“…imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa ‘perluasan negeri daerah dengan kekuasaan senjata’ seperti yang diartikan oleh van Kol, tetapi bisa juga berjalan hanya dengan ‘putar lidah’ atau cara ‘halus-halusan saja’, bisa juga dengan cara penetration pacifique“ Cuplikan pidato Bung Karno dalam Pembelaannya di depan Pengadilan (landraad) Bandung Agustus 1930 ini masih relevan kita renungkan terutama ketika berbicara tentang globalisasi dan Pancasila.
Secara historis globalisasi ekonomi telah berlangsung sejak lama, bahkan usianya telah berabad-abad, globalisasi lahir karena ada kepentingan negara-negara maju mencari kekayaan di negara koloninya (kolonialisme). Hal ini dapat terlihat pada pandangan kaum Merkantilis pada abad ke-17 dan ke-18 yang menjadikan globalisasi ekonomi untuk memperoleh surplus perdagangan dalam rangka memperkuat negaranya, globalisasi era kolonial tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan negara maju dengan cara mengeksploitasi negara lain.
Berbicara mengenai globalisasi sama artinya dengan berbicara mengenai penyebarluasan neoliberalisme yang secara inplisit didalamnya tersirat mengenai ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya, para pemodal negara-negara kaya inilah yang menjadi sponsor globalisasi dan globalisasi sesungguhnya hanyalah kedok karena di balik globalisasi tersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberalisme
Globalisasi adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama pengerdilan peran negara dan peningkatan peranan mekanisme pasar dengan tujuan memudahkan pengintegrasian perekonomian negara-negara miskin ke dalam genggaman para pemodal negara-negara kaya, kemudian akan terjadi melemahnya kemampuan pemerintah negara-negara miskin melindungi kepentingan negara dan rakyatnya, dan meningkatnya ketergantungan perekonomian negara miskin terhadap negara kaya, maka fungsi pemerintah dalam perekonomian negara miskin berubah dari melayani dan melindungi kepentingan rakyat menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal negara-negara kaya.
Ekstrimnya globalisasi menjadikan kesenjangan sosial dan ekonomi dan meningkatnya dominasi pemodal negara kaya terhadap pemilikan faktor-faktor produksi di negara miskin, dalam bentuk ini dapat kita lihat bahwa globalisasi sifatnya sama dengan imperialisme yang didalamnya bersemayam kepentingan kaum kapitalis internasional untuk mendominasi ekonomi dunia. Globalisasi ekonomi yang telah terjadi sejak berabad-abad lalu tersebut menunjukkan wujud paling nyata ketika dilembagakannya Perjanjian Umum tentang Tariff dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Evolusi globalisasi ekonomi ini kemudian berkembang sangat cepat sejak akhir 1980-an melalui perundingan GATT yang dikenal dengan Putaran Uruguay pada tahun 1995 yang berhasil membentuk World Trade Organization (WTO) yang pada intinya mengatur tentang liberalisasi lalu lintas barang dan jasa (GATS).
Globalisasi ekonomi dalam skala regional atau regionalisasi ekonomi dilakukan melalui integrasi ekonomi negara-negara Eropa Barat (Uni Eropa) yang kemudian diikuti oleh upaya integrasi ekonomi regional kawasan Asia Pasifik dengan membentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dimotori negara-negara seperti Australia, Amerika, dan Kanada. Dalam skala yang lebih kecil juga dibentuk North American Free Trade Area (NAFTA), ASEAN Free Trade Asrea (AFTA). Berbagai perangkat organisasi ekonomi dunia itu diharapkan akan membantu percepatan pewujudan globalisasi yang pada intinya tidak diperbolehkan adanya rintangan yang menghambat lalu lintas barang, jasa, dan capital.
Padahal pemikiran untuk meliberalisasikan perdagangan dunia tersebut mempunyai prasyarat bahwa pelaku-pelaku yang akan mengintegrasikan ekonominya harus mempunyai kekuatan seimbang. Prakondisi inilah yang tidak terpenuhi sehingga kekuatan ekonomi antar negara masih sangat timpang, konsentrasi perdagangan dunia masih berpusat di negara-negara Utara seperti Amerika Utara dan Eropa Barat, sementara untuk negara Asia hanya terkonsentrasi pada Jepang dan Cina.
Dengan melihat secara empirik dan teoritik globalisasi ekonomi menjadi alat bagi negara maju dan juga korporasi global untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang maka globalisasi ekonomi sebetulnya belum bisa diterapkan, karena masih terjadi ketimpangan kekuatan ekonomi antar berbagai negara. Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang terjadi saat ini adalah suatu grand design dari negara-negara kaya bersama kapitalisme global yang menyebarkan kepentingannnya terhadap Negara miskin melalui lembaga-lembaga ekonomi-keuangan global yang berada di bawah pengaruhnya. Padahal Negara maju tersebut didalam negerinya menerapkan kebijakan yang berupaya melindungi kepentingan nasionalnya, misalnya sikap Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat yang melindungi para petani dan peternaknya dengan subsidi.
Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila maka Indonesia dalam praktek ekonominya harus didasarkan pada norma-norma yang terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah bangsa, yaitu suatu system ekonomi yang berketuhanan, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan, dan berkeadilan sosial. Globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk memperluas kekuasaannya harus diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila. Praktek globalisasi yang terus berupaya memperlemah peran negara melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi merupakan tantangan Pancasila. Paham liberalisme mengatakan bahwa mekanisme pasar dengan sendirinya dapat memecahkan persoalan masyarakat, Pancasila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi atas kapital untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional. Indonesia harus dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi dan gempuran free fight liberalism yang merupakan anak kandung yang lahir dari rahim imperialisme dan globalisasi.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia merdeka (Philosophische grondslag/ Weltanschauung). Pancasila sebagai dasar negara kemudian diterima para The founding fathers sebagai konsensus atau keputusan bersama karena Pancasila itu mengandung “suasana kebatinan” keinginan bersama untuk menyatukan tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing.
Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Cita-cita moral bangsa adalah konstruksi pikiran yang berisi preskripsi atau perintah moral dalam mencapai cita-cita yang diinginkan bersama, sehingga Pancasila sebagai “bintang penuntun” (Leitsteren) bermanfaat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi Bangsa Indonesia.
Pengembangan ekonomi Pancasila merupakan tuntutan yang relevan dalam menghadapi globalisasi, dan “jalan keluar” untuk membebaskan diri dari “penjajahan paham ekonomi liberal”, serta dibutuhkan untuk mengantisipasi kecenderungan elite penguasa yang lebih berpihak pada kepentingan pengusaha ketimbang kepentingan ekonomi rakyat. Melalui pengembangan ekonomi Pancasila diharapkan agar terjadi praktek perekonomian Indonesia yang beretika atau berakhlak mulia, bersemangat kemanusiaan, nasionalistik, merakyat, dan berkeadilan sosial. Ekonomi Pancasila dikembangkan sebagai ilmu ekonomi etik, ilmu ekonomi humanistik, ekonomi nasionalistik, demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial, dengan menjadikan sila pertama dan sila kedua sebagai dasar sistem ekonomi, sedangkan sila ketiga dan sila keempat sebagai cara atau metode berperilaku para pelaku ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar