Kamis, 04 Oktober 2012

FENOMENOLOGI SEBAGAI SUATU SIKAP HIDUP Selayang Pandang mengenai Fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger



Makalah Presentasi untuk Diskusi di Komunitas “Pergerakan Kebangsaan” 27 Nopember 2011

Oleh: Ito Prajna-Nugroho, S.S[i]

Pengantar: Problem Modernitas sebagai Titik Tolak
Dalam dunia kehidupan sehari-hari, kita larut dan hanyut dalam berbagai kesibukan dunia modern: mulai dari kerja rutin di kantor, memakai kompor dan listrik di rumah, memakai mobil dan motor, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, asyik berkutat dengan perangkat teknologi-komunikasi termutakhir, sampai ikut berpartisipasi dalam debat politik terkini tentang demokrasi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa saat ini modernitas dan teknologi telah menjadi totalitas horizon yang melingkupi seluruh hidup kita, dan darinya tidak dapat kita lepas. Tetapi di tengah-tengah semua hingar-bingar hidup modern itu kita perlu sedikit bertanya: Apakah semua hal yang sekarang kita geluti-hidupi sehari-hari itu muncul dan terjadi begitu saja? Apakah dunia modern itu begitu berkuasa sehingga kita tidak bisa lain kecuali tertawan-tersandera dalam horizonnya yang total? Ataukah sebenarnya modernitas itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari sebuah cara-pandang dunia tertentu, sebuah model tertentu tentang cara berada manusia, yang juga memiliki sebab-musabab serta asal-usulnya?
Jika kita melangkah sedikit lebih jauh ke dalam sejarah pemikiran manusia (sejarah filsafat) sejak Zaman Antik-Klasik sampai dengan Zaman Modern, dengan segera kita akan melihat bahwa apa yang terealisasikan dalam hidup praktis sehari-hari manusia ternyata pada mulanya berasal dari dunia ide-ide dan gagasan. Idea atau gagasan yang menjelma menjadi realitas inilah yang telah membentuk peradaban bangsa-bangsa dan menggerakkan jalannya sejarah umat manusia. Demikian juga munculnya revolusi industri, kemajuan teknologi, dan system demokrasi-liberal, semuanya tidak lepas dari cara-pandang dunia modern yang muncul di antara abad ke 16 sampai abad ke 18, lewat pemikiran para filsuf seperti Francis Bacon, Berkeley, René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Sebagai sebuah reaksi serta kritik-radikal terhadap cara-pandang dunia sebelumnya yang Teosentris (Abad Pertengahan), Zaman Modern menekankan pada kebebasan, otonomi, dan rasionalitas manusia yang khas sebagai individu. Penekanan pada kekhasan manusia sebagai makhluk individual yang rasional dan otonom, inilah yang disebut sebagai cara-pandang dunia modern yang Antroposentris. Segala problematika hidup sehari-hari yang kita geluti saat ini, mulai dari problem tatanan politik trias-politica sampai dengan telpon genggam yang kita pakai, memiliki asal-usulnya di dalam antroposentrisme Zaman Modern dan memperoleh nafasnya dari cita-cita kemajuan Modernisme.
Apa yang pada mulanya adalah gagasan tentang kemajuan manusia yang rasional, setelah menjelma menjadi realitas aktual yang massif-global, ternyata membawa begitu banyak dampak yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Apa yang pada mulanya merupakan kisah indah tentang rasionalitas, otonomi, dan kebebasan manusia, ternyata justru berakhir dengan tragedi tentang irrasionalitas, kedangkalan (banalitas) hidup, dan ketergantungan manusia pada teknologi. Inilah yang oleh seorang tokoh Aliran (Mazhab) Frankfurt di tahun 1960an, yaitu Max Horkheimer, disebut sebagai dilemma manusia rasional. Artinya, manusia yang rasional itu dengan semakin berambisi mewujudkan rasionalitasnya, alih-alih menjadi semakin rasional justru sebaliknya malah menjadi semakin tidak-rasional (irrasional). Modernitas ternyata tidak membuat manusia menjadi semakin bebas dan utuh, melainkan justru menjadikan manusia semakin terserak-serak, tanpa-makna, dan begitu tergantung dengan teknologi.
Jauh sebelum Mazhab Frankfurt lewat tokoh seperti Horkheimer, Adorno, dan Habermas, merumuskan problem dunia modern, di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900-1920) dua orang pemikir besar Jerman telah melihat potensi ‘bahaya’ yang terkandung dalam cara-pandang dunia modern. Kandungan bahaya yang melekat di dalam cara-pandang modern inilah yang membuat dua pemikir tersebut menggagas apa yang disebut sebagai Fenomenologi. Fenomenologi, bagi kedua pemikir ini merupakan sebuah terobosan (breakthough) untuk keluar dari keterbatasan jerat kungkungan cara-pandang modern yang bahkan di saat itu telah berpengaruh dengan begitu kuatnya dalam mentalitas manusia modern. Kedua pemikir besar sekaligus fenomenolog itu tidak lain adalah Edmund Husserl (1850-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Melalui Edmund Husserl dan kemudian diteruskan oleh Martin Heidegger, dapat dikatakan bahwa fenomenologi untuk pertama kalinya tampil sebagai kritik sistematis terhadap Modernisme dengan bertolak dari dalam asumsi-asumsi dasar modernisme itu sendiri. Lewat Husserl dan Heidegger fenomenologi berhasil menunjukkan jalan keluar serta membuka berbagai ruang kemungkinan untuk bergerak melampaui kungkungan dunia modern.
Persoalan Dasar (Grundprobleme) dalam Fenomenologi Husserl dan Heidegger
a. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Husserl
Pada 1900/01 di Jerman terbit suatu karya filsafat yang cukup tebal (2 jilid) yang menyuntikkan semacam nafas baru bagi dunia filsafat dan kebudayaan ketika itu. Karya itu adalah buku Edmund Husserl berjudul Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika). Sejak terbitnya karya itu, dunia filsafat tidak lagi dengan sebelumnya. Bahkan di Jepang, karya itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang di tahun 1920. Hampir seluruh pemikir besar di abad ke-20, khususnya para pemikir Jerman dan Prancis, dari yang berposisi politik kiri/Marxis (seperti Karl Löwith, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, dan Jean-Paul Sartre) ataupun berposisi politik kanan (seperti Carl Schmitt, Heidegger, dan Ernst Jünger), maupun para pemikir besar kontemporer lainnya (Max Scheler, Karl Jaspers, Hans Jonas, Jan Patôcka, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Merleau-Ponty, Jacques Derrida), semuanya pernah membaca, mengritik, dan mendalami fenomenologi Husserl.
Kekhasan fenomenologi Husserl terletak dari ketajamannya dalam memperlihatkan dua hal penting: 1) ketajaman Husserl dalam menunjukkan akar permasalahan yang terdapat dalam dunia modern dan ia menembak persis pada asal-muasal munculnya persoalan itu, yaitu: kesalahpahaman dalam memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar manusia; 2) ketajaman Husserl dalam memperlihatkan kemungkinan jalan keluar dari segala permasalahan modern tersebut, yaitu melalui apa yang disebutnya sebagai sikap fenomenologis di hadapan realitas.
Dalam buku Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika) dan Philsophie als strenge Wissenschaft (Filsafat sebagai ilmu yang ketat-rigorus), Husserl memperlihatkan apakah sebetulnya akar/pokok persoalan dari seluruh modernisme. Husserl melihat bahwa Filsafat Modern terjebak ke dalam pembedaan kategoris yang salah-kaprah antara Subjek dan Objek.
Di satu sisi, bagi Husserl Filsafat Modern mengalami gerak subjektivisasi yang kemudian kebablasan. Maksudnya, bagi Husserl Filsafat Modern merupakan sebuah penggelembungan subjektivitas manusia yang kemudian dikemas dengan konsep-konsep seperti ‘rasio’ dan ‘subjek’. Dalam pandangan Husserl, seluruh gerak pemikiran modern sejak Descartes sampai dengan Hegel dan juga John Stuart Mill tidak lain merupakan gerak psikologisasi (subjektivisasi) terhadap seluruh realitas, dan kemudian mendudukkan manusia sebagai Subjek Rasional di atas segala-galanya sebagai pusat seluruh realitas (pengetahuan). Pandangan Husserl ini menjadi dasar baginya untuk menyebut Filsafat Modern sebagai Psikologisme. Psikologisme menjadikan manusia yang sadar itu sebagai awal dari segala sesuatu, dan kemudian seluruh realitas itu pada akhirnya akan kembali kepada kesadaran manusia sendiri. Inilah semangat optimisme modern yang bermaksud menegakkan kedudukan manusia sebagai manusia, namun terjebak ke dalam pemutlakkan atas manusia dan rasionya.
Di sisi lain, Modernisme melepaskan alam dari daya magis-religius-spiritualnya, dan kemudian melihat alam semata-mata sebagai Objek yang dapat dikuasai serta ditundukkan oleh nalar (rasio) manusia. Pandangan Modern yang melihat alam semata-mata sebagai objek, dan objek itu bekerja/bergerak menurut hukum-hukum sebab-akibat yang dapat dikuasai rasio manusia, inilah yang disebut Husserl sebagai Naturalisme. Kecenderungan inilah yang disebut Husserl sebagai gerak objektivisasi (naturalisasi) yang kebablasan dalam Modernisme. Seluruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebenarnya digerakkan oleh prinsip objektivisasi yang sama. Setiap hal di seluruh ala mini, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling privat sampai yang paling publik, semuanya bekerja menurut prinsip sebab-akibat yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh nalar manusia, dan dipergunakan demi kepentingan-diri manusia itu sendiri. Pengandaian dasar inilah yang kemudian memunculkan percabangan dan spesialisasi ilmu-ilmu ke dalam berbagai ruang lingkupnya yang sangat spesifik, seperti: ekonomi makro, psikologi, keuangan (akuntansi), manajemen, teknik, dan sebagainya.
Bagi Husserl, tidak ada yang keliru dengan semua ilmu-ilmu tersebut, kecuali jika ilmu-ilmu itu memutlakkan cara kerjanya yang khusus (partikular) menjadi suatu metode yang dianggap berlaku umum (general) dan seolah-olah dapat dipakai kepada bidang lain di luar bidangnya sendiri. Menurut Husserl, pemutlakan modernism atas metodenya sendiri inilah yang disebut sebagai “kesalahpahaman kategoris” (Kategorienmissdeutung) dalam membedakan antara: 1) yang partikular dengan yang universal, 2) yang faktual dengan yang ideal, 3) pengada-pengada yang sifatnya berubah-ubah/tidak tetap dengan Ada yang sifatnya mendasar / fundamental.
Lewat cara baca Husserl atas seluruh gerak pemikiran modern, maka kita dapat melihat di mana persisnya letak persoalan dasar dalam Modernisme. Modernisme bertolak dari pembedaan tegas-keras antara Subjek dan Objek. Pembedaan tegas-keras ini dilakukan pada mulanya untuk memperlihatkan kekhasan dan prioritas atas dimensi Subjektif-individual-personal manusia. Namun, bertolak dari pembedaan ini, Modernisme justru terjebak dalam kecenderungan untuk memutlakkan salah satu kutub saja dari dua kutub Subjek-Objek itu. Entah kemudian terjadi pemutlakkan atas dimensi subjektif manusia (yang membawa pada Subjektivisme/Psikologisme), atau terjadi pemutlakkan atas dimensi objektif alam/dunia (yang membawa pada Materialisme/Naturalisme).
Kecenderungan absolutisasi dan relativisasi inilah yang oleh Husserl di dalam karyanya yang lain (karya akhirnya) yaitu buku Krisis der europäishen Wissenschaften und die phänomenologie Transendentale (1936) disebut sebagai Krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam ilmu-ilmu dan dunia modern tidak hanya untuk menentukan arah-tujuannya ke depan (telos-nya), tetapi juga krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam menetapkan dasar legitimasi yang mendasar (fundamental) bagi ilmu-ilmu dan seluruh dunia modern itu sendiri. Krisis orientasi inilah yang juga menyebabkan mengapa proyek modernitas seluruhnya berubah menjadi suatu bangunan realitas yang tanpa-dasar (Grundloss) dan tanpa-makna (Sinnloss). Bagi Husserl, ke-tanpadasar-an (Grundlossigkeit) dan ketidakbermaknaan (Sinnlossigkeit) modernitas inilah yang juga telah merasuk meresap ke dalam diri serta mentalitas manusia modern sedemikian rupa sehingga bahkan banyak dari manusia modern yang bahkan tercerabut terasing dari dirinya sendiri.
Mengikuti pandangan Husserl, kita dapat mengatakan bahwa krisis orientasi inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu melihat adanya fenomena ‘kebablasan’ dalam seluruh proyek modernitas, entah itu dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi (lewat teknologisasi ke dalam semua bidang kehidupan), ekonomi (dengan globalisasi dan liberalisasi tanpa batas), ataupun dalam hal politik (lewat demokratisasi yang tanpa reserve) dan kebudayaan (lewat masifikasi budaya yang menghilangkan keberakaran masing-masing kebudayaan).
b. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Heidegger
Ketajaman dan keampuhan fenomenologi Husserl dalam menunjuk dan memperlihatkan dasar persoalan modernitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik terkuat fenomenologi bagi para pemikir, ahli politik, kaum religius, maupun para budayawan di seluruh kawasan Eropa, Amerika, dan Asia. Di masa awal kemunculannya, pemikiran fenomenologis Husserl ini ternyata telah menarik minat seorang pemuda-pemikir yang ketika itu, pada 1911, masih terdaftar sebagai mahasiswa filsafat di Universitas Freiburg. Pemuda-mahasiswa itu kurang dari limabelas tahun kemudian akan menegaskan diri sebagai salah satu pemikir-filsuf paling mendalam, paling sering dibahas, sekaligus juga paling kontroversial dalam Sejarah Filsafat. Pemuda itu tidak lain adalah Martin Heidegger.
Keterpesonaan Heidegger pada fenomenologi Husserl menyebabkan karya Husserl “Penyelidikan-penyelidikan Logika” (Logische Untersuchungen) yang dipinjam dari perpustakaan Universitas Freiburg selama dua tahun lebih tersimpan erat di meja studi Heidegger, dan menjadi monopoli, hanya dibaca, oleh Heidegger sendiri. Bagi Heidegger, karya Husserl ini telah berhasil meretas kebuntuan metodologis dalam cara pandang dunia modern yang terlalu subjektif-rasionalistik.
Kita telah melihat bahwa bagi Husserl, seluruh dasar persoalan Modernisme terletak pada kesalahpahaman/kekeliruan dalam melihat hubungan antara manusia (sebagai Subjek) dengan dunia (sebagai Objek). Kesalahpahaman ini bertolak dari salah-kaprah mendasar dalam memahami sifat dasar manusia dan juga sifat dasar manusia. Singkatnya, bagi Husserl problem dunia modern terletak pada persoalan seputar cara bagaimana manusia dan dunia itu dilihat serta dipahami. Persoalan tentang cara bagaimana sesuatu itu dipahami, dalam bidang filsafat, termasuk ke dalam problem epistemologi (pembahasan sistematis tentang struktur dan hakikat pengetahuan). Epistemologi berkaitan erat dengan metodologi, sebab dalam epistemologi kebenaran dari pengetahuan berkaitan erat dengan cara bagaimana kita memahami realitas. Oleh sebab itu, dengan menekankan pada cara bagaimana sifat dasar manusia dan dunia dapat dipahami, Husserl mengarahkan fenomenologi kepada bidang epistemologi.
Martin Heidegger, dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar Husserl, akan meradikalkan persoalan fenomenologi kepada problem ontologi. Ontologi berkenaan dengan persoalan seputar dasar paling mendasar dan menyeluruh dari segala yang ada (dalam bahasa Yunani, to on berarti ‘yang ada’). Maka ontologi berkaitan erat dengan persoalan seputar struktur paling mendasar (fundamental) dari realitas sebagai suatu totalitas/keseluruhan dari segala yang ada. Martin Heidegger akan melihat bahwa bukan hanya Modernisme (sebagaimana dipahami Husserl) yang sebenarnya bermasalah, melainkan lebih dari itu seluruh sejarah filsafat sendiri sejak Sokrates dan Platon sampai dengan Hegel memuat kesalahpahaman mendasar tentang kesejatian dari realitas. Kesalahpahaman mendasar sepanjang sejarah filsafat dalam melihat kesejatian dari realitas inilah yang kemudian menyebabkan manusia modern tidak lagi dapat melihat realitas yang sesungguhnya. Modernisme, bagi Heidegger menyamaratakan begitu saja secara banal (dangkal) antara: 1) realitas sebagaimana yang dipikirkan dengan realitas sebagaimana adanya, 2) Apa yang bersifat boleh-jadi/berubah-ubah/kontingen (dalam bahasa Heidegger disebut “pengada”/ seienden / beings) dengan apa yang paling mendasar atau fundamental (dalam bahasa Heidegger disebut sebagai Ada / Sein / Being).
Perbedaan derajat kualitas yang terdapat di dalam struktur dasar keseluruhan realitas antara apa yang paling mendasar dan apa yang sekadar merupakan konstruksi sementara pemahaman manusia, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz). Bagi Heidegger, seluruh pemahaman dan pengetahuan kita tentang dunia mengandaikan bahwa realitas itu sendiri memiliki suatu Dasar (Grund) yang fundamental dan menyeluruh, yang melaluinya pemahaman kita terbentuk. Dasar paling menyeluruh dan paling mendasar dari realitas sebagai suatu keseluruhan inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ada atau Being/Sein. Bagi Heidegger, manusia selalu hanya menangkap atau mengetahui satu aspek saja dari keseluruhan realitas itu, dan tidak pernah bisa mengetahui seluruhnya secara total. Satu aspek tertentu/terbatas yang selalu kita tangkap dalam persepsi dan pengetahuan kita itulah yang disebut sebagai pengada-pengada atau beings / seienden. Maka bagi Heidegger, realitas dalam dirinya sendiri selalu memuat Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz) antara Ada (Being/Sein) dengan pengada-pengada (beings/seienden). Inilah sifat dasar realitas/dunia yang selalu kita hidupi dan geluti.
Persoalannya bagi Heidegger, filsafat dan juga ilmu-ilmu pengetahuan, selalu mengandaikan bahwa pikiran kita, nalar kita, kehendak kita, kesadaran kita, semuanya seolah-olah bersifat menyeluruh dan cukup-diri (self-sufficient). Maka manusia (khususnya manusia modern) selalu mengandaikan bahwa pikiran dan kesadaran kita bisa menguasai atau mencaplok seluruh realitas dengan sepenuh-penuhnya. Padahal, pikiran dan nalar manusia sendiri hanya merupakan satu bagian kecil dari keseluruhan realitas yang tidak terbatas itu. Persis di sinilah Heidegger akan menghantam telak Modernisme dan seluruh sejarah pemikiran-peradaban Barat.
Heidegger melihat bahwa pemikiran-peradaban Barat sejak Zaman Antik-Klasik memiliki kecenderungan untuk menjadikan nalar (rasio) yang sifatnya terbatas dan subjektif itu sebagai titik pusat (titik Archimedes) dalam memahami seluruh realitas. Dengan menganggap nalar atau ratio sebagai sesuatu yang cukup-diri dan sempurna, manusia telah memutlakkan apa yang terbatas dan sementara menjadi sesuatu yang tidak-terbatas dan abadi. Maka kecenderungan di Zaman Modern untuk menjatuhkan seluruh realitas semata-mata ke dalam kesadaran subjektif manusia sebenarnya tidaklah mengherankan. Sebab, sejak awal peradaban-pemikiran Barat manusia telah selalu cenderung menyempitkan seluruh realitas semata-mata ke dalam kesadarannya sendiri saja. Akibatnya, manusia modern tidak lagi dapat membedakan antara: 1) cara-pandang dunia yang terbatas-tertentu dengan dunia itu sendiri yang tidak terbatas, 2) metode dalam memahami realitas dengan realitas yang sesungguhnya itu sendiri, 3) pikiran/anggapan kita tentang apa yang ada dengan apa yang ada itu sendiri, 4) pengada-pengada yang bersifat mentak dengan Ada itu sendiri yang bersifat mendasar.
Ketidakmampuan untuk membedakan antara pengada-pengada dengan Ada itu sendiri, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai pelupaan akan Ada (Seinsvergesenheit). Maka, mengikuti cara pandang Heidegger, manusia modern termasuk juga diri kita yang hanyut dalam kesementaraan gemerlap dunia modern, sebenarnya telah selalu melupakan perbedaan antara apa yang hanya sekadar sementara sia-sia dengan apa yang sejati dan sesungguhnya ada. Singkatnya, manusia selalu mengabadikan apa yang sifatnya sementara dan sia-sia, tetapi justru melupakan apa yang sesungguhnya-sejatinya mendasar dan abadi. Bagi Heidegger, di atas pelupaan inilah kita manusia dengan bangga dan yakin membangun kemanusiaan kita.
Melalui kekuatan kritik dan hantamannya terhadap Modernisme dan seluruh Filsafat Barat, juga melalui penekanannya pada dimensi ‘perbedaan’ (Difference) dalam konsep Perbedaan Ontologis (Ontological Difference), Heidegger telah memberikan roh baru serta membukakan jalan bagi munculnya gerakan pemikiran baru yang saat ini sedang hangat-hangatnya dan disebut sebagai Posmodernisme (postmodernism).
Fenomenologi sebagai suatu Cara Melihat dan Sikap Hidup
Setelah cukup panjang melihat persoalan dasar yang dihadapi oleh (dan menjadi titik tolak) fenomenologi Husserl dan Heidegger, kita dapat bertanya lalu apakah fenomenologi itu sendiri?
Di bagian ‘Pengantar’ karyanya Logische Untersuchungen, Husserl sendiri menyebut fenomenologi sebagai suatu kajian deskriptif atas apa yang tampak dan memberikan dirinya (Erscheinungen und die Selbst-gegebenheit) sebagai sesuatu itu sendiri, dengan maksud untuk menyingkapkan struktur-strukturnya yang paling mendasar. Dengan memberikan penekanan pada konsep ‘deskriptif’, ‘yang tampak’, dan ‘memberikan-dirinya’, fenomenologi seperti kata Husserl sendiri menekankan pada dimensi yang paling mendalam dari melihat (Schau).
‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl maupun Heidegger memiliki artinya yang mendalam. ‘Melihat’ bagi Husserl pertama-tama (1) memiliki arti pasif, artinya dengan ‘melihat’ seseorang menunda atau menangguhkan segala pra-sangka, pra-anggapan, pra-konsepsi, dan muatan nilai-nilai yang telah tersimpan di dalam benak serta kesadarannya. Sebab, dengan menunda-menangguhkan segala pra-konsepsi kita tentang sesuatu berarti kita membiarkan sesuatu (realitas) itu sendiri memberikan-diri/menyingkapkan-dirinya bagi kita. Dalam istilah Husserl, sikap pasif seperti ini disebut juga sebagai Epoche atau dalam istilah Jermannya disebut Einklammerung (menempatkan sesuatu di dalam kurung). Sikap ini penting sebab memuat asumsi dasar bahwa kesadaran kita telah selalu terarah (dengan sendirinya) kepada sesuatu (consciousness of something). Inilah yang disebut Husserl sebagai Intensionalitas kesadaran atau sifat dasar kesadaran manusia yang telah selalu terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya.
Maka, bagi Husserl, kesadaran kita sebenarnya selalu terbatas (bersifat perspektif / perspectival), sebab realitas selalu hadir bagiku hanya dalam sisinya/dimensinya yang tertentu saja. Realitas atau sesuatu itu selalu lebih luas dan lebih tidak terbatas dari kesadaranku sendiri. Kesadaran manusia merupakan kesadaran akan sesuatu yang selalu lebih dari sesuatu itu sendiri (consciousness of something mora / plus ultra). Tetapi kesadaran kita juga cenderung mau memutlakkan sesuatu/realitas itu semata-mata pada apa yang dapat diketahui oleh nalar saja. Oleh sebab itulah, bagi Husserl, perlu suatu sikap pasif (Epoche) yang menangguhkan terlebih dulu kesadaran nalar kita di hadapan sebuah fakta, sesuatu, atau realitas itu sendiri. Maka ‘melihat’ dalam pengertian Husserl pertama-tama mengandaikan pasivitas kesadaran.
Tetapi ‘melihat’ juga tidak semata-mata pasif, sebab kesadaran yang terarah pada sesuatu itu juga mengandaikan bahwa kesadaran dapat menyingkapkan (Erschlossen) struktur-struktur realitas yang paling mendasar. Kesadaran yang menyingkapkan struktur dasar dari sesuatu dan masuk ke dalam lapisan realitas yang paling mendalam, inilah yang disebut sikap aktif kesadaran atau aktivitas kesadaran. Dalam aktivitasnya ini, penglihatan kita menerobos masuk ke dalam lapisan paling dasar dari sesuatu (Wesen), lapisan paling dasar dari sesuatu yang hanya karenanya sesuatu itu disebut sebagai sesuatu. Cara ‘melihat’ seperti inilah yang disebut sebagai penglihatan yang bersifat langsung-mendasar-intuitif (Wesen-anschauung).
Maka dalam fenomenologi Husserl, ‘melihat’ selalu secara bersamaan mengandaikan artinya yang pasif maupun aktif. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berkaitan erat dengan sifat intensional kesadaran manusia yang selalu sudah terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berarti membiarkan (lassen) sesuatu memberikan-dirinya melalui caranya yang tertentu (manner of givenness). Sebab, dunia-kehidupan (Life-world / Lebenswelt) selalu dialami dan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap orang sesuai dengan situasi, posisi, cara-berada, pola pikir, dan horizon waktu (temporalitas) dari setiap orang yang juga berbeda-beda. Situasi, posisi, cara berada, pola pikir, dan horizon waktu yang berbeda-beda inilah yang membedakan cara bagaimana realitas itu hadir memberikan-diri (self-given / Selbst-gegeben) bagi setiap orang.
Dalam istilah Husserl sendiri, dunia-kehidupan (Lebenswelt) itu kita alami begitu saja mendahului segala konsepsi, rasionalisasi, refleksi kita atasnya. Ini membuktikan satu hal penting, yaitu: manusia telah selalu terlibat atau melibati-diri di dalam dunianya yang tertentu, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar. Maka nalar atau kesadaran manusia tidak pernah sungguh-sungguh mutlak dan dapat berkuasa atas segalanya. Kesadaran atau kehidupan manusia telah selalu mengandaikan saling-keterkaitan antara berbagai hal yang membentuk horizon pemahaman manusia (Zusammenhang der Verhaltnis). Horizon yang tidak terbatas yang selalu berada di belakang setiap penglihatan/pemahaman manusia inilah yang oleh Husserl disebut sebagai Pra-refleksivitas.
Maka, bagi Husserl, dengan memperlihatkan dimensi pra-reflektif hidup manusia ini, ia mau memperlihatkan bahwa kekhasan manusia terletak bukan pada kemampuan (daya) nalar-rasionalnya belaka, melainkan juga pada kemampuan (daya) manusia untuk menegaskan-diri dan memaknai hidupnya di hadapan hamparan realitas yang tidak terbatas itu. Saat atau momen di mana manusia menegaskan-diri itulah yang disebut dengan Refleksi. Dalam refleksi manusia memaknai rentang hidup dan rentang waktunya yang tertentu, meskipun ia sadar bahwa momen penegasan-diri dan momen pemaknaan-diri itu bersifat sementara saja. Ia sadar bahwa di hadapan arus waktu dan gempuran realitas yang menerpa kesadarannya itu (Erlebnisstrom) ia tidak lebih dari sebuah titik yang terbatas di tengah-tengah samudra waktu yang tidak terbatas. Dalam fenomenologi, refleksi selalu telah mengandaikan pra-refleksivitas. Demikian juga pra-refleksivitas selalu telah mengandaikan kemampuan refleksi yang tertentu.
Dengan demikian, dalam fenomenologi Husserl, persoalannya tidak terletak pada bagaimana manusia dapat mengetahui dan mencari sebab-akibat dari realitas. Fenomenologi Husserl lebih menekankan pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya dengan bersikap ‘tepat’ di hadapan realitas. Dengan memaknai manusia memberikan dasar bagi seluruh cara beradanya, sesuai dengan cara bagaimana realitas dan kehidupan itu sendiri memberikan diri bagi si manusia yang bersangkutan. Maka manusia dalam fenomenologi Husserl adalah: 1) manusia yang menyadari bahwa ia sendiri bersifat terbatas namun terarah pada suatu cakrawala ketidakterbatasan, 2) manusia yang menyadari bahwa ia selalu mengalir di dalam arus waktu dan peristiwa (Erlebnisstrom) namun juga telah selalu dituntut untuk memutuskan dan menegaskan-diri, 3) manusia yang menyadari bahwa penegasan-diri/keputusan dan pemaknaan merupakan titik pusat yang menentukan kualitas dirinya sebagai manusia.
Pengandaian yang kurang lebih sama juga sebenarnya termuat di dalam fenomenologi Heidegger. ‘Melihat’ dalam pengertian Heidegger berarti juga membiarkan Ada (realitas) itu sendiri menyingkapkan-dirinya. Hanya apa yang pada Husserl semata-mata dipahami sebagai momen pemaknaan, pada Heidegger lebih diartikan dengan lebih eksplisit sebagai penafsiran (Auslegung). Bagi Heidegger, manusia di hadapan dunia telah selalu menafsirkan dunianya sebagai sesuatu, dan inilah cara berada manusia yang paling mendasar. Dengan menfsirkan ia menegaskan diri, dunia, dan cara beradanya yang tertentu. Sebab, manusia telah selalu berada-di-dalam-dunia (Being-in-the world / In-der-Welt-sein) yang tertentu, dan hanya manusia juga yang dapat menamai/memaknai/menafsirkan dunia sebagai ‘dunia’.
Bagi Heidegger,manusia adalah sesuatu yang tergeletak-di-sana (Da-sein). Manusia selalu sudah menemukan dirinya menjadi satu dengan dunia, dan terlibat di dalam dunia yang hadir bagi dirinya untuk dimanfaatkan/dilibati (Zuhandenes). Inilah yang olehnya disebut sebagai Faktisitas manusia. Faktisitas manusia menunjukkan dua hal penting: 1) manusia telah selalu mengandaikan keberakarakan (Bodenstandigkeit) pada darah (Blut) dan tanah (Böden) yang tertentu, 2) manusia telah selalu terarah kepada masa depan yang paling niscaya bagi dirinya, yaitu kematiannya (Sein zum Tode).
Dua dimensi penting inilah yang telah selalu dilupakan oleh modernitas dengan segala kebaruan, gemerlap, dan kecanggihan yang ditawarkannya. Bagi Heidegger, dua dimensi mendasar manusia ini sangatlah penting, sebab memperlihatkan fakta bahwa manusia selalu bertolak dari suatu ketersituasian/keterbatasan yang tertentu (Befindlichkeit), dan terarah kepada cakrawala kemungkinan di depannya yang tidak terbatas (Möglichkeit).
Bagi Heidegger, modernitas lewat teknologinya telah membuat manusia terlupa akan keterbatasan sekaligus ketidakterbatasannya ini. Modernitas membatasi cara pandang manusia sedemikian rupa, sehingga ia tidak lagi menyadari keberakarannya dan keterarahannya pada ketidakterbatasan makna. Manusia modern, bagi Heidegger, adalah manusia yang tercerabut dari akarnya, sekaligus juga buta akan arah langkahnya ke depan.
Penutup
Dari sedikit uraian terbatas tentang Husserl dan Heidegger di atas, maka kita dapat melihat bahwa fenomenologi menekankan pentingnya relasi di antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, relasi di antara keterserakan-diri dan penegasan-diri, relasi di antara pra-refleksivitas dan refleksivitas, relasi di antara keterbukaan dan keberakaran, relasi di antara pergulatan-diri dan pemaknaan-diri. Singkatnya, bagi fenomenologi, apa yang penting tidaklah terletak entah pada diri manusia itu sendiri, ataupun pada dunia itu sendiri. Bagi fenomenologi yang lebih penting adalah relasi kemungkinan dan pemaknaan di antara manusia dengan dunia.
Dengan menekankan pada dimensi relasional tersebut, fenomenologi lebih menekankan sikap (attitude/Einstellung) dan bentuk penghayatan/pemaknaan kita di hadapan realitas. Sebab, sikap atau kemampuan pemaknaan yang tertentu di hadapan realitas itulah yang menentukan kualitas diri kita masing-masing sebagai manusia.
Sebagai catatan akhir, perlu disebutkan bahwa dengan menekankan pada sikap dan pola penghayatan di depan realitas, fenomenologi dapat dikatakan telah mengarahkan kembali problem filsafat dari sekadar persoalan mengenai metode pengetahuan yang bersifat khusus, teknis, dan spesialistik (seperti terjadi dalam Filsafat Modern/Modernisme) kepada persoalan mengenai cara berada dan sikap hidup (way-of-Life) seperti yang dipahami dalam Filsafat Antik-Klasik mulai dari Phytagoras, Platon, Aristoteles, hingga ke Stoisisme. ***

[i] Ito adalah Sarjana Filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia menulis skripsi mengenai persoalan-persoalan pokok fenomenologi Husserl di tahap awalnya dengan judul Logika dalam Fenomenologi Husserl (2009), di bawah bimbingan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. Ia mempertahankan skripsi tersebut dengan hasil ‘Sempurna’ di hadapan pembimbingnya dan Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Ia telah mempublikasikan berbagai hasil penelitiannya antara lain di Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah Kebudayaan BASIS. Tulisan terakhirnya dimuat dalam buku kumpulan tulisan mengenai filsuf Prancis Jean-Paul Sartre, dengan judul “Diri dan Ketiadaan dalam Filsafat Sartre” (Lihat A Setyo Wibowo (ed.), Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011). Saat ini selain mengajar mata kuliah Sejarah Filsafat di Sekolah Tinggi Teologi Apostolos, ia juga sedang menyelesaikan Tesis Magisternya dengan tema seputar fenomenologi dan problem transendensi. Pada Semester Genap 2011-212 ia, bersama dengan Dr. A. Setyo Wibowo, ditugaskan untuk memberikan kuliah mengenai “Stoisisme dan Problem Askese” di almamaternya STF Driyarkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar