung karno. Inilah yang dikerahkan Grup Suharto-CIA membasmi kaum komunis dan kaum kiri serta berhasil menggulingkan Pemerintah Presiden Sukarno. Walaupun terdapat Partai Komunis yang besar, yang gigih mengangkat semboyan anti imperialisme Amerika, tapi PKI tidak memimpin kekuatan bersenjata seperti Partai Komunis Vietnam, PKI menempuh jalan damai dalam berrevolusi, tidak dipersiapkan untuk menghadapi musuh biadab yang demikian perkasa, yang semenjak bertahun-tahun secara berencana dengan teliti mempersiapkan pembasmian kaum komunis dan kaum kiri Indonesia dengan tujuan menggulingkan Bung Karno.

Operasi PROGRAM PHOENIX yang dilancarkan CIA adalah sumber malapetaka yang mengorbankan banyak jiwa. Rezim fasis orba Suharto yang anti komunis ditegakkan dengan memanipulasi G30S, adalah hasil dari Operasi ini. Rezim ini memusatkan tuduhannya, bahwa PKI lah dalang G30S, adalah bertanggungjawab atas terjadinya korban pembunuhan besar-besaran itu.

Sesudah rezim Suharto digulingkan, para pakar sejarah Indonesia memusatkan perhatian pada mencari sumber dan sebab musabab bencana ini. Di antara sekian banyak pakar sejarah, Pak Asvi Warman Adam adalah salah seorang yang berusaha keras secara objektif meninjau dan menulis kembali sejarah. Membantah versi tunggal Pemerintah Orba Suharto yang menyatakan PKI adalah dalang G30S. Tapi tak sedikit yang menulis dengan haluan melemparkan tanggungjawab kesalahan pada pimpinan PKI atau Bung Karno. Ini adalah pemalsuan sejarah. Hal ini dilakukan oleh Victor Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A.Dake, Noegroho Notosoesanto dll. Mereka dengan segala jalan, termasuk dengan pemalsuan-pemalsuan sejarah, berusaha membuktikan bahwa PKI adalah dalang dalam peristiwa G30S yang bermuara pada peristiwa pembantaian manusia yang berlumuran darah ini.

Di kalangan generasi muda yang menjadi korban peristiwa berdarah ini, terdapat usaha untuk mempelajari dan memahami masa lampau, belajar sejarah, mencari sumber malapetaka yang telah menimpa bangsa. Ada yang disesatkan oleh pandangan, bahwa malapetaka itu disebabkan oleh kesalahan pimpinan PKI. Pandangan demikian bisa ditunggangi oleh usaha membangkitkan komunisto-fobi yang selalu dikobarkan CIA. Kalau ini berkembang, maka akan menghasilkan lahirnya generasi muda yang anti-komunis di Indonesia. Inilah yang jadi idaman penguasa Amerika Serikat.

BENTURAN PERADABAN ROAD MAP TO WORLD WAR III


BENTURAN PERADABAN
ROAD MAP TO WORLD WAR III

FROM THE DISTANCE GOD IS WATCHING US - RICHARD CLAYDERMAN & JAMEST LAST

Meski banyak ditentang, teori tentang benturan peradaban yang pernah dimunculkan oleh cendekiawan Amerika Samuel P. Huntington pada faktanya tidak bisa dipungkiri. Pasca era Perang Dingin, dengan melihat realitas politik yang ada, kita melihat bahwa benturan antara peradaban Barat dan Islam sesungguhnya sedang berlangsung. Bahkan, boleh dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya hanyalah lanjutan belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu, khususnya pada era Perang Salib.

Tulisan ini sekadar ingin menegaskan kembali tesis Huntington di atas dalam bukunya, Clash of Civilization, yang menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat adalah hal yang niscaya. 

Pengantar 

Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990 dan berakhirnya bipolaritas Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Namun, seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik. Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain.1 Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme Islam dan peradaban Cina (baca: Konfusianis).
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing setelah terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma Barat sebagai “newspeak” untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebut ideologi Islam sebagai 'ideologi setan'. Dalam pidatonya pada Konferensi Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslimin harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.

Hakikat Benturan Peradaban 

Peradaban (hadhârah) secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman.2
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization; di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa—yang kemudian dikenal dengan renaissance—dan rasa percaya diri terhadap karakter progresif era modern.3
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi—yang dimanifestsikan dalam perilaku—tentang kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.4
Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
(1) Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
(2) Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal.5
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun sistem.6 Ditinjau dari definisi ini, mabda’ menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau bertolak belakang.
Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh para pendusta dan pembohong.7
Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Banyak analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3 faktor utama sebagai berikut:
1. Faktor agama.
Sejarah telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1 abad (1096–1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096–1099 M; antara tahun 1147–1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M.8 Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.9
Hingga kini, ‘semangat’ Perang Salib ini masih melekat dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi ‘prasangka buruk’ (stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat. Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke permukaan.
Kata "christendom” dan “holy war” mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu “perang suci” antara Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2. Faktor ekonomi.
Lenyapnya institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi ‘besar-besaran’ atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini dianggap sebagai ‘tantangan’, atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi peradaban Barat saat ini.
Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak terhindarkan lagi.
3. Faktor ideologi.
Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam—sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus diperhitungkan. Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda.10 Kelak, Khilafahlah yang ‘bertanggung jawab’ untuk mengemban dan menyebarkan ideologi Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.
Hubungan Peradaban dengan Negara
Peradaban sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap sebagai “isi”, sedangkan negara adalah “wadah”-nya. Dalam keadaan tanpa “wadah”, “isi” akan tercecer dan tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu atau beberapa negara yang mendukungnya. Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain. Demikian pula peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah Utsmaniah di Turki (1924 M). 

Metode Islam menghadapi Benturan Peradaban 

Secara umum agenda untuk 'menyambut' benturan peradaban antara Islam dan Barat, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan di tengah-tengah umat.
Bagaimanapun, semua upaya penghancuran itu akan lebih mudah dihadapi kalau umat Islam kebal. Pembinaan (tatsqîf) di tengah umat adalah dalam rangka mewujudkan pola pikir yang islami, dan melatih ketahanan pola jiwa mereka dengan selalu berada dalam suasana taqarrub ilâ Allâh.
2. Melancarkan perang pemikiran dan mengungkap makar asing.
Penghancuran Islam sering tidask disadari oleh kaum Muslim. Karena itu, membongkar agenda tersembunyi dari penjajah (kasyf al-khuthath) harus selalu dilakukan. Mereka juga harus selalu mengkritisi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan menyesatkan yang diklaim oleh kalangan liberal sebagai pemikiran Islam. Jika pemikiran-pemikiran ini tidak ditunjukkan kekeliruan dan kesalahnnya, maka umat Islam yang awam akan menyangka bahwa hal itu adalah bagian dari Islam.
3. Membangun kesadaran politik Islam dan memberikan gambaran Islam sebagai solusi.
Kesadaran politik Islam yang benar harus ditumbuhkan di tengah-tengah umat. Yang dimaksud adalah politik Islam yang akan membebaskan manusia dari ketertindasan dalam segala aspeknya menuju pada keridhaan Allah semata-mata. Untuk itu, para aktivitis dakwah harus mampu memberikan gambaran syariat Islam sebagai solusi atas segala masalah manusia.
4. Membangun tatanan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan tumbuhnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat maka berarti telah tersedia ‘perangkat keras’ (yaitu dukungan dari umat Islam) dan ‘perangkat lunak’ (yaitu konsep dan solusi Islam), yang diperlukan selanjutnya adalah membangun tatanan politik Islam, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Dengan tatanan ini, upaya untuk menghentikan penghancuran Islam akan dapat dilakukan lebih efektif dan efisien lagi.
Keniscayaan Negara Khilafah dalam Menghadapi Benturan Peradaban
Hancurnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan "wadah" bagi peradaban Islam Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai gantinya, peradaban Barat sekularlah yang kemudian mendominasi kaum Muslim saat ini.
Maka dari itu, eksistensi negara Khilafah adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar peradaban Islam dapat mengungguli peradaban Barat. Tentu, negara Khilafah yang akan terjun ke kancah benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung oleh kekuatan ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal. Wallâhu a‘lam.

Liberalisme dan Kapitalisme Serta Benturan Peradaban Baru?

Wacana dan perdebatan tentang “Liberalisme” atau “Neoliberalisme” sampai hari ini masih saja aktual untuk diperbincangkan, bahkan tidak jarang pembicaraan tentang aliran pemikiran ini menimbulkan dua kutub yang saling berhadapan antara pro dan kontra, padahal paska runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya negara Uni Soviet muncul suatu perspektif yang mengklaim bahwa satu-satunya idiologi paling relevan di zaman moderen adalah kapitalisme sebagai anak kandungnya liberalisme.
Klaim keunggulan liberalisme dan kapitalisme ternyata sampai hari ini tidak luput dari gugatan bahkan kritik, ironisnya akhir-akhir ini gugatan terhadap relevansi dan dampak positif atau dampak negatif liberalisme justru semakin mengemuka di Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang paling mengagungkan liberalisme terutama karena terjadinya krisis finansial yang menimpa wallstreet, dan bentuk gugatan yang sama juga semakin gencar di belahan benua Eropa yang merasakan dampak krisis keuangan paling parah akhir-akhir ini.
Dibelahan dunia lain diluar Amerika dan Eropa gugatan terhadap aktualisasi liberalisme juga sangat gencar, terutama negara-negara miskin dan negara-negara berkembang yang selama ini sangat merasakan dampak negatif penerapan kapitalisme yang melahirkan imperialisme.
Fenomena ini menjadi sebuah bahan permenungan menarik untuk menyelusuri “apa gerangan” yang salah dalam aliran pemikiran liberalisme ini sehingga sampai hari ini masih tetap dikritik padahal komunisme sebagai lawan kerasnya telah dianggap tidak aktual lagi paska bubarnya Uni Soviet.
Berbicara tentang liberalisme tidak bisa mengabaikan kata “Liberal“. Kata liberal dapat dimaknai secara positif dan negatif, liberal dalam arti positif adalah sikap bathin yang otonom, mandiri (bebas) dan rasional, sedang Liberalisme dalam arti positif adalah merupakan faham yang menjungjung tinggi kemerdekaan bathin dan menolak segala macam pembatasan.
Sedangkan makna kata liberal dalam arti negatif merupakan sikap bathin semaunya tanpa memperdulikan aturan, konvensi, tradisi atau tidak menghiraukan segala sesuatu yang dianggap membatasi kebebasan/”Libertine”. Liberalisme dalam arti negatif adalah faham yang menganut bahwa manusia bebas bersikap dan bertindak dengan menghiraukan norma yang berlaku.
Memahami sejarah lahirnya aliran pemikiran liberalisme tidak bisa mengabaikan sejarah pemikiran Barat khususnya sejarah pemikiran renaissance dan modernisasi. Lahirnya renaissance di Italia pada abad ke empat belas merupakan titik tolak dan pintu awal lahirnya modernisasi di Eropa, istilah renaissance berasal dari kata rinascita (bahasa Italia) yang artinya kelahiran kembali, bahkan kemudian arti renaissance tidak hanya bermakna kelahiran kembali tetapi menggambarkan kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, otonom, dan memiliki kehendak bebas, dan inilah yang dianggap sebagai salah satuciri khas manusia modern. Manusia menjadi pusat dari alam (Anthroposentris), manusia dianggap sebagai dasar dalam kehidupan duniawi, manusia dianggap dapat berbuat apa saja karena dirinya sangat otonom.
Lahirnya zaman renaissance merupakan titik pangkal munculnya sekularisme di Barat, mengabaikan ajaran bahwa Allah yang maha kuasa (Theosentris) dan mengenyampingkan norma-norma moral. Kelahiran renaissance ingin merombak sikap manusia abad pertengahan yang terbelenggu oleh kaidah-kaidah moral yang dogmatis dan religiositas Gereja. Peran iman serta agama ditinggalkan dan menggantikannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, harapan akan kehidupan di akhirat (surga) digantikan dengan harapan hisup di dunia yang nyaman. Intinya antroposentris adalah essensi utama renaissance dan zaman modernisme, kelahiran renaissance erat kaitannya dengan munculnya faham liberalisme di Perancis dan Inggris.
Kelahiran masa renaissance membuat bangsa-bangsa Eropa mendobrak kelajiman theosentris yang dianggap telah memandulkan daya kritis akal budi manusia, dengan renaissance manusia diajak untuk kembali menjadi manusia rasional, bebas, otonom dan antroposentris, dan menganggap manusia sebagai subjek alam semesta sehingga kemudian melahirkan faham atau pemikiran yang merumuskan bagaimana hubungan manusia dengan alam, salah satu aliran pemikiran tersebut adalah liberalisme, faham ini kemudian berkembang melahirkan faham liberalisme di bidang ekonomi (kapitalis) dan politik (demokrasi).
Kapitalisme merupakan salah satu anak kandung renaissance dan liberalisme, kapitalisme sangat mengutamakan rasionalisme dan individualisme yang berorientasi kepada memberikan peluang seluas-luasnya melakukan persaingan bebas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan mengandalkan prinsif siapa ingin bertahan hidup dalam seleksi alam harus memiliki keunggulan.
Dalam sejarah selanjutnya ternyata kapitalisme ini menimbulkan dampak negatif sehingga menimbulkan kritik dari kaum sosialis dan kaum marxis. Tokoh paling fenomenal yang mengkritisi kapitalisme faham kapitalisme adalah Karl Marx yang kemudian dikembangkan oleh Lenin dan Stalin. Menurut Karl Marx kapitalisme hanya menguntungkan kaum majikan dan menimbulkan penindasan terhadap kaum lemah terutama eksploitasi terhadap kaum buruh sehingga ingin membuang sistem kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem ekonomi yang mampu menyelamatkan seluruh rakyat dengan sistem sosialis yang adil, merata dan membela kaum proletar, gagasan ini tertuang dalam bukunya Manifesto komunis dan Das Kapital.
Paska runtuhnya Uni Soviet, Francis Fukuyama mengklaim bahwa komunisme sudah runtuh dan sejarah telah menuju kemenangan penuh liberalisme ekonomi dan politik, artinya telah terjadi proses pemudaran terhadap semua idiologi diluar kapitalisme atau ide Barat. Lebih percaya diri Francis Fukuyama menyebutkan keruntuhan Uni Soviet sebagai sebuah momentum lahirnya “Akhir Sejarah”
Namun Samuel P Huntington dalam salah satu esseinya mengemukakan bahwa komunisme mungkin ambruk untuk saat ini, namun terlalu dini menganggap bahwa komunisme akan lenyap selamanya, kemenangan ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan ideologi baru karena tantangan baru terhadap kesejahteraan manusia akan selalu muncul sehingga orang akan mengembangkan konsep, teori dan ideologi baru untuk mengatasi tantangan tersebut.
Bahkan dalam esseinya yang lain Samuel P Huuntington mengutarakan hipotesisnya bahwa “Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan”. Konflik antar peradaban akan menjadi tahap terakhir evolusi konflik di dunia modern, peradaban sebagai salah satu bentuk pengelompokan dan identitas melalui unsur-unsur bahasa, agama, kebiasaan,institusi maupun identifikasi lainnya yang lebih subjektif dianggap sebagai faktor utama pertentangan dalam sejarah kehidupan manusia selanjutnya.
Analisis Samuel P Hutington ini sangat menarik dipertimbangkan dalam menilik arah kecenderungan perubahan geopolitik global paling mutakhir, memperhatikan arah perkembangan size perekonomian China yang diprediksi akan mengungguli size perekonomian Amerika Serikat dalam beberapa tahun yang akan datang, maka peranan China sebagai salah satu kekuatan baru ekonomi global akan membuka kemungkinan menjadikan China sebagai pusat peradaban baru dimasa yang akan datang.
Kemunculan China sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru membawa faham atau aliran pemikiran yang sangat berbeda dengan aliran pemikiran yang melatar belakangi kemunculan negara-negara Eropa dan Amerika ketika menuju negara modern dan maju, khususnya kemunculan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan politik paska perang dunia kedua identik dengan sikapnya yang eksploitatif dan hegemonis. Sementara China sekarang muncul sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru berkarakter lebih santun dan terkesan lebih berorientasi kepada pendekatan sumber daya manusia. Perbedaan ini hanyalah sebagian kecil diantara sejarah kemunculan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan dengan China. Namun, walaupun hanya perbedaan kecil hal tersebut merupakan salah satu contoh perbedaan peradaban diantara keduanya. Perbedaan inikah salah satu faktor yang memungkinkan timbulnya benturan peradaban dimasa yang akan datang ?
Mari kita serahkan kepada ruang dan waktu untuk mengujinya !!!!!
Sumber : http://www.facebook.com/groups/nasionalis/permalink/371683962901381/

Jumat, 28 September 2012

Hegemoni dan Neo-Imperialisme Negara Barat


http://www.fotosearch.com/illustration/americana.html
Berdasarkan defenisinya, Hegemoni dapat  dipahami sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan. Melalui hegemoni ini, ide-ide atau aliran pemikiran didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi, proses internalisasi atau penyebaran ide teresebut dilakukan dengan cara halus, tanpa kekerasan dan paksaan, sehingga ide tersebut diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense).
Dalam hegemoni, kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan atau kelompok yang berkuasa. Hegemoni berasal dari bahasa Yunani “Hegeisthai” yang dalam bahasa Inggris berarti “to lead”.
Menurut Antonio Gramsci – tokoh yang menggagas hegemoni-, hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Proses indoktrinisasi dan penerimaan ide-ide tersebut berlangsung dengan cara berlahan-lahan, lembut dan tanpa terasa, sehingga masyarakat atau kelompok kemudian menerima hegemoni tersebut dan  mengadopsinya dengan perasaan senang dan suka rela menjalankannya.
Proses hegemoni dapat terjadi melalui media massa, sekolah-sekolah, khotbah kaum religious, maupun indoktrinasi. Menurut  Gramsci proses perubahan sosial tersebut tidak semata-mata diartikan sebagai perebutan kekuasaan politik, melainkan suatu perebutan kekuasaan budaya dan ideology, yaitu dengan cara merubah pandangan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat sipil.
Jika budaya dan ideology masyarakat sipil sudah dapat dipengaruhi dan direbut (di-hegemoni) maka kekuasaan dianggap  telah direbut, dan terjadi revolusi sosial, kepemimpinan politik bisa diambil alih secara mudah.
Hegemoni erat kaitannya dengan kepemimpinan budaya, dimana cara hidup dan kerangka pemikiran tertentu ditanamkan ke benak masyarakat, sehingga masyarakat tersebut menganggapnya menjadi aliran pemikiran yang paling benar, dan mengikuti dan menjalankannya dengan sukarela, seluruh bidang kehidupan masyarakat terpengaruh, baik itu bidang  sosial, politik, ekonomi, budaya, keagamaan, seni, dan pendidikan.
Menurut  Gramsci, untuk melakukan hegemoni dilakukan melalui dua cara yaitu melalui “war of  position” (perang posisi), dan “war of movement” (perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan cara memperoleh dukungan melalui propaganda media massa, membangun aliansi strategis dengan barisan sakit hati, pendidikan pembebasan yang bermuara untuk meningkatkan kesadaran diri.
Dalam kehidupan global, khususnya dalam atmosfir kehidupan  politik internasional, hegemoni sering ditafsirkan sebagai bentuk baru dari imperialisme (neo-imperialism),  yaitu dimana peradaban barat merupakan sebuah hegemoni, dan menjadikan bangsa-bangsa Asia, Amerika Latin, dan Afrika dalam banyak hal “terkuasai” dan mengalami “ketergantungan” dengan kekuatan-kekuatan yang berasal dari peradaban barat.
Sebenarnya kepentingan utama Negara Barat dalam kehidupan global adalah dominasi ekonomi, dan untuk merealisasikan dan mendukung keinginan tersebut selanjutnya dilakukan usaha dominasi terhadap politik melalui cara yang halus, misalnya  melalui “rezim pengetahuan”. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia  menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik.
Amerika Serikat merupakan salah satu Negara yang dipandang memiliki kekuatan hegemoni di seluruh belahan dunia ini, hal itu telah dimulai sejak berakhirnya perang dunia kedua, dan  semakin terkristalisasi dan mapan setelah berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat versus Uni Soviet.
Ambruknya Uni Soviet banyak dipandang sebagai sebuah monument lahirnya suatu era baru kehidupan global, terutama dipandang sebagai sebuah zaman baru kehidupan politik internasional. Perang dingin yang diwakili oleh Amerika Serikat versus Uni Soviet yang sengit terjadi paska perang dunia kedua merupakan perang ideologis yang banyak menyita perhatian dan energy, sehingga dengan berakhirnya perang dingin ini banyak yang menganggap hal itu sebagai suatu kesempatan munculnya atmosfir baru politik internasional.
Pada tahun 1989, Francis Fukuyama melahirkan sebuah esai yang membicarakan arah politik internasional paska perang dingin dengan judul “Akhir Sejarah”, pada intinya Fukuyuma mengatakan bahwa “telah tiba akhir sejarah”, yaitu  ditandai oleh terjadinya evolusi ideologis umat manusia dengan mengasumsikan “Demokrasi Liberal” merupakan pilihan paling tepat dalam kehidupan politik di seluruh belahan dunia, dan komunisme sebagai pilihan alternative dianggap telah mati, sehingga perdebatan tentang bentuk ideal pemerintahan dianggap telah selesai (paripurna) – sebagai pertanda berakhirnya sejarah-, kemenangan penuh liberalisme ekonomi dan politik.
Berakhirnya perang dingin ini diklaim sebagai sebuah momentum yang menunjukkan kemenangan barat ,“keunggulan ide barat”,  dan merupakan bukti telah pudarnya semua system alternative selain liberalisme ala barat. Kemenangan ide barat ini menurut Fukuyama dapat dilihat secara kasat mata melalui tersebar luasnya budaya barat diberbagai belahan dunia yang ditandai oleh semakin meningkatnya budaya konsumerisme barat dalam berbagai konteks kehidupan seperti pasar pertanian yang liberal, produk barat yang telah familiar diseluruh belahan dunia – bahkan di Negara komunis - , maraknya toko waralaba (franchise) barat dimana-mana, dan menggemanya suara Beethoven dan music rock di berbagai penjuru dunia.
Fenomena ini menurut Fukuyama bukan sekedar akhir perang dingin, tetapi merupakan akhir sejarah: yakni, titik akhir evolusi ideology umat manusia dan makin universalnya demokrasi liberal barat sebagai bentuk final pemerintahan umat manusia, namun Fukuyama juga mengingatkan bahwa kemenangan liberalisme tersebut baru terjadi di tataran idea atau kesadaran, dan belum genap dalam dunia nyata atau materiil, tetapi selanjutnya Fukuyama meyakinkan bahwa yang ideal pada akhirnya akan mengatur dunia materi.
Pada tahun 1993 Samuel P. Huntington melalui esainya “ Benturan Peradaban”, mengatakan bahwa jalur genting selanjutnya bukanlah bersifat ideologis, ekonomi atau politik, melainkan bersifat budaya, yaitu ketika peradaban-peradaban dunia saling berbenturan. Budayalah yang akan menjadi factor pemecah-belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa masih menjadi actor dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global akan terjadi antara Negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda. Benturan peradaban akan mendominasi politik global.
Kemudian Huntington mengemukakan, Selama perang dingin dunia terbagi menjadi dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga, pembagian ini dianggap tidak relevan lagi, karena pengelompokkan negara-negara bukan lagi berdasarkan system politik atau ekonomi tetapi berdasarkan budaya dan peradaban. Dengan melihat peradaban sebagai sebuah entitas budaya, maka peradaban adalah pengelompokan budaya tertinggi dari sekelompok orang lewat unsur-unsur bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi maupun melalui identifikasi diri.
Mencermati isi ringkas esai yang dikemukan Fukuyama dan Hutington diatas, era paska perang dingin saat ini, bentuk hegemoni yang masih akan mengemuka dalam percaturan politik internasional atau kehidupan global masih akan diwarnai oleh infiltrasi ide-ide dari negara besar secara volume ekonomi terhadap negara-negara lain, hal ini dilakukan sebagai salah satu cara mempertahankan hegemoni-nya, dan tujuan akhirnya tetap untuk kepentingan dominasi ekonomi, semuanya itu sebagai bentuk baru penjajahan atau imperialis baru (Neo-Imperialism).