Pembicaraan tentang uang di dalam gereja biasanya hanya menyentuh level permukaan
semata. Gereja hanya mengajarkan kekudusan dalam mencari uang dan dorongan
untuk memberikan sejumlah uang bagi keperluan gereja. Di luar dua aspek ini,
keuangan sangat jarang dibahas secara intensif
Mengapa
kita perlu membicarakan masalah keuangan, apalagi khusus di dalam hubungan
suami-istri (keluarga)?
Alkitab banyak membicarakan tentang materi: uang, kekayaan, hutang, dsb.
Kata “uang” muncul 175 kali dalam Alkitab (jumlah ini tidak termasuk mata uang,
misalnya “drakhma, dinar, talenta, dsb). Akar kata “kaya” muncul lebih dari 100
kali. Akar kata “hutang” muncul 50 kali. Data statistik ini dapat diperpanjang
kita jika memasukkan binatang ternak, perhiasan, tanah dan rumah, yang semuanya
ini merupakan indikator kekayaan orang pada masa kuno.
Perumpamaan Yesus juga banyak berkaitan atau mengajarkan tentang uang, terutama dalam Injil Lukas (Mat 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; 25:31-46; Mar 4:18-19; 12:1-2; Luk 7:41-43; 10:29-37; 11:5-8; 18:1-8; 12:16-21; 14:12-24; 16:1-13, 19-31; 19:11-27). Dalam kotbah di bukit Yesus tidak lupa membicarakan tentang harta (Mat 6:1-4, 19-6:34). Kita dapat menyimpulkan bahwa murid yang sejati melibatkan konsep dan penggunaan uang yang benar.
Perumpamaan Yesus juga banyak berkaitan atau mengajarkan tentang uang, terutama dalam Injil Lukas (Mat 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; 25:31-46; Mar 4:18-19; 12:1-2; Luk 7:41-43; 10:29-37; 11:5-8; 18:1-8; 12:16-21; 14:12-24; 16:1-13, 19-31; 19:11-27). Dalam kotbah di bukit Yesus tidak lupa membicarakan tentang harta (Mat 6:1-4, 19-6:34). Kita dapat menyimpulkan bahwa murid yang sejati melibatkan konsep dan penggunaan uang yang benar.
Uang merupakan salah satu godaan terbesar bagi orang percaya. Bileam
tergiur dengan uang (Bil 22:1-34; Ul 23:4-5; Yos 24:9-10; Neh 13:2; 2Pet
2:15-16; Yud 1:11; Why 2:14). Gehazi, asisten Elisha, jatuh dalam dosa
ketamakan (2Raj 5:20-27). Demas, rekan sekerja Paulus, memilih untuk mencintai
dunia (2Tim 4:10). Yesus sendiri pernah dicobai iblis berkaitan dengan materi
(Mat 4:3, 8-9), namun Dia berhasil bertahan. Paulus bahkan menyebut akar segala
kejahatan adalah cinta uang (1Tim 6:10a).
Kita hidup dalam dunia yang materialistis dan konsumeris. Orang
mengagungkan kekayaan dan kenyamanan hidup. Kesuksesan diukur dengan jumlah
kekayaan. Tanpa sadar kita juga terus dibombardir dengan berbagai macam iklan
yang menarik kita pada kehidupan yang konsumeris. Serangan ini dapat kita
jumpai di rumah (TV, surat kabar, majalah) maupun di jalan (radio, papan
reklame, dsb.). Di sisi lain, kita yang miskin semakin terjepit. Harga barang
yang mahal dan tuntutan untuk terus hidup “secara normal” (dalam arti mengikuti
standar hidup mayoritas orang) membuat kita yang miskin semakin sulit
menempatkan diri.
Hampir setiap hari orang bersentuhan dengan uang. Tanpa disadari kita
selalu memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan uang. Kita harus
mengambil keputusan tentang keuangan, dari pengeluaran yang sifatnya rutin dan
kecil, sampai yang insidental dan besar. Situasi ini menjadi lebih serius
ketika kita hidup dalam jaman yang “tidak ada yang gratis”. Masalah keuangan
telah menjadi faktor signifikan dalam perceraian.
Masalah
Keuangan Dalam Keluarga
Masalah yang berkaitan dengan keuangan keluarga sangat beragam. Uang yang
terlalu banyak seringkali mengubah pola relasi suami-istri menjadi relasi yang
berorientasi pada materi. Uang yang melimpah juga menggoda suami-istri untuk
hidup dalam dunia dan kesenangan sendiri-sendiri, karena mereka memiliki
berbagai alternatif aktivitas yang mampu mereka dapatkan dengan uang tersebut.
Akibatnya, materi dan kenyamanan hidup menjadi prioritas utama dalam keluarga.
Relasi dalam keluarga (kasih, perhatian, pemahaman, dsb) menjadi terpinggirkan. Orang cenderung berpikir
bahwa uang yang melimpah tersebut dapat menjamin kebahagiaan dalam keluarga.
Sebaliknya, uang yang sedikit juga sering menimbulkan kekuatiran dan
pertengkaran.
Dalam keluarga yang sangat miskin, pertengkaran ini menyentuh hal-hal yang
sangat fundamental untuk hidup, misalnya kontrak rumah dan makanan sehari-hari.
Dalam keluarga yang sederhana atau menengah, masalah ini merupakan pertentangan
antara “idealisme hidup” dan situasi keluarga. “Idealisme hidup” mendorong
orang untuk memiliki alat-alat kenyamanan hidup (TV, VCD/DVD player, kendaraan
bermotor, dsb), memberikan makanan yang terbaik bagi anak-anak (makanan yang
baik ini seringkali secara salah diidentikkan dengan makanan yang mahal),
pendidikan yang maju untuk anak-anak, dsb. Ketidakmampuan mencapai “idealisme
hidup” ini seringkali dipahami sebagai “hidup dalam kekurangan”, sehingga
pemahaman ini bisa perpotensi menimbulkan pertengkaran dalam sebuah keluarga.
Situasi ini akan menjadi semakin parah apabila istri secara eksplisit
menyatakan penyesalannya mengapa dia menikah dengan orang yang salah. Dalam
beberapa kasus kekurangan ekonomi keluarga bahkan dapat memicu berbagai
tindakan kriminal. Jika ini yang terjadi, maka berbagai masalah lain akan
segera menyusul dan membuat keadaan keluarga menjadi semakin parah.
Terlepas dari jumlah uang yang dimiliki, masalah paling serius dalam
keuangan keluarga berhubungan dengan cara pengelolaan keuangan yang buruk.
Pengelolaan yang buruk pasti akan membuat jumlah berapapun tampak tidak pernah
cukup. Yang termasuk pengelolaan keuangan yang buruk antara lain gaya hidup
yang terlalu pelit (sehingga anggota keluarga tidak bisa menikmati hidup), gaya
hidup yang boros (sehingga tampak selalu berkekurangan dan tidak ada
pertumbuhan finansial dalam keluarga itu), penggunaan kartu kredit yang tidak
bijaksana (sehingga terjebak pola hidup konsumeris), keputusan yang tidak tepat
ketika meminjam uang di bank (sehingga bunga bank semakin menambah masalah
keuangan yang sudah ada), eksperimen bisnis yang kurang matang (sehingga
menimbulkan kerugian finansial yang tidak sedikit dan keluarga bisa terjeart
hutang di mana-mana).
Masalah keuangan yang lain adalah penghasilan istri yang lebih besar
daripada suami. Dalam sebuah kultur yang meletakkan tanggung-jawab ekonomi
terutama dan hanya pada suami sebagai kepala keluarga, penghasilan istri yang
besar bisa berpotensi mengganggu keharmonisan pernikahan. Istri bekerja bukan
sebagai sebuah paggilan Tuhan yang unik bagi dia, namun sebagai usaha untuk
membantu suami mencari uang. Motivasi bekerja yang salah seperti ini dapat
menumbuhkan benih ketidakpercayaan atau ketidakhormatan terhadap suami. Dari
pihak suami sendiri terutama yang berpenghasilan kecil dan harus “dibantu” oleh
istri, situasi seperti ini sudah mengganggu harga dirinya. Dia merasa takut
tidak dihargai lagi, sehingga cenderung mencari cara-cara pelampiasan tertentu
untuk dihargai, misalnya sikap yang kasar terhadap istri dan anak-anak.
Uang bukan
masalah
Dari penjelasan sebelumnya kita mungkin mendapat kesan bahwa uang pada
dirinya sendiri (secara an sich) merupakan masalah dalam keluarga.
Kita melihat uang sebagai sesuatu yangsangat sekuler, berbahaya dan harus
dihindari. Dari perspektif Alkitab, uang sebenarnya adalah netral dan
bukan sumber masalah. Inti masalah terletak pada cara pandang kita terhadap
uang. Akar segala kejahatan bukanlah uang, tetapi cinta uang (1Tim
6:10). Hal ini sangat terkait dengan realita bahwa di mana harta kita
berada di situ hati kita berada (Mat 6:21).
Dengan kata lain, seberapa tinggi kita meletakkan uang dalam prioritas
hidup kita, hal itu akan mempengaruhi pengelolaan keuangan kita. Godaan untuk
mencintai harta bertumbuh subur dalam budaya modern yang mengagungkan
materialisme dan konsumerisme. Bagi orang Kristen, situasi ini pasti
menimbulkan ketegangan yang tidak mudah, karena konsep Alkitab sangat
bertentangan dengan materialisme dan konsumerisme. Tabel berikut menggambarkan
perbedaan sudut pandang antara budaya modern dan Alkitab (dimodifikasi dari Don
& Sally Meredith, Keduanya.....Menjadi Satu, 279).
PANDANGAN MODERN VS
PANDANGAN ALKITAB
Sudut pandang modern
|
Sudut pandang Alkitab
|
Uang adalah pusat hidup
|
Carilah dahulu Kerajaan Allah (Mat 6:33)
|
Uang menentukan
kebahagian
|
Berjaga dan waspada terhadap ketamakan, sebab walaupun seorang
berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak bergantung pada kekayaannya (Luk
12:15)
|
Memiliki uang banyak akan memberikan kepuasan
|
Yang mencintai uang dan kekayaan tidak akan pernah puas (Pkt 5:10)
|
Kekayaan adalah jaminan masa depan
|
Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (Mzm 46:1-2)
|
Kepala keluarga yang baik adalah yang mampu mencari uang
sebanyak-banyaknya
|
Kepala keluarga yang baik adalah bukan hamba uang (1Tim 3:3)
|
Rasa cukup didasarkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki
|
Rasa cukup adalah hasil dari proses belajar (Flp 4:11)
|
Batasan hidup berkecukupan adalah terpenuhinya “idealisme hidup” modern
|
Asal ada makanan dan pakaian cukup (1Tim 6:8); dengan kekuatan Tuhan kita
bisa cukup sekalipun dalam kekurangan (Flp 4:12-13)
|
Pertanyaan ini sulit dijawab berdasarkan 1Timotius 6 saja. Penyelidikan
Alkitab yang menyeluruh memberikan gambaran orang yang menjadi hamba uang
sebagai berikut:
- Prinsip hidupnya adalah memburu – bukan sekedar mencari - uang (1Tim 6:10). Dia tidak pernah merasa cukup.
- Mencintai uang lebih daripada Tuhan (Mat 19:16-26).
- Menganggap uang sebagai penentu kebahagiaan hidup dan kepastian masa depan (Luk 12:15-21). Terlalu kuatir dengan uang (Mat 6:25-34).
- Hidupnya lebih memikirkan hal-hal duniawi daripada yang bernilai kekal (Mat 6:19-24; Yoh 6:27).
Prinsip
Alkitab tentang materi (keuangan)
Hal terpenting yang harus kita pahami adalah isu tentang kepemilikan. Kita
kadangkala berpikir atau menggunakan uang kita seolah-olah 90% milik kita dan
10% milik Tuhan. Kita menganggap bahwa kita bebas menggunakan yang 90% sesuka
hati kita. Allah hanya menuntut dan mengurusi yang 10%. Konsep ini jelas
bertentangan dengan firman Tuhan. Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ul
8:17-18; 1Taw 29:14, 16) dan tetap menjadi milik Tuhan (1Taw 29:11, 16)
Konsep selanjutnya yang perlu kita pahami adalah fungsi utama materi yang
kita miliki. Sama seperti semua hal yang lain, kekayaan juga dari, oleh dan untuk
Allah (Rom 11:36). Segala sesuatu harus melayani Tuhan (Mzm 119:91). Kita
harus memuliakan Tuhan dengan harta kita (Ams 3:9).
Dari dua konsep di atas kita belajar bahwa kita hanyalah pengurus atau
penatalayan (steward). Di satu sisi Allah memang memberikan ruang bagi
kita untuk menikmati apa yang kita miliki selama kita menyadari bahwa hal itu
adalah kesenangan dari Allah (Pkt 3:13). Artinya, kita tetap melihat kenikmatan
itu sebagai milik Tuhan yang diberikan kepada kita untuk dinikmati. Yesus pun
beberapa kali menghadiri pesta (Mat 26:6-13//Mar 14:3-9; Luk 15:1-3; Yoh
2:1-11). Pendek kata, kesenangan yang kita nikmati harus berupa selebrasi
kebaikan Tuhan di dalam hidup kita.
Di sisi lain, kita harus memikirkan uang kita untuk memuliakan Allah.
Memuliakan Allah di sini bukan sekedar memberikan perpuluhan (Mal 3:10; Mat
23:23) dan persembahan khusus lainnya untuk mendukung pelayanan (Luk 8:1-3),
tetapi bagaimana kita mengaitkan semua yang kita miliki dengan Allah. Kita
harus ingat bahwa memiliki kekayaan bukanlah tujuan, tetapi sarana.
Abraham diberkati supaya ia memberkati orang lain (Kej 12:1-3). Yusuf diberi
jabatan dan kekayaan supaya ia dipakai Tuhan memelihara hidup banyak orang (Kej
45:5, 7).
Kalau memang kekayaan adalah berkat Tuhan dan bukan hasil usaha kita (Ams
10:22) serta kita diberi kekayaan yang melebihi orang lain, bukankah seharusnya
kita perlu bertanya, “apa maksud Tuhan memberkati aku secara berlebihan?”.
Dalam setiap pengeluaran kita – bahkan yang paling kecil sekalipun – kita harus
mulai belajar untuk bertanya, “apa hubungan hal ini dengan Allah?”, “apakah ini
akan memuliakan Allah?”, “haruskah aku memakai uang untuk keperluan ini atau
hal yang lain yang mungkin lebih memuliakan Tuhan?”.
Sebagai seorang penatalayan kita juga harus menyadari bahwa Tuhan
seringkali memakai kita untuk memelihara hidup orang lain. Yang tidak boleh
kita lupakan adalah orang tua atau keluarga kita. Beberapa orang Kristen sangat
loyal terhadap pekerjaan Tuhan maupun sesama orang Kristen, tetapi mereka
justru melupakan orang tua. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh orang
Farisi dan mereka sudah dikecam oleh Yesus (Mat 15:4-6). Paulus mengajarkan
bahwa tanggung-jawab utama terhadap janda-janda miskin seharusnya terletak anak
atau cucu mereka yang sudah beriman, setelah itu baru gereja (1Tim 5:4). Mereka
yang tidak mau memperhatikan keluarga bahkan disamakan dengan orang murtad dan
lebih buruk daripada orang yang tidak percaya (1Tim 5:8).
Selain orang tua (dan keluarga), kita juga perlu mengutamakan mereka yang
tidak memiliki sandaran hidup. Di dalam Alkitab Tuhan memberikan perhatian
khusus kepada orang miskin, para janda dan anak yatim piatu, karena mereka
hanya mengandalkan kemurahhatian Tuhan melalui orang lain (Kel 22:22, 24; Ul
10:18; 14:29; 16:11, 14). Khusus dalam konteks tubuh Kristus kita harus
memperhatikan prinsip keseimbangan: yang kuat menanggung yang lemah (2Kor 8:13-14).
Kita perlu mengutamakan saudara seiman dari pada orang luar (Gal 6:10).
Bagaimana
dengan keluarga Kristen yang miskin? Apakah mereka tetap harus belajar memberi?
Jawabannya adalah “iya”. Kemiskinan kita bukanlah halangan untuk bermurah
hati terhadap orang lain. Memberi adalah suatu karunia dan tidak hanya
dikhususkan bagi orang kaya (Luk 21:1-4; 2Kor 8:1-9). Semua harus berprinsip
bahwa “terlebih berkat memberi daripada menerima” (Kis 20:35). Kalau kita
merasa selalu tidak cukup, kita harus belajar mencukupkan diri (Flp 4:11)
melalui kekuatan Tuhan (Flp 4:13), sehingga kita bisa belajar memberi untuk
orang lain. Sikap ini memang tidak mudah dan membutuhkan proses, tetapi paling
tidak kita harus mulai mengarah ke sana sampai kita bisa berkata “asal ada
makanan dan pakaian, cukuplah itu” (1Tim 6:8).
Berdasarkan
pemahaman teologis di atas, kita perlu mengatur ulang dan merencanakan
pengeluaran kita sebaik-baiknya
Alokasi keuangan secara umum: prinsip 10-70-20. Pedoman yang paling
sederhana dan bisa diaplikasikan oleh banyak orang adalah prinsip 10-70-20:
seluruh penghasilan kita dipotong 10% untuk perpuluhan (Mal 3:10; Mat 23:23)
dan 10% (Mat 22:21; Rom 13:1) untuk pajak. Setelah dipotong perpuluhan dan
pajak, kita mengambil 10% untuk disimpan. Setelah itu kita bisa menggunakan
yang 70% untuk kehidupan kita sehari-hari dan yang 20% untuk berbagi dengan
sesama dan pelayanan. Persentasi ini sifatnya tidak mengikat (kecuali
perpuluhan dan pajak). Bagaimanapun, kita harus terus belajar agar semakin hari
semakin tidak egois.
Tuliskan dan evaluasi ulang semua pengeluaran yang ada. Apakah ada
pengeluaran yang bisa ditiadakan, dihemat dan dialokasikan untuk hal lain yang
lebih bermanfaat?
v
Buatlah
perencanaan keuangan untuk beberapa tahun ke depan (target) yang menurut kita
paling ideal dari banyak sisi (Alkitab, keharmonisan keluarga maupun prinsip
humanitas).
v
Pikirkan
cara tertentu untuk meningkatkan penghasilan tanpa mengorbankan waktu bersama
keluarga, pengawasan terhadap anak maupun waktu untuk Tuhan.
v
Berdoalah
bersama pasangan untuk kelemahan kita yang khusus di bidang keuangan, misalnya
terlalu kuatir, terlalu mengingini milik orang lain, terlalu konsumeris, boros,
pelit, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar