Senin, 22 Oktober 2012

Relevansi dan Aktualisasi kedaulatan serta kemandirian Bangsa Indonesia di Tengah Pusaran Liberalisme


Kekuasaan yang dimiliki Presiden kedua Indonesia Suharto yang berlangsung selama 32 tahun selain memperoleh pujian sebagai Bapak Pembangunan dan salah satu tokoh pemimpin dunia yang berhasil membawa negaranya sebagai salah satu kekuatan Negara berkembang yang menakjubkan (miracle) dari Asia dan dijuluki sebagai “Macan Asia”, ternyata di penghujung kekuasaannya sejak tahun 1997 sampai 1998 mengalami nasib tragis dipecundangi di dalam negeri sendiri, dan kemudian di nista juga oleh kalangan Internasional. Bagaikan kata sebuah pepatah “Habis manis sepah dibuang”. Di tahun-tahun akhir kekuasaannya Suharto menjadi pigur yang dianggap sebagai musuh bersama oleh gerakan reformasi dan masyarakat Indonesia umumnya, kecenderungan menjadikan Suharto sebagai sasaran utama gerakan reformasi merupakan catatan sejarah dramatis Bangsa Indonesia yang kemudian menempatkan Suharto pada posisi rendah berbanding terbalik dengan apa yang dinikmati Suharto selama kepemimpinannya sebelumnya.
Kekuasaan yang berlangsung lama, hegemonik, otoriter, serta sarat dengan kepemimpinan yang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) ternyata akhirnya melahirkan akumulasi persepsi kebencian dari masyarakat kepada Suharto, dan menjadikan Suharto menjadi musuh bersama (common anemy), dalam wacana gerakan reformasi “Suharto dijadikan sebagai sumber masalah” sehingga menjadi tujuan utama yang dianggap mesti disingkirkan dari tahta kepemimpinan Bangsa Indonesia, suatu fenomena yang tragis dan memilukan memang.
Namun ditengah arus pemikiran yang telah mengkristal menjadi gerakan untuk me-lengser-kan ternyata masih ada sikap untuk mempertahankan harga diri bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari sikap masyarakat Indonesia yang menunjukkan perasaan tidak senang ketika melihat foto Managing Director IMF Michael Camdessus berdiri dengan posisi tangan dilipat di dada seakan mengawasi di samping Suharto yang sedang membungkuk menandatangani LOI (letter of intent) antara IMF dengan pemerintahan Suharto.
Penampilan Michael Camdessus dalam foto tersebut dianggap masyarakat sebagai ungkapan kecongkakan lembaga keuangan internasional dan seakan membuktikan bahwa Bangsa Indonesia sedang berada dalam pengawasan dan kekuasaan IMF, dan Bangsa Indonesia seakan sedang berada dalam posisi mengemis kepada bantuan Internasional untuk menyelamatkan keberadaannya dari terpaan krisis keuangan yang sedang melanda kawasan Asia. Tidak dapat dipungkiri dalam hal ini masyarakat Indonesia merasa dikerdilkan eksistensinya. Dan apa yang mengemuka ditengah-tengah masyarakat tersebut merupakan ekspresi sikap yang ingin menunjukkan harga diri bangsa-nya.
Peristiwa ini menggambarkan bahwa sebenci-bencinya masyarakat Indonesia kepada Suharto, masyarakat masih memiliki perasaan untuk mempertahankan harga dirinya dan menunjukkan sikap tidak mau keberadaannya diinjak-injak oleh pihak lain. Secuil rekaman sejarah ini menjadi sebuah catatan penting untuk dijadikan sebagai bahan refleksi ketika berbicara tentang keberadaan bangsa Indonesia dalam kontelasi politik internasional dewasa ini sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh salah seoran Founding Father bangsa Indonesia IR. Sukarno – presiden pertama Indonesia- pada tahun 1964 dalam pidato memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia mengingatkan bangsa Indonesia harus berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berbudaya (Trisakti).
Kedaulatan dan kemandirian ini menjadi sangat relevan dan aktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, terutama dalam konteks hubungan politik dan ekonomi internasional yang cenderung semakin mengarah kepada system liberalisme dan kapitalisme. Dalam setiap bentuk kerjasama dan interaksi politik internasional dewasa ini tidak dapat dihindarkan dari kepentingan terselubung “keuntungan ekonomi”. Ibarat kata sebuah pepatah “Tidak ada makan siang gratis” maka setiap bentuk kerjasama internasional tidak dapat dihindarkan dengan sifat mengutamakan memperoleh keuntungan ekonomi dari setiap kebijakan yang disepakati.
Peristiwa memilukan ketika Suharto menandatangani LOI dengan IMF pada bulan Januari 1997 tidak terlepas dari kepentingan Negara-negara besar dan Trans Nasional Company, hal ini dapat dilihat secara kasat mata dari hasil kesepakatan tersebut yang kemudian menjerumuskan bangsa Indonesia untuk me-liberalisasi ekonomi dan politik, melakukan privatisasi besar-besaran dan menjadikan Indonesia sangat tergantung kepada hutang luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar