Selasa, 03 Desember 2013

CATATAN MENARIK DARI DEMO PEMAKZULAN BUPATI KARO

Setiap kali muncul peristiwa "Demo" sudah lajim juga mengemuka perbedaan pandangan terhadap makna demo tersebut, selain ada yang mendukung, disisi lain ada juga yang memandangnya sebagai tindakan negatif, (Bagi Cakap Karo i kataken "Kurang Dahin"). Perbedaan itu sebenarnya hal yang wajar saja karena itulah potret manusia umumnya, memiliki bermacam-macam pendapat karena masing-masing melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga hasilnya juga berbeda, tetapi hal tersebut bukan berarti menjadi peluru tajam untuk dipergunakan memvonnis seseorang salah atau bodoh maupun "pengecut". Tetapi kita harus menganggapnya sebagai dinamika tukar pikiran dan cerminan kehidupan berdemokrasi, bukankah dalam sebuah sistem demokrasi adakalanya kita harus memilih sikap "Sepakat Untuk Tidak Sepakat"

Dalam kegiatan Demo di Bumi Turang - Taneh Karo Simalem yang sedang terjadi, banyak juga muncul pendapat "minor" atau tidak mendukung kegiatan demo tersebut, dan tidak sepakat untuk sampai "Pemakzulan" atau "Me-Lengserkan" Bupati. Nada tidak setuju tersebut harus kita lihat bahwa mereka meresponnya berdasarkan "Kaca Mata Yang Mereka Pergunakan" atau "Kepentingan Terselubung" yang tengah mereka nikmati.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pihak yang tidak mendukung pelaksanaan demo ini, perlu juga kita tarik beberapa "catatan menarik" atau "pesan berharga" yang tersirat dalam gencar demo yang dilakukan masyarakat Karo saat ini. Yaitu Demo tersebut menunjukkan bahwa masih ada masyarakat Karo yang perduli terhadap dinamika kehidupan politik Kabupaten Karo dan masih tergerak hati-nya untuk berupaya meluruskan apa yang dianggap tidak baik. Hal ini sangat penting dipetik karena selama ini ada berkembang pandangan yang salah terhadap masyarakat Karo yang menganggap sebagian besar masyarakat Karo kurang peduli terhadap atmosfir kehidupan politik dan cenderung bertindak dalam bentuk politik pragmatis.

Munculnya demo kali ini menjadi indikator bahwa masyarakat Karo peduli terhadap sistem pengelolaan pemerintahan di Kabupaten Karo dan membuktikan bahwa masyarakat Karo juga "Melek Politik" serta menyingkarkan anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Karo "cuek" saja terhadap apapun yang dilakukan pemimpinnya.

Dalam demo hari Senin 2 Desember 2013 nampak beberapa orang tokoh muda masyarakat Karo memimpin demo tersebut, baik yang selama ini bermukim di Kabupaten Karo, Medan maupun di luar pulau Sumatera, hal ini memberi gambaran bahwa "kelas menengah" masyarakat yang memiliki ciri khas berpendidikan (educated), mapan secara ekonomi, kritis dan rasional. Kelompok ini sangat potensial dan memiliki modal dasar sebagai calon pemimpin masa depan, sehingga demo yang dilakukan tersebut dapat dikatakan memiliki bobot atau kualitas yang mumpuni. Sehingga Demo tersebut tidak layak kita sebut sebagai tindakan "Kurang Dahin".

Bahkan dengan kehadiran mereka yang relatif memiliki kualitas tersebut menjadi cerminan bahwa masih banyak generasi muda masyarakat Karo yang memiliki kualitas yang layak dipertimbangkan sebagai bakal calon pemimpin dimasa yang akan datang, artinya kepada masyarakat Karo tengah disuguhkan banyak pigur yang pantas dipertimbangkan untuk dimajukan dan dipilih sebagai calon pemimpin Kabupaten Karo masa yang akan datang. Oleh karena itu terabaikanlah kekuatiran selama ini yang menyatakan seakan-akan masyarakat Karo kekurangan pigur calon pemimpin yang memiliki kualitas yang bisa diandalkan.

Wacana ini sangat menarik dikemukana karena selama ini banyak masyarakat yang apatis terhadap pigur-pigur calon pemimpin Karo, baik itu untuk menjadi Bupati maupun calon anggota DPRD. Tidak jarang kita mendengar ucapan masyarakat yang mengatakan " Seri nge kerina e, ise pe sipilih, adi enggo terpilih lanai bo ingat na kita". Karena masyarakat memiliki asumsi seperti ini maka mereka juga terjerumus ke dalam tindakan politik pragmatis, misalnya menerima uang untuk memilih seseorang (money politics).

Selaras dengan itu, untuk para generasi muda Karo, khususnya yang memiliki niat untuk maju menjadi bakal calon Bupati yang akan datang, dan bagi calon anggota legeslatif (DPR / DPRD), semestinya memberanikan diri untuk tampil kepermukaan sejak dini, terutama maju kedepan menunjukkan kemampuan dan kepeduliannya terhadap dinamika politik dan penderitaan rakyat yang sedang terjadi. Supaya masyarakat juga tau persis siapa sebenarnya pigur yang memiliki kualitas dan kemampua. Jika ingin menjadi calon pemimpin Kabupaten Karo yang akan datang alangkah baiknya jika tidak menjadi calon "Dadakan" yang tidak sempat dikenal masyarakat dengan baik "Bibit, Bobot dan Bebet)-nya. Coba disingkirkan sikap "Mehangke" dalam arti takut dicap "tual" atau sok maju.

Demikian juga sebaliknya, dari pelaksanaan demo yang sedang berlangsung, secara kasat mata nampak dengan jelas siapa sebenarnya Para Birokrat dan anggota DPRD yang benar-benar memiliki kepedulian terhadap masyarakat Karo dan siapa oknum yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tanpa disadari Demo kali ini mempertontonkan dan memberi pemahaman bagi rakyat Karo siapa sebenarnya para anggota DPRD maupun kaum birokrat tersebut. Dan yang terpenting memberikan pembelajaran bagi masyarakat untuk kemudian hari agar lebih selektif, rasional dan kritis dalam menentukan pigur yang akan dipilih.

Suka tidak suka, demo yang tengah berlangsung saat ini di Kabupaten Karo tidak dapat dipandang dengan sebelah mata, tetapi harus dijadikan sebagai proses pembelajaran bagi semua masyarakat Karo maupun untuk semua pemangkukepentingan (stake holder).

Demo kali ini memberi pelajaran bagi semua pihak agar lebih telaten menentukan pilihan terhadap calon Bupati dan DPRD dimasa yang akan datang, serta menjauhkan diri dari tindakan memilih hanya karena faktor kepentingan sesaat atau kenikmatan sesaat karena ternyata menimbulkan efek menyakitkan dalam kurun waktu jangka panjang.

Demikian juga terhadap Calon Bupati dan Anggota DPRD, jika terpilih dan telah menduduki kursi empuknya diminta untuk tidak bertindak melakukan hal yang merugikan masyarakat dan tidak memperdulikan kepentingan masyarakat karena sewaktu-waktu bisa saja menjadi korban demo atau pemakzulan yang dilakukan oleh masyarakat.

Artinya Demo yang dilakukan masyarakat terhadap Bupati Karo saat ini merupakan cermin yang menunjukkan sikap masyarakat Karo itu sendiri dan menjadi "lampu merah" atau peringatan kepada siapa saja elit politik Kabupaten Karo agar tidak bertindak semena-mena apalagi hanya mementingkan diri sendiri serta mencari keuntungan diatas penderitaan rakyat Karo.

Untuk masyarakat Karo yang bermukim di Taneh Karo Simalem, peristiwa yang terjadi saat ini, terutama demo ini, kiranya menjadi proses pembelajaran bagi semua agar dalam memilih pemimpin Karo di masa yang akan datang mampu lebih selektif dan tepat sasaran, serta mengenyampingkan kepentingan kecil demi meraih kepentingan yang lebih besar. Ternyata tindakan salah pilih yang dilakukan dalam menentukan pemimpin Kabupaten Karo menimbulkan efek besar serta melahirkan ketidak nyamanan jangka panjang.

Untuk "kade-kadenta" yang sedang melakukan demo terhadap kepemimpinan Bupati Karo saat ini patut kita beri dukungan serta penghargaan karena telah berupaya dan berjuang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat Karo saat ini dan terutama kehidupan masyarakat untuk masa yang akan datang.

Selamat Berjuang............
Mejuah-juah Man Banta Kerina
Mbuah Page Ni Suan- Merih Manuk Ni Asuh

_________________________________
BORNEO, Akhir Tahun 2013

PEMAKZULAN BUPATI KARO MERUPAKAN DOMAIN DPRD KABUPATEN KARO

Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfir kehidupan demokrasi secara konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung pimpinan daerahnya, seperti Bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. 
Masyarakat juga memiliki peluang untuk menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap memiliki penyimpangan dalam kepemimpinannya, tetapi untuk melakukan pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah dibutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan DPRD.

Menilik demo yang dilakukan masyarakat Karo untuk meminta Bupati Karo diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana keseriusan dan kemampuan anggota DPRD Kabupaten Karo menampung dan mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional hanya DPRD yang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya memakzulkan Bupati Karo merupakan domain atau wewenang anggota DPRD Kabupaten Karo.

Secara kasat mata terlihat dengan jelas demo yang sedang terjadi menunjukkan sebagaian besar masyarakat Kabupaten Karo mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja Bupati yang sedang menjabat saat ini, terutama terhadap tindakan-tindakan bupati yang diduga tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal Bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas, dapat dibuktikan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan jalur, ruang dan waktu panjang, serta menyita energy yang banyak, dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit. Bahkan kemungkinan tidak luput dari dinamika kepentingan politik seseorang maupun kelompoknya, sehingga adakalanya produk akhirnya bisa jadi tidak sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok yang melakukan demo.

Untuk melakukan pemakzulan Bupati Kabupaten Karo yang menjabat saat ini, dibutuhkan kemampuan merumuskan apa sesungguhnya kesalahan Bupati Karo, hal itu yang akan dijadikan sebagai alasan utama perlunya dilakukan pemberhentian dari jabatannya. Jika alasan tersebut tidak tepat maka proses pemakzulan tersebut dikuatirkan akan sia-sia dan tidak membuahkan hasil.

Peristiwa pemakzulan Bupati di Indonesia, bukan merupakan peristiwa baru, dan telah pernah dilakukan di beberapa daerah, secara konstitusional ketentuan mengenai pemakzulan kepala daerah diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Peristiwa ini pernah dilakukan di Propinsi Riau dan Jawa Timur, dan yang paling heboh adalah pemakzulan Aceng Fikri Bupati Garut Provinsi Jawa Barat yang dianggap amoral dan melanggar etika.

Pemakzulan kepala daerah, pada intinya dapat dilakukan apabila memenuhi tiga hal mendasar, yaitu perbuatan kriminal, pengkhianatan dan perbuatan tercela. Dalam UU No. 32 diatur ketentuan, mekanisme dan tata cara pemberhentian kepala daerah, baik melalui peran DPRD maupun tindakan langsung yang dilakukan oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD. Atau, DPRD akan menggunakan hak menyatakan pendapatnya untuk menentukan apakah Bupati akan dinonaktifkan atau tidak yang selanjutnya akan diajukan ke Mahkmah Agung.

Pasal 29 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004, menyebutkan Mahkamah Agung berwenang memutus pendapat DPRD atas pemberhentian kepala daerah yang diusulkan jika kepala daerah dinilai melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya, putusan usul pemberhentian itu disampaikan kepada presiden dan memprosesnya paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul itu.

Dalam kasus Aceng Fikri, pemakzulan dapat terealisasi karena kasusnya dirumuskan sebagai pelanggaran etika. Setelah melalui demontrasi masyarakat dan menjadi berita utama di media massa, DPRD Garut membentuk pansus untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran etika yang diduga dilakukan Aceng Fikri, kemudian pansus dalam sidang paripurna DPRD memutuskan Aceng Fikri melanggar etika, perundang-undangan dan sumpah jabatan.

Mahkamah Agung juga akhirnya mengabulkan permohonan DPRD Garut, kemudian DPRD mengeksekusi keputusan tersebut melalui sidang paripurna DPRD dan disampaikan kepada Menteri Dalam Negri, kemudian pemberhentian bupati akan dilakukan oleh presiden.

Untuk melakukan pemakzulan seorang Bupati berdasarkan konstitusi, menjadi domainnya DPRD, dalam peristiwa demo terhadap Bupati Karo yang diminta masyarakat agar berhenti dari jabatannya, keberhasilan tuntutan ini sangat tergantung kepada kemauan dan kemampuan DPRD Tingkat II Kabupaten Karo. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya proses pemberhentian Bupati Karo berada didalam wewenang para anggota DPRD. Maka saat ini wajar jika masyarakat Karo yang menginginkan terjadinya pemberhentian Bupati Karo sangat menggantungkan harapannya kepada para anggota DPRD Kabupaten Karo.

Pada intinya masyarakat telah mengungkapkan perasaan dan keinginannya melalui demo yang dilakukan, dan secara terus terang masyarakat sudah menunjukkan sikap tidak tidak menerima keberadaan Bupati saat ini, persoalannya mampukah para anggota DPRD mendengarkan suara rakyat ini dan sanggup-kah para anggota DPRD tersebut merumuskan alasan yang tepat untuk memuluskan proses pemberhentian Bupati ?

Wacana ini sangat layak dan pantas kita sampaikan kepada para anggota DPRD Kabupaten Karo karena berhasil atau tidaknya tuntutan rakyat ini sangat tergantung kepada kemauan para anggota DPRD Kabupaten Karo, dan untuk menggagalkan pemberhentian Bupati Karo para anggota DPRD tersebut juga memiliki kekuatan secara politis

Jumat, 15 November 2013

KEWIBAWAAN NEGARA YANG KIAN MEROSOT


Kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata yang penuh makna, yakni negara yang kita bangun ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, kita membentuk pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan atas nama negara. Kini, Pemerintahan SBY-Boediono baru menjalankan kekuasaan pemerintahan negara melalui Pemilu yang buruk di tahun 2009, setahun saja, sejak dilantik 20 Oktober 2009. Sejak awal, Pemilu yang buruk dengan manipulasi daftar pemilih, IT KPU yang amburadul, dan dugaan  penggunaan dana bill out Bank Century untuk membiayai kampanye Pilpres SBY Boediono, sejak awal telah menyebabkan Pemerintah baru ini mengalami krisis kewibawaan.
Memang,  apa yang dikemukakan ini baru bersifat dugaan. Namun sikap defensif pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik pendukungnya terhadap semua permasalahan diatas, secara politik justru semakin mempreteli kewiwabaan Pemerintah. Soal manipulasi data pemilih misalnya pernah menjadi angket di DPR yang lama. Namun DPR baru hasil Pemilu 2009 tidak meneruskan penyelidikannya, padahal menurut UU Angket, DPR baru berkewajiban meneruskan angket itu. Negosiasi politik antar partai dalam penyusunan KIB II, nampaknya telah menenggelamkan kewajiban DPR baru untuk meneruskan hak angket itu. Penyelidikan terhadap amburadulnya IT KPU yang diduga kuat memainkan peranan besar dalam manipulasi Pemilu dan Pilpres, telah menelan korban dengan dijebloskannya Antasari Azhar ke dalam penjara dengan tuduhan yang mencengangkan, yang hingga kini tetap misteri. Antasari tahu seluk beluk IT KPU dengan yang dibangun dengan biaya besar, termasuk tahu siapa rekanan yang memenangkan pengadaan peralatan IT itu. Dia baru saja berniat menyelidiki, belum apa-apa, tapi nasibnya keburu mengenaskan. Akhirnya rencana menyelidiki IT KPU kandas bersamaan dengan dijebloskannya Antasari ke dalam tahanan.
Bibit Slamet Riyanto dan Chandra Hamzah lain lagi ceritanya, niat mereka untuk menelusuri bill out Century menjadi kandas dengan isyu yang sengaja ditimpakan kepada mereka: penyuapan. Sampai sekarang status Bibit dan Chandra masih tersangka. Surat Penghentian Penyidikan terhadap mereka telah ditolak pengadilan.  Kini kabarnya sedang diuapayakan kasasi ke Mahkamah Agung.  KPK menjadi lumpuh dengan kasus yang menimpa tiga pimpinannya. Sementara Susno Duadji yang mulai buka mulut hal-hal terkait dengan Century, dijebloskan ke dalam tahanan dengan tuduhan korupsi ketika menjadi Kapolda Jawa Barat. Sejak itu, tiga institusi penegak hukum, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan seolah menjadi berhadap-hadapan satu sama lain. Padahal, Presiden berkewajiban menjaga harmonisasi antara lembaga penegak hukum. Konflik terbuka tiga lembaga ini akan berakibat merosotnya kewibaan aparatur penegak hukum. Kalau kewibawaan aparatur penegak hukum rusak, maka krisis kewibawaan akan makin melebar. Rakyat tak percaya penegakan hukum dilakukan dengan niat yang tulus demi tegaknya hukum. Penegakan hukum hanyalah alat permainan untuk menutupi dan membela kepentingan. Negara akhirnya akan terjerumus kepada krisis kewibawaan yang kian dalam.
Dalam suasana krisis seperti itu, Pemerintah masih berupaya untuk membangun citra memberantas korupsi. Namun upaya ini tak berhasil memulihkan citra itu, kendatipun bagi SBY, citra adalah Panglima! Sejumlah kasus lama dibongkar-bongkar seperti kasus penyuapan sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Guberbur BI. Kasus Sisminbakum diangkat kembali, walau sejak awal awampun tahu ada rekayasa dibalik semua itu. Namun, kalau menyinggung bill out Century, segala upaya dilakukan agar mega skandal ini tidak terkuak, karena akan menohok substansi legalitas Pemilu 2009 dengan komposisi anggota DPR seperti sekarang, dan Pilpres 2009 yang dimenangkan SBY-Boediono. IT KPU kini sudah hilang dari ingatan publik. Padahal, kalau ini terkuat, akan ketahuan juga bagaimana sesungguhnya rekayasa Pemilu 2009 dilakukan.
Apa yang dikemukakan di atas hanya dipahami oleh masyarakat kelas menengah  dan kelas atas. Masyarakat kelas bawah, walaupun mendengar berita, mungkin kurang mampu mencerna dan kurang menaruh perhatian tentang hal-hal yang tidak secara langsung mengenai kehidupan mereka. Namun ketidak-adilan tetap mereka rasakan, ketika Pemerintah yang tengah mengalami krisis kewibawaan sibuk membela dan mempertahankan diri dengan membangun citra diri yang bagus dan aduhai, telah lalai mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik di kalangan masyarakat kelas bawah. Pemerintah SBY tetap saja tak kunjung mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang terus terpinggirkan dalam kemiskinan yang makin dalam. Lapangan kerja dan lapangan berusaha begitu sulit dalam setahun terakhir ini, yang semakin mendorong meningkatnya kejahatan. Rasa aman rakyat hilang, seiring dengan merosotnya kewibawaan Pemerintah. Konflik antar kelompok dalam masyarakat terjadi di mana-mana dengan aneka latar belakang isyu, etnik, agama, premanisme dan terorisme. Rakyat yang jengkel mulai menyerbu kantor polisi yang menjadi simbol negara dalam melindungi bangsanya. Namun apa yang terjadi, polisi justru melipatgandakan kewaspadaan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman teroris dan penjahat. Kalau aparat keamanan sibuk melindungi diri sendiri, bagaimana mungkin akan mampu  melindungi rakyat?
Ketika ketidak-adilan makin meluas, negara seperti tidak hadir. Padahal negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Ketika wilayah negara diterobos oleh petugas negara lain, negara juga tidak menunjukkan ketegasan sikap. Negara seakan tak hadir melindungi tumpah darah Indonesia dan membiarkan harga dirinya terinjak-injak. Sungguh tragis nasib bangsa dan negara yang dipimpin Presiden SBY-Boediono ini.

Jangan Manipulasi DPT

Tinggal lima bulan lagi menjelang Pemilu 2014, kini kembali muncul penyakit lama: daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Banyak data yang salah dalam DPT, seperti ada pemilih ganda, dimasukkannya warga yang belum punya hak pilih, serta masih dicatatkannya warga yang sudah meninggal.

Sungguh, ini sebuah kenyataan yang tidak masuk akal. Dengan bekerja kerja, fokus, tidak neko-neko, DPT yang lengkap dan akurat mestinya bisa dengan mudah diwujudkan. Selain sudah tersedianya data dari Badan Pusat Statistik, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di seluruh Indonesia pun sudah memiliki data tentang DPT di daerahnya masing-masing sehubungan dengan pemilukada. Dengan sedikit pemutakhiran, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bekerja serius sesungguhnya sudah bisa memiliki DPT yang lengkap dan akurat.

Apalagi proses penyusunannya pun dilalui KPU secara bertahap, diawali dengan data pemilih yang dimutakhirkan dari daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4), menjadi daftar pemilih sementara (DPS), lalu daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), dan terakhir baru DPT. Lalu, mengapa permasalahan DPT baru muncul di ujung tahapan? Lebih dari itu, pertanyaannya, mengapa DPT masih selalu menjadi masalah? Mengapa DPT yang lengkap dan akurat seolah-olah sesuatu yang mustahil dicapai?

Jawabannya, hal ini menyangkut mentalitas. Amburadulnya DPT sesungguhnya bukan disebabkan oleh ketidakmampuan KPU melainkan lebih karena masalah integritas. Dengan DPT yang tidak lengkap, KPU bisa “bermain” untuk memenangkan partai atau kader tertentu.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cara untuk memenangkan kader tertentu adalah dengan mengurangi pemilih di basis-basis kader tertentu itu tadi. Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa dari DPT bermasalah terhadap lebih dari 20% pemilih yang golput, tidak mau memilih. Juga setidaknya dari 80% yang masuk kategori pemilih belum menentukan pilihan mereka. Dengan DPT yang tak lengkap inilah kelompok golput bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan kader.

Karena itu, dengan realitas yang ada sekarang di mana ditemukan disparitas ketidakakuratan data yang demikian besar, tidak ada pilihan lain kecuali sejenak menunda dulu penetapan DPT. Sangatlah penting bahwa DPT harus akurat. DPT tak boleh salah. Bagaimanapun DPT merupakan kunci untuk penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Dengan data DPT yang akurat, maka kualitas pemilu akan terjamin lebih baik. Kalau sampai ada pemilik hak suara yang tidak masuk dalam DPT, itu merupakan bentuk korupsi terhadap suara rakyat. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak sipil politik warga negara.

Karena itu, sebelum DPT disahkan, kita desak KPU bekerja lebih keras, lebih fokus, dan lebih serius. KPU harus segera membenahi masalah DPT untuk menghindari kecurangan dan perdebatan dalam pemilu mendatang. KPU sebagai penyelenggara dan penanggung jawab pemilu harus menuntaskan kekacauaan DPT. DPT yang kacau sangat rawan terhadap kecurangan, dan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak–pihak tertentu. Tidak hanya itu, DPT yang bermasalah juga akan mengurangi hak konstitusi rakyat.

Jangan kita berbicara soal ukuran DPT bermasalah dari sisi jumlah, soal sedikit atau banyaknya. Ini sangat berbahaya. DPT menyangkut hak politik rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Satu suara sangat berharga bagi hak politik dan hak demokrasi warga negara Indonesia. Makanya KPU harus menghormatinya.

KPU tidak boleh memandang remeh dengan menyatakan DPT bermasalah “cuma 1%”. Kalau pernyataan tersebut diteruskan maka itu sama saja mengecilkan hak konstitusi dan hak demokrasi.

Kita semua harus bertekad, Pemilu 2014 harus lebih baik dan lebih berkualitas dari pemilu sebelumnya. Syaratnya, KPU sebagai penyelenggara harus menjalankan tugasnya secara profesional, bersikap independen, serta menjunjung tinggi keakuratan data pemilih (DPT).

Kita harus belajar dari kisruh DPT sebelumnya. Pada Pemilu 2009, misalnya, ada lebih dari tujuh juta pemilih fiktif di dalam DPT. Kita inginkan hal tersebut tak boleh terulang lagi pada Pemilu 2014. Baik untuk pemilu legislatif (pileg) maupun untuk pemilu presiden (pilpres), Pemilu 2014 harus dijadikan ajang untuk berkompetisi secara sehat, jujur, adil, agar terpilihnya penyelenggara negara yang terbaik, punya integritas, dan kapabel.

Pada 2014, kita harapkan tak boleh ada lagi anggota legislatif siluman, yang dihasilkan melalui “permainan” DPT bermasalah. Kita juga sangat mengharapkan agar Pilpres 2014 benar-benar dapat menghasilkan pemimpin nasional terbaik, yang mencintai dan dicintai rakyat. Syaratnya, itu tadi: penyelenggaranya harus profesional dan independen, dan itu hanya mungkin jika ada dukungan DPT yang akurat dan lengkap. (*)

Courtesy : http://www.investor.co.id/home

Pemilu Penuh Manipulasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang 2014, pembicaraan mengenai pemilu mulai marak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan menyinggung mengenai pemilu di akun Twitter-nya, Rabu (18/4) dini hari. Tak hanya SBY, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) juga memberikan kultwit terkait pemilu. 
Menurut Yusril, pemilu di Indonesia penuh manipulasi. "Itulah tragedi demokrasi kita. Sistem sengaja dibikin ruwet dan hasilnya jauh dari kejujuran. Malah penuh manipulasi," katanya, Kamis.
Ia menjelaskan, pemilu Indonesia sangat kompleks. Ini karena suara dikumpulkan ke atas dari tingkat TPS di RT/RW hingga ke KPU Pusat. Praktik ini yang membuat hasil pemilu rawan dicurangi. 
Kecurangan paling rawan karena hasil perhitungan dibawa secara berjenjang dari TPS ke desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Sehingga hanya yang punya akses kuat ke KPU dan birokrasi/polisi yang suaranya aman.
"Akses kuat ke KPU, birokrasi dan polisi itu tergantung pada uang dan kekuasaan. Tanpa itu, suara sebuahbpartai dengan mudah disabot partai lain," papar dia.
Keruwetan sistem proporsional itu ditambah dengan sikap KPU yang suka membuat aturan menyimpang dari undang-undang. 
Yusril menambahkan, perhitungan suara secara berjenjang itu sukar untuk dikontrol oleh partai yang tak punya uang dan akses ke KPU/birokrasi. Kalau kecurangan itu dibawa ke MK pembuktiannya pun sulit. Bagaimana mau menghadirkan ribuan saksi di TPS ke MK, hampir tak mungkin
Banyak rakyat yang kemudian tertipu dengan hasil pemilu. Malah, banyak pengamat yang bias menganalisis kekuatan sebenarnya politik di Tanah Air. Ini karena mereka melihat data hasil pemilu tanpa memperhitungkan kalau sebagian besar hasil itu adalah manipulasi dan kecurangan. 
Ia menilai, hanya pemilu 1955 dan 1999 yang mendekati kejujuran. Sementara yang lain, penuh dengan manipulasi yang dikendalikan uang dan kekuasaan.
Karenanya, ujar dia, PBB menjadi satu-satunya partai yang ingin menggunakan pemilu sistem distrik sejak 1999. Tapi tak ada partai lain yang mau.
"Pemilu Malaysia menggunakan sistem distrik. Penghitungan jadi sederhana, mudah diawasi dan pemenang segera diketahui," papar mantan menteri kehakiman dan HAM tersebut.

Dinamika Pemilu 2009, Demokrasi dan Makna Kekuasaan

 ”Power tends corrupt, absolute power corrupt absolutely. ( Lord Acton )


The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”. (Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008.)


Kutipan bijak diatas menunjukan betapa pentingnya sistem manajemen kekuasaan yang dapat menundukkan perilaku penguasa yang cenderung merusak tatatan. Bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah serta pasar yang besar. Tetapi sayangnya Indonesia tidak melesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia. Justru sebaliknya, rakyat merasakan himpitan kemiskinan yang kian menindih. Pertanyaan mendasar yang sering dikeluhkan masyarakat adalah demokrasi tidak ada hubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Rakyat belum merasakan secara konkrit hasil dari sebuah tatanan politik yang seharusnya para pemimpin rakyat mempunyai komitmen mewujudkan kesejahteraan masyatakat. Namun harapan rakyat tersebut justru berbanding terbalik dengan sikap sebagian besar para elit politik, sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat, justru menyalahgunakan kekuasan yang dipercayakan kepada mereka.
Kuliah umum ini akan dibagi dalam beberapa penggalan sebagai berikut. Pertama, kegagalan para elit memahami kekuasaan. Kedua, dinamika revolusioner dalam proses demokrasi. Ketiga, manipulasi demokrasi prosedural. Kempat, Pemilu 2009, paradigma dan realita. Bahan kuliah umum ini akhiri dengan catatan penutup.

KEGAGALAN ELIT MEMAHAMI KEKUASAAN.
Pilihan bangsa Indonesia untuk membangun tatanan pollitk yang demokratis sudah tepat. Mengapa? Jawabannya: karena sistem tersebut adalah manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai maratabat manusia. Sejarah panjang praktek pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan sewenang-wenang, baik yang bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer maupun oligarki politik lainnya, mendorong umat manusia mencari sistem pengelolaan kekuasaan yang manusiawi. Kekuasaan yang otoritarian menjadi musuh umat manusia karena penguasa tidak hanya memonopoli kekuasan tetapi juga memonopoli kebenaran. Kebenaran menjadi milik penguasa, akibatnya perbedaan pendapat bukan saja dianggap sebagai tindakan kriminal atau subversi yang harus ditindak oleh negara.
Upaya pencarian tata kelola kekuasaan yang dapat membendung kelaliman pemegang kekuasaan, sejalandengan mulai tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih menghargai hak-hak individu, kesetaraan serta pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia. Pada dasarnya perkembangan peradaban manusialah yang telah memungkinkan umat manusia dapat menjinakkan kekuasan yang mempunyai daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan kehidupan manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Memang dalam tatanan demokrasi daya rusak kekuasaan tidak dapat ditaklukan secara absolut, karena hal itu juga berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah menghadapi godaan kenikmatan. Namun karena sifat luhur manusialah kekuasaan dapat digunakan untuk kemashlahatan umat manusia, terutama untuk mengelola kehidupan besama menunju kesejahteraan lahir dan batin.
Pengelolaan kekuasaan yang disebut demokrasi prinsip dasarnya adalah siapapun yang ingin berkuasa harus mendapat mandat dan dikontrol oleh pemberi kekuasaan. Inilah temuan manusia dalam mengelola kekuasaan modern yang dianggap paling bermartabat. Meskipun tidak sempurna, tetapi sampai saat ini belum ditemukan sistem lain yang dapat dianggap sebagai sistem kekuasaan yang secara efektif dapat menaklukan kekuasan. Secara kelembagaan agar kekuasaan tidak menjadi liar, ia harus dikerangkeng dalam suatu bangunan struktural sehingga terjadi keseimbangan kekuatan didalam komponen-komponen struktur tersebut dan pada akhirnya elemen-elemen yang ada dalam kekuasaan tersebut satu dengan lainnya dapat saling mengontrol. Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi bukan hanya sekedar membangun sistim, mekanisme, prosedur politik, tetapi juga harus membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling kontrol tersebut dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum, lembaga perwakilan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, pengakuan terhadap perbedaan kepada warga masyarakat yang bersangkutan. Dimensi ini penting sekali karena melalui proses tersebut akan hadir roh yang menghidupkan dan sekaligus menguatkan demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk atau menjadi anarkis. Oleh karena itu tidak mustahil bahwa negara-negara seperti Yunani dan Roma yang pernah berabad-abad menerapkan sistem ini, mengalami arus balik menjadi kekaisaran. Pengalaman tersebut harus lebih menyadarkan siapapun yang ingin mewujudkan kehidupan demokrasi bahwa perjuangan membangun kehidupan demokrasi pada dasarnya adalah pertarungan menjinakkan ganasnya fenomena kekuasaan.
Watak kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalakan cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan fisik. Sedemikian kejamnya pertarungan kekuasan sehingga ikatan-ikatan pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan ikatan yang didasarkan atas sentimen-sentimen primordial, suku, agama, ras dan keturunan tidak dapat dijadikan sarana meredakan pertarungan politik1. Bahkan bila disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun perang saudara yang sangat kejam. Perburuan kekuasaan telah menjadikan mereka yang terlibat menjadi sangat buas dan selalu siap menerkam serta melumat siapapun yang menjadi lawan politiknya. Satu-satunya faktor yang dianggap dapat mencairkan konfik politik adalah konmpromi dari berbagai kepentingan yang secara rasional dapat diterima oleh semua pihak. Namun sayangnya kompromi kadang-kadang sangat pragmatis dan oportunistik sehinga merugikan masyarakat.
Persyaratan lain agar demokrasi dapat berlangsung adalah kemampuan, pengetahuan serta kecermatan dalam membuat aturan dasar yang komprehensif dan koheren satu sama lain sebagai landasan hidup bersama. Untuk itu selalu diperlukan gagasan dan pemikiran yang mendalam sebagai paradigma dalam penyusunan regulasi yang diperlukan. Aturan tersebut harus dijabarkan sedemikian rinci sehingga dapat dilaksanakan secara baik. Kerumitan dalam proses pembuatan aturan serta kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan membuat demokras tidak efisien dan efektif. Oleh karena itu demokrasi bukan sistem yang sempurna dan mempunyai banyak kelemahan, antara lain karena keputusan yang diambil dalam sistem ini kompleks dan berbelit-belit. Namun demikian demokrasi mempunyai keunggulan, sistem ini mempunyai seperangkat instrument yang dapat dipergunakan rakyat untuk mengoreksi kesalahannya. Namun harus diakui kadang-kadang orang tidak sabar dalam berdemokrasi, karena kelambanan dalam proses pengambilan kebijakan dan kompleksitas aturan yang harus dilakukan tidak dapat segera menghasilkan sesuatu yang dirasakan secara konkrit oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan tidak jarang masyarakat pesimis terhadap demokrasi, apalagi kalau disertai tindakan penyalahgunaan kekuasaan akan menyebabkan kekecewaan yang berlarut-larut. Bila dibiarkan hal itu menyebabkan rakyat tidak percaya kepada sistem ini. Kredibilitas demokrasi yang rusak akan menyebabkan gelombang balik yang dapat mengembalikan bangsa bersangkutan kepada sistem kekuasaan yang menindas atau bahkan menjadi anarki sosial yang tidak kalah destruktifnya dengan sistem kekuasaan yang otoriter. Gejala semacam itu oleh Samuel Huntington disebut sebagai gelombang demokrasi. Artinya dalam kurun waktu tertentu muncul serombongan negara berobah dari otoriter menjadi demokrasi, namun hal itu selalu terjadi kemungnkinan diikuti oleh gelombang balik berupa negara yang semula demokratis menjadi otoritarian kembali. Gejala tersebut nampaknya tidak akan berhenti, sampai dengan nilai-nilai demokrasi menjadi peradaaban masyarakat dunia.
Mungin dalam konteks seperti inilah maka Perdana Menteri Inggris Wilston Churchill dalam pidatonya di parelemen Inggris pada tahun 1947 pernah mengatakan bahwa demokrasi adala sistem pemerintahan yang paling buruk, kecuali dibandingkan sistem lain yang pernah dipatktekan dan ternyata lebih buruk. Jadi pada dasarnya sisitem demokrasilah yang paling baik dari pilihan yang lebih buruk2.

REVOLUSI” DEMOKRASI.
Bangsa Indonesia selama satu dekade telah mengalami suatu proses perobahan politik yang sangat subtansial. Suatu perobahan politik dari sistem ototarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari tingkat percepatan perobahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi demokrasi. Sebuah peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis,karena demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara itu bangsa Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perobahan yang luar biasa, mulai dari perobahan UUD 1945, pemilihan presiden secara langsung, dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat meyusun konstitusi yang sempurna serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang bayi demokrasi. Oleh karena itu wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih kurang sepuluh tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankan kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat politik yang sangat didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan jauh-jauh arti politik sebagai perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar pesona dan janji kosong sebagai alat merayu dukungan, perselingkuhan politik dan segala bentuk serta manifestasi keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Selain beberapa faktor obyektif diatas, aspek utama yang menyebabkan transisi politik seakan–akan berjalan tanpa arah disebabkan pula oleh karena para elit politik tidak mempahami konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan.
Sebagian besar elit lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan dalam aturan dasar yang disebut konstitusi. Dalam alam pikiran para perumus amandemen UUD 1945 yang sangat gandrung negara kesatuan, nampaknya untuk mewujudkan Negara kesatuan cukup merumuskan keinginan tersebut dalam konstitusi sehingga Negara Kesatuan Republik Indoensia akan langgeng. Hal itu dapat disimak dalam pasal 1, ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sbb: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Rumusan tersebut sangat jelas dan limitatif bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan, jadi kalau bukan negara kesatuan bukan Negara Indonesia. Untuk lebih kuat agar Negara kesatuan tidak goyah dan tidak dapat di uthak-uthik lagi, pasal tersebut dikunci melalui ketentuan pasal 37 ayat (5) yang berbunyi sbb:”Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perobahan”. Para penyusun UUD 1945 nampaknya sangat meyakini bahwa kalimat dalam UUD 1945 sudah sedemikian sakti sehingga dengan mencantumkan rumusan tersebut negara kesatuan tidak dapat dirobah. Pertanyaannya: apakah benar keputusan politik tidak dapat dirobah. Apakah benar bangsa Indonesia tidak akan mengalami dinamika politik yang mungkin akan merobah struktur kekuasaan yang dianggap lebih responsive terhadap dinamika perkembangan politik kedepan. Mereka nampaknya lupa bahwa dalam hidup ini, lebih-lebih kehidupan politik selalu berobah. Dinamika politik telah membuktikan bahwa UUD’45 yang pernah dijadikan jimat ternyata dapat diamandemen sebanyak empat kali.
Nampaknya para penyusun UUD 1945 menyadari juga bahwa merumuskan pasal tersebut adalah sesuatu yang mustahil atau tidak masuk akal. Oleh karena itu, meskipun sudah terdapat pasal yang menjamin kelestarian UUD 1945, penyusun konstitusi memberikan kemungkinan perobahan pasal tersebut dengan merumuskan pasal 37 ayat (3) sbb: “Untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR”. Pasal yang sama pada ayat berikutnya (4) lebih menegasan lagi, dengan bunyi sbb: “putusan untuk mengubah pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.” Keseluruhan ilustrasi tersebut hanya memberikan beberapa kesan sebagai berikut: Pertama, para penyusun konstitusi tidak memahami konsep bernegara secara mendalam. Kedua, percaya bahwa kalimat bagus dalam konstitusi dan dapat bertuah dan mempuhnyai kekuatan magis magis yang dapat menjamin kehendak agar negara kesatuan tidak berobah. Namun yang jelas rumusan yang kontradiktif tersebut bagi masyarrakat menimbulkan kebingungan, setidak-tidaknya kontroversial dalam memahami konsrtitusi yang telah diamandemen empat kali.
Hal yang mirip juga dilakukan dalam melakukan desentralisasi. Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka prinsip-prinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan kedaerah berasal dari pemerintah pusat. Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengembang kewenangan yang diberikan tidak dilaksanakan secara bertanggungjawab, atau terjadi krisis pemerintahann daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis didaerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekukasan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.
Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup dan lain sebagainya. Tetapi karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten, banyak sekalim terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang berlarur-larut. Misalnya, mengenai penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja di Daerah.
Dalam mengantisipasi krisis pemerintahan mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur. Namun kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan Gubernur. Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah(state) dapat berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif. Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai.
Pemekaran daerah juga menandai betapa desentralisasi semakin tidak terkendali serta tidak menjamah kepentingan masyarakat. Sumber utama kegagalan pemekaran daerah adalah menjadikan pemekaran daerah seringkali hanya sebagai ladang bisnis politik para elit politik serta sementara kalangan birokrasi pemerintahan. Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 yang mengatur pemekaraan daerah meskipun dianggap kurang sempurna, namun sebenarnya cukup ketat mengatur pemekaran. Namun kadang kala karena nafsu untuk berkuasa lebih besar dari niat untuk mensejahterakan masyarakat, maka pemekaran hanya menjadi medan pertarungan kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga dalam prakteknya, tidak jarang persyaratan pemekaran baik yang bersifat kuaklitatif maupun kuantitatif dapat lolos berkat deal-deal politik yang sangat oportunistik dan pragmatis. Lebih-lebih pembuatan UU pemekaran tidak terlalu sulit karena praktis hanya merobah sedikit konsideran dan diktum dari UU yang telah ada dengan daerah baru. Kalau semangat para pengambil kebijakan tidak berobah, meskipun PP 129/2000 telah diganti dengan PP 78/2007 yang lebih ketat persyaratannya, tidak menjamin bahwa pemekaran akan bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, program legislasi tahun 2008, dari sekitar 150 RUU, 105 diantaranya adalah RUU tentang pemekaran. Kritikan tajam terhadap pemekaran tidak meredakan semangat parlemen untuk terus memekakan daerah. Hal itu anatara lain dapat disimak dalam rencana Prolegnas tahun 2009, terdapat 17 RUU pemekaran.

MANIPULASI DEMOKRASI PROSEDURAL.
Perilaku para elit telah memanipulasi demokrasi prosedural. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi kalau sudah mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri. Dengan mengatas namakan rakyat mereka bahkan dapat menguras kekayaan negara untuk dinikmati sendiri atau bersama kelompoknya. Perilaku para elit yang sangat merusak tatanan tersebut kalau tidak segera dihentikan akan menggerogoti modal sosial (social capital) bangsa ini yang selama satu dekade ini dapat dijadikan aset dalam melakukan transisi politik. Modal sosial yang disumbangkan masyarakat dalam masa transisi adalah kesanggupan rakyat melakukan kompetisi politik secara relatif jujur dan adil secara maraton sejak tahun 1999. Konstribusi tersebut lebih fenomenal lagi karena rakyat Indonesia sejak pertengah tahun 2005 sampai dengan bulan Desember 2008 telah melakukan pemilihan kepala daerah hampir 500 kali. Bahkan pemilihan kepala daerah apat dilakukan di Aceh, dimana wilayah tersebut pernah mengalami perang saudara lebih dari dua puluh tahun, pilkada dapat dilakukan dengan damai dan adil. Hal yang sama terjadi di Papua. Provinsi di ujung timur yang sebelum pilkada Irjabar diwarnai dengan ketegangan yang sangat tinggi, terutama berkenaan dengan eksistensi Irjabar, akhirnya pilkada di provinsi tersebut dapat dilakukan dengan damai pula.
Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia3. Salah satunya adalah dalam tajuk majalah The Ecomomist, tahun 20044.
Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi politik harus segera dibenahi. Legimasi politik prosedural harus segera ditingkatkan menjadi legitimasi poltik yang bermartabat mendesak untuk dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik hanya akan memberikan pembenaran bagi merasa mendapat mandat rakyat untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet. Perpolitikan secam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sejahtera.

Pemilu 2009
Poses transformasi politik harus terus disempurnakan. Agenda yang sangat penting melaklukan penyempurnaan terhadap bergagai regulasi politik yang sistem pemerintahan, sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian. Beberapa prinsip mendasar yang harus dijadikan acuan dalam menyusun penyempurnaan regulasi politik adalah sebagai berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung dewasa perlu dipertahankan, bahkan secara gradual proses demokratisasi juga harus dapat melembaga dan terkonsolidasi. Kedua, sementara itu pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang efektif) disatu pihak, representativeness (keterwakilan) dipihak lain.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundangan sebagai berikut.Pertama, dalam UU Pemilihan umum, prinsip-prinsi tersebut adalah: (1) meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya; (2) demokratisasi dalam mekanisme pencalonan kandidat anggota lembaga perwakilan; (3) penguatan dan perluasan basis keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah; (4) mempertegas sistem auditing dan pengelolaan dana-dana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Sementara itu UU pemilihan presiden disempurnakan dengan persyaratan partai-partai yang mencalonkan presiden harus memenuhi komitmen setidak-tidaknya selama lima tahun tetap konsisten menjadi pendukung pemerintah.
Kedua, kehidupan kepartaian harus didukung oleh suatu regulasi yang mempunyai paradigma sbb: (1) pengkaderan partai politik; (2) mendorong kepemimpinan partai yang demokratis; (3) mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partai-partai yang gagal mendapatkan Parliamentary Thershold (PT) berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan; (4) mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen; serta (5) larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Ketiga, prinsip penyempurnaan UU Susunan dan kedudukan MPR dan Lembaga Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut: (1) peningkatan kemampuan dan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR; (2) pertanggungjawaban yang jelas bagi setiap anggota DPR yang melakukan reses; (3) meningkatkan hubungan antara anggota DPR dan DPD perlu pembentukan kantor DPD dan DPR di daerah agar terjadi komunikasi politik yang intensif antara wakil rakyat dan konstituensinya; (4) peningkatan efektifitas lembaga DPR dilakukan dengan penciutan jumlah pengelompokkan politik (fraksi) di DPR dengan menentukan jumlah minimal anggota fraksi di DPR sama dengan jumlah komisi; (5) harmonisasi hubungan DPR dan DPD dengan membentuk panitia bersama (joint committee) DPR–DPD untuk mengatur mekanisme pembahasaan RUU yang menjadi kewenangan DPD&DPR; (6)memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan dengan merobah lembaga pimpinan MR permanen menjadi fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945.
Dewasa ini sedang berlangsung pembahasan di DPR beberapa rencana undang-undang PILPRES dan SUSDUK. Tidak mustahil dalam pembahasan tersbeut akan terjadi kompromi-kompromi politik yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu, seandainya beberapa paradigma tersebut telah dikalahkan dengan kompromi politik yang oportunistik, tidak berarti masyarakat harus menyerah dan menjadi tidak peduli. Justru sebaliknya, masyarakat justru harus membangun kekuatan agar dapat mengontrol perilaku anggota parlemen yang telah memanipulasi mandat rakyat. Masyarakat harus disadarkan pula bahwa kedaulatan yang dimikinya tidak tersedot habis, terabsorsi, oleh lembaga perwakilan raklyat. Dalam Negara demokrasi rakyat berdaulat sehari dua puluh empat jam. Oleh sebab sudah pada tempatnya rakyat selalu mengontrol wakil-wakilnya yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dengan melakukan penyempurnaan tersebut diharapkan dalam menapak masa depan, transformasi politik berjalan berdasarkan paradigma serta landasan pemikiran yang jelas dan benar. Kurun waktu sepuluh tahun proses demokrasi, harus dapat dijadikan tonggak penyempurnaan kehidupan politik di masa depan. Mudah-mudahan sementara kalangan yang merasa cemas dengan proses transisi dewasa ini tidak perlu terlalu kuatir bahwa transformasi politik di Indonesia menuju kearah kegagalan. Berbagai pengalaman selama sepuluh tahun reformasi, telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai akar peradaban yang dapat dijadikan modal bangsa ini melanjutkan reformasi menuju suatu kehidupan politik yang demokratis untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

PENUTUP
Renungan diatas diharapkan dapat mendorong MASYARAKAT memikirkan secara cerdas agenda apakah yang paling mendesak dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun yang akan datang agar dapat menyelamatkan bayi demokrasi. Dalam menentukan agenda tersebut yang harus diperhatikan adalah tuntutan rakyat yang semakin keras agar demokrasi segera dapat menghasilkan tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan rakyat. Untuk itu dua hal yang harus dipertimbangkan secara matang. Pertama, adalah kepemimpinan nasional lima tahun mendatang. Kedua,mengenai agenda yang menjadi prioritas, adalah membengun pemerintahan yang efektif tetapi tetasp dikontrol rakyat. Sementara itu modal bangsa ini tidak perlu dikuatirkan. Sangat melimpah untuk dijadikan modal agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang, makmur dan modern. Karena selain memiliki sumberdaya alam yang melimpah, demokrasi yang stabil; tetapi yang lebih penting lagi, bangsa Indonesia mempunyai modal sosial yaitu peradaban bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusian


Jakarta, 17 Februari 2009
J. Kristiadi, peneliti CSIS

(Tulisan ini disampaikan pada Konperensi Studi pada Rakernas II Pergerakan Kebangsaan di Surabaya pada 22 Pebruari 2009)

1 Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence,penterjemah: Martin Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.2 “Many forms of Government have been tried and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time”.3 Bandingkan dengan pemilu di Timor Leste, negara berpenduduk lebih kurang satu juta, pemilihan umum diancam kurusah atau bahaya konflik yang berkepanjangan (Harian Kompas, Selasa, 10 April 2007, halaman 6). Serta pemilu di Zimbabwe bulan desember 2007 yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dan meninggalkan negara karena situasi yang kaotik. Baru bulan Februari 2009 perpolitikan di negara tersebut akan mulai mengalami kemajuan setelah dilanda inflasi duaratus enapuluh juta persen, dan nilai satu triliun dollar Zimbabwe sama dengan satu US dollar.4 The Economist, edisi Bulan 10-16 Juli, 2004 : “But perhaps there is a lesson in Indonesia’s experience not just for Islamic countries, but for one of Asia’s other giants too. The party men who run China like to argue that democracy that democracy is unsuited to a poor, sprawling country that has no experience of it : chaos is what China’s leaders say the fearabove all. But it does now seem that Indonesia-a polyglot rag-bag of islands that emerged as anation only through the accident of having been collectively administered by the Dutch-has given the world a powerful counter –example”.