Jumat, 15 November 2013

KPU Sebaiknya Mengurus Data Pemilu Dengan Baik dan Benar

Beberapa hari jelang Pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengeluarkan keputusan, KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau identitas resmi lainnya bisa dipakai untuk menjadi dasar menggunakan hak pilih dalam pemilu.
 
Tanpa surat penggilan dari petugas pemilu, warga berhak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilih.

Situasinya, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009 kacau. Paling kacau dibandingkan dengan semua pelaksanaan pemilu yang pernah ada di negeri ini. Namun, pemilu tetap dijalankan. Tahapan telah dilaksanakan, anggaran semua telah dikucurkan; tak mungkin menunda pelaksanaan pemilu.

Ada situasi di mana KPU sangat tertutup rapat, yakni soal pendataan pemilih dan penggunaan teknologi informasi (TI). Itu adalah dua hal dasar dalam menentukan hasil pemilu.
 
Berbagai gugatan, seperti yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Hanura, pascapemilu sia-sia. Karena itu, partai-partai semakin paham bahwa kelengahan dalam mencermati pergerakan di KPU jelang pemilu sangat berakibat fatal.

Keabsahan pemilu diragukan, padahal anggaran yang dikeluarkan sangat besar. Hal itu juga menjadi kegalauan banyak pihak, tak hanya partai politik.
 
Karena itu, ketika KPU melakukan tanda tangan kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) beberapa waktu lalu, bukan hanya partai politik yang menaruh curiga, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pemilu dan publik secara keseluruhan pun demikian.

Alasannya, Lemsaneg merupakan lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak memiliki pengalaman mengamankan data pemilu, lembaga tertutup berwarna militer dan beberapa mantan pegawai Lemsaneg kini bergabung di Partai Demokrat. Partai Demokrat juga berpeluang mencalonkan mantan perwira militer menjadi calon presiden pada Pemilu 2014.

Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fernita Darwi mempertanyakan apa urgensinya kesepakatan itu dibuat. Mengingat, kerja sama yang ditandatangani KPU dan Lemsaneg merupakan hal baru yang patut di kaji dan evaluasi.
 
“Belum pernah dari sejarah pemilu, Lemsaneg kerja sama dengan KPU. Apakah Lemsaneg berubah fungsinya? Maka menurut saya harus dievaluasi MoU itu,” kata Fernita.

Apalagi, ujar Fernita, kelemahan pemilu masih banyak. Seperti halnya DPT yang masih pro kontra dan penggunaan KTP elektonik yang belum maksimal. Ada banyak sisi lain yang membuka terjadinya kecurangan.
 
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono secara tegas mengatakan kerja sama antara KPU dengan Lemsaneg dalam mengamankan data informasi dan teknologi (IT) terkait pemilu tidak perlu dilanjutkan jika nantinya ada kebijakan melanggar aturan yang telah ada. MoU tersebut, katanya, perlu dikaji terlebih dahulu, khususnya terkaiit pelaksanaan Pemilu yang jujur adil.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) juga meminta KPU untuk membatalkan kerja sama tersebut karena kerja Lemsaneg tidak ada kaitannya dengan pemilu. Ketua Bapilu Partai Nasdem Ferry Mursyidan Baldan mengatakan jika ingin mengamankan data pemilu, KPU justru harus bekerja sama dengan Lembaga Arsip Negara.
 
"MoU KPU dengan Lemsaneg adalah sesuatu yang tidak lumrah. Bukankah pemilu diselenggarakan dengan prinsip langsung, umum, bebas? Sedangkan rahasia hanya menyangkut kerahasiaan pilihan masyarakat pemilih di bilik TPS. Wajar jika menimbulkan kecurigaan tentang tujuan dan manfaat MoU tersebut,” kata Ferry.

UU Pemilu, ujar Ferry, justru menegaskan proses penghitungan suara pada semua tingkatan harus terbuka dan dapat disaksikan oleh masyarakat. Bahkan, penghitungan tidak boleh dilakukan jika kurang pencahayaan yang menyebabkan saksi partai politik (parpol) kesulitan memastikan dalam penghitungan suara.

Ketua Bapilu DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, mengatakan KPU merupakan lembaga independen, bukan alat penguasa atau menjadi alat kelompok politik tertentu dalam mengelola data pemilu. Karena itu, perlu transparansi dan uji publik terhadap sistem TI yang dipakai agar jangan sampai mengulang Pemilu 2009 bahwa sistem IT KPU ternyata dapat diretas oleh pihak lain.

"Para pengelola sistem TI di Lemsaneg harus figur yang memiliki integritas baik, jujur, amanah, capable, dan profesional. Mereka tidak boleh terkooptasi oleh kelompok politik tertentu dan menjadi alat kekuasaan," kata Viva Yoga Mauladi.

Potensi kecurangan pada Pemilu 2014 juga dikhawatirkan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Menurutnya potensi terkuat adalah berupa manipulasi jumlah suara. "Dugaan seperti itu saja sudah banyak, hanya saja membuktikannya terkadang susah maka pengawasan jelang pemilu itu harus di perketat,” jelasnya.

Ia mengatakan, kasus suap, bayar-membayar dalam pilkada kini makin marak. Bukan tidak mungkin kasus seperti ini bakal menjalar ke pelaksanaan pemilu. Karena itu, ia juga khawatir dengan kerja sama KPU dan Lemsaneg. Bagaimanapun Lemsaneg harus loyal kepada atasannya. Tentu hal ini patut dicurigai ketika terkait dengan hasil pemilu nanti.
 
“Kita kan tidak tahu, Lemsaneg benar loyal dengan KPU atau tidak. Kalau loyal pada pihak lain juga yang berkuasa, data pemilu bisa saja dimanipulasi. Ini yang kita khawatirkan mengapa KPU dengan mudah menyepakati Mou dengan Lemsaneg," kata Sebastian.

Apalagi, saat ini daftar pemilih yang dikeluarkan KPU masih kacau balau, banyak pemilih ganda, orang yang sudah meninggal dan tidak terdata.
 
Keengganan KPU memperbaiki data tersebut tersandung pada anggaran. Mengaku memiliki anggaran yang kecil, KPU membiarkan data yang seadanya untuk dipakai. Apakah ruang ini yang hendak dimanfaatkan lagi untuk memanipulasi Pemilu 2014? (M Bactiar Nur/Vidi Batlolone)
Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar