Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Senin, 02 Juli 2012

Jadi Gubernur Sumatera Utara “di Tepi Pintu Penjara”

Beberapa minggu terakhir di bulan Juni 2012, Sumatera Utara yang berada di ujung pulau Sumatera dibanjiri berita hangat tentang bakal calon Gubernur Sumatera. Berbagai surat kabar terbitan Medan penuh dengan berita tentang pigur-pigur calon Gubernur. Seiring dengan berita hangat yang tersaji di media massa maka wacana dan obrolan tentang calon gubernur ini juga menjadi pembicaraan masyarakat Sumatera Utara mulai dari ruang perkantoran yang memiliki pasilitas Air Conditioner hingga sampai warung kopi  atau warung tuak di sudut desa paling terpencil.
Berkat informasi yang disampaikan media massa tentang pencalonan Gubernur, masyarakat pedesaan yang berjarak demikian jauh dari pusat ibukota Propinsi Sumatera Utara juga turut larut dalam hiruk pikuk dalam perbincangan dan mengkritisi tingkah para peminat menjadi Gubernur Sumatera Utara, kebetulan sampai saat ini nama-nama yang bermunculan kepermukaan sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara jumlahnya lumayan banyak, puluhan orang jumlahnya, dengan latar belakang pendidikan, jabatan, pengalaman dan partai yang beraneka ragam.
Suatu ketika di sebuah warung kopi di sebuah desa di sebuah Kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Nangroe Darusalam, saya tiba-tiba mendengar celotehan seorang pengunjung warung tersebut ” Wah.. Banyak juga ya yang berminat jadi Gubsu (Gubernur Sumatera Utara) ini !!!” Ucap seorang pria dewasa yang sedang membaca sebuah koran terbitan Medan. Mendengar ucapan sang Bapak yang berprofesi sebagai seorang petani tersebut, seorang pengunjung lain warung tersebut yang berprofesi sebagai supir Angkutan Antar Desa menimpali “Enak memang daya tariknya jadi Gubernur itu, seperti semut mencari gula-lah“.
Sebagaimana lajimnya di warung kopi, apabila sudah ada yang memulai mengangkat sebuah topik menarik maka dialog dan perdebatan di warung akan saling sahut menyahut tanpa menghiraukan latar belakang masing-masing, siapa saja bisa ikut menyampaikan tanggapan dan gagasannya, sehingga suasana akan menjadi ramai dengan adu argumentasi mengalahkan keseruan adu argumentasi para wakil rakyat di gedung DPR RI.
Para pengunjung kedai kopi juga menikmati suasana seperti ini, dan menganggap kebebasan mengemukakan pendapat dengan gaya bebas seperti ini merupakan kebebasan yang sesungguhnya yang dimiliki masyarakat pedesaan di Sumatera Utara, warung kopi memang tempat mereka untuk saling bertukar informasi dan saling beradu argumentasi tanpa menghiraukan tinggi rendahnya mutu atau kualitas argumen yang disampaikan, karena memang adu argumentasi di warung kopi bebas tanpa sekat, mumpung bicara belum dikenakan pajak jawab mereka jika ada yang mengkritisi kebiasaan adu argumentasi yang sering tidak jelas ujung dan pangkalnya di warung kopi itu.
Namun yang menjadi menarik bagi saya, ternyata diantara dialog yang mengemuka diantara pengunjung warung kopi tersebut, ada juga kalimat-kalimat yang disampaikan masyarakat pedesaan tersebut yang menarik, bermutu bahkan sangat layak untuk dipermenungkan sebagai bahan dialog dalam bathin.
Misalnya, menanggapi jumlah bakal calon Gubernur Sumatera yang lumayan banyak, ada pengunjung warung kopi tersebut yang menanggapi dan berkata ” Apa sebenarnya yang ingin dicari  para orang-orang yang ingin menjadi Gubernur tersebut sehingga peminatnya sangat banyak ?”. Bahkan ada juga pengunjung yang lain berujar “Ternyata masih banyak juga mantan-mantan pejabat atau pengusaha yang masih ingin tetap mempertaruhkan hidupnya di tepi pintu penjara !!!”
Tanggapan terakhir tentang “Tepi Pintu Penjara” ini menjadi salah satu bahan perbincangan paling banyak mengundang perdebatan diantara pengunjung warung tersebut. Istilah atau kalimat “Tepi Pintu Penjara” ini juga saya peroleh dari perdebatan di warung tersebut, saya sendiri merasa kagum dan salut atas kata-kata yang diramu masyarakat yang bermukim di pedesaan ini. Istilah tersebut penuh makna philosopis karena menggambarkan bahwa menjadi pejabat saat ini, baik menjadi Bupati maupun Gubernur serta jabatan politis lainnya sangat gampang masuk penjara, dan inilah kasus terbesar yang terjadi menimpa para elit politik daerah maupun politisi tingkat pusat dewasa ini, dan ternyata hal tersebut juga menjadi bahan pengamatan para saudara kita yang bermukim di pedesaan, sebuah wacana yang aktual dan cerdas di mata warga desa.
Dan ketika mereka mencermati dan membahas beberapa pigur bakal calon Gubernur Sumatera Utara yang muncul beberapa minggu terakhir ini, masyarakat desa yang ada di warung kopi tersebut juga memberi penilaian bahwa banyak diantara bakal calon tersebut yang diindikasikan tidak luput dari praktek korupsi selama ini sehingga jika nanti terpilih menjadi Gubernur juga akan tetap melanggengkan praktek korupsi tersebut.
Kekuatiran terhadap Gubernur Sumatera Utara yang akan terpilih nantinya merupakan tokoh-tokoh elit politik yang sarat dengan praktek korupsi ini ternyata membuat masyarakat apatis dan tidak antusias untuk berbicara tentang pigur terbaik dan berkualitas, bahkan masyarakat beranggapan bahwa siapapun yang akan terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara praktek korupsi tidak akan dapat dihindarkan apalagi dibasmi, oleh karena itu masyarakat berpendapat dalam pemilihan Gubernur (Pilkada) yang akan datang masyarakat juga akan melakukan pilihan dengan pertimbangan untung rugi bagi masyarakat secara pribadi.
Nah,  artinya : Dalam melakukan pilihan masyarakat sekarang ternyata sudah membuat perhitungan, dan perhitungan tersebut dalam bentuk “Pragmatisme” dan serba “Instan”. Perhitungan tersebut tidak lain tidak bukan “Ada Uang Ada Pemberian Suara”, alasan mereka sederhana saja, siapapun yang akan menjadi Gubernur mereka akan memperkaya dirinya sendiri, kelompok dan koroninya, maka rakyat juga berpikir yang sama, siapa mampu bayar itu yang dipilih…. ????”
Ini sekilas pembicaraan di warung kopi yang sempat terekam benak saya ketika mengunjungi sebuah desa di ujung pulau Sumatera. Ironis memang tetapi perlu juga kita renungkan apakah sudah se-pragmatis itu kehidupan sosial dan politik masyarakat kita dewasa ini ????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar