Kamis, 04 Oktober 2012

FENOMENOLOGI POLITIK: DARI FENOMENOLOGI HUSSERL DAN HEIDEGGER HINGGA KE TEORI POLITIK CARL SCHMITT

Oleh: Ito Prajna-Nugroho

(Dibacakan dalam Konferensi Studi Pergerakan Kebangsaan pada Sabtu 12 Mei 2012, di BSD)
Sejak dimulai oleh Edmund Husserl, fenomenologi sebagai gerakan pemikiran memulai setidaknya empat bidang kajian filsafat yang khusus: 1) hermeneutika, 2) fenomenologi eksistensial dan eksistensialisme, 3) fenomenologi kebudayaan dan agama, 4) fenomenologi politik. Pokok pertama sampai ketiga telah diulas dan diperdalam melalui publikasi-publikasi ilmiah yang begitu kaya bahkan membludak. Pokok keempat, mengenai fenomenologi politik, hanya dapat kita jumpai dalam terbitan-terbitan yang terbatas bahkan langka.[1] Pemikir kontemporer yang secara khusus mengupayakan suatu telaah fenomenologis atas politik tidaklah banyak. Beberapa di antara mereka yang terkenal antara lain Hannah Arendt, Claude Lefort, Leo Strauss, Jan Patočka dan khususnya Carl Schmitt.
Pertanyaannya, bagaimana fenomenologi yang secara khusus membatasi kajiannya pada bidang ontologi/metafisika dan epistemologi itu dapat memberikan dampak mendalam dan meluas tidak saja pada refleksi filsafat politik tetapi juga dalam praktik politik?
Melalui sejarah Filsafat Barat Modern kita mengetahui bahwa daya jangkau kesadaran/pengetahuan manusia selalu mencakup tiga aspek dasar: 1) ontologi (refleksi mengenai pendasaran dari segala yang ada), 2) epistemologi (refleksi mengenai kebenaran pengetahuan manusia), 3) etika (refleksi mengenai kebaikan serta ketepatan tindakan manusia). Rumusan modern atas pokok-pokok filsafat ini utamanya kita peroleh dari filsuf Immanuel Kant ketika ia dalam bagian Pengantar buku Critique of Pure Reason menyebutkan tiga pertanyaan dasar yang melatarbelakangi seluruh refleksi filsafat: 1) apa yang dapat saya ketahui, 2) apa yang harus saya lakukan, 3) apa yang dapat saya harapkan. Lewat rumusan ini Immanuel Kant berhasil memampatkan seluruh problematika filsafat ke dalam analisis atas kesadaran dan struktur-struktur objektif yang membentuk kesadaran kita itu. Lewat Kant filsafat semacam mengalami tikungan epistemologis, yaitu pengerucutan seluruh problematika filsafat ke dalam ruang kajian epistemologi.
Lebih dari tiga ratus tahun setelah Immanuel Kant, filsafat seolah-olah sibuk-asyik sendiri dengan analisis atas kesadaran yang semata-mata subjektif-individualistik, tenggelam dalam pengandaian-pengandaian sistemik-epistemik yang dibuatnya sendiri, terkungkung dalam problem epistemik-saintifik mengenai validitas/kesahihan kebenaran pengetahuan, dan justru melupakan satu persoalan dasar yang niscaya, yaitu: persoalan mengenai makna diri, makna adanya dunia, dan makna hidup manusia. Fenomenologi, melalui Husserl, muncul sebagai gugatan sekaligus terobosan atas filsafat modern yang terbatasi semata-mata pada persoalan rasionalitas-validitas sistem pengetahuan dan ilmu-ilmu. Fenomenologi menerobos batasan-batasan filsafat modern ini dengan kembali pada satu hal dasar: problem makna adanya manusia. Karena sejak awal terfokuskan pada problem makna adanya manusia, maka fenomenologi juga telah secara khusus selalu bergerak dalam lingkup ontologi (tentang dasar dari segala yang ada) dan filsafat manusia.
Sebagai metode, fenomenologi bermaksud untuk menyingkapkan dan menyibak dasar yang paling dalam dari adanya manusia sebagai fenomena, manusia sebagai sesuatu yang telah selalu menampakkan dirinya melalui cara yang khas. Cara yang khas yang melaluinya manusia memberikan-diri dan menampakkan-diri itu juga ternyata meliputi berbagai dimensi, mulai dari dimensi nilai, dimensi spiritual, dimensi ekonomis, dimensi kultural, dimensi historis, dimensi estetis, dimensi temporal, dan dimensi politik. Maka, membatasi manusia hanya pada salah satu dimensi saja (misalnya dimensi ekonomis) jelas merupakan suatu kerancuan kategoris (kategorien Missdeutung) yang fatal dalam kacamata fenomenologi. Dalam bahasa fenomenologi, manusia secara mendasar bersifat eksistensial. Eksistensial (ex-sistere) artinya manusia telah selalu terarah keluar dari dirinya sendiri, terlibat di dalam dunia yang tidak terbatas dalam segala dimensinya, dan untuk itu telah selalu dituntut pula untuk menegaskan diri melalui keputusan-keputusannya. Keputusan (decision) adalah ungkapan primordial-fundamental dari cara-berada manusia yang khas. Keputusan adalah titik interseksi yang menunjukkan gerak paradoksal manusia di antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, gerak tarik-menarik antara keniscayaan situasi dan kebebasan diri, gerak tegang antara ruang dunia dan ruang batin. Dalam bahasa Husserl, manusia telah selalu terhempas (Streben) di tengah derasnya terpaan arus waktu, namun pada saat yang sama ia juga telah selalu dituntut untuk berdiri tegak (Stand) dan menegaskan dasarnya yang terdalam (unten).[2] Inilah pengandaian paling pokok dari seluruh aliran eksistensialisme, hermeneutika, dan fenomenologi politik.
Untuk menyingkapkan keberagaman cara-berada manusia ini, fenomenologi mengacu pada dua prinsip dasar: 1) prinsip intensionalitas (manusia telah selalu terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya sendiri), 2) prinsip reduksi fenomenologis: kembali kepada sesuatu itu sendiri yang kepadanya manusia terarah (back to the things themselves / züruck zu den Sachen selbst). Bagi fenomenologi, hanya melalui dua prinsip dasar ini saja kita mampu melepaskan diri dari seluruh jerat kusutnya sistematisasi, mekanisasi, proseduralisasi, dan manipulasi metodologis yang dibuat oleh manusia sendiri. Dengan menangguhkan segala penilaian, asumsi, dan refleksi yang ada dalam kesadaran kita, fenomenologi hendak kembali kepada dimensi pra-reflektif, dimensi pengalaman yang dihayati secara eksistensial (Erlebnis), dimensi paling dasar manusia yang selalu diandaikannya tetapi sering luput terlupakan.
Dalam perspektif fenomenologi, hanya dengan kembali kepada politik sebagai Erlebnis, yaitu sebagai suatu bentuk pengalaman yang dihayati secara eksistensial itulah maka politik dapat sungguh-sungguh bermakna sebagai politik. Dalam perspektif fenomenologi, politik bukanlah pertama-tama berkenaan dengan konstruksi sistem prosedur yang mekanistis. Bagi fenomenologi politik dalam artinya yang mendasar berkenaan dengan pengalaman akan dunia, perjumpaan dengan diri sendiri dan orang lain, sekaligus konfrontasi di antara manusia yang sama-sama bebas sejajar. Pengalaman, perjumapaan, dan konfrontasi merupakan bentuk-bentuk mendasar dari penghayatan akan cara berada manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk yang ada-di-dalam-dunia (Being-in-the-world / in-der-Welt-sein). Politik adalah sebuah bentuk penyingkapan cara berada manusia yang senantiasa bergerak di antara keniscayaan dan kebebasan, bertahan di antara kesia-siaan dan kebermaknaan, bergulat di tapal batas antara tatanan (Order) dan khaos/tanpa-tatanan (Chaos). Politik dalam artinya yang paling mendasar, paling eksistensial, paling purba, dan paling otentik inilah yang disebut sebagai „Yang Politis“ (The Political), yaitu syarat kemungkinan paling dasar yang memungkinkan politik disebut sebagai politik, syarat kemungkinan yang menggerakkan seluruh aktivitas politik, baik di tingkat teori maupun praktik.
Dalam khasanah filsafat politik dan filsafat hukum abad ke-20/21, Carl Schmitt adalah pemikir yang untuk pertama kalinya memperdalam, memperluas, memaksimalkan, dan menerapkan konsep-konsep dasar fenomenologi sepenuhnya tanpa tedeng aling-aling secara jelas dan keras ke dalam ruang kajian politik. Kritik fenomenologi atas rasionalitas paham modernisme oleh Schmitt dijalankan sebagai kritik radikal atas paham liberalisme dan ekonomi pasar bebas. Gugatan fenomenologi atas logika manipulatif dalam teknologi modern oleh Schmitt dijalankan sebagai gugatan mendasar atas logika mekanistik-proseduralistik sistem demokrasi liberal yang dianggapnya teknologis-manipulatif. Konfrontasi fenomenologi terhadap dekadensi-dehumanisasi manusia modern yang hidupnya semakin tanpa-makna oleh Schmitt dijalankan sebagai konfrontasi hidup-mati terhadap kecenderungan depolitisasi manusia dalam sistem hukum/konstitusi demokrasi-liberal yang berjalan layaknya mesin tanpa jiwa tanpa karakter.
Perlu terlebih dulu ditekankan di sini bahwa Schmitt tidaklah menolak demokrasi, tidak menolak konstitusi, tidak juga menolak teknologi, sebagaimana fenomenologi juga tidak pernah menolak/membuang mentah-mentah modernisme dan paham rasionalisme. Apa yang dilakukan Schmitt bukanlah menolak atau menyingkirkan sesuatu, melainkan ia menggugat, mengritik, dan mengkonfrontasi cara-pandang/pemahaman kita mengenai sesuatu itu. Schmitt semacam mau membongkar cara-pandang dan cara-pemahaman kita yang telah menjadi terpaku beku, demi menjernihkan pandangan kita dari segala ruwet-sengkarutnya konstruksi sistem artifisial yang kita bangun sendiri. Sebagaimana fenomenologi mau kembali mengasalkan segala artifisialitas hidup modern ke dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang paling mendasar, Schmitt mau kembali mengasalkan segala artifisialitas sistem politik modern ke dalam Yang Politis itu sendiri, kembali kepada dasar yang menopang seluruh bangunan sistem politik apapun. Pada titik persimpangan antara fenomenologi dan politik inilah Schmitt tampil sebagai seorang Meister atau perwujudan par excellence dari fenomenologi politik dan hermeneutika eksistensial.
Schmitt sesungguhnya memulai pemikirannya dari pengandaian yang cukup sederhana. Pengandaian Schmitt ini sesungguhnya juga masih bertolak dari asumsi ontologis dalam fenomenologi Husserl dan Heidegger bahwa seluruh pengetahuan serta pengalaman diri kita mengandaikan adanya saling-keterkaitan yang tidak terbatas di antara segala sesuatu yang ada (Zusammenhang / Zusammengehörigkeit).[3] Saling keterkaitan ini memperlihatkan dua hal penting secara bersamaan: 1) bahwa manusia telah selalu tersituasikan di dalam ruang dan waktu yang terbatas, dan 2) bahwa manusia telah selalu terarah pada cakrawala/horizon kemungkinan yang tidak terbatas. Dua fakta ontologis inilah yang juga telah selalu membuat manusia dituntut untuk melakukan dua tindakan paling dasar dalam hidupnya: 1) manusia telah selalu dituntut untuk memaknai diri dan hidupnya, dan 2) manusia telah selalu dituntut untuk mengarahkan/mengorientasikan masa depannya. Dua tindakan inilah yang menjadi dasar dari segala penegasan-diri dan keputusan manusia. Manusia hanya dapat disebut sebagai manusia jika ia mampu memaknai dan mengorientasikan dirinya yang bergerak terus menerus di garis batas antara keterbatasan (imanensi) dan ketidakterbatasan (transendensi).
Bertolak dari pengandaian dasar inilah maka Schmitt memulai pemikirannya. Ia memulai refleksinya dengan mengajukan suatu problem yang telah dilupakan dalam diskursus politik modern. Problem itu pada pokoknya berkenaan dengan fakta ontologis bahwa seluruh tatanan politik, sejauh ia dibuat oleh dan untuk manusia, maka tatanan sistem politik itu akan selalu bertolak dari situasi yang tertentu-terbatas (1), dan akan selalu terarahkan terbuka pada cakrawala kemungkinan yang tidak terbatas (2). Titik tolak atau titik awal seluruh politik tidak lain adalah bahwa manusia dari dalam dirinya sendiri telah selalu merindukan-menghasrati-mendambakan tatanan sosial-politik yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Titik akhir atau titik terjauh dari seluruh politik adalah bahwa setiap tatanan yang telah dibangun manusia akan selalu mungkin untuk terjungkal terjerembab kembali ke dalam keadaan total chaos atau keadaan tanpa-tatanan yang fatalistik-apokaliptik. Pengandaian inilah yang menjadi Alfa dan Omega atau Awal dan Akhir dari seluruh aktivitas politik.
Untuk memperlihatkan titik terjauh yang tidak terbatas itu maka marilah kita berandai-andai. Misalnya bubuk kopi, rokok kretek atau sekantong gula yang kita gunakan untuk minum mengandaikan adanya rantai produksi dan jaringan penyedia (distribusi) mulai dari perkebunan di Sumatera atau Jawa Tengah hingga truk pengangkut yang harus terus mondar-mandir ke Jakarta untuk mengangkut bahan mentah. Rantai produksi itu sendiri mengandaikan adanya “situasi normal” yang memungkinkan segala kegiatan itu berjalan. “Situasi normal” itu sendiri dibakukan dalam, dan didasarkan pada, serangkaian sistem hukum perundang-undangan yang diandaikan memiliki otoritas legal dalam menjamin segala normalitas itu (Normalität).[4]
Seluruh keseharian masyarakat modern bertolak dari pengandaian normalitas tersebut, bertolak dari pengandaian kepenuhan sistem hukum yang otoritatif. Mulai dari penyediaan cabai di pasar, ketersediaan listrik yang memadai, bahan bakar kendaraan, komunikasi lewat cellular phone dan internet, hingga ke persediaan senjata dan peluru bagi militer, seluruhnya mengandaikan bekerjanya sistem yang cukup-diri dan sistem itu diandaikan dapat menjamin normalitas. Sekarang andaikanlah pada suatu hari tiba-tiba saja secara serentak listrik padam total, air habis, suplai bahan bakar berhenti, seluruh sistem komunikasi terputus, dan pada saat yang sama Kepala Negara beserta seluruh hirarki penting di bawahnya mati tertembak, para pejabat kunci militer semuanya menghilang tanpa jejak sementara gedung parlemen diledakkan beserta seluruh anggotanya.
Pertanyaan Schmitt, pada saat seperti itu ketika seluruh tatanan ambruk dan sistem hukum terpasung, di manakah kesempurnaan sistem hukum dan politik liberal-konstitusional yang sebelumnya diandaikan? Pada saat seperti itu ketika semua kecukupan sistem yang sebelumnya diandaikan jatuh dalam keadaan pure chaos, di manakah peran dan letak politik? Pada saat seperti itu, dalam keadaan pure disorder, apakah pembicaraan tentang politik masih relevan? Di manakan letak atau locus Kedaulatan dalam keadaan ekstrem seperti itu?[5]
Bagi Schmitt, justru keadaan pure chaos dan pure disorder seperti itu dengan segala kemungkinan terjauhnya sudah seharusnya selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari politik itu sendiri. Keadaan seperti itu bukannya tidak mungkin, bukannya hanya dapat terjadi dalam khayalan, dan hanya berfungsi sebagai hipotesis. Keadaan ekstrem seperti akan selalu mungkin, keadaan ekstrem itu akan selalu mengintai di kejauhan dan justru melatarbelakangi seluruh perdebatan tentang sistem politik sejak Zaman Klasik. Kemungkinan paling jauh atau paling ekstrem dari seluruh tatanan sosial-politik itulah yang disebut sebagai extremus necessitatis casus.[6] Extremus necessitatis casus adalah suatu keadaan ekstrem yang niscaya diandaikan setiap tatanan sosial-politik sebagai batas dari keberadaan suatu tatanan atau horizon kemungkinan terjauh dalam pembentukan tatanan sosial-politik. Extremus necessitatis casus adalah suatu keadaan ekstrem yang niscaya diandaikan setiap tatanan sosial-politik agar dapat sungguh-sungguh disebut sebagai tatanan dalam artinya yang paling mendasar. Sebab, bagi Schmitt, di bawah setiap tatanan sosial-politik terdapat suatu jurang tanpa dasar (Abgrund / Abyss), suatu ketiadaan (nothingness / groundlessness) yang akan selalu diandaikan oleh setiap tatanan, suatu kegelapan yang senantiasa mengintai di batas terjauh tatanan politik.
Extremus Necessitatis Casus bagi Schmitt mendefinisikan makna yang otentik dari seluruh aktivitas politik sekaligus juga menetapkan garis batas bagi seluruh kemungkinan terciptanya tatanan politik yang stabil. Extremus necessitatis casus secara bersamaan juga menyingkapkan tiga pengandaian paling dasar dari seluruh politik, yaitu: 1) dalam setiap kesempurnaan sistem selalu terdapat “kasus pengecualian” (State of Exception), 2) fakta bahwa politik akan selalu bergerak dalam pembedaan kategoris “KAWAN-LAWAN” (Freund und Feind / friend and enemy distinction), 3) seluruh efektivitas tatanan politik didasarkan pada konsep ‘Kedaulatan’ (Sovereignty) yang tidak lain merupakan momen pengambilan keputusan politis-eksistensial di tingkat negara.
Paham liberalisme, khususnya demokrasi liberal, di sini menjadi target kritik Schmitt. Sebagaimana paham filsafat Modernisme dan Naturalisme mengidealkan tatanan kosmik yang sepenuhnya rasional, terukur, objektif, mekanis, dan sistematis, maka Liberalisme dan demokrasi konstitusional mengidealkan tatanan politik yang juga rasional, terukur, mekanis, dan proseduralistik. Hukum, yang awalnya adalah instrumen/alat demi menjamin stabilitas tatanan politik, kini justru menjadi tujuan akhir pada dirinya sendiri. Setiap pasal perundang-undangan seolah-olah dianggap hidup demi undang-undang itu sendiri, dan setiap pasal akan selalu merujuk pada pasal lainnya dalam putaran siklis yang absurd. Sistem hukum abstrak-legalistik yang telah menjelma menjadi kehidupan itu sendiri, dan kemudian menindas melipat manusia-manusia konkret yang diwakilinya, keadaan inilah yang disebut Schmitt sebagai legalisme. Legalisme melupakan bahwa jalinan sistem hukum perundang-undangan tidak lebih dari aspek legal yang bersifat komplementer terhadap tindakan politik. Legalisme ini melupakan bahwa sebuah ketentuan hukum, agar diterima validitasnya, ia selalu mensyaratkan adanya legitimasi politik. Legitimasi politik tidak dihasilkan dari undang-undang itu sendiri sebab hukum sekadar merupakan alat bantu manusia untuk memutuskan berbagai perkara. Legitimasi politik hanya datang dari Kedaulatan yang muncul melalui keputusan-keputusan politik-eksistensial. Bagi Schmitt, perkara legitimasi merupakan perkara yang lebih mendasar dari legalitas. Setiap legalitas mensyaratkan legitimasi yang akan selalu berkenaan dengan aspek manusiawi dari setiap sistem. Cara pandang politik modern, dalam pandangan Schmitt, berusaha untuk menjinakkan sisi manusiawi dari politik (de-humanisasi dan de-politisasi) dengan selalu mengembalikan persoalan politik kepada perkara sistem. Dalam cara pandang politik modern, seluruh persoalan legitimasi politik secara absurd diasalkan pada perkara legalitas prosedural sistem politik.[7]
Jika kita membaca teks-teks Schmitt, akan terlihat jelas bahwa Schmitt memang mengritik habis konsep netralitas dan anonimitas dalam politik kenegaraan sebagaimana diandaikan oleh negara-negara demokrasi liberal-konstitusional. Schmitt justru melihat bahwa politik kenegaraan sesungguhnya tidak pernah netral dan anonim. Politik telah selalu mengandaikan eksistensi ‚KARAKTER‘ dan KEBERPIHAKAN. Politik juga telah selalu merujuk kepada manusia-manusia konkret yang hidup dan mati di dalam suatu tatanan, politik akan selalu merujuk kembali kepada pertanyaan tentang ‚Siapa‘ (manusia) yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas (Kedaulatan) untuk mengambil dan menjalankan keputusan-keputusan yang telah ditegaskan.
Manusia yang diandaikan dalam filsafat politik Schmitt bukanlah manusia yang pada dirinya otonom, rasional, dan tercerahkan akal-budinya seperti layaknya manusia Kantian. Manusia yang diandaikan dalam filsafat politik Schmitt juga bukanlah manusia yang selalu bermusuhan dengan manusia lain dan selalu mengejar kepentingan diri secara membabi-buta seperti layaknya manusia Hobbesian. Manusia yang diandaikan oleh Schmitt adalah manusia yang menyadari bahwa ia tidak akan pernah dapat menguasai dirinya juga dunianya secara total, ia yang menyadari bahwa ia berdiri di atas dasar yang rapuh dan tanpa-dasar, ia yang menyadari bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan bisa sepenuhnya mengatasi kerapuhan dan kesementaraan itu. Manusia yang diandaikan oleh Schmitt adalah manusia yang menyadari bahwa selalu terdapat hal lain di luar dirinya, sesuatu yang lain di luar rasionalitas dan kebebasannya, sesuatu yang tidak akan pernah dapat ia taklukkan tetapi sesuatu yang harus terus dihadapinya, sesuatu yang hanya bisa ia hadapi lewat keputusan-keputusannya. Di atas dasar pengandaian manusia yang eksistensial inilah maka Schmitt di awal mula teks Politische Theologie dapat menegaskan bahwa: “Ia yang berdaulat adalah ia yang di atas segala pengecualian mampu mengambil keputusan” (Souverän ist, wer über den Ausnahmezustand entscheidet).[8]
Bagi Schmitt, kesalahan mendasar sistem demokrasi liberal-konstitusional bukanlah terletak pada kenyataan bahwa ia pada dirinya keliru dan oleh karena itu harus ditolak. Schmitt tidaklah menolak demokrasi liberal-konstitusional karena liberalisme dan demokrasi itu pada dirinya terkutuk lalu harus ditolak. Apa yang ditolak Schmitt bukanlah demokrasi atau liberalisme itu sendiri, melainkan pengandaian-pengandaian dasar yang menjadi patokannya.[9] Dalam pengandaian-pengandaiannya yang mendasar itu, bagi Schmitt, terkandung adanya kecenderungan untuk memutlakkan sistem dan melupakan persoalan tentang Kedaulatan atau tentang manusia macam apa yang diandaikan dalam setiap politik. Pengandaian dasar paham modernisme inilah yang bersembunyi di balik seluruh diskursus tatanan politik modern. Dalam cirinya yang modern termuat suatu keyakinan naif atau sikap naturalistik yang naif bahwa sistem (tatanan) selalu bersifat cukup-diri. Padahal, pada kenyataannya tidak pernah ada sistem atau tatanan yang sepenuhnya cukup-diri. Bagi Schmitt, dalam keyakinan dan sikap naturalistik-mekanis yang naif ini “konsep kedaulatan kehilangan unsur-unsur dasarnya yang bersifat personal-eksistensial.”[10]
Dalam pengandaian politik modern sebenarnya termuat pengandaian-pengandaian teologis-metafisik yang hendak memperTuhankan dirinya sendiri, pengandaian teologis-metafisik yang cenderung memahakuasakan sistemnya sendiri, namun yang semuanya itu bersembunyi di balik jargo-jargon objektivitas ilmu pengetahuan yang mengklaim diri ilmiah dan oleh karena dianggap selalu netral serta objektif.[11] Pada kenyataannya, netralitas dan objektivitas yang dikedepankan pandangan politik modern itu tidak lain dari upaya untuk menjinakkan segala unsur personal-eksistensial dalam politik, upaya yang sebenarnya telah jauh menyimpang dari tujuan politik itu sendiri. Kecenderungan pandangan politik modern untuk memper-Tuhan-kan, memahakuasakan, dan memutlakkan sistem yang terbatas inilah yang oleh Schmitt disebut sebagai teologisasi atas politik atau teologi politik.[12] Konfrontasi terhadap teologi politik atau tepatnya teologisasi atas politik yang berujung pada depolitisasi atas manusia sebagai subjek (makhluk) politik, inilah intisari dari seluruh buku Political Theology, sekaligus juga ruh yang menggerakkan pemikiran Schmitt.
Schmitt sendiri pada 1927 mencoba untuk kembali merumuskan konfrontasinya ini secara lebih ringkas dan definitif. Upaya untuk merumuskan secara definitif-konseptual konfrontasinya yang konsisten dengan liberalisme dan modernisme terwujudkan dalam teks pendek yang ringkas namun padat, yaitu Der Begriff des Politischen (The Concept of the Political). Dalam teks inilah Schmitt mencoba merumuskan secara eksplisit syarat pengandaian paling mendasar dari seluruh bentuk politik dan tindakan politik. Syarat pengandaian paling mendasar itu adalah apa yang disebut Schmitt sebagai Yang Politis (Das Politische / The Political). Perumusan Schmitt tentang Yang Politis ini pula yang kemudian akan memberikan inspirasi terobosan bagi para pemikir post-marxis kontemporer seperti Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, dan Alain Badiou. Para pemikir post-marxis ini mencoba menghidupkan kembali pertanyaan tentang subjek politik radikal dalam masyarakat liberal-sekular-demokratis yang telah terlalu “tertata, terukur, teratur, dan mekanis”.
Dalam banyak teksnya, Schmitt sering merujuk kembali pada praktik politik kenegaraan di Zaman Kekaisaran Romawi Latin. Rujukan ini bukan untuk menghidupkan kembali bentuk kekaisaran, bukan pula untuk mengidealkan masa lalu, juga bukan demi legitimasinya atas kekuasaan Hitler di masa rezim Nazi. Jika Schmitt merujuk ke masa Yunani dan Romawi, ini ia lakukan tidak lain untuk memperlihatkan bagaimana konsep Kedaulatan dan penghayatan eksistensial dalam politik dijalankan dalam bentuknya yang paling purba.
Konsep kedaulatan dan penghayatan eksistensial (Erlebnis) dalam politik menunjukkan bahwa tatanan politik beserta segala kecanggihan sistemnya tidak akan pernah berjalan efektif tanpa ditopang oleh dua hal paling dasar dari diri setiap manusia: 1) Keutamaan (Arete / Virtue), dan 2) Karakter.
Karakter manusia ditentukan oleh kemampuannya dalam membentuk dirinya, mengolah diri, melatih dirinya (askesesin) sesuai dengan kapasitas/potensi yang telah ada dalam dirinya. Manusia yang telah melatih diri sedemikian rupa dan membuktikan dirinya dapat tetap hidup baik dan hidup lurus-rasional di tengah segala ekstremitas dunia adalah manusia yang utama. Manusia yang utama adalah manusia yang berdiri tegak tak bergeming di hadapan ekstremitas dan kontingensi dunia, manusia yang mampu melampaui/mengatasi diri dan dunianya. Manusia yang berkeutamaan seperti ini adalah manusia yang superior dalam arti ia mampu mengoptimalkan dengan efektif segala daya rasional (perkara benar-salah) dan daya moral (perkara baik-buruk) yang ada dalam dirinya.
Dari Zaman Platon sampai dengan masa para filsuf Stoa seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius, pencapaian keutamaan dan karakter tidak saja menjadi tujuan hidup pribadi manusia, melainkan juga menjadi ruh yang menggerakkan seluruh keterlibatan politik. Di Zaman Klasik-Romawi itu, di mana teori dan sistem politik belum secanggih saat ini, orang menyadari betul bahwa tatanan sosial-politik tempat mereka bernaung dapat hancur berantakan kapan saja oleh ancaman-ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Di zaman itu, di mana artifisialitas perangkat teknologi dan mesin berperan sangat minimal, manusia memiliki tingkat sensitivitas/kepekaan yang lebih kuat perkara kehidupan dan kematian, makna dan kesia-siaan. Itulah juga sebabnya mengapa filsafat klasik, khususnya Stoisisme lebih banyak memfokuskan filsafatnya ke dalam internalitas batin diri manusia. Di hadapan ekstremitas hidup politik, politik itu sendiri menjadi sebuah medan uji keutamaan diri manusia, tempat di mana kualitas diri manusia diuji dan dibuktikan. Politik adalah sebuah sikap berkeutamaan dalam hidup publik dan sebuah laku hidup (way of life) yang melaluinya manusia mengolah serta melatih-diri (askesis). Sebagai sebuah laku hidup, politik didasarkan pada sebuah prinsip dasar: kesesuaian antara kata (logon) dan tindakan (ergon). Prinsip ini sendiri bertolak dari Sokrates, namun di dalamnya termuat pengandaian bahwa Kata-kata (bahasa) dan perilaku setiap orang tidak saja menunjukkan kualitas karakter manusia, melainkan juga bahwa kata-kata dan tindakan adalah modal utama setiap aktivitas politik. Kata-kata dan tindakan merupakan dasar yang menggerakkan dan melegitimasi seluruh aktivitas politik. Pada titik ini, diskursus politik Schmitt seperti mau mencoba untuk menjangkau kebijaksanaan-kebijaksanaan politik praktis di Zaman Klasik-Antik, untuk kemudian diinjeksikan kembali ke dalam diskursus politik modern yang telah terabstraksi sedemikian rupa menjadi praktik politik yang walupun konstitutif dan demokratis, namun telah menjadi terlalu netral, steril, njlimet, dan sistematis. Sejalan dengan fenomenologi, masa lalu adalah bagian dari historisitas dan temporalitas manusia yang telah ter-sedimentasikan (sedimented). Sesuatu hanya dapat mengendap ter-sedimentasi jika sesuatu itu juga mampu untuk dihidupkan kembali (revived). Apa yang telah mengendap terlupakan itu seringkali juga merupakan sesuatu yang ternyata mendasar dan hakiki. Hanya dengan kembali mengingat dan merefleksikan endapan masa lalu itulah masa depan membuka dirinya sebagai horizon kemungkinan yang tidak terbatas dan melampaui segala sistem. Pada titik ini, dapatlah dikatakan bahwa filsafat politik Schmitt adalah filsafat politik dalam wajahnya yang paling fundamental-radikal. Disebut radikal dan fundamental sebab filsafat politik Schmitt mempertanyakan pengandaian paling dasar dari setiap politik, dan kemudian menabrakkannya ke batasnya yang terjauh. Radikalitas filsafat politik Schmitt adalah radikalitas yang bersumber pada radikalitas fenomenologi. Persis dalam upayanya untuk menafsirkan, menghidupkan, dan menjalankan fenomenologi di wilayah filsafat politik inilah terletak kekuatan sekaligus kelemahan dari pemikiran Carl Schmitt.***

[1] Dari publikasi yang termasuk masih jarang ini, terdapat beberapa ulasan tentang pemikiran Carl Schmitt yang tidak saja mendalam dan non-partisan, tetapi juga kritis. Dua di antaranya yang menurut saya paling bagus dan menjadi sumber penulisan makalah ini adalah: 1) John P. McCormack, Carl Schmitt Critique of Liberalism – Against Politics as Technology (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 2) Michael Marder, Groundless Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt (London: Continuum, 2010).
[2] Lanei Rodemeyer, “Developments in the Theory of Time-Consciousness,” in Donn Welton (ed.), the New Husserl (Bloomington: Indiana University Press. 2003), pp. 126-127.
[3] Edmund Husserl, Logical Investigations. Volume I, translated with an Introduction by J. N. Findlay (London and Henley: Routledge & Kegan Paul. 1970/1976), p. 245.
[4] Carl Schmitt, Political Theology, pp. 12-13.
[5] Carl Schmitt, Political Theology, pp. 10, 14.
[6] Carl Schmitt, Political Theology, p. 10.
[7] Carl Schmitt membicarakan tentang perbedaan mendasar antara “legalitas” dan “legitimasi” di dalam buku yang ditulisnya pada 1932, yaitu Legalität und Legitimität. Jika legalitas berkenaan dengan hukum dalam dirinya sendiri termasuk segala perkara teknis-juridis yang terdapat di dalamnya, maka legitimasi berkenaan dengan syarat kemungkinan paling mendasar yang harus diandaikan oleh hukum agar dapat disebut sebagai hukum. Dari pembedaan ini, maka bagi Schmitt persoalan legitimasi jauh lebih mendasar dari persoalan prosedur legal. Dalam persoalan legitimasi inilah Kedaulatan diandaikan. Saya sendiri sampai pada kesimpulan tersebut dengan bertolak dari: John P. McCormick, Carl Schmitt’s Critique of Liberalism, Against Politics as Technology, pp. 206-248.
[8] Carl Schmitt, Political Theology, p. 5. Lihat Juga: John P. McCormick, Carl Schmitt’s Critique of Liberalism, Against Politics as Technology, p. 121.
[9] Carl Schmitt, Political Theology, p. 46.
[10] Carl Schmitt, Political Theology, p. 48.
[11] Carl Schmitt, Political Theology, pp. 42, 46, 49, 51.
[12] Carl Schmitt, Political Theology, pp. 46, 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar