Jumat, 15 November 2013

Pencurian Suara Antar Caleg Bakal Marak Di Pemilu 2014

Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa berimbas kepada aksi pencurian suara antar caleg pada Pemilu 2014. KPU harus memperkuat integritas personel di setiap tingkatan untuk mencegah praktek jual beli suara.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampouw yakin praktek pencurian suara pada Pemilu 2014 akan kembali terulang seperti Pemilu 2009. Kata dia, buruknya penyusunan DPT oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pemicu praktek pencurian suara.

“Dengan jumlah partai yang hanya 10 seharusnya penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu 2014 bisa lebih baik. Namun saya yakin manipulasi tetap besar, karena kompetisi antar caleg di internal partai semakin ketat,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Jeirry mengungkapkan, sistem multipartai dan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, menimbulkan konsekuensi persaingan tidak sehat antar caleg dan parpol peserta pemilu. 

Dia mengatakan, pencurian suara akan banyak terjadi pada tingkat kabupaten/kota. Manipulasi di tingkat ini, kata dia, dilakukan antar caleg dan partai bekerja sama dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). 

“Manipulasi ini sengaja dilakukan secara terstruktur dari tingkat terbawah, agar tidak mudah diketahui saat sampai ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan KPU,” jelasnya. 

Jeirry bilang, untuk mengatasi persoalan pencurian suara, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak, terutama dari KPU sebagai penyelenggara. KPU di semua tingkatan, harus independen, tidak boleh membiarkan, apalagi sampai terlibat manipulasi suara.

“Begitupun dengan Bawaslu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat kabupaten/kota. Harus tegas menindak apabila di lapangan menemukan berbagai kecurangan, siapapun yang melakukannya,” katanya.

Konsultan Matematika Pemilu dari Kemitraan, August Mellaz mengatakan, pencurian suara rawan terjadi karena pengumpulan data penduduk yang digunakan sebagai data pemilih tetap di daerah masih kacau balau. 

“Pengalaman Pileg 2009 ada kecenderungan alokasi jumlah kursi lebih besar dibandingkan data sensus kependudukan yang berlaku. Dengan demikian, manipulasi perolehan sangat rentan terjadi,” kata dia.

August menjelaskan, selain permasalahan data, potensi pencurian suara juga timbul akibat pembagian letak georgrafis daerah pemilihan (dapil) yang tidak utuh dan menyulitkan untuk dipantau. 

Menurut dia, banyak wilayah yang sebetulnya dipaksakan menjadi dapil demi menggalang suara bagi calon tertentu.

“Contoh dapil Jawa Barat III yang terdiri atas Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Padahal Kota Bogor jelas-jelas dikelilingi oleh Kabupaten Bogor. Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur ini kan tidak menyatu secara geografis. Faktor geografis ini ikut memicu manipulasi suara,” tandasnya.

Bekas Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdhansyah memprediksi pencurian akan kembali terjadi di Pemilu 2014. Terlebih, penyelenggara pemilu terlalu banyak turut camput melakukan pemutakhiran data pemilih. Padahal, itu tugas dari pemerintah.

“KPU harusnya hanya menerima Data Pemilih Tetap dari pemerintah. Pemerintah yang bertugas untuk itu, karena di KPU belum tentu ada tenaga ahli yang menguasai statistik untuk memahami betul pemutakhiran data,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ramdansyah menyatakan, untuk mengatasi manipulasi suara sebetulnya cukup simpel, yaitu meningkatkan akurasi data kependudukan yang dimiliki dan dikelola pemerintah. 

Sebab data kependudukan inilah yang nantinya akan dijadikan dasar pembentukan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4), Daftar Pemilih Sementara (DPS), sampai DPT.

Ramdhasyah menyatakan, kunci mencegah manipulasi suara Pemilu 2014 ada dua. Pertama, KPU menggunakan program single identity yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sedang diupayakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dengan NIK, data jumlah pemilih akan lebih pasti dan terlihat jelas. 

Kedua, KPU pusat harus mengecek akurasi data pemilih yang berikan pemerintah. KPU harus berani menilai, apakah data pemerintah bagus, cukup bagus, kurang bagus, atau buruk. 

Apabila data tersebut dianggap kurang bagus atau buruk, KPU harus tegas mengembalikannya kepada pemerintah. 

Jika KPU pasrah menerima data dari pemerintah, maka akan menimbulkan sengketa di kemudian hari.
 
“KPU harus pastikan data dari pemerintah benar. Jangan percaya begitu saja dengan data yang diberikan,” cetusnya.

Akurasi Data E-KTP Kunci Cegah Manipulasi 
Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR
Komisi II meminta pemerintah segera menyelesaikan pendataan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) secara akurat, agar dapat digunakan sebagai acuan pembuatan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPU. 

E-KTP, sangat berguna untuk mencegah terjadinya manipulasi suara pada Pemilu 2014. Menurut undang-undang, data untuk pemilih itu tunggal dari pemerintah. Oleh karena itu, akurat tidaknya data yang ada di DPT akan sangat bergantung pada akurasi data yang diberikan pemerintah.
 
Data E-KTP bisa dipakai menjadi ukuran perekaman untuk menentukan jumlah pemilih. Oleh karena itu, Komisi II DPR akan terus melakukan verifikasi data-data E-KTP yang digunakan untuk DPT.

Biaya yang dikeluarkan untuk program E-KTP ini besar, mencapai Rp 6,3 triliun. Kami meminta pertanggungjawaban pemerintah bahwa sistem ini dapat berjalan dan dapat dimanfaatkan untuk DPT pemilu.

Kita Perkuat SDM PPK, PPS & KPPS
Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Anggota KPU
KPU mewaspadai adanya kecurangan pada Pemilu 2014, seperti terjadinya manipulasi suara di tingkat kabupaten/kota. Caranya, KPU memperketat seleksi anggota badan adhoc penyelenggara pemilu, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). 

Kita ingin anggota PPK, PPS dan KPPS yang jadi penyelenggara pemilu memiliki integritas.  Rekam jejak mereka akan  ditelusuri, sehingga yang terpilih nanti benar-benar independen. Tidak memanipulasi hasil perolehan suara.

Kami ingin penyelenggara pemilu di semua level, jujur dan adil sehingga berbagai potensi kecurangan yang dipicu oleh peserta pemilu di setiap level penyelenggara. bisa dicegah.

Rekapitulasi hasil penghitungan suara di level PPS dan PPK sering dicurigai mudah diintervensi pihak-pihak tertentu. Di level ini, suara sering direkayasa, dengan dipindah-pindahkan. Baik suara antar caleg ataupun suara antar partai politik.

Struktur anggota PPK terdiri dari lima orang. Sedangkan anggota PPS terdiri dari tiga orang, diangkat atas usul kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. 

KPU pusat yang memiliki jangkauan keterbatasan, berharap penyelenggara pemilu di semua level bisa bekerja sesuai tugas dan wewenang secara profesional.
   [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar