Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Sabtu, 26 Mei 2012

MAKNA DAN FUNGSI UANG MENURUT ALKITAB


Pembicaraan tentang uang di dalam gereja biasanya hanya menyentuh level permukaan semata. Gereja hanya mengajarkan kekudusan dalam mencari uang dan dorongan untuk memberikan sejumlah uang bagi keperluan gereja. Di luar dua aspek ini, keuangan sangat jarang dibahas secara intensif

Mengapa kita perlu membicarakan masalah keuangan, apalagi khusus di dalam hubungan suami-istri (keluarga)?

Alkitab banyak membicarakan tentang materi: uang, kekayaan, hutang, dsb. Kata “uang” muncul 175 kali dalam Alkitab (jumlah ini tidak termasuk mata uang, misalnya “drakhma, dinar, talenta, dsb). Akar kata “kaya” muncul lebih dari 100 kali. Akar kata “hutang” muncul 50 kali. Data statistik ini dapat diperpanjang kita jika memasukkan binatang ternak, perhiasan, tanah dan rumah, yang semuanya ini merupakan indikator kekayaan orang pada masa kuno. 
Perumpamaan Yesus juga banyak berkaitan atau mengajarkan tentang uang, terutama dalam Injil Lukas (Mat 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; 25:31-46; Mar 4:18-19; 12:1-2; Luk 7:41-43; 10:29-37; 11:5-8; 18:1-8; 12:16-21; 14:12-24; 16:1-13, 19-31; 19:11-27). Dalam kotbah di bukit Yesus tidak lupa membicarakan tentang harta (Mat 6:1-4, 19-6:34). Kita dapat menyimpulkan bahwa murid yang sejati melibatkan konsep dan penggunaan uang yang benar.
Uang merupakan salah satu godaan terbesar bagi orang percaya. Bileam tergiur dengan uang (Bil 22:1-34; Ul 23:4-5; Yos 24:9-10; Neh 13:2; 2Pet 2:15-16; Yud 1:11; Why 2:14). Gehazi, asisten Elisha, jatuh dalam dosa ketamakan (2Raj 5:20-27). Demas, rekan sekerja Paulus, memilih untuk mencintai dunia (2Tim 4:10). Yesus sendiri pernah dicobai iblis berkaitan dengan materi (Mat 4:3, 8-9), namun Dia berhasil bertahan. Paulus bahkan menyebut akar segala kejahatan adalah cinta uang (1Tim 6:10a).
Kita hidup dalam dunia yang materialistis dan konsumeris. Orang mengagungkan kekayaan dan kenyamanan hidup. Kesuksesan diukur dengan jumlah kekayaan. Tanpa sadar kita juga terus dibombardir dengan berbagai macam iklan yang menarik kita pada kehidupan yang konsumeris. Serangan ini dapat kita jumpai di rumah (TV, surat kabar, majalah) maupun di jalan (radio, papan reklame, dsb.). Di sisi lain, kita yang miskin semakin terjepit. Harga barang yang mahal dan tuntutan untuk terus hidup “secara normal” (dalam arti mengikuti standar hidup mayoritas orang) membuat kita yang miskin semakin sulit menempatkan diri.
Hampir setiap hari orang bersentuhan dengan uang. Tanpa disadari kita selalu memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan uang. Kita harus mengambil keputusan tentang keuangan, dari pengeluaran yang sifatnya rutin dan kecil, sampai yang insidental dan besar. Situasi ini menjadi lebih serius ketika kita hidup dalam jaman yang “tidak ada yang gratis”. Masalah keuangan telah menjadi faktor signifikan dalam perceraian.

Masalah Keuangan Dalam Keluarga
Masalah yang berkaitan dengan keuangan keluarga sangat beragam. Uang yang terlalu banyak seringkali mengubah pola relasi suami-istri menjadi relasi yang berorientasi pada materi. Uang yang melimpah juga menggoda suami-istri untuk hidup dalam dunia dan kesenangan sendiri-sendiri, karena mereka memiliki berbagai alternatif aktivitas yang mampu mereka dapatkan dengan uang tersebut. Akibatnya, materi dan kenyamanan hidup menjadi prioritas utama dalam keluarga. Relasi dalam keluarga (kasih, perhatian, pemahaman, dsb) menjadi terpinggirkan. Orang cenderung berpikir bahwa uang yang melimpah tersebut dapat menjamin kebahagiaan dalam keluarga. Sebaliknya, uang yang sedikit juga sering menimbulkan kekuatiran dan pertengkaran.
Dalam keluarga yang sangat miskin, pertengkaran ini menyentuh hal-hal yang sangat fundamental untuk hidup, misalnya kontrak rumah dan makanan sehari-hari. Dalam keluarga yang sederhana atau menengah, masalah ini merupakan pertentangan antara “idealisme hidup” dan situasi keluarga. “Idealisme hidup” mendorong orang untuk memiliki alat-alat kenyamanan hidup (TV, VCD/DVD player, kendaraan bermotor, dsb), memberikan makanan yang terbaik bagi anak-anak (makanan yang baik ini seringkali secara salah diidentikkan dengan makanan yang mahal), pendidikan yang maju untuk anak-anak, dsb. Ketidakmampuan mencapai “idealisme hidup” ini seringkali dipahami sebagai “hidup dalam kekurangan”, sehingga pemahaman ini bisa perpotensi menimbulkan pertengkaran dalam sebuah keluarga. Situasi ini akan menjadi semakin parah apabila istri secara eksplisit menyatakan penyesalannya mengapa dia menikah dengan orang yang salah. Dalam beberapa kasus kekurangan ekonomi keluarga bahkan dapat memicu berbagai tindakan kriminal. Jika ini yang terjadi, maka berbagai masalah lain akan segera menyusul dan membuat keadaan keluarga menjadi semakin parah.
Terlepas dari jumlah uang yang dimiliki, masalah paling serius dalam keuangan keluarga berhubungan dengan cara pengelolaan keuangan yang buruk. Pengelolaan yang buruk pasti akan membuat jumlah berapapun tampak tidak pernah cukup. Yang termasuk pengelolaan keuangan yang buruk antara lain gaya hidup yang terlalu pelit (sehingga anggota keluarga tidak bisa menikmati hidup), gaya hidup yang boros (sehingga tampak selalu berkekurangan dan tidak ada pertumbuhan finansial dalam keluarga itu), penggunaan kartu kredit yang tidak bijaksana (sehingga terjebak pola hidup konsumeris), keputusan yang tidak tepat ketika meminjam uang di bank (sehingga bunga bank semakin menambah masalah keuangan yang sudah ada), eksperimen bisnis yang kurang matang (sehingga menimbulkan kerugian finansial yang tidak sedikit dan keluarga bisa terjeart hutang di mana-mana).
Masalah keuangan yang lain adalah penghasilan istri yang lebih besar daripada suami. Dalam sebuah kultur yang meletakkan tanggung-jawab ekonomi terutama dan hanya pada suami sebagai kepala keluarga, penghasilan istri yang besar bisa berpotensi mengganggu keharmonisan pernikahan. Istri bekerja bukan sebagai sebuah paggilan Tuhan yang unik bagi dia, namun sebagai usaha untuk membantu suami mencari uang. Motivasi bekerja yang salah seperti ini dapat menumbuhkan benih ketidakpercayaan atau ketidakhormatan terhadap suami. Dari pihak suami sendiri terutama yang berpenghasilan kecil dan harus “dibantu” oleh istri, situasi seperti ini sudah mengganggu harga dirinya. Dia merasa takut tidak dihargai lagi, sehingga cenderung mencari cara-cara pelampiasan tertentu untuk dihargai, misalnya sikap yang kasar terhadap istri dan anak-anak.
Uang bukan masalah
Dari penjelasan sebelumnya kita mungkin mendapat kesan bahwa uang pada dirinya sendiri (secara an sich) merupakan masalah dalam keluarga. Kita melihat uang sebagai sesuatu yangsangat sekuler, berbahaya dan harus dihindari. Dari perspektif Alkitab, uang sebenarnya adalah netral dan bukan sumber masalah. Inti masalah terletak pada cara pandang kita terhadap uang. Akar segala kejahatan bukanlah uang, tetapi cinta uang (1Tim 6:10). Hal ini sangat terkait dengan realita bahwa di mana harta kita berada di situ hati kita berada (Mat 6:21).
Dengan kata lain, seberapa tinggi kita meletakkan uang dalam prioritas hidup kita, hal itu akan mempengaruhi pengelolaan keuangan kita. Godaan untuk mencintai harta bertumbuh subur dalam budaya modern yang mengagungkan materialisme dan konsumerisme. Bagi orang Kristen, situasi ini pasti menimbulkan ketegangan yang tidak mudah, karena konsep Alkitab sangat bertentangan dengan materialisme dan konsumerisme. Tabel berikut menggambarkan perbedaan sudut pandang antara budaya modern dan Alkitab (dimodifikasi dari Don & Sally Meredith, Keduanya.....Menjadi Satu, 279).
PANDANGAN MODERN  VS PANDANGAN ALKITAB
Sudut pandang modern
Sudut pandang Alkitab
Uang adalah pusat hidup
Carilah dahulu Kerajaan Allah (Mat 6:33)
Uang menentukan kebahagian
Berjaga dan waspada terhadap ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak bergantung pada kekayaannya (Luk 12:15)
Memiliki uang banyak akan memberikan kepuasan
Yang mencintai uang dan kekayaan tidak     akan pernah puas (Pkt 5:10)
Kekayaan adalah jaminan masa depan
Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (Mzm 46:1-2)
Kepala keluarga yang baik adalah yang mampu mencari uang sebanyak-banyaknya
Kepala keluarga yang baik adalah bukan hamba uang (1Tim 3:3)
Rasa cukup didasarkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki
Rasa cukup adalah hasil dari proses belajar (Flp 4:11)
Batasan hidup berkecukupan adalah terpenuhinya idealisme hidup modern
Asal ada makanan dan pakaian cukup (1Tim 6:8); dengan kekuatan Tuhan kita bisa cukup sekalipun dalam kekurangan (Flp 4:12-13)

Pertanyaan ini sulit dijawab berdasarkan 1Timotius 6 saja. Penyelidikan Alkitab yang menyeluruh memberikan gambaran orang yang menjadi hamba uang sebagai berikut:
  1. Prinsip hidupnya adalah memburu – bukan sekedar mencari - uang (1Tim 6:10). Dia tidak pernah merasa cukup.
  2. Mencintai uang lebih daripada Tuhan (Mat 19:16-26).
  3. Menganggap uang sebagai penentu kebahagiaan hidup dan kepastian masa depan (Luk 12:15-21). Terlalu kuatir dengan uang (Mat 6:25-34).
  4. Hidupnya lebih memikirkan hal-hal duniawi daripada yang bernilai kekal (Mat 6:19-24; Yoh 6:27).
Prinsip Alkitab tentang materi (keuangan)
Hal terpenting yang harus kita pahami adalah isu tentang kepemilikan. Kita kadangkala berpikir atau menggunakan uang kita seolah-olah 90% milik kita dan 10% milik Tuhan. Kita menganggap bahwa kita bebas menggunakan yang 90% sesuka hati kita. Allah hanya menuntut dan mengurusi yang 10%. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ul 8:17-18; 1Taw 29:14, 16) dan tetap menjadi milik Tuhan (1Taw 29:11, 16)
Konsep selanjutnya yang perlu kita pahami adalah fungsi utama materi yang kita miliki. Sama seperti semua hal yang lain, kekayaan juga dari, oleh dan untuk Allah (Rom 11:36). Segala sesuatu harus melayani Tuhan (Mzm 119:91). Kita harus memuliakan Tuhan dengan harta kita (Ams 3:9).
Dari dua konsep di atas kita belajar bahwa kita hanyalah pengurus atau penatalayan (steward). Di satu sisi Allah memang memberikan ruang bagi kita untuk menikmati apa yang kita miliki selama kita menyadari bahwa hal itu adalah kesenangan dari Allah (Pkt 3:13). Artinya, kita tetap melihat kenikmatan itu sebagai milik Tuhan yang diberikan kepada kita untuk dinikmati. Yesus pun beberapa kali menghadiri pesta (Mat 26:6-13//Mar 14:3-9; Luk 15:1-3; Yoh 2:1-11). Pendek kata, kesenangan yang kita nikmati harus berupa selebrasi kebaikan Tuhan di dalam hidup kita.
Di sisi lain, kita harus memikirkan uang kita untuk memuliakan Allah. Memuliakan Allah di sini bukan sekedar memberikan perpuluhan (Mal 3:10; Mat 23:23) dan persembahan khusus lainnya untuk mendukung pelayanan (Luk 8:1-3), tetapi bagaimana kita mengaitkan semua yang kita miliki dengan Allah. Kita harus ingat bahwa memiliki kekayaan bukanlah tujuan, tetapi sarana. Abraham diberkati supaya ia memberkati orang lain (Kej 12:1-3). Yusuf diberi jabatan dan kekayaan supaya ia dipakai Tuhan memelihara hidup banyak orang (Kej 45:5, 7).
Kalau memang kekayaan adalah berkat Tuhan dan bukan hasil usaha kita (Ams 10:22) serta kita diberi kekayaan yang melebihi orang lain, bukankah seharusnya kita perlu bertanya, “apa maksud Tuhan memberkati aku secara berlebihan?”. Dalam setiap pengeluaran kita – bahkan yang paling kecil sekalipun – kita harus mulai belajar untuk bertanya, “apa hubungan hal ini dengan Allah?”, “apakah ini akan memuliakan Allah?”, “haruskah aku memakai uang untuk keperluan ini atau hal yang lain yang mungkin lebih memuliakan Tuhan?”.
Sebagai seorang penatalayan kita juga harus menyadari bahwa Tuhan seringkali memakai kita untuk memelihara hidup orang lain. Yang tidak boleh kita lupakan adalah orang tua atau keluarga kita. Beberapa orang Kristen sangat loyal terhadap pekerjaan Tuhan maupun sesama orang Kristen, tetapi mereka justru melupakan orang tua. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh orang Farisi dan mereka sudah dikecam oleh Yesus (Mat 15:4-6). Paulus mengajarkan bahwa tanggung-jawab utama terhadap janda-janda miskin seharusnya terletak anak atau cucu mereka yang sudah beriman, setelah itu baru gereja (1Tim 5:4). Mereka yang tidak mau memperhatikan keluarga bahkan disamakan dengan orang murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak percaya (1Tim 5:8).
Selain orang tua (dan keluarga), kita juga perlu mengutamakan mereka yang tidak memiliki sandaran hidup. Di dalam Alkitab Tuhan memberikan perhatian khusus kepada orang miskin, para janda dan anak yatim piatu, karena mereka hanya mengandalkan kemurahhatian Tuhan melalui orang lain (Kel 22:22, 24; Ul 10:18; 14:29; 16:11, 14). Khusus dalam konteks tubuh Kristus kita harus memperhatikan prinsip keseimbangan: yang kuat menanggung yang lemah (2Kor 8:13-14). Kita perlu mengutamakan saudara seiman dari pada orang luar (Gal 6:10).
Bagaimana dengan keluarga Kristen yang miskin? Apakah mereka tetap harus belajar memberi?
Jawabannya adalah “iya”. Kemiskinan kita bukanlah halangan untuk bermurah hati terhadap orang lain. Memberi adalah suatu karunia dan tidak hanya dikhususkan bagi orang kaya (Luk 21:1-4; 2Kor 8:1-9). Semua harus berprinsip bahwa “terlebih berkat memberi daripada menerima” (Kis 20:35). Kalau kita merasa selalu tidak cukup, kita harus belajar mencukupkan diri (Flp 4:11) melalui kekuatan Tuhan (Flp 4:13), sehingga kita bisa belajar memberi untuk orang lain. Sikap ini memang tidak mudah dan membutuhkan proses, tetapi paling tidak kita harus mulai mengarah ke sana sampai kita bisa berkata “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu” (1Tim 6:8).
Berdasarkan pemahaman teologis di atas, kita perlu mengatur ulang dan merencanakan pengeluaran kita sebaik-baiknya
Alokasi keuangan secara umum: prinsip 10-70-20. Pedoman yang paling sederhana dan bisa diaplikasikan oleh banyak orang adalah prinsip 10-70-20: seluruh penghasilan kita dipotong 10% untuk perpuluhan (Mal 3:10; Mat 23:23) dan 10% (Mat 22:21; Rom 13:1) untuk pajak. Setelah dipotong perpuluhan dan pajak, kita mengambil 10% untuk disimpan. Setelah itu kita bisa menggunakan yang 70% untuk kehidupan kita sehari-hari dan yang 20% untuk berbagi dengan sesama dan pelayanan. Persentasi ini sifatnya tidak mengikat (kecuali perpuluhan dan pajak). Bagaimanapun, kita harus terus belajar agar semakin hari semakin tidak egois.
Tuliskan dan evaluasi ulang semua pengeluaran yang ada. Apakah ada pengeluaran yang bisa ditiadakan, dihemat dan dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat?
v  Buatlah perencanaan keuangan untuk beberapa tahun ke depan (target) yang menurut kita paling ideal dari banyak sisi (Alkitab, keharmonisan keluarga maupun prinsip humanitas).
v  Pikirkan cara tertentu untuk meningkatkan penghasilan tanpa mengorbankan waktu bersama keluarga, pengawasan terhadap anak maupun waktu untuk Tuhan.
v  Berdoalah bersama pasangan untuk kelemahan kita yang khusus di bidang keuangan, misalnya terlalu kuatir, terlalu mengingini milik orang lain, terlalu konsumeris, boros, pelit, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar