Jumat, 15 November 2013

Memantau Pemilu, Belajar dari Filipina

Oleh Luky Djani

Kecurangan pemilu, terutama berkaitan dengan manipulasi penghitungan suara (vote-counting manipulation), marak terjadi. Dalam pemilu 2009, kasus-kasus rekayasa penghitungan beberapa dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu. Mahkamah Konstitusi juga menerima seabrek gugatan sengketa penghitungan suara pemilukada. Beberapa kasus manipulasi penghitungan dan rekapitulasi suara, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, dinyatakan terbukti mengandung pelanggaran secara sistematis, terstruktur, dan masif.

Sengketa penghitungan suara terjadi karena peserta pemilu bekerja sama dengan penyelenggara pemilu melakukan manipulasi penghitungan suara, dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga level lanjutan. Langgam korupsi pemilu ini sering disebut sebagai wholesale vote-buying (Fabrice 2007, Schaffer 2007), di mana peserta “membeli” suara secara kulakan atau partai besar. Secara manajemen pemenangan, praktek korupsi pemilu dengan memanipulasi perolehan suara ini lebih mudah dilakukan serta lebih memberi kepastian hasil akhir.

Bagaimana meredam manipulasi penghitungan suara? Kita bisa menerapkan strategi jitu National Citizens' Movement for Free Elections (Namfrel) sewaktu mematahkan kecurangan terorganisasi rezim Marcos. Pembuktian manipulasi suara dilakukan dengan metode sederhana tetapi bonafide, yakni Tabulasi Penghitungan Suara Paralel (Parallel Vote Tabulation/PVT). Ketika cara ini dilakukan, Namfrel membuka pintu keruntuhan rezim Marcos. Jika PVT diterapkan di Indonesia, kita dapat mencegah kecurangan pemilu, mengurangi sengketa hasil pemilu di pengadilan, serta dapat mengurangi biaya pemilu yang harus ditanggung oleh peserta pemilu. Pada akhirnya, integritas pemilu akan terjamin.

Pengalaman Filipina

Rezim otoritarian Ferdinand Marcos berakhir secara dramatis pada 1986. Salah satu “orang kuat” di Asia Tenggara yang telah berkuasa sejak 1965 ini akhirnya tumbang setelah praktek kecurangan dan manipulasi pemilu yang dilakukan terungkap secara benderang. Adalah Namfrel, organisasi pemantau pemilu, yang dengan gamblang membeberkan kecurangan dan manipulasi pada pemilu 1986. Pembuktian yang dilakukan Namfrel lantas memicu gelombang aksi besar-besaran atau lebih dikenal dengan sebutan People Power.

Pada 1973, Diktator Ferdinand Marcos memenjarakan musuh bebuyutannya, Senator Benigno Aquino. Ninoy--panggilan akrab Benigno--menderita serangan jantung dan akhirnya diasingkan ke Amerika untuk menjalani pengobatan. Setelah pulih, Ninoy berniat kembali ke Filipina dan maju dalam pemilihan presiden. Dalam perjalanan pulang dari pengasingan, pada 21 Agustus 1983, Ninoy dieksekusi sewaktu mendarat di bandara internasional Manila.

Kematian Ninoy sontak menggelorakan perlawanan politik terhadap Marcos. Cory Aquino, istri Ninoy, kemudian menjadi figur perlawanan dan menantang Marcos dalam pemilihan presiden 1986. Dalam pemilu Congress pada 1984, rezim Marcos menggunakan segala cara guna memenangi pemilu, termasuk melakukan intimidasi, pembelian suara, hingga melakukan manipulasi penghitungan suara. Beragam kecaman muncul atas kecurangan-kecurangan tersebut. Tetapi, karena ketiadaan data akurat soal kecurangan tersebut, pihak oposisi tak mampu mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu.

Barulah pada pemilu 1986, kecurangan rezim Marcos dapat dipatahkan. Namfrel melancarkan operasi “Parallel Vote Tabulation” (mereka menyebutnya “Quick Count”) dengan melakukan tabulasi penghitungan suara paralel secara cepat, menandingi penghitungan suara yang dilakukan oleh Comelec (KPU-nya Filipina). Dengan melibatkan 500 ribu relawan, ditopang oleh jaringan masyarakat sipil, jaringan gereja, serta akademisi, puluhan ribu TPS di seantero Filipina dimonitor. Tugas relawan sederhana: mencatat perolehan suara di TPS dan mengirimnya ke pusat tabulasi Namfrel.

Berdasarkan tabulasi Comelec yang manipulatif, Marcos dinyatakan menang. Sedangkan hasil PVT Namfrel dengan jelas menunjukkan kemenangan di pihak Cory. Namfrel lalu membuka data tabulasi PVT serta memaparkan kecurangan-kecurangan rezim Marcos. Karena kredibilitas Namfrel, PVT yang mereka lakukan dijadikan patokan oleh pemilih dan publik menolak hasil Comelec. Kisruh penghitungan suara berujung pada konflik politik dengan memicu People Power yang akhirnya menjungkalkan Marcos dari singgasananya. Pengalaman Filipina mengilustrasikan kesuksesan PVT dalam menangkal manipulasi penghitungan suara.

PVT di Indonesia


Kerap terjadinya manipulasi penghitungan suara menunjukkan adanya permainan antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu. Korupsi pemilu yang demikian jelas mengubah hasil akhir dan mendustai pilihan pemilih serta mencederai integritas pemilu. Bagaimana cara mengatasinya? Pengalaman Filipina mengajari kita, perlu ada tabulasi penghitungan suara yang kredibel dan tepercaya sebagai pembanding dari tabulasi yang dilakukan oleh KPU.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat membuat PVT. Tentu akan muncul pertanyaan, apakah menjalankan PVT menjadi wewenang Bawaslu? Jika PVT ditujukan guna mencegah manipulasi penghitungan suara, hal itu sudah sesuai dengan mandat Bawaslu. Apakah tabulasi penghitungan suara paralel ini memiliki kekuatan hukum dan hasilnya kredibel? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pasal 180 ayat 2, pengawas lapangan di tingkat TPS berhak mendapatkan sertifikat hasil penghitungan suara dari KPPS.

Salinan sertifikat yang memiliki kekuatan hukum kemudian dikirim ke pusat tabulasi Bawaslu. Dengan adanya tabulasi pembanding, keinginan peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu untuk memanipulasi penghitungan suara akan dapat ditangkal, karena dapat dengan mudah diverifikasi. Peserta pemilu (calon legislator dari parpol, juga perseorangan) tidak perlu khawatir suara mereka akan “disulap” oleh pesaingnya. Dengan demikian, PVT menjadi instrumen preventif guna mencegah potensi manipulasi penghitungan dan rekapitulasi suara.

Selain sebagai upaya preventif di atas, PVT menawarkan dua manfaat lain. Pertama, menjadi back-up dari tabulasi suara nasional yang dilakukan oleh KPU. Jika tabulasi suara KPU secara komputasi mengalami problem seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, kita masih mempunyai cadangan untuk merekapitulasi penghitungan suara dari tingkat TPS. Sistem kepemiluan sepatutnya mempunyai back-up system, terutama untuk penghitungan suara. Tentu harus dipikirkan bagaimana membangun database PVT dengan menggunakan teknologi tepat guna secara murah, akurat, dan relatif cepat.

Manfaat lainnya adalah untuk menekan biaya pemilu yang harus ditanggung peserta pemilu. Dengan jumlah TPS (dalam negeri) pemilu 2009 sebanyak sekitar 519 ribu TPS, 6.487 kecamatan, serta biaya uang lelah yang harus dikeluarkan peserta pemilu bagi saksi sebesar Rp 100 ribu, maka ongkos operasional mencapai kurang-lebih Rp 52,5 miliar. Jika ada 10 parpol peserta pemilu, total biaya menjadi Rp 0,5 triliun. Dengan adanya PVT, peserta pemilu tidak wajib menempatkan saksi di tiap tingkatan guna mengamati penghitungan dan rekapitulasi suara, karena kemungkinan melakukan manipulasi menjadi sangat sulit. Dengan demikian, dapat dilakukan penghematan biaya politik yang jumlahnya tidak sedikit.

Tabulasi penghitungan suara paralel merupakan terobosan dalam fungsi pengawasan, karena secara efektif dapat mencegah kecurangan dalam penghitungan suara. Dengan adanya PVT yang kredibel dan akurat, peserta pemilu maupun penyelenggara akan berpikir ulang untuk mencoba memanipulasi proses penghitungan suara, sehingga hasil pemilu sesuai dengan pilihan rakyat dan proses pemilu berjalan dengan jujur, adil, serta berintegritas. *

Bagaimana meredam manipulasi penghitungan suara? Kita bisa menerapkan strategi jitu National Citizens' Movement for Free Elections (Namfrel) sewaktu mematahkan kecurangan terorganisasi rezim Marcos. Pembuktian manipulasi suara dilakukan dengan metode sederhana tetapi bonafide, yakni Tabulasi Penghitungan Suara Paralel (Parallel Vote Tabulation/PVT).

Luky Djani, Deputy Sekjen Transparency International Indonesia


Sumber :Koran Tempo  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar