Rabu, 17 Oktober 2012

PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

BAGIAN DUA BAB DUA – GAUDIUM ET SPES -

 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN




53. (Pendahuluan)
Termasuk ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka dimanapun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan erat sekali.
Pada umumnya dengan istilah “kebudayaan” dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia.
Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah “kebudayaan” seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan. Sebab dari pelbagai cara menggunakan bermacam-macam hal, menjalankan pekerjaan dan mengungkapkan diri, menghayati agama dan membina tata susila, menetapkan undang-undang dan membentuk lembaga-lembaga hukum, memajukan ilmu-pengetahuan serta kesenian, dan mengelola keindahan, muncullah pelbagai kondisi hidup yang umum serta pelbagai cara menata nilai-nilai kehidupan. Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang menampung manusia dari berbagai zaman manapun, dan yang menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

ARTIKEL SATU – SITUASI KEBUDAYAAN PADA ZAMAN SEKARANG

54. (Pola-pola hidup baru)
Ditinjau dari sudut sosial dan budaya kondisi-kondisi hidup manusia modern telah berubah secara mendalam sedemikian rupa, sehingga orang dapat berbicara tentang zaman baru sejarah manusia[123]. Maka untuk mengembangkan dan menyebarluaskan kebudayaan terbukalah cara-cara baru. Cara-cara itu tersediakan berkat perkembangan luar biasa ilmu-pengetahuan alam dan manusia, juga ilmu-ilmu sosial, perkembangan teknologi, begitu pula kemajuan dalam pengembangan serta penataan penggunaan upaya-upaya komunikasi antar manusia. Karena itulah kebudayaan modern ditandai ciri-ciri khas: ilmu-ilmu yang disebut “eksakta”sangat mengembangkan penilaian kritis; penelitian-penelitian di bidang psikologis akhir-akhir ini memberi penjelasan lebih mendalam tentang kegiatan manusiawi; ilmu-ilmu sejarah besar jasanya untuk menelaah kenyataan-kenyataan dari segi perubahan serta perkembangannya; kebiasaan-kebiasaan hidup serta adat-istiadat menjadi semakin seragam; industrialisasi, urbanisasi, dan sebab-sebab lain, yang meningkatkan kebersamaan hidup, menciptakan pola-pola budaya baru (“mass culture”, “kebudayaan massa”), yang menimbulkan cara-cara baru menyangkut perasaan, tindakan dan penggunaan waktu terluang; serta merta meningkatkan pertukaran antara pelbagai bangsa dan golongan-golongan masyarakat semakin lebar membuka khazanah pelbagai bentuk kebudayaan bagi semua dan setiap orang, dan dengan demikian lambat-laun disiapkan pola kebudayaan yang lebih umum, lagi pula semakin mempererat dan mengungkapkan kesatuan umat manusia, bila makin dihormati ciri-ciri khas pelbagai kebudayaan.
55. (Manusia pencipta kebudayaan)
Semakin besarlah jumlah pria maupun wanita dari golongan serta bangsa mana pun juga, yang menyadari bahwa merekalah ahli-ahli serta pencipta-pencipta kebudayaan masyarakat mereka. Di seluruh dunia makin meningkatlah kesadaran akan otonomi dan tanggung jawab; dan itu penting sekali bagi kemasakan rohani maupun moril umat manusia. Itu semakin jelas, bila kita sadari proses menyatunya dunia serta tugas panggilan kita, untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka demikianlah kita menjadi saksi lahirnya humanisme baru; di situlah manusia pertama-tama ditandai oleh tanggung jawabnya atas sesamanya maupun sejarahnya.
56. (Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas)
Dalam situasi itu tidak mengherankanlah, bahwa manusia, yang menyadari tanggung jawabnya atas kemajuan kebudayaan, memupuk harapan yang lebih luhur, tetapi dengan hati yang cemas pula menyaksikan adanya banyak pertentangan-pertentangan yang masih harus diatasinya.
Apakah yang perlu diusahakan, supaya pertukaran kebudayaan yang lebih intensif, yang sebenarnya harus mendorong pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yang sejati dan subur, jangan justru mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur, atau membahayakan watak-perangai bangsa-bangsa yang khas?
Bagaimanakah dinamisme dan meluas-ratanya kebudayaan baru harus didukung, tanpa menyebabkan musnahnya kesetiaan yang hidup terhadap pusaka tradisi-tradisi? Hal itu secara khas terasa mendesak, bila kebudayaan, yang lahir dari pesatnya kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, perlu dipadukan dengan kebudayaan, yang pengembangannya bertumpu pada studi klasik menurut pelbagai tradisi.
Bagaimana penyebaran ilmu-ilmu khusus, yang begitu cepat dan terus meningkat, dapat diserasikan dengan keharusan mewujudkan sintesa atau perpaduannya, begitu pula dengan keharusan melestarikan pada manusia kemampuan untuk kontemplasi dan rasa kagum yang mengantar kepada kebijaksanaan?
Apakah yang harus diusahakan, supaya semua orang ikut memanfaatkan nilai-nilai budaya di dunia, sedangkan sekaligus kebudayaan mereka yang lebih ahli selalu menjadi makin unggul dan kompleks?
Akhirnya bagaimanakah harus dipandang wajar otonomi yang di “claim” oleh kebudayaan, tanpa merosot menjadi humanisme yang duniawi melulu, bahkan melawan agama sendiri?
Di tengah pertentangan-pertentangan itu kebudayaan zaman sekarang harus ditumbuhkan sedemikian rupa, sehingga mengembangkan pribadi manusia seutuhnya secara seimbang, dan membantunya dalam tugas-tugas, yang pelaksanaannya merupakan panggilan semua orang terutama umat beriman kristen, yang bersatu sebagai saudara-saudari dalam kesatuan keluarga manusia.

ARTIKEL DUA – BERBAGAI KAIDAH UNTUK DENGAN TEPAT MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN

57. (Iman dan kebudayaan)
Dalam ziarah mereka menuju Kota Sorgawi umat beriman kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang diatas[124]. Dengan demikian tidak berkuranglah, melainkan justru semakin pentinglah tugas mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun dunia secara lebih manusiawi. Sesungguhnyalah misteri iman kristen memberi mereka dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas itu, dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerih-payah mereka itu, sehingga kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan manusia.
Sebab bila manusia dengan karya tangannya maupun melalui teknologi mengelola alam, supaya menghasilkan buah dan menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia[125] serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus ia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
Selain itu, bila manusia menekuni pelbagai ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika, serta mengembangkan kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar, sehingga keluarga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada suatu visi yang bernilai universal, dan dengan demikian lebih terang di sinari oleh kebijaksanaan yang mengagumkan, yang sejak kekal ada pada Allah, menghimpun segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan menikmati kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia[126].
Dengan sendirinya jiwa manusia makin dibebaskan dari perbudakan harta-benda, dan dapat lebih leluasa mengangkat diri untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan berkontemplasi. Bahkan atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam Dirinya sebagai Kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang sejati, yang menyinari setiap orang” (Yoh 1:9)[127].
Memang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakekat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme dan agnostitisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu, disalah-artikan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.
Akan tetapi konsekuensi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya timbul dari kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Itu semua dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.
58. (Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia)
Ada bermacam-macam hubungan antara Warta Keselamatan dan kebudayaan. Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.
Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka budaya, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam.
Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat secara eksklusif tak terceraikan kepada suku atau bangsa mana pun, kepada corak hidup yang khas mana pun, kepada adat istiadat entah yang lama entah yang baru. Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya.
Kabar baik tentang Kristus tiada hentinya membaharui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh berdosa, dan melawan serta memberantas kesesatan-kesesatan dan kemalangan, yang bersumber pada bujukan doa yang tak kunjung henti merupakan ancaman. Warta itu terus-menerus menjernihkan dan mengangkat adat-istiadat para bangsa. Warta itu bagaikan dari dalam menyuburkan harta semarak jiwa serta bakat-pembawaan setiap bangsa dan setiap masa dengan kekayaan adikodrati, meneguhkannya, melengkapinya, dan membaharuinya dalam Kristus[128]. Begitulah Gereja, dengan menunaikan tugasnya sendiri[129], sudah dengan sendirinya menjalankan peransertanya, dan mendorong ke arah kebudayaan manusia dan masyarakat, serta melalui kegiatannya, juga dibidang liturgi, mendidik manusia untuk kebebasan batin.
59. (Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan)
Berdasarkan alasan-alasan tadi Gereja mengingatkan kepada siapa saja, bahwa kebudayaan harus diarahkan kepada kesempurnaan pribadi manusia seutuhnya, kesejahteraan paguyuban dan segenap masyarakat manusia. Oleh karena itu perlulah pembinaan jiwa sedemikian rupa, sehingga berkembanglah kemampuan untuk merasa kagum, menyelami sesuatu, merenungkannya, membentuk pendirian pribadi, dan memupuk semangat keagamaan, kesusilaan dan sosial.
Sebab kebudayaan, yang langsung berakar dalam sifat rasional dan sosial manusia, tiada hentinya memerlukan kebebasan yang sewajarnya untuk mengembangkan diri, serta membutuhkan kemampuan yang wajar pula untuk bertindak secara mandiri dan menurut prinsip-prinsipnya sendiri. Maka sudah selayaknya kebudayaan menuntut supaya dihormati, dan arti tertentu tidak dapat diganggu-gugat, tentu saja tanpa merongrong hak-hak pribadi mapun persekutuan, baik yang khas maupun umum, dalam lingkup kesejahteraan masyarakat.
Konsili sekarang ini, mengenangkan apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama, menyatakan: “ada dua taraf pengetahuan” yang berbeda, yakni iman dan akal-budi; sudah tentu Gereja tidak melarang, bahwa “alam budaya kesenian dan ilmu-pengetahuan manusia … masing-masing dalam lingkupnya menggunakan asas-asas maupun metodenya sendiri”; maka “sambil mengakui kebebasan yang wajar itu”, Konsili menyatakan otonomi kebudayaan, terutama ilmu-pengetahuan, yang sewajarnya[130].
Itu semua meminta juga, supaya manusia, seraya mengindahkan tata nilai moril serta kepentingan masyarakat, dapat dengan leluasa menyelidiki kebenaran dan menyatakan serta menyiarkan pendapatnya, dan mengembangkan kesenian mana pun; akhirnya diisyaratkan pula, bahwa manusia mendapat informasi tentang peristiwa-peristiwa umum dengan kebenaran[131].
Termasuk tugas pemerintah, bukan untuk menetapkan sifat khas bentuk-bentuk kebudayaan, melainkan untuk memupuk kondisi-kondisi dan sumbang-bantuan guna mengembangkan perihidup budaya diantara semua orang, juga diantara kelompok-kelompok minoritas suatu bangsa[132]. Oleh karena itu terutama perlu ditekankan, supaya kebudayaan jangan dialihkan dari tujuannya, pun juga jangan di paksa untuk mengabdi kekuasaan-kekuasaan politik maupun ekonomi.

ARTIKEL TIGA – BEBERAPA TUGAS UMAT KRISTEN YANG CUKUP MENDESAK TENTANG KEBUDAYAAN

60. (Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata)
Karena sekarang ini terbuka peluang untuk membebaskan jumlah orang yang amat besar dari bencana kebodohan, maka merupakan kewajiban yang cocok sekali dengan zaman sekarang, terutama bagi umat kristen, untuk dengan tekun berdaya-upaya, supaya dibidang ekonomi maupun politik, pada tingkat nasional maupun internasional, diambil keputusan-keputusan fundamental, agar dimanapun juga diakui dan diwujudkan secara nyata hak semua orang atas kebudayaan manusiawi dan sosial, selaras dengan martabat pribadi, tanpa membeda-bedakan suku, pria atau wanita, bangsa, agama atau kondisi sosial. Maka perlu di sediakan kekayaan budaya yang mencukupi bagi semua orang, terutama yang tergolong pada harta budaya yang dianggap “mendasar”, supaya jangan banyak orang lagi – karena buta aksara atau tidak mampu berperanserta secara tanggungjawab – terhalang dari kerja sama yang sungguh manusiawi demi kesejahteraan umum.
Oleh karena itu perlu diperjuangkan, supaya mereka yang cukup cerdas dapat menempuh studi yang lebih tinggi; sedemikian rupa, sehingga dalam masyarakat mereka sedapat mungkin menunaikan tugas-tugas, jabatan-jabatan atau jasa pelayanan, yang sesuai dengan keahlian maupun kemahiran yang telah mereka peroleh[133]. Begitulah setiap orang dan kelompok-kelompok sosial setiap bangsa akan mampu mencapai pemekaran perihidup budaya yang sepenuhnya, serasi dengan bakat-kemampuan serta tradisi-tradisi mereka.
Kecuali itu perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh, supaya semua orang menyadari baik haknya atas kebudayaan, maupun kewajibannya yang mengikat, untuk mengembangkan diri dan membantu pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang menghambat usaha-usaha manusia di bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya untuk kebudayaan. Hal itu secara khas berlaku bagi para petani dan kaum buruh; bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa, sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengambangan diri mereka sebagai manusia. Kaum wanita memang sudah berperan serta dalam hampir segala bidang kehidupan. Tetapi seyogyanya mereka mampu menjalankan peranan mereka sepenuhnya menurut sifat kewanitaan mereka. Hendaknya siapa saja berusaha, supaya keterlibatan khas kaum wanita yang diperlukan bagi perihidup budaya diakui dan dikembangkan.
61. (Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya)
Zaman sekarang ini menyusun sintesa pelbagai cabang ilmu-pengetahuan dan kesenian masih sangat sukar dari pada dahulu. Sebab sementara bertambahlah banyak serta beranekanya unsur-unsur yang membentuk kebudayaan, sekaligus berkuranglah kemungkinan bagi setiap orang untuk menangkap dan memadukan itu semua secara organis, sehingga citra “manusia yang universal” semakin menghilang. Akan tetapi setiap orang wajib mempertahankan keutuhan pribadi manusia, yang ditandai nilai-nilai luhur akal budi, kehendak, suara hati dan persaudaraan, yang semuanya di dasarkan pada Allah Pencipta, yang seraya mengagumkan telah disehatkan dan diangkat dalam Kristus.
Terutama keluarga merupakan bagaikan ibu dan pengasuh pendidikan yang menyeluruh. Sebab di situ anak-anak dalam dukungan kasih mesra lebih mudah belajar mengenal tata-susunan nilai-nilai, sedangkan bentuk-bentuk kebudayaan yang teruji seperti dengan sendirinya merasuki jiwa para remaja sementara mereka bertambah umur.
Untuk pendidikan itu masyarakat zaman sekarang menyajikan berbagai peluang, terutama berkat makin menyebarnya kepustakaan dan upaya-upaya komunikasi yang baru di bidang kebudayaan dan sosial, yang dapat mendukung kebudayaan secara keseluruhan. Sebab dengan berkurangnya waktu kerja dimana-mana makin bertambahlah keuntungan-keuntungan bagi banyak orang. Waktu terluang untuk menyegarkan jiwa dan memantapkan kesehatan jiwa-raga hendaknya dimanfaatkan dengan baik, dengan kegiatan-kegiatan dan studi sesuka sendiri, dengan wisata ke daerah-daerah lain (turisme), yang membantu manusia mengembangkan bakat-kemampuannya. Tetapi orang-orang diperkaya juga dengan saling mengenal, dengan latihan-latihan dan perlombaan olah raga, yang membantu untuk menjaga keseimbangan jiwa, juga dalam hidup bersama, begitu pula untuk menjalin hubungan-hubungan persaudaraan antara orang-orang dari segala lapisan dan bangsa serta dari berbagai suku. Oleh karena itu umat beriman kristen hendaknya bekerja sama, supaya ungkapan-ungkapan kebudayaan dan kegiatan-kegiatan kolektif, yang menandai zaman kita sekarang, diresapi oleh semangat manusiawi dan kristiani.
Akan tetapi semua faktor yang menguntungkan itu tidak mampu mewujudkan pendidikan budaya manusia yang seutuhnya, bila sementara itu pertanyaan mendalam tentang makna kebudayaan dan ilmu-pengetahuan bagi pribadi manusia diabaikan.
62. (Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen)
Sungguh pun sumbangan Gereja bagi kemajuan kebudayaan sungguh besar, dari pengalaman ternyatalah bahwa – karena sebab-musabab yang sewaktu-waktu mucul – perpaduan kebudayaan dengan pendidikan kristiani tidak selalu berlangsung mulus tanpa kesulitan.
Kesukaran-kesukaran itu tidak dengan sendirinya pasti merugikan kehidupan iman; bahkan dapat merangsang budi untuk mencari pengertian iman yang lebih cermat dan lebih mendalam. Sebab usaha-usaha mengembangkan ilmu-pengetahuan, pengertian tentang sejarah dan filsafat, begitu pula penemuan-penemuan akhir-akhir ini, menimbulkan persoalan-persoalan baru, yang mempunyai konsekuensi-konsekuensinya juga bagi hidup manusia, dan juga mengundang penyelidikan baru oleh para teolog. Kecuali itu mereka, dengan tetap menggunakan metode-metode serta memenuhi tuntutan-tuntutan yang khas bagi ilmu teologi, diajak untuk terus-menerus mencari cara menyajikan ajaran, yang lebih mengena bagi masyarakat sezaman. Sebab lainlah khazanah iman atau kebenaran-kebenaran sendiri, lain lagi cara mengungkapkannya, asal makna maupun artinya tetap sama[134]. Dalam reksa pastoral hendaknya jangan hanya asas-asas teologi, melainkan penemuan-penemuan ilmu-pengetahuan profan jugalah, terutama psikologi dan sosiologi, yang diakui dan digunakan secukupnya, sehingga umat beriman pun diantar kepada kehidupan iman yang lebih murni dan lebih dewasa.
Dengan caranya sendiri pula kesusastraan dan kesenian cukup penting bagi kehidupan Gereja. Sebab keduanya berusaha menyelami kodrat khas manusia, masalah-persoalannya maupun pengalamannya dalam upaya-upayanya mengenal serta menyempurnakan dirinya maupun dunia. Keduanya mencoba menyingkapkan situasi manusia dalam sejarah dan di seluruh dunia, menggambarkan duka-derita maupun kegembiraannya, kebutuhan-kebutuhan maupun daya kekuatannya, serta membayangkan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Begitulah keduanya mampu mengangkat hidup manusia, yang terungkapkan dalam pelbagai corak-ragamnya sesuai dengan zaman dan daerah kediamannya.
Oleh karena itu perlu diusahakan, supaya para seniman-seniwati merasa, bahwa mereka dihargai oleh Gereja dalam kejuruan mereka sendiri, lagi pula supaya dengan menikmati kebebasan yang sewajarnya mereka lebih mudah mengadakan pertukaran dengan jemaat kristen. Juga bentuk-bentuk baru kesenian, yang menanggapi selera masyarakat sekarang menurut perangai pelbagai bangsa dan sifat khas daerah-daerah, dihargai oleh Gereja. Hendaknya itu semua mendapat tempat juga di tempat ibadat, bila dengan cara pengungkapan yang disesuaikan, dan selaras dengan tuntutan-tuntutan liturgi, mengangkat hati umat kepada Allah[135].
Demikianlah kemuliaan Allah akan tampil makin cemerlang, dan pewartaan Injil makin jelas bagi daya tangkap manusia, serta nampak bagaikan tumbuh dari dalam kenyataan hidupnya.
Oleh karena itu hendaknya umat beriman dalam pergaulan erat dengan sesama mereka yang semasa, dan berusaha menyelami dengan saksama corak-corak mereka berpikir dan berperasaan, yang terungkapkan melalui kebudayaan. Hendaknya mereka mempertemukan pengetahuan tentang ilmu-ilmu serta teori-teori yang baru, begitu pula penemuan-penemuan yang mutakhir, dengan tata susila kristen maupun cara menyampaikan ajaran kristen , supaya penghayatan agama dan keutuhan moril mereka berjalan sederap dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi yang terus maju. Dengan demikian mereka sendiri mampu mempertimbangkan dan menafsirkan segala sesuatu dengan semangat kristen yang utuh.
Mereka yang di Seminari-Seminari dan Universitas-Universitas menekuni ilmu-ilmu teologi hendaknya berusaha bekerja sama dengan para pakar-ilmu pengetahuan lainnya, dengan memperpadukan tenaga maupun pandangan-pandangan mereka. Hendaknya penyelidikan teologis sekaligus berusaha mencapai pengertian yang mendalam tentang kebenaran yang diwahyukan, tanpa kehilangan kontak dengan zamannya, supaya dapat mendampingi para pakar pelbagai ilmu dalam mengembangkan pengetahuan mereka tentang iman. Kerja sama itu akan sangat berfaedah bagi pendidikan para calon imam. Sebab mereka akan lebih mampu menguraikan ajaran Gereja tentang Allah, tentang manusia dan tentang dunia kepada orang-orang zaman sekarang, sehingga mereka juga lebih rela dan terbuka menerima pewartaan itu[136]. Bahkan dihimbau, agar lebih banyak lagi kaum awam yang menerima pendidikan yang memadai dalam ilmu-ilmu gerejawi, dan supaya jangan sedikit pula di antara mereka, yang dengan dedikasi sepenuhnya menempuh dan terus memperdalam studi itu. Adapun supaya umat beriman, baik klerus maupun awam, mampu menunaikan tugas mereka, hendaknya mereka diberi kebebasan yang sewajarnya untuk mengadakan penyelidikan, mengembangkan pemikiran, serta dibidang-bidang keahlian mereka mengutarakan pandangan mereka dengan rendah hati dan dengan tegas[137].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar