Kamis, 04 Oktober 2012

GERAKAN FENOMENOLOGI

Sebagai gerakan, fenomenologi ini merupakan salah satu dari dua gerakan yang memiliki tipe sama yang berasal dari ajaran Franz Brentano (1838-1917). Gerakan yang lain dikemukakan oleh Alexius Meinong (1853-1921), serta pengikut pemikir-pemikir ini mengembangkan suatu teori objektif yang dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan fenomenologi, yaitu berusaha untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang hal-hal yang dialaminya di dunia ini sebagaimana adanya dalam realitas. Fenomenologi ini juga merupakan suatu mazhab (sekolah) filsafat, yang para anggotanya pertama kali ditemukan di beberapa universitas Jerman pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia I, khususnya di Gottingen dan Munchen. Antara tahun 1913 dan 1930 kelompok ini menerbitkan serial majalah tahunan fenomenologi yang bernama Jahrbuch fur Philosophie und phenomenologische Forschung dengan editor utamanya adalah Husserl, yang merupakan pemikir yang sangat orisinal dan berpengaruh dalam kelompok tersebut. Sedangkan anggota lain yang terkenal dalam gerakan fenomenologi ini adalah: Moritz Geiger, Alexander Pfander, Max Scheler, dan Oscar Becker.
Husserl memang memaksudkan fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat yang akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia; namun ia sendiri memusatkan perhatian dan tenaganya pada pemberian dasar terhadap fenomenologi itu sebagai disiplin baru. Menurut Husserl, fenomenologi diperuntukkan membuka suatu jalan baru dalam filsafat; suatu transformasi mendasar filsafat, yaitu kembali pada sumber asli dari intuisi. Dengan proses klarifikasi, fenomenologi akan membuka suatu wilayah yang luas dari penelitian ilmiah yang saksama, yang membuktikan kegunaannya tidak hanya sebagai filsafat, tetapi juga sebagai ilmu pengetahuan lainnya, yaitu memberikan penjelasan tentang landasan ilmu pengetahuan.
Dalam pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjuk pada suatu teori spekulatif tentang penampilan pengalaman; dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “phenomenon-noumenon”, suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon). Sedangkan fenomenologi Husserl merupakan usaha spekulatif untuk menemukan hakikat, yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak.
Ada dua ciri pokok fenomenologi yang perlu digarisbawahi. Pertama, merupakan suatu metode yang menggambarkan fenomena, sebagai sesuatu yang diberikan secara langsung dari realitas. Dalam hal ini fenomenologi menolak ilmu pengetahuan alam dan menempatkan diri berlawanan dengan empirisme dan sekaligus idealisme. Dari satu pihak, fenomenologi bertentangan dengan empirisme dan memperoleh gambaran khusus maupun gambaran umum tentang gejala-gejala yang dialami manusia, melainkan berusaha mencari esensi dari setiap hal yang dialami manusia secara langsung, dan di lain pihak, berlawanan dengan idealisme karena fenomenologi tidak hanya mendasarkan pemahaman pada rumusan-rumusan serta ide-ide belaka yang ada dalam pemikiran manusia, melainkan juga bertumpu pada pengalaman langsung terhadap realitas atau kenyataan kehidupan yang dihadapinya. Kedua, objeknya adalah hakikat atau esensi, yaitu isi ideal yang dapat dipahami dari fenomena, yang dapat ditangkap secara langsung dalam suatu tindakan penglihatan, dalam intuisi akan hakikat atau esensi. Hal ini berlawanan dengan pandangan abad ke-19 yang tidak dapat mengetahui keberadaan esensi pada dirinya sendiri serta tidak ada kemungkinan untuk mengetahuinya.
Husserl bercita-cita memberi dasar filosofis pada suatu ilmu yang rigorus (memiliki aturan disiplin yang ketat), yang diberi nama “fenomenologi”. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang tampak. Jadi, seperti sudah tersirat dalam namanya, fenomenologi mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena. Husserl memaksudkan “fenomena” sebagai sesuatu yang memiliki pengertian baru, yang tidak boleh dimengerti sebagai yang biasa digunakan Kant. Bagi Husserl, fenomen ialah realitas sendiri yang tampak. Bagi dia, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari realitas, realitas itu sendiri tampak bagi kita.
Tujuan Husserl dengan fenomenologinya ini adalah menetapkan dasar terdalam, yang terbebas dari segala prasangka, sebagai landasan atau dasar untuk membangun seluruh ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Sumber resmi yang mendalam dari seluruh pernyataan rasional adalah melihat, atau kalau untuk dirinya, adalah “kesadaran pertama yang menghadirkan hal yang tersedia secara langsung”. Mencari “barang pada dirinya sendiri” merupakan suatu perintah; merupakan hukum pertama dan mendasar dalam metode fenomenologi. “Barang-barang” secara sederhana diartikan sebagai apa yang diberikan, yatiu sebagai yang kita “lihat” dalam kesadaran, dan “hal yang diberikan” ini disebut “fenomena” dalam arti yang tampak bagi kesadaran kita. Dan kata itu tidak menunjukkan bahwa ada hal yang tidak diketahui di belakang fenomena; hal yang tidak diketahui semacam itu tidak menjadi persoalan bagi fenomenologi.
Husserl menekankan bahwa sifat utama fenomenologi adalah perbedaannya dari “sikap ilmiah” (naturliche Einstellung). Objek permasalah fenomenologi bukan fenomena sebagaimana dipahami dalam berbagai macam ilmu pengetahuan alam, yaitu gambaran gejala-gejala yang kita amati dan kita tangkap dengan indra dari pengalaman hidup kita. Fenomenologi ini merupakan pengetahuan baru, yaitu suatu “pengetahuan akan esensi”. Prosedur dasar pengetahuan baru ini adalah “reduksi fenomenologis”. Fenomenologi bukanlah suatu pengetahuan tentang fakta, melainkan pengetahuan tentang esensi. Fenomenologi merupakan ilmu deskriptif murni tentang fenomena yang dapat diamati, namun tidak mencakup ilmu yang empiris. Sejak awal gerakan fenomenologi, ada kesepakatan umum bahwa fenomenologi tidak menggambarkan materi fakta yang dapat diamati secara empiris, melainkan mencari esensi dari realitas kehidupan ini.
Untuk membericarakan realitas, sangat penting mengoreksi kesalahan-kesalahan kaum positivis. Kenyataannya kaum positivis menyamakan antara penglihatan dengan persepsi indrawi atau persepsi pengalaman penglihatan dan tidak menyadari bahwa setiap objek individual yang indrawi memiliki suatu esensi. Meskipun setiap individu merupakan suatu realitas yang kontingen (yang dapat berubah), namun yang kontingen ini memiliki suatu esensi (inti yang tetap). Dengan demikian, terdapat dua macam ilmu pengetahuan, yaitu ilmu faktual, yang menangani pengalaman indrawi (yang berubah-ubah), dan ilmu pengetahuan esensialis atau eidetis memiliki sasaran pada intuisi esensi penglihatan pada idea (yang bersifat tetap). Ilmu matematika secara khusus merupakan ilmu pengetahuan eidetis, dan demikian pula filsafat fenomenologi memiliki kelas yang sama, sebagai objeknya adalah struktur esensial (struktur inti yang tetap) dan bukan fakta yang kontingen (yang berubah-ubah).
Dalam hidup sehari-hari kita selalu cenderung untuk mengandaikan bahwa dunia sungguh-sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Dengan diam-diam kita percaya pada adanya dunia sebagama demikian. Sikap ini oleh Husserl disebut “sikap natural”. Untuk memulai fenomenologi, menurut Husserl kita harus mengubah sikap ini. Kita harus menghentikan –atau mempertangguhkan atau menunda sementara– kepercayaan kita pada dunia riil semacam ini. Kita harus menaruh dan menyisihkan adanya dunia riil di antara tanda kurung serta tidak memberikan perhatian pada kepercayaan tersebut. Hal ini merupakan suatu reduksi atau pemotongan; ada tidaknya dunia riil semacam itu tidak relevan, tidak memiliki peranan lagi.
Dalam rangka mewujudkan fenomenologi sebagai lmu rigorus, yang mampu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan pasti dan absolut tentang realitas, maka fenomenologi harus mulai dengan mempraktekkan reduksi transendental (mengabaikan hal-hal yang tidak relevan dengan realitas kesadaran ktia yang sebenarnya). Reduksi ini menyingkapkan kesadaran yang menurut kodratnya terarah pada dunia sebagai intensional. Kita tidak berbicara lagi tentang dunia dengan cara naif, seakan-akan dunia sama sekali tidak berkaitan dengan kesadaran. Dalam sikap fenomenologis kita menemui dunia sebagai yang berhubungan dengan kesadaran, dunia tampak dalam kesadaran sebagai fenomena. Dalam fenomenologis kita tidak bertolak-belakang dengan dunia; sebaliknya, realitas material ditemui dalam suatu perspektif baru, yaitu sebagai yang berkorelasi dengan kesadaran.
Metode fenomenologi dari satu pihak bukan deduktif, karena tidak hanya sekadar meberikan penjelasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang sudah ada; dan di lain pihak, fenomenologi juga tidak bersifat empiris, karena tidak sekadar memberikan penjelasan secara khusus maupun umum tentang fakta-fakta dengan berdasarkan pada pengalaman atau pengamatan indrawi. Metode fenomenologi dilakukan dengan langsung mengarahkan pandangan secara perhatian pada apa yang hadir dalam kesadaran, yaitu sebagai objeknya. Akibatnya seluruh arahannya ditujukan pada objek; ditujukan pada apa yang diketahui, diragukan, dicintai, dibenci, dan lain sebagainya.
Objek yang sebenarnya dari fenomenologi bukanlah pengetahuan empiris indrawi, melainkan eidea atau eidos, meskipun hal ini harus diperoleh dengan apa yang disebut Husserl Epoche, yaitu suatu penundaan keputusan. Ini berarti fenomenologi memasukkan dalam tanda kurung unsur-unsur tertentu dari hal yang diberikan, dan untuk sementara waktu tidak lagi memperhatikannya. Proses reduksi (pemotongan) ini dapat dipisahkan menjadi beberapa tipe. Pertama, reduksi historis, yaitu proses menyisihkan segala ajaran filsafat, sebab fenomenologi tidak berminat pada pandangan orang lain, tetapi langsung menangkap barangnya sendiri (die Sachenselbst). Selanjutnya diikuti reduksi eidetis, yaitu menyisihkan dan memasukkan dalam tanda kurung eksistensi individual dari objek, karena fenomenologi hanya mencari esensi. Penghapusan individualitas serta eksistensi ini mencakup penolakan terhadap seluruh ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan tentang roh, yang observasi faktualnya tidak lain merupakan generalisasi terhadap berbagai pengalaman empiris indrawi. Dan reduksi ini disertai reduksi transendental, yang tidak hanya memasukkan eksistensi individual objek ke dalam tanda kurung, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kesadaran murni subjek.
Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Atau menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional. Intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran; dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas (keterarahan), fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri pada kesadaran. Sedangkan konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran. Karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Dunia riil dikonstitusikan oleh kesadaran. Hal ini tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau meyebabkan adanya dunia beserta keanekaragaman yang berada di dalamnya, melainkan hanyalah bahwa kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan dunia dapat berlangsung. Tidak ada kebenaran pada dirinya sendiri lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonsitusikan oleh kesadaran. Konstitusi berlangsung dalam proses penampakan dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.
(Paulus Wahana, sebagaimana menulis dalam buku “Nilai Etika Aksiologis Max Scheler”, hal. 32-36)

http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=967

Tidak ada komentar:

Posting Komentar