Jika kita tidak mampu merubah pola berpikir kita sesuai dengan arah perkembangan zaman, justru dikuatirkan seseorang akan tertinggal bahkan tergilas oleh roda perubahan itu sendiri, bahkan secara psikis seseorang boleh jadi akan mengalami penyakit gangguan psikis atau kebekuan paradigma, yaitu seseorang yang bertahan dengan cara berpikirnya sendiri dan merasa pemikirannya yang paling benar bahkan cenderung menyalahkan orang lain, dan tanpa disadari lambat laun dia akan merasa asing terhadap lingkungannya bahkan boleh jadi justru dia akan terasing dari lingkungannya.
Intinya berubah itu tuntutan zaman.
Tetapi perubahan itu seharusnya tidak mencabut akar tunggal identitas dan jati diri seseorang, bahkan jangan sampai menggadaikan eksistensi seseorang, terutama falsafah hidupnya yang berfungsi sebagai bintang penuntun pemikiran, perkataan dan tindakannya (Paradigma). Sebesar apapun gelombang perubahan zaman itu dan setinggi apapun puncak keberhasilan seseorang alangkah eloknya jika seseorang tetap mempertahankan jati dirinya terutama philosopi kehidupannya, dalam hal ini sebagai warga bangsa Indonesia kita memiliki philosopi kehidupan yang digali dari kearifan lokal budaya nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yakni Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
Setiap kali bertemu dengan tanggal 1 Juni segelintir masyarakat Indonesia menabur wacana tentang relevansi dan aktualisasi Pancasila sebagai Falsafah dan Dasar Negara Republik Indonesia, disatu sisi ada pihak yang konsisten dan berkeinginan untuk merealisasikan Pancasila sebagai seperangkat keyakinan (belief) yang berorientasi pada perbuatan, sebagai bintang penuntun (Leitsteren) bahkan sebagai Ideologi kritis / Ideologi pembebasan.
Namun disisi lain ada juga pihak yang menganggap Pancasila hanya sebatas "Bunyi-Bunyian" yang hanya diucapkan pada saat upacara nasional, hanya didengung-dengungkan pada saat eksitensi negara dan bangsa ini terancam disintegrasi, bahkan di era orde baru justru Pancasila dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk mempertahankan rezim kekuasaan yang diktator dan menjadi senjata pemungkas mengeliminir dan membungkam suara-suara kritis yang dianggap tidak bersepakat dengan elit penguasa.
Warisan praktek penerapan Pancasila yang dilakukan oleh elit penguasa orde baru ini akhirnya menjadikan Pancasila mengalami distorsi nilai, menuju pelapukan dan tidak menarik lagi sebagai salah satu warisan leluhur para pendiri bangsa ini (The Founding Father) sebagai sebuah way of life. Di era reformasi ini jika kita berbicara Pancasila banyak pihak menganggap kita menganut cara berpikir JADUL (jaman dahulu), kuno dan konservatif. Jadi jangan heran jika anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah saat ini telah merasa asing dengan Pancasila karena memang mereka juga tidak dipersiapkan untuk memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila itu.
Suka tidak suka, mari bersama-sama merenungkan dan menggali kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu, secara sederhana saja, tidak perlu teoritis seperti ketika kita mengikuti mata kulia Pancasila dengan mempergunakan teori ilmu filsafat.
Tanpa sengaja, dalam pengembaraan saya di dunia maya, ada seorang teman mengirimkan sebuah susunan Pancasila dalam bahasa batak, sebenarnya ini hanya candaan belaka, tetapi sangat menarik, selain lucu ternyata dapat menjadi sumber inspirasi dalam mencoba memahami secuil nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Begini bunyinya :
PANCASILA DALAM BAHASA BATAK
1. Dang adong napajago-jagohon di jolo ni Dibata
2. Haholongi ma sude donganmu jolma
3. Dalihan Natolu : Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek Marboru
4. Pabada-bada ma donganmu jolma, alai ingkon mardame do jadina diatasni sipanganon
5. Hamoraon, hagabeon, hasangapon do nadilului na deba
Saya tidak tau persis apakah pengarang atau yang mengirimkan draf Pancasila dalam versi bahasa batak ini hanya canda belaka, iseng atau memang ingin mengaktualisasikan Pancasila yang digali oleh Bung Karno ini dalam rangka melakukan perbandingan dengan nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat batak yang memang sejak dahulu memiliki system kekerabatan dan nilai-nilai adat istiadat yang kental serta terpelihara dengan baik dalam interaksi sosial baik terhadap keluarga dan lingkungan sosialnya.
Apapun tujuan orang yang menyusun draf Pancasila dalam versi batak ini yang mebuat menjadi menarik untuk diperbincangkan dan direnungkan adalah untaian kata-kata dan kalimat yang dirangkai dalam bahasa batak itu ternyata indah dan secara inplisit memiliki pesan berbentuk nilai-nilai penting serta layak diaktualisasikan sebagai penuntun dalam interaksi sosial maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila kita cermati dan pahami untaian kata demi kata yang tersusun dengan urutan pertama sampai dengan kelima, memang tidak bisa diklaim bahwa inilah terjemahan Pancasila dalam bahasa Indonesia kedalam bahasa batak, namun nilai-nilai yang terkandung didalam bahasa batak tersebut boleh dibilang tidak jauh-jauh amat artinya dengan versi bahasa Indonesia Pancasila yang sesungguhnya.
Walaupun demikian menarik juga jika kita coba memahami kalimat demi kalimat berdasarkan urutannya, urutan pertama yang berbunyi “Dang adong napajago-jagohon di jolo ni Dibata” berdasarkan kosa katanya mengutarakan bahwa sebagai manusia ciftaan Tuhan manusia tidak memiliki kemampuan yang bisa mengimbangi Tuhan terutama merasa memiliki perasaan lebih unggul dari Tuhan yang menciiftakan langit, bumi beserta isinya, berarti dalam hal ini tersirat ungkapan yang mengatakan bahwa manusia itu menghormati dan percaya kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan sila pertama Pancasila.
Sebenarnya dalam tulisan ini saya tidak berkeinginan untuk menterjemahkan kalaimat demi kalimat Pancasila dalam bahasa batak tersebut tetapi hanya ingin mencoba mencari pesan inti yang termuat didalamnya, terutama pesan yang ingin disampaikan, pada urutan kedua dan ketiga Pancasila dalam Versi Batak termuat ungkapan yang pada intinya menunjukkan sikap untuk menghargai sesama umat manusia dengan penuh cinta, kasih, perduli serta ringan tangan untuk membantu, dan itu merupakan salah satu sikap luhur orang batak yaitu “Haholongi ma sude donganmu jolma” yang terjemahannya kira-kira artinya : Sayangilah sesamamu manusia yang didalam Pancasila yang asli disebut “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Yang paling dapat menunjukkan bagaimana sangat bagusnya kearifan lokal masyarakat suku batak adalah yang dikemukakan pada urutan ketiga yang berbunyi “Dalihan Natolu : Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek Marboru”, Pada masyarakat suku batak, baik itu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan Mandailing system kekerabatan dalam interaksi sosialnya baik antar pribadi terutama dalam pelaksanaan acara adat Dalihan Natolu ini merupakan pilar utama, dalam Adat Karo disebut dengan “Daliken Sitelu “ atau Rakut Sitelu, sedangkan dalam masyarakat Simalungun disebut dengan “Tolu Sahundulan”
Dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika melakukan pertautan atau ikatan kekerabatan dalam pergaulan pribadi, keluarga dan adat sitem kekerbatan dalihan natolu ini sangat penting dan selalu diergunakan untuk menjalin dan mengikat tali persaudaraan, bahkan hal ini sering tidak hanya dipergunakan ketika menjalin tali kekeluargaan bagi sesame suku batak bahkan dengan etnis atau suku lain juga bentuk system kekerabatan ini dipergunakan dengan cara menabalkan marga seseorang terlebih dahulu, jadi dalam hal ini sangat nampak bahwa orang batak itu sangat terbuka dan kental dengan sikap kekeluargaan tanpa menghiraukan latar belakang, suku, agama dan jabatan seseorang.
Kearifan lokal dalam bentuk Dalihan Natolu ini sangat relevan dan actual untuk dijadikan sebagai bintang penuntun dalam berpikir dan bertindak ditengah-tengah kecenderungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan kehidupan global yang individualistik, kompetitif dan saling menghisap serta enksploitatif karena liberalisasi ekonomi yang mengandalkan mekanisme pasar sebagai pendulum yang menentukan nasib dan masa depan umat manusia.
Ditengah-tengah kehidupan globalisasi yang sangat kentara cengkeraman hegemoni Negara adikuasa dan Negara maju lainnya kita merindukan kepedulian sosial terhadap sesama yang terpinggirkan secara struktural sebagaimana tujuan utama sosiodemokrasi yang terkandung dalam sila ke-empat Pancasila dan sepadan juga dengan arti yang terkandung pada urutan ke empat Pancasila versi bahasa Batak “Pabada-bada ma donganmu jolma, alai ingkon mardame do jadina diatasni sipanganon”, pesan yang ingin dikemukakan Pancasila versi batak ini, sebagai umat manusia yang hidup di dunia fana ini kita memang terlahir untuk hidup kompetitif dalam meraih cita-cita tetapi bentuk kompetisi itu haruslah berhadapan dengan mitra atau imbang yang sepadan kekuatannya oleh karena itu walau hidup kompetitif dan bersaing semuanya bisa dirundingkan secara musyawarah dan mufakat, yaitu “Pabada-bada ma donganmu jolma, alai ingkon mardame do jadina diatasni sipanganon”
Sipanganon jika diterjemahkan artinya makanan, jadi kalimat “mardame do jadina diatasni sipanganon” artinya kira-kira “ Berdamai ketika tiba saatnya untuk makan “, makan dalam adat masyarakat orang batak merupakan sebuah aktivitas yang sacral dan mulia, artinya makan juga merupakan salah satu bentuk pemberian penghargaan kepada sesama saudara sehingga dalam pesta adat masyarakat batak untuk memberikan doa restu kepada seseorang sering juga dilakukan melalui media pemberian makanan. Misalnya pemberian makanan ikan “naniarsik”. Oleh karena itu makan memiliki arti penting bagi masyarakat batak terutama ketika melaksanakan suatu acara suka dan duka.
Apabila terwujud sikap yang menggambarkan sila pertama sampai keempat dalam Pancasila serta sesuai dengan isi Pancasila versi bahasa batak urutan pertama sampai keempat maka diharapkan akan terwujud dan tercapai suatu keadaan “Hamoraon, hagabeon, hasangapon do nadilului na deba” yaitu artinya kira-kira : suatu keadaan atau kondisi yang mencukupi secara material (hamoraon) dan rohaniah (hasangapon), yaitu suatu kondisi kehidupan yang holistic terpenuhinya kebutuhan secara seimbang antara kebutuhan duniawi dan akhirat, baik itu dalam bentuk kebutuhan ekonomi, sosial dan religius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar