http://www.fotosearch.com/photos-images/parenting.html |
Kemudian
sang istri memberi saran bahwa pada malam itu mereka hasus tidur pisah ranjang,
dan ditentukanlah bahwa masing-masing tidur sendiri-sendiri di kamar yang
terpisah untuk merenungkan perjalanan perkawinan mereka selama ini dan kemudian
masing-masing dituntut untuk menulis semua uneg-unegnya berkaitan dengan
pandangannya terhadap pasangannya, hal-hal yang berkesan atau yang menyedihkan
maupun harapan yang belum terwujud maupun harapan yang diinginkan untuk kedepan
dari dan untuk pasangannya.
Intinya si
suami diminta menuliskan apa dan bagaimana penilainnya terhadap istrinya selama
ini dan si istri juga dituntut untuk melakukan hal yang sama, kemudian besok
pagi akan dibacakan dihadapan mereka berdua, alias empat mata.
Esok
paginya, sesuai dengan kesepakatan, maka dimulailah pembacaan kesan dan pesan
tersebut, diputuskan yang mendapat giliran pertama untuk menyampaikan
pendapatnya adalah sang istri. Dengan penuh semangat si istri membacakan begitu
banyak pendapat dan pandangannya tentang suaminya, terutama tentang keburukan
suaminya dan terutama tingkah laku atau sikap suaminya yang menbuad sang istri
kesal, jumlahnya sangat banyak, berpuluh-puluh sehingga ditengah mendengar
keluh kesah istrinya yang demikian banyak, sang suami meneteskan air mata
menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Melihat
suaminya menangis, sang istri berujar “Kenapa menangis, kamu baru tau kan bahwa
selama ini aku memendam dalam hati semua kekesalan ini……” dan tiba-tiba si
suami menimpali : “Tidak apa-apa, lanjutkan saja membacanya sampai
selesai.” Setelah sekian menit mengutarakan
isi hatinya, kemudian si ibu mempersilahkan sang suami membacakan apa yang
ditulisnya tentang tanggapan dan harapannya terhadap istrinya.
Setelah
mengusap sisa-sia air matanya, kemudian si suami kemudian menyerahkan buku
tulis itu kepada istrinya seraya berujar “ …ini saya kembalikan buku ini tanpa
sepotong katapun ada saya tulis didalamnya !!!! “. Kemudian sang istri merasa
heran, benci dan pikirannya gusar berbaur dengan rasa kesal, dan akhirnya
berucap “ Apa-apaan ini… kok bisa sepatah katapun tidak ada bapak
tuliskan….!!!”, dan melemparkan buku itu kearah sang suami.
Dengan sabar
sang suami memungut buku yang terletak di lantai, sambil menarik napas
dalam-dalam dan berujar : “Kamu begitu
sempurna dimataku, sehingga tidak
sepotong katapun dapat menggambarkan kekuranganmu, bahkan aku menerima
kamu sebagaimana adanya, sehingga dimataku kamu tidak punya kekurangan…… aku
bahagia memiliki istri sepertimu dan teramat sangat menikmati itu semua……!!!”
Wow Pantastik………………
Idealnya dan menjadi keinginan setiap orang didalam sebuah
rumah tangga suami dan istri seharusnya memiliki sikap kebersamaan yang
mendalam baik utu dalam pemikiran, perkataan dan tindakan. Sikap yang saling
serba sama ini merupakan keinginan yang sering muncul disetiap benak istri
maupun suami. Dalam masyarakat karo di Sumatera Utara ada ungkapan yang
mengatakan “Sepengodak Sepengole” artinya “ Seiring Seirama” suatu frase yang
diambil dari sikap ketika menari (landek) dalam suatu pesta tahunan (gendang). Ketika dua orang, pria dan wanita, menari
bersama deengan posisi saling berhapan, ketika si pria menari dengan sikap
menunduk maka si wanita juga harus menunduk, ketika seorang wanita membuat
sikap menari berputar seakan mengitari angka delapan maka si pria juga
diharapkan melakukan tindakan yang sama.
Dalam kehidupan rumah tangga sepasang suami istri juga
diharapkan terwujud sikap dan tindakan yang seiring dan seirama ini, saya yakin
bahwa setiap orang, baik itu suami maupun istri sangat mengidam-idamkan terjadi
sikap seperti ini di dalam rumah tangganya. Namun dalam kenyataannya dalam
kehidupan rumah tanggasulit ditemukan ada pasangan suami istri yang tidak
pernah mengalami perbedaan pendapat dan tindakan sepanjang perjalanan sejarah
mahligai rumah tangganya. Jika hal itu ada sewajarnya jika kita berguru kepada
mereka karena hal itu merupakan sebuah catatan sejarah kehidupan yang perlu
ditulis dengam tinta emas.
Lajimnya dalam setiap rumah tangga pernah terjadi perbedaan
pendapat, perbedaan tindakan bahkan tidak jarang terjadi pertengkaran, walau
bentuk pertengkaran itu berbeda-beda bentuk,size dan volume-nya. Dirumah tangga
yang satu mungkin pertengkaran hanya sebatas omongan doing, bahkan ada yang
hanya saling tidak bertegur sapa, tetapi ada juga pertengkaran yang sampai
melakukan pisah ranjang, bentuk pisah
ranjang ini juga terdiri dari dua jenis, jenis pertama : Suami istri yang
tempat tidurnya “Spring Bed” ketika bertengkar springbed tersebut di bagi dua,
satu orang tidur diatas matras sedangkan seorang lagi tidur diatas dipan
(makanya hati-hati ketika membeli springbed…hmmm), jenis kedua : pisah ranjang
dalam arti yang sebenarnya yaitu tidak satu rumah lagi alias cerai.
Walaupun dikatakan bahwa sudah merupakan hal yang lajim
terjadi perselisihan ataupun pertengkaran antara suami dan istri didalam sebuah
rumah tangga bukan berarti hal ini harus dipelihara atau dilestarikan
pelaksanaanya, capek khan ? Mana ada sih pria atau wanita yang memiliki hobby
atau kesukaan untuk bertengkar ? Yakin seyakin-yakinnya, saya sungguh yakin
bahwa setiap pria dan wanita ingin memiliki rumah tangga yang aman dan damai,
suami dan istri bias saling memahami satu sama lainnya dan terutama bisa
menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangannya.
Menerima kekurangan suami atau istri merupakan sebuah
kata-kata yang gampang diucapkan padahal dalam kenyataannya sangat sulit
dilakukan, terutama menerima kekurangan yang dianggap menyentuh harga diri
seseorang. Ketidakmampuan menerima perbedaan terutama kekurangan inilah salah
satu sumber yang potensial mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran dalam
sebuah rumah tangga suami istri.
Ketidakmampuan menerima kekurangan pasangan hidupnya dalam
sebuah rumah tangga ini sebenarnya salah satu bentuk pengingkaran terhadap
kenyataan yang sebenarnya, yaitu kita lupa bahwa sebagai suami istri kita
dipersatukan lembaga perkawinan dari latar belakang yang benar-benar berbeda,
kita lahir dari ibu yang berbeda, hidup dalam lingkungan yang berbeda,
mendapatkan pendidikan dari sumber yang berbeda dan banyak lagi latar belakang
perbedaan yang kita dimiliki oleh suami istri.
Pertengkaran atau perselisihan terjadi karena buah pikiran
atau emosi seseorang, hal itu erat kaitannya engan mindset (kerangka berpikir)
atau cara berpikir seseorang, karena suami istri dipersatukan dengan latar
belakang yang berbeda maka cara berpikir mereka juga adakalanya berbeda dalam
menyikapi sesuatu, cara berpikir ini dipengaruhi oleh “Belief” atau sesuatu
yang diyakini seseorang kebenarannya.
Belief ini terbentuk berdasarkan pengalaman hidup, keluarga, lingkungan,
pendidikan, bacaan dan lain sebagainya yang bentuknya sebagai sumber informasi
dan pengetahuan.
Sejak lahir sampai ke jenjang perkawinan seseorang itu
menjalani kehidupan sekian puluh tahunan, dan tahun yang panjang itu telah
membentuk kerangka berpikir dan sikapnya, dan ketika masuk ke jenjang
perkawinan sikapnya yang terbentuk sesuai dengan belief-nya dituntut untuk
menyatu dengan pasangan hidupnya suami atau istri, hal itu membutuhkan proses
penyesuaian bahkan pengorbanan dan kemauan untuk saling memahami serta kerelaan
untuk menggeser sikap yang dianggap telan mapan didalam diri mereka
masing-masing.
Pergeseran atau perubahan belief ini bukan merupakan
pekerjaan yang gampang dilakukan karena sudah membuat seseorang merasa nyaman
dengan keyakinan dan belief-nya sehingga hal itu disebut zona nyaman (Comfort
Zone) seseoraang, dan jika ingin melakukan pergeseran atau perubahan terhadap
belief tersebut dibutuhkan suatu kemauan yang muncul secara sukarela dan sungguh-sungguh
dari dalam diri seseorang (Inside out), bukan terjadi karena daya dorong atau
pengaruh yang dating dari luar diri seseorang (Outside In).
Disamping mengharapkan terjadi pergeseran kerangka berpikir
masing-masing suami atau istri, salah satu solusi yang bagus dilakukan adalah
memahami dan menerima kekurangan masing-masing, kekurangan itu dipandang
sebagai sebuah kenyataan yang harus diakui dan diterima keberadaannya karena
memang suami istri sesungguhnya memiliki banyak perbedaan secara personal,
karena memang dating dari latar belakang yang berbeda, sehingga sangat
dibutuhkan kerelaan dan kemauan untuk menjadikan perbedaan itu sebagai sarana
mengaktualisasikan kemampuan dialogis yang baik, dalam sebuah dialog kita tidak
harus menyetujui semua apa yang dikemukakan seseorang walaupun dalam hal itu
kita harus menerimanya sebagai buah pemikirannya, demikian juga halnya dengan
diri kita sendiri tidak seharusnya memaksakan kehendak kita kepada mitra dialog
kita ketika ada perbedaan pendapat, artinya dalam sebuah dialog adakalanya kita
harus “ SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT “, intinya dapat menerima perbedaan.
Dalam kontek rumah tangga suami dan istri, kalimat “Sepakat
Untuk Tidak Sepakat” ini dimaknai sebagai sebuah tindakan kerelaan menerima
pasangan kita secara utuh baik itu kekurangan dan kelebihannya, terutama
kerelaan memahami dan menerima kekurangan yang ada di dalam diri suami atau
istri, apabila kita mampu menerima kekurangannya maka alangkah lebih nikmat
lagi rasanya ketika kita mendapatkan kelebihanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar