Jumat, 15 November 2013

Dinamika Pemilu 2009, Demokrasi dan Makna Kekuasaan

 ”Power tends corrupt, absolute power corrupt absolutely. ( Lord Acton )


The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”. (Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008.)


Kutipan bijak diatas menunjukan betapa pentingnya sistem manajemen kekuasaan yang dapat menundukkan perilaku penguasa yang cenderung merusak tatatan. Bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah serta pasar yang besar. Tetapi sayangnya Indonesia tidak melesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia. Justru sebaliknya, rakyat merasakan himpitan kemiskinan yang kian menindih. Pertanyaan mendasar yang sering dikeluhkan masyarakat adalah demokrasi tidak ada hubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Rakyat belum merasakan secara konkrit hasil dari sebuah tatanan politik yang seharusnya para pemimpin rakyat mempunyai komitmen mewujudkan kesejahteraan masyatakat. Namun harapan rakyat tersebut justru berbanding terbalik dengan sikap sebagian besar para elit politik, sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat, justru menyalahgunakan kekuasan yang dipercayakan kepada mereka.
Kuliah umum ini akan dibagi dalam beberapa penggalan sebagai berikut. Pertama, kegagalan para elit memahami kekuasaan. Kedua, dinamika revolusioner dalam proses demokrasi. Ketiga, manipulasi demokrasi prosedural. Kempat, Pemilu 2009, paradigma dan realita. Bahan kuliah umum ini akhiri dengan catatan penutup.

KEGAGALAN ELIT MEMAHAMI KEKUASAAN.
Pilihan bangsa Indonesia untuk membangun tatanan pollitk yang demokratis sudah tepat. Mengapa? Jawabannya: karena sistem tersebut adalah manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai maratabat manusia. Sejarah panjang praktek pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan sewenang-wenang, baik yang bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer maupun oligarki politik lainnya, mendorong umat manusia mencari sistem pengelolaan kekuasaan yang manusiawi. Kekuasaan yang otoritarian menjadi musuh umat manusia karena penguasa tidak hanya memonopoli kekuasan tetapi juga memonopoli kebenaran. Kebenaran menjadi milik penguasa, akibatnya perbedaan pendapat bukan saja dianggap sebagai tindakan kriminal atau subversi yang harus ditindak oleh negara.
Upaya pencarian tata kelola kekuasaan yang dapat membendung kelaliman pemegang kekuasaan, sejalandengan mulai tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih menghargai hak-hak individu, kesetaraan serta pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia. Pada dasarnya perkembangan peradaban manusialah yang telah memungkinkan umat manusia dapat menjinakkan kekuasan yang mempunyai daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan kehidupan manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Memang dalam tatanan demokrasi daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. Namun karena sifat luhur manusialah kekuasaan dapat digunakan untuk kemashlahatan umat manusia, terutama untuk mengelola kehidupan besama menunju kesejahteraan lahir dan batin.
Pengelolaan kekuasaan yang disebut demokrasi prinsip dasarnya adalah siapapun yang ingin berkuasa harus mendapat mandat dan dikontrol oleh pemberi kekuasaan. Inilah temuan manusia dalam mengelola kekuasaan modern yang dianggap paling bermartabat. Meskipun tidak sempurna, tetapi sampai saat ini belum ditemukan sistem lain yang dapat dianggap sebagai sistem kekuasaan yang secara efektif dapat menaklukan kekuasan. Secara kelembagaan agar kekuasaan tidak menjadi liar, ia harus dikerangkeng dalam suatu bangunan struktural sehingga terjadi keseimbangan kekuatan didalam komponen-komponen struktur tersebut dan pada akhirnya elemen-elemen yang ada dalam kekuasaan tersebut satu dengan lainnya dapat saling mengontrol. Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi bukan hanya sekedar membangun sistim, mekanisme, prosedur politik, tetapi juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol tersebut dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum, lembaga perwakilan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, pengakuan terhadap perbedaan kepada warga masyarakat yang bersangkutan. Dimensi ini penting sekali karena melalui proses tersebut akan hadir roh yang menghidupkan dan sekaligus menguatkan demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk atau menjadi anarkis. Oleh karena itu tidak mustahil bahwa negara-negara seperti Yunani dan Roma yang pernah berabad-abad menerapkan sistem ini, mengalami arus balik menjadi kekaisaran. Pengalaman tersebut harus lebih menyadarkan siapapun yang ingin mewujudkan kehidupan demokrasi bahwa perjuangan membangun kehidupan demokrasi pada dasarnya adalah pertarungan menjinakkan ganasnya fenomena kekuasaan.
Watak kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalakan cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan fisik. Sedemikian kejamnya pertarungan kekuasan sehingga ikatan-ikatan pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan ikatan yang didasarkan atas sentimen-sentimen primordial, suku, agama, ras dan keturunan tidak dapat dijadikan sarana meredakan pertarungan politik1. Bahkan bila disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun perang saudara yang sangat kejam. Perburuan kekuasaan telah menjadikan mereka yang terlibat menjadi sangat buas dan selalu siap menerkam serta melumat siapapun yang menjadi lawan politiknya. Satu-satunya faktor yang dianggap dapat mencairkan konfik politik adalah konmpromi dari berbagai kepentingan yang secara rasional dapat diterima oleh semua pihak. Namun sayangnya kompromi kadang-kadang sangat pragmatis dan oportunistik sehinga merugikan masyarakat.
Persyaratan lain agar demokrasi dapat berlangsung adalah kemampuan, pengetahuan serta kecermatan dalam membuat aturan dasar yang komprehensif dan koheren satu sama lain sebagai landasan hidup bersama. Untuk itu selalu diperlukan gagasan dan pemikiran yang mendalam sebagai paradigma dalam penyusunan regulasi yang diperlukan. Aturan tersebut harus dijabarkan sedemikian rinci sehingga dapat dilaksanakan secara baik. Kerumitan dalam proses pembuatan aturan serta kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan membuat demokras tidak efisien dan efektif. Oleh karena itu demokrasi bukan sistem yang sempurna dan mempunyai banyak kelemahan, antara lain karena keputusan yang diambil dalam sistem ini kompleks dan berbelit-belit. Namun demikian demokrasi mempunyai keunggulan, sistem ini mempunyai seperangkat instrument yang dapat dipergunakan rakyat untuk mengoreksi kesalahannya. Namun harus diakui kadang-kadang orang tidak sabar dalam berdemokrasi, karena kelambanan dalam proses pengambilan kebijakan dan kompleksitas aturan yang harus dilakukan tidak dapat segera menghasilkan sesuatu yang dirasakan secara konkrit oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan tidak jarang masyarakat pesimis terhadap demokrasi, apalagi kalau disertai tindakan penyalahgunaan kekuasaan akan menyebabkan kekecewaan yang berlarut-larut. Bila dibiarkan hal itu menyebabkan rakyat tidak percaya kepada sistem ini. Kredibilitas demokrasi yang rusak akan menyebabkan gelombang balik yang dapat mengembalikan bangsa bersangkutan kepada sistem kekuasaan yang menindas atau bahkan menjadi anarki sosial yang tidak kalah destruktifnya dengan sistem kekuasaan yang otoriter. Gejala semacam itu oleh Samuel Huntington disebut sebagai gelombang demokrasi. Artinya dalam kurun waktu tertentu muncul serombongan negara berobah dari otoriter menjadi demokrasi, namun hal itu selalu terjadi kemungnkinan diikuti oleh gelombang balik berupa negara yang semula demokratis menjadi otoritarian kembali. Gejala tersebut nampaknya tidak akan berhenti, sampai dengan nilai-nilai demokrasi menjadi peradaaban masyarakat dunia.
Mungin dalam konteks seperti inilah maka Perdana Menteri Inggris Wilston Churchill dalam pidatonya di parelemen Inggris pada tahun 1947 pernah mengatakan bahwa demokrasi adala sistem pemerintahan yang paling buruk, kecuali dibandingkan sistem lain yang pernah dipatktekan dan ternyata lebih buruk. Jadi pada dasarnya sisitem demokrasilah yang paling baik dari pilihan yang lebih buruk2.

REVOLUSI” DEMOKRASI.
Bangsa Indonesia selama satu dekade telah mengalami suatu proses perobahan politik yang sangat subtansial. Suatu perobahan politik dari sistem ototarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari tingkat percepatan perobahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi demokrasi. Sebuah peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis,karena demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara itu bangsa Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perobahan yang luar biasa, mulai dari perobahan UUD 1945, pemilihan presiden secara langsung, dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat meyusun konstitusi yang sempurna serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang bayi demokrasi. Oleh karena itu wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih kurang sepuluh tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankan kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat politik yang sangat didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan jauh-jauh arti politik sebagai perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar pesona dan janji kosong sebagai alat merayu dukungan, perselingkuhan politik dan segala bentuk serta manifestasi keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Selain beberapa faktor obyektif diatas, aspek utama yang menyebabkan transisi politik seakan–akan berjalan tanpa arah disebabkan pula oleh karena para elit politik tidak mempahami konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan.
Sebagian besar elit lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan dalam aturan dasar yang disebut konstitusi. Dalam alam pikiran para perumus amandemen UUD 1945 yang sangat gandrung negara kesatuan, nampaknya untuk mewujudkan Negara kesatuan cukup merumuskan keinginan tersebut dalam konstitusi sehingga Negara Kesatuan Republik Indoensia akan langgeng. Hal itu dapat disimak dalam pasal 1, ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sbb: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Rumusan tersebut sangat jelas dan limitatif bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan, jadi kalau bukan negara kesatuan bukan Negara Indonesia. Untuk lebih kuat agar Negara kesatuan tidak goyah dan tidak dapat di uthak-uthik lagi, pasal tersebut dikunci melalui ketentuan pasal 37 ayat (5) yang berbunyi sbb:”Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perobahan”. Para penyusun UUD 1945 nampaknya sangat meyakini bahwa kalimat dalam UUD 1945 sudah sedemikian sakti sehingga dengan mencantumkan rumusan tersebut negara kesatuan tidak dapat dirobah. Pertanyaannya: apakah benar keputusan politik tidak dapat dirobah. Apakah benar bangsa Indonesia tidak akan mengalami dinamika politik yang mungkin akan merobah struktur kekuasaan yang dianggap lebih responsive terhadap dinamika perkembangan politik kedepan. Mereka nampaknya lupa bahwa dalam hidup ini, lebih-lebih kehidupan politik selalu berobah. Dinamika politik telah membuktikan bahwa UUD’45 yang pernah dijadikan jimat ternyata dapat diamandemen sebanyak empat kali.
Nampaknya para penyusun UUD 1945 menyadari juga bahwa merumuskan pasal tersebut adalah sesuatu yang mustahil atau tidak masuk akal. Oleh karena itu, meskipun sudah terdapat pasal yang menjamin kelestarian UUD 1945, penyusun konstitusi memberikan kemungkinan perobahan pasal tersebut dengan merumuskan pasal 37 ayat (3) sbb: “Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR”. Pasal yang sama pada ayat berikutnya (4) lebih menegasan lagi, dengan bunyi sbb: “putusan untuk mengubah pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.” Keseluruhan ilustrasi tersebut hanya memberikan beberapa kesan sebagai berikut: Pertama, para penyusun konstitusi tidak memahami konsep bernegara secara mendalam. Kedua, percaya bahwa kalimat bagus dalam konstitusi dan dapat bertuah dan mempuhnyai kekuatan magis magis yang dapat menjamin kehendak agar negara kesatuan tidak berobah. Namun yang jelas rumusan yang kontradiktif tersebut bagi masyarrakat menimbulkan kebingungan, setidak-tidaknya kontroversial dalam memahami konsrtitusi yang telah diamandemen empat kali.
Hal yang mirip juga dilakukan dalam melakukan desentralisasi. Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka prinsip-prinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan kedaerah berasal dari pemerintah pusat. Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengembang kewenangan yang diberikan tidak dilaksanakan secara bertanggungjawab, atau terjadi krisis pemerintahann daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis didaerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekukasan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.
Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup dan lain sebagainya. Tetapi karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten, banyak sekalim terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang berlarur-larut. Misalnya, mengenai penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja di Daerah.
Dalam mengantisipasi krisis pemerintahan mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur. Namun kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan Gubernur. Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah(state) dapat berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif. Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai.
Pemekaran daerah juga menandai betapa desentralisasi semakin tidak terkendali serta tidak menjamah kepentingan masyarakat. Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah menjadikan pemekaran daerah seringkali hanya sebagai ladang bisnis politik para elit politik serta sementara kalangan birokrasi pemerintahan. Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 yang mengatur pemekaraan daerah meskipun dianggap kurang sempurna, namun sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran. Namun kadang kala karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk mensejahterakan masyarakat, maka pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga dalam prakteknya, tidak jarang persyaratan pemekaran baik yang bersifat kuaklitatif maupun kuantitatif dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistik dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya merobah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada dengan daerah baru. Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berobah, meskipun PP 129/2000 telah diganti dengan PP 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, tidak menjamin bahwa pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, program legislasi tahun 2008, dari sekitar 150 RUU, 105 diantaranya adalah RUU tentang pemekaran. Kritikan tajam terhadap pemekaran tidak meredakan semangat parlemen untuk terus memekakan daerah. Hal itu anatara lain dapat disimak dalam rencana Prolegnas tahun 2009, terdapat 17 RUU pemekaran.

MANIPULASI DEMOKRASI PROSEDURAL.
Perilaku para elit telah memanipulasi demokrasi prosedural. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi kalau sudah mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri. Dengan mengatas namakan rakyat mereka bahkan dapat menguras kekayaan negara untuk dinikmati sendiri atau bersama kelompoknya. Perilaku para elit yang sangat merusak tatanan tersebut kalau tidak segera dihentikan akan menggerogoti modal sosial (social capital) bangsa ini yang selama satu dekade ini dapat dijadikan aset dalam melakukan transisi politik. Modal sosial yang disumbangkan masyarakat dalam masa transisi adalah kesanggupan rakyat melakukan kompetisi politik secara relatif jujur dan adil secara maraton sejak tahun 1999. Konstribusi tersebut lebih fenomenal lagi karena rakyat Indonesia sejak pertengah tahun 2005 sampai dengan bulan Desember 2008 telah melakukan pemilihan kepala daerah hampir 500 kali. Bahkan pemilihan kepala daerah apat dilakukan di Aceh, dimana wilayah tersebut pernah mengalami perang saudara lebih dari dua puluh tahun, pilkada dapat dilakukan dengan damai dan adil. Hal yang sama terjadi di Papua. Provinsi di ujung timur yang sebelum pilkada Irjabar diwarnai dengan ketegangan yang sangat tinggi, terutama berkenaan dengan eksistensi Irjabar, akhirnya pilkada di provinsi tersebut dapat dilakukan dengan damai pula.
Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia3. Salah satunya adalah dalam tajuk majalah The Ecomomist, tahun 20044.
Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi politik harus segera dibenahi. Legimasi politik prosedural harus segera ditingkatkan menjadi legitimasi poltik yang bermartabat mendesak untuk dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik hanya akan memberikan pembenaran bagi merasa mendapat mandat rakyat untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet. Perpolitikan secam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sejahtera.

Pemilu 2009
Poses transformasi politik harus terus disempurnakan. Agenda yang sangat penting melaklukan penyempurnaan terhadap bergagai regulasi politik yang sistem pemerintahan, sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian. Beberapa prinsip mendasar yang harus dijadikan acuan dalam menyusun penyempurnaan regulasi politik adalah sebagai berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung dewasa perlu dipertahankan, bahkan secara gradual proses demokratisasi juga harus dapat melembaga dan terkonsolidasi. Kedua, sementara itu pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) disatu pihak, representativeness (keterwakilan) dipihak lain.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundangan sebagai berikut.Pertama, dalam UU Pemilihan umum, prinsip-prinsi tersebut adalah: (1) meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya; (2) demokratisasi dalam mekanisme pencalonan kandidat anggota lembaga perwakilan; (3) penguatan dan perluasan basis keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah; (4) mempertegas sistem auditing dan pengelolaan dana-dana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Sementara itu UU pemilihan presiden disempurnakan dengan persyaratan partai-partai yang mencalonkan presiden harus memenuhi komitmen setidak-tidaknya selama lima tahun tetap konsisten menjadi pendukung pemerintah.
Kedua, kehidupan kepartaian harus didukung oleh suatu regulasi yang mempunyai paradigma sbb: (1) pengkaderan partai politik; (2) mendorong kepemimpinan partai yang demokratis; (3) mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan Parliamentary Thershold (PT) berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan; (4) mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen; serta (5) larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Ketiga, prinsip penyempurnaan UU Susunan dan kedudukan MPR dan Lembaga Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut: (1) peningkatan kemampuan dan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR; (2) pertanggungjawaban yang jelas bagi setiap anggota DPR yang melakukan reses; (3) meningkatkan hubungan antara anggota DPR dan DPD perlu pembentukan kantor DPD dan DPR di daerah agar terjadi komunikasi politik yang intensif antara wakil rakyat dan konstituensinya; (4) peningkatan efektifitas lembaga DPR dilakukan dengan penciutan jumlah pengelompokkan politik (fraksi) di DPR dengan menentukan jumlah minimal anggota fraksi di DPR sama dengan jumlah komisi; (5) harmonisasi hubungan DPR dan DPD dengan membentuk panitia bersama (joint committee) DPR–DPD untuk mengatur mekanisme pembahasaan RUU yang menjadi kewenangan DPD&DPR; (6)memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan dengan merobah lembaga pimpinan MR permanen menjadi fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945.
Dewasa ini sedang berlangsung pembahasan di DPR beberapa rencana undang-undang PILPRES dan SUSDUK. Tidak mustahil dalam pembahasan tersbeut akan terjadi kompromi-kompromi politik yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu, seandainya beberapa paradigma tersebut telah dikalahkan dengan kompromi politik yang oportunistik, tidak berarti masyarakat harus menyerah dan menjadi tidak peduli. Justru sebaliknya, masyarakat justru harus membangun kekuatan agar dapat mengontrol perilaku anggota parlemen yang telah memanipulasi mandat rakyat. Masyarakat harus disadarkan pula bahwa kedaulatan yang dimikinya tidak tersedot habis, terabsorsi, oleh lembaga perwakilan raklyat. Dalam Negara demokrasi rakyat berdaulat sehari dua puluh empat jam. Oleh sebab sudah pada tempatnya rakyat selalu mengontrol wakil-wakilnya yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dengan melakukan penyempurnaan tersebut diharapkan dalam menapak masa depan, transformasi politik berjalan berdasarkan paradigma serta landasan pemikiran yang jelas dan benar. Kurun waktu sepuluh tahun proses demokrasi, harus dapat dijadikan tonggak penyempurnaan kehidupan politik di masa depan. Mudah-mudahan sementara kalangan yang merasa cemas dengan proses transisi dewasa ini tidak perlu terlalu kuatir bahwa transformasi politik di Indonesia menuju kearah kegagalan. Berbagai pengalaman selama sepuluh tahun reformasi, telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai akar peradaban yang dapat dijadikan modal bangsa ini melanjutkan reformasi menuju suatu kehidupan politik yang demokratis untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

PENUTUP
Renungan diatas diharapkan dapat mendorong MASYARAKAT memikirkan secara cerdas agenda apakah yang paling mendesak dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun yang akan datang agar dapat menyelamatkan bayi demokrasi. Dalam menentukan agenda tersebut yang harus diperhatikan adalah tuntutan rakyat yang semakin keras agar demokrasi segera dapat menghasilkan tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan rakyat. Untuk itu dua hal yang harus dipertimbangkan secara matang. Pertama, adalah kepemimpinan nasional lima tahun mendatang. Kedua,mengenai agenda yang menjadi prioritas, adalah membengun pemerintahan yang efektif tetapi tetasp dikontrol rakyat. Sementara itu modal bangsa ini tidak perlu dikuatirkan. Sangat melimpah untuk dijadikan modal agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang, makmur dan modern. Karena selain memiliki sumberdaya alam yang melimpah, demokrasi yang stabil; tetapi yang lebih penting lagi, bangsa Indonesia mempunyai modal sosial yaitu peradaban bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusian


Jakarta, 17 Februari 2009
J. Kristiadi, peneliti CSIS

(Tulisan ini disampaikan pada Konperensi Studi pada Rakernas II Pergerakan Kebangsaan di Surabaya pada 22 Pebruari 2009)

1 Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence,penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.2 “Many forms of Government have been tried and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time”.3 Bandingkan dengan pemilu di Timor Leste, negara berpenduduk lebih kurang satu juta, pemilihan umum diancam kurusah atau bahaya konflik yang berkepanjangan (Harian Kompas, Selasa, 10 April 2007, halaman 6). Serta pemilu di Zimbabwe bulan desember 2007 yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dan meninggalkan negara karena situasi yang kaotik. Baru bulan Februari 2009 perpolitikan di negara tersebut akan mulai mengalami kemajuan setelah dilanda inflasi duaratus enapuluh juta persen, dan nilai satu triliun dollar Zimbabwe sama dengan satu US dollar.4 The Economist, edisi Bulan 10-16 Juli, 2004 : “But perhaps there is a lesson in Indonesia’s experience not just for Islamic countries, but for one of Asia’s other giants too. The party men who run China like to argue that democracy that democracy is unsuited to a poor, sprawling country that has no experience of it : chaos is what China’s leaders say the fearabove all. But it does now seem that Indonesia-a polyglot rag-bag of islands that emerged as anation only through the accident of having been collectively administered by the Dutch-has given the world a powerful counter –example”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar