Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Senin, 21 Mei 2012

kesainta.blogspot.com SECUIL WAHANA EKSPRESI PRIBADIKU DALAM ZIARAH KEARIFAN


Kesain adalah sebuah kosa kata dari bahasa suku Karo yang artinya dalam terjemahan terjun bebas : sebuah lokasi tempat tinggal sekelompok rumah penduduk di sebuah desa  atau sering juga kosa kata ini diucapkan untuk mengutarakan "Halaman Rumah". Penggunaan kata Kesain dalam blog ini hanya kebetulan saja dan sedikit berpikir nakal dengan bertindak "Iseng" tetapi "Serius" yang tujuan sebenarnya  mulia yaitu  keinginan untuk mengaplikasikan  prinsif  : "melihat beranda rumah kita terlebih dahulu sebelum melihat apalagi menilai beranda rumah orang lain".

Demikian juga halnya jika kita ingin berbicara dan berkomentar tentang suatu topik yang besar alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu berkenan berbicara tentang yang kecil karena menurut pepatah saudara jauh kita ada sebuah ungkapan  berbunyi "Kecil Itu Indah". Namun bukan berarti dengan menganut prinsif ini kita harus berpikir kecil, sama sekali tidak ada niat bahkan untuk berpikir-pun tentang itu. Dasar pemikirannya adalah kalkulasi minimal saja yaitu keyakinan bahwa tanpa dimulai dengan hal terkecil bagaimana mungkin kita bisa menraih hal terbesar, atau sama seperti ungkapan yang berbunyi "Langkah Pertama adalah Penentu Tercapainya langkah Keseribu".

Pesan berharga yang ingin disampaikan dalam dialog ini adalah keinginan untuk mengaktualisasikan kerinduan mendalam terhadap pelestarian kearifan lokal seperti adat istiadat yang dimiliki beberapa suku di Sumatera Utara sebagai salah satu sumber pandangan hidup dalam kehidupan dewasa ini terutama bagi putra - putri Sumatera Utara yang sangat identik sebagai orang yang berbudaya sesuai dengan adat suku yang dimilikinya masing-masing, baik itu Toba, Simalungun, Pakpak, Mandailing dan Karo.

Di zaman atau era Technologie Information (IT) dewasa ini sering sekali kita enggan untuk berpaling kebelakang untuk melakukan ziarah bathin apalagi untuk mencoba mengadopsi kerangka berpikir yang pernah ada dimasa lalu hanya karena takut disebut ketinggalan zaman, primitif, kuno, kampungan atau ZADUL (zaman dulu), padahal masih banyak kearifan lokal masa lalu yang masih sangat layak dan pantas kita pergunakan sebagai salah satu kerangka berpikir, ber-ucap dan bertindak (Paradigma) kita. 

Saya jadi teringat dengan ucapan salah seorang sahabat saya yang berkata " Berpikir Lokal Bertindak Global", wow... sebuah ungkapan yang sangat berarti dan sangat layak dipertimbangkan sebagai salah satu prinsif dalam kehidupan moderen dewasa ini karena hal ini mengingatkan saya terhadap bukunya Anthony Giddens  berjudul "The Third Way"  yang pada intinya beliau berkata bahwa kita sekarang hidup di zaman "manufactured uncertainty" yaitu masa atau zaman yang diliputi oleh ketidakpastian.

Paska runtuhnya tembok Berlin dan wafatnya Uni Soviet awalnya banyak orang berpikir bahwa Kapitalisme sebagai sebuah ideologi akan menjadi satu-satu alternatif pilihan didunia ini, salah satu pemikir yang berkenan menganut alur pemikiran ini adalah Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption : Human Nature and Reconstitution of Social Order ,  Fukuyama  antara lain mengemukakan bahwa Amerika salah satu negara yang paling layak sebagai sumber inspirasi tata sosial baru kehidupan manusia diseluruh penjuru dunia dewasa ini. Tetapi sayang tahun lalu kita sedikit terkejut dengan adanya peristiwa demontrasi  wallstreet  di Amerika sebagai secuil gambaran bahwa Kapitalisme itu juga ternyata sekarang justru di gugat di tanah kelahirannya.

Demikian juga dalam kehidupan sosial politik Nasional Indonesia, kita sering merasa gamang memahami Pancasila sebagai salah satu Filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika hidup di zaman orde baru Pancasila dikutak-katik hanya untuk kepentingan politik penguasa dan Pancasila dipergunakan teori pembenaran untuk melanggengkan kekuasaan rezim orde baru, rakyat dijejalani dengan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tanpa pernah diukur keberhasilan penghayatan dan pengamalannya karena penguasa juga belum tentu mengamalkannya, sehingga Pancasila tidak ubahnya hanya sebagai "Bunyi-bunyian" indah minim makna, hal ini terjadi justru karena pemegang kekuasaan saat itu justru ingin mengasingkan Pancasila yang sebenarnya dari ibu kandung yang melahirkannya yaitu Bung Karno. Jadi tidak mengherankan apabila di era reformasi dewasa ini Pancasila justru semakin termarginalkan karena para elite politik dan penguasa juga justru tadinya mengikuti penataran P4 hanya karena kewajiban bukan karena sadar akan arti dan makna Pancasila itu sendiri.

Padahal secara historis Pancasila itu adalah buah maha karya para The Founding Father (Pendiri Bangsa) Indonesia yaitu sebagai ”Philosofische grondslag”  Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. 
Demikian juga halnya dengan kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik di Sumatera Utara sangat penting untuk dilestarikan serta diaktualisasaikan sebagai salah satu bentuk sistem kekerabatan dalam interaksi sosial. Salah satu sistem kekerabatan yang sangat menarik dan layak tetap diterapkan di Daerah Sumatera Utara khususnya dan Bagi Putra-putri yang berasal dari Sumatera Utara adalah Martarombo (Bahasa Toba), Ertutur (Bahasa Karo) dan Partuturan (Bahasa Simalungun). Dalam masyarakat suku Karo hal ini disebut dengan "Sangkep Geluh" dalam "Merga Silima Tutur Siwaluh Rakut Sitelu" atau diistilahkan dengan " Daliken Sitelu" atau "Dalihan Natolu" dalam adat masyarakat suku Toba, sedangkan masyarakat suku Simalungun dalam menentukan perkerabatan (Partuturan) ditentukan berdasarkan tempat asal nenek moyang (Hasusuran) dan "Tibalni Parhundul" atau Kedudukan atau peran seseorang dalam acara-acara adat (Horja-horja adat), namun akhirnya Partuturan dalam adat masyarakat Simalungun menghasilkan “Tolu Sahundulan” yang terdiri dari “Suhut, Anak Boru Jabu dan Tondong” 

Wacana yang dikemukakan diatas hanya sebagian kecil dari sedemikian banyaknya nilai-nilai kearifan yang aktual dan relevan untuk dibicarakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu tanpa ada keinginan untuk tampil "Narsis" ke ruang publik saya sebagai orang biasa saja yang datang dari sebuah desa kecil diujung pulau Sumatera ingin memepersembahkan "Blog ini" ke hutan belantara kehidupan zaman teknologi informasi saat ini dengan niat tulus hanya coba-coba mengoleksi buah-buah pikiran yang telah lama berserakan bagaikan dedaunan yang lepas dari ranting-ranting pepohonan.

Ibarat hendak membuat formula pupuk organik yang diolah dari sampah dedaunan kiranya isi ungkapan pemikiran di blog ini nantinya bermanfaat bagi sesama, syukur-syukur nanti justru memang bermanfaat. Akhir kata saya memohon diberikan ucapan selamat datang ke dunia maya dari rekan - rekan penziarah dunia maya dimanapun berada seiring berharap semoga media ini menjadi wahana bagi kita untuk saling ber-tukar buah pemikiran dan terutama semoga media ini sungguh mampu mengikat tali silaturahmi diantara kita yang masih mengembara di belantara dunia nan luas ini.
SALAM HANGATKU BERSAMA ANDA BERTEMU DI DUNIA MAYA 
dari :
kesainta.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar