www.kompasiana.com/daudginting
Berbicara tentang IMF (International Monetary Fund) sering mengundang rasa curiga dan penilaian negative, terutama bagi sebagian kalangan di Indonsia karena lembaga ini memang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan terselubung para negara-negara maju secara ekonomi seperti Amerika Serikat dan Beberapa Negara Eropa. Sehingga IMF sering dianggap identik dengan lembaga moneter yang mengemban misi para kapitalis.
Berbicara tentang IMF (International Monetary Fund) sering mengundang rasa curiga dan penilaian negative, terutama bagi sebagian kalangan di Indonsia karena lembaga ini memang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan terselubung para negara-negara maju secara ekonomi seperti Amerika Serikat dan Beberapa Negara Eropa. Sehingga IMF sering dianggap identik dengan lembaga moneter yang mengemban misi para kapitalis.
Pandangan sinis terhadap IMF kembali mengemuka di
Indonesia karena disulut oleh sinyal yang diutarakan oleh pemerintah
melalui menteri keuangan yang mempunyai rencana akan memberikan pinjaman
kepada IMF sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9,4 triliun berasal
dari cadangan devisa Indonesia untuk membantu negara-negara dunia yang
tengah menghadapi krisis.
Alasan beberapa elemen masyarakat mengkritisi rencana pemerintah ini sebagai berikut
Pertama : Masih
dominannya peran negara maju dalam pengambilan keputusan dalam
organisasi IMF menunjukkan bahwa lembaga ini semakin menunjukkan ujudnya
sebagai perpanjangan tangan kapitalisme.
Kedua : Deregulasi,
privatisasi dan pengetatan anggaran sosial masih menjadi resep generik
IMF kepada negara peminjam. Upaya untuk mereformasi persyaratan utang
IMF kepada negara peminjam juga jauh dari harapan. Kebijakan pengetatan
fiskal dan moneter masih diberlakukan oleh negara-negara yang menjadi
pasien IMF, termasuk di Eropa saat ini.Umumnya persyaratan yang dikenakan adalah membatasi atau mengurangi pengeluaran pemerintah untuk anggaran publik, membatasi defisit anggaran, mencabut berbagai subsidi publik, privatisasi dan liberalisasi seluruh sektor perekonomian.
Ketiga : Utang IMF untuk mengatasi krisis Eropa hanya menguntungkan bank-bank besar penyebab krisis di Amerika dan Eropa, Bank-bank swasta Jerman dan Perancis adalah pemilik 70% dari total utang Yunani. Sehingga pemberian pinjaman oleh IMF kepada pemerintah Yunani akhirnya digunakan untuk membayar utang kepada bank-bank swasta tersebut. Sebagaimana terjadi pada Indonesia tahun 1997/1998 yang menunjukkan bahwa resep ekonomi IMF telah menyebabkan beralihnya utang swasta menjadi utang pemerintah, bahkan hingga sekarang, hampir 60 triliun setiap tahunnya dana APBN digunakan untuk membayar obligasi rekap tersebut.
Keempat : Pemerintah SBY dianggap lebih mementingkan membangun citra di panggung internasional daripada memikirkan kondisi rakyat Indonesia, pemberian sejumlah dana kepada IMF mengusik rasa keadilan. Pemerintah dipandang lebih mandahulukan kepentingan IMF daripada menambah anggaran pendidikan, kesehatan, pertanian, nelayan, anggaran pengentasan kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia.
Christine Lagarde Managing Director IMF
mengatakan, negara-negara anggota IMF telah sepakat mengumpulkan US$ 456
miliar (Rp 4.300 triliun) dana baru yang akan digunakan untuk
mengantisipasi krisis ekonomi global. Dana yang akan dikumpulkan itu
nilainya lebih tinggi US$ 26 miliar dari target yang ditetapkan pada
bulan April 2012.Kemudian Christine Lagarde mengemukakan bahwa China
akhirnya menjanjikan US$ 43 miliar dana baru bagi IMF setelah dua bulan
tidak member keputusan dan kepastian berapa nilai yang akan mereka
tawarkan.
Munculnya kritisi dan keengganan untuk memberikan
kontribusi dana kepada IMF tidak dapat dilepaskan dari keenganan IMF
yang tidak sudi mereformasi lembaga itu, dan saratnya
kepentingan para negara-negara industry maju didalamnya, dan system
kuota dan proses pengambilan keputusan yang dianggap tidak adil dalam
lembaga tersebut.
Negara-negara anggota IMF mempunyai kewajiban
memberikan kontribusi sejumlah dana kepada IMF sebagai deposit dan
penyertaan yang disebut dengan kuota (quota subscription),
besarnya kuota ini dipergunakan IMF sebagai dasar untuk menetapkan akses
pembiayaan yang dapat ditarik oleh suatu Negara anggota dalam bentuk
pinjaman dalam rangka mengatasi kesulitan keuangan, artinya semakin
besar kontribusi suatu Negara maka semakin besar dana yang dapat
dipinjam dari IMF, dan besarnya kontribusi dana yang disetorkan oleh
suatu Negara akan menentukan besarnya “Voting Power” masing-masing Negara, artinya besarnya kuota suatu Negara menentukan besarnya voting power suatu Negara dalam pengambilan keputusan dalam IMF.
Semakin besar kuota yang dimiliki suatu Negara maka semakin besar voting power suatu Negara dalam organisasi IMF, sampai hari ini Negara yang memiliki voting power terbesar adalah Amerika Serikat dan kelompok Negara-negara Eropa.
Isu tentang voting power ini semakin mendapat
kritisi dewasa ini dan menjadi salah satu variable yang menunjukkan
bahwa IMF sebenarnya sebuah lembaga yang tidak demokratis, hal ini juga
dapat dilihat dalam proses penentuan posisi Dewan Eksekutif IMF, dalam Articles of Agreement IMF disebutkan bahwa Negara anggota dengan share kuota yang termasuk dalam lima besar secara otomatis dapat menunjuk Direktur Eksekutif untuk mewakili Negara mereka.
Ketidakseimbangan ini dianggap akan menimbulkan
terjadinya ketimpangan selanjutnya dalam berbagai aspek, misalnya
pengambilan keputusan, monitoring, prioritas kebijakan, dan komposisi
Direktur Eksekutif akan mempengaruhi kepentingan dan prioritas kebijakan
yang cenderung akan mementingkan kepentingannya masing-masing asal
Negara Direktur Eksekutif tersebut.
Isu seputar voting power ini semakin sering digugat sebagai bagian kritik terhadap IMF dalam aspek governance IMF dan system kuota dan voting power
yang diterapkan IMF selama ini cenderung menimbulkan distorsi dan
ketidakseimbangan karena Negara industry maju sangat mendominasi dan
menguasai voting power yaitu sebesar 60 % sedangkan Negara-negara lainnya hanya memiliki voting power sebesar 40 %.
Mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang
berencana akan memberikan dana pinjaman kepada IMF bukan hanya sekedar
antipati terhadap kebijakan IMF yang selama ini hanya menyalurkan
kepentingan para negara-negara maju yang kapitalis, tetapi dalam kritisi
tersebut tersirat suatu gugatan terhadap mekanisme organisasi IMF yang
dianggap sebagai sebuah lembaga tidak demokratis. Dalam wacana hangat
dewasa ini, dimana negara-negara anggota IMF diminta mengumpulkan dana
untuk dipergunakan oleh dan untuk membantu krisis keuangan negara-negara
yang memiliki dominasi kekuatan dalam mengambil kebijakan dalam lembaga
IMF menjadi sebuah pertanyaan besar dan mengundang gugatan karena
dipandang tidak adil dan mengusik rasa ketidak adilan dan cenderung
hanya mengeksploitasi negara-negara diluar negara industri maju.
Jika IMF ingin mendapatkan respon positif
maka salah satu hal yang mesti dilakukan oleh IMF adalah mereformasi
dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha menjadi sebuah lembaga
yang berkeinginan dan bertujuan membangun kembali sistem ekonomi
internasional dan membina kerjasama internasional dibidang moneter
sebagai tujuan utamanya ketika didirikan paska perang dunia kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar