Sebagai
gerakan, fenomenologi ini merupakan salah satu dari dua gerakan yang
memiliki tipe sama yang berasal dari ajaran Franz Brentano (1838-1917).
Gerakan yang lain dikemukakan oleh Alexius Meinong (1853-1921), serta
pengikut pemikir-pemikir ini mengembangkan suatu teori objektif yang
dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan fenomenologi, yaitu berusaha
untuk memperoleh gambaran secara jelas tentang hal-hal yang dialaminya
di dunia ini sebagaimana adanya dalam realitas. Fenomenologi ini juga
merupakan suatu mazhab (sekolah) filsafat, yang para anggotanya pertama
kali ditemukan di beberapa universitas Jerman pada tahun-tahun sebelum
Perang Dunia I, khususnya di Gottingen dan Munchen. Antara tahun 1913
dan 1930 kelompok ini menerbitkan serial majalah tahunan fenomenologi
yang bernama Jahrbuch fur Philosophie und phenomenologische Forschung dengan
editor utamanya adalah Husserl, yang merupakan pemikir yang sangat
orisinal dan berpengaruh dalam kelompok tersebut. Sedangkan anggota lain
yang terkenal dalam gerakan fenomenologi ini adalah: Moritz Geiger,
Alexander Pfander, Max Scheler, dan Oscar Becker.
Husserl
memang memaksudkan fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat yang
akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia; namun ia sendiri
memusatkan perhatian dan tenaganya pada pemberian dasar terhadap
fenomenologi itu sebagai disiplin baru. Menurut Husserl, fenomenologi
diperuntukkan membuka suatu jalan baru dalam filsafat; suatu
transformasi mendasar filsafat, yaitu kembali pada sumber asli dari
intuisi. Dengan proses klarifikasi, fenomenologi akan membuka suatu
wilayah yang luas dari penelitian ilmiah yang saksama, yang membuktikan
kegunaannya tidak hanya sebagai filsafat, tetapi juga sebagai ilmu
pengetahuan lainnya, yaitu memberikan penjelasan tentang landasan ilmu
pengetahuan.
Dalam
pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjuk pada suatu
teori spekulatif tentang penampilan pengalaman; dan dalam penggunaan
awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi
“phenomenon-noumenon”, suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon).
Sedangkan fenomenologi Husserl merupakan usaha spekulatif untuk
menemukan hakikat, yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan
penganalisisan terhadap yang tampak.
Ada dua ciri pokok fenomenologi yang perlu digarisbawahi. Pertama,
merupakan suatu metode yang menggambarkan fenomena, sebagai sesuatu
yang diberikan secara langsung dari realitas. Dalam hal ini fenomenologi
menolak ilmu pengetahuan alam dan menempatkan diri berlawanan dengan
empirisme dan sekaligus idealisme. Dari satu pihak, fenomenologi
bertentangan dengan empirisme dan memperoleh gambaran khusus maupun
gambaran umum tentang gejala-gejala yang dialami manusia, melainkan
berusaha mencari esensi dari setiap hal yang dialami manusia secara
langsung, dan di lain pihak, berlawanan dengan idealisme karena
fenomenologi tidak hanya mendasarkan pemahaman pada rumusan-rumusan
serta ide-ide belaka yang ada dalam pemikiran manusia, melainkan juga
bertumpu pada pengalaman langsung terhadap realitas atau kenyataan
kehidupan yang dihadapinya. Kedua,
objeknya adalah hakikat atau esensi, yaitu isi ideal yang dapat
dipahami dari fenomena, yang dapat ditangkap secara langsung dalam suatu
tindakan penglihatan, dalam intuisi akan hakikat atau esensi. Hal ini
berlawanan dengan pandangan abad ke-19 yang tidak dapat mengetahui
keberadaan esensi pada dirinya sendiri serta tidak ada kemungkinan untuk
mengetahuinya.
Husserl
bercita-cita memberi dasar filosofis pada suatu ilmu yang rigorus
(memiliki aturan disiplin yang ketat), yang diberi nama “fenomenologi”.
Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang apa yang tampak. Jadi,
seperti sudah tersirat dalam namanya, fenomenologi mempelajari apa yang
tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena. Husserl memaksudkan
“fenomena” sebagai sesuatu yang memiliki pengertian baru, yang tidak
boleh dimengerti sebagai yang biasa digunakan Kant. Bagi Husserl,
fenomen ialah realitas sendiri yang tampak. Bagi dia, tidak ada selubung
atau tirai yang memisahkan kita dari realitas, realitas itu sendiri
tampak bagi kita.
Tujuan
Husserl dengan fenomenologinya ini adalah menetapkan dasar terdalam,
yang terbebas dari segala prasangka, sebagai landasan atau dasar untuk
membangun seluruh ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Sumber resmi
yang mendalam dari seluruh pernyataan rasional adalah melihat, atau
kalau untuk dirinya, adalah “kesadaran pertama yang menghadirkan hal
yang tersedia secara langsung”. Mencari “barang pada dirinya sendiri”
merupakan suatu perintah; merupakan hukum pertama dan mendasar dalam
metode fenomenologi. “Barang-barang” secara sederhana diartikan sebagai
apa yang diberikan, yatiu sebagai yang kita “lihat” dalam kesadaran, dan
“hal yang diberikan” ini disebut “fenomena” dalam arti yang tampak bagi
kesadaran kita. Dan kata itu tidak menunjukkan bahwa ada hal yang tidak
diketahui di belakang fenomena; hal yang tidak diketahui semacam itu
tidak menjadi persoalan bagi fenomenologi.
Husserl menekankan bahwa sifat utama fenomenologi adalah perbedaannya dari “sikap ilmiah” (naturliche Einstellung).
Objek permasalah fenomenologi bukan fenomena sebagaimana dipahami dalam
berbagai macam ilmu pengetahuan alam, yaitu gambaran gejala-gejala yang
kita amati dan kita tangkap dengan indra dari pengalaman hidup kita.
Fenomenologi ini merupakan pengetahuan baru, yaitu suatu “pengetahuan
akan esensi”. Prosedur dasar pengetahuan baru ini adalah “reduksi
fenomenologis”. Fenomenologi bukanlah suatu pengetahuan tentang fakta,
melainkan pengetahuan tentang esensi. Fenomenologi merupakan ilmu
deskriptif murni tentang fenomena yang dapat diamati, namun tidak
mencakup ilmu yang empiris. Sejak awal gerakan fenomenologi, ada
kesepakatan umum bahwa fenomenologi tidak menggambarkan materi fakta
yang dapat diamati secara empiris, melainkan mencari esensi dari
realitas kehidupan ini.
Untuk
membericarakan realitas, sangat penting mengoreksi kesalahan-kesalahan
kaum positivis. Kenyataannya kaum positivis menyamakan antara
penglihatan dengan persepsi indrawi atau persepsi pengalaman penglihatan
dan tidak menyadari bahwa setiap objek individual yang indrawi memiliki
suatu esensi. Meskipun setiap individu merupakan suatu realitas yang
kontingen (yang dapat berubah), namun yang kontingen ini memiliki suatu
esensi (inti yang tetap). Dengan demikian, terdapat dua macam ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu faktual, yang menangani pengalaman indrawi (yang
berubah-ubah), dan ilmu pengetahuan esensialis atau eidetis memiliki
sasaran pada intuisi esensi penglihatan pada idea (yang bersifat tetap).
Ilmu matematika secara khusus merupakan ilmu pengetahuan eidetis, dan
demikian pula filsafat fenomenologi memiliki kelas yang sama, sebagai
objeknya adalah struktur esensial (struktur inti yang tetap) dan bukan
fakta yang kontingen (yang berubah-ubah).
Dalam
hidup sehari-hari kita selalu cenderung untuk mengandaikan bahwa dunia
sungguh-sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Dengan diam-diam
kita percaya pada adanya dunia sebagama demikian. Sikap ini oleh Husserl
disebut “sikap natural”. Untuk memulai fenomenologi, menurut Husserl
kita harus mengubah sikap ini. Kita harus menghentikan –atau
mempertangguhkan atau menunda sementara– kepercayaan kita pada dunia
riil semacam ini. Kita harus menaruh dan menyisihkan adanya dunia riil
di antara tanda kurung serta tidak memberikan perhatian pada kepercayaan
tersebut. Hal ini merupakan suatu reduksi atau pemotongan; ada tidaknya
dunia riil semacam itu tidak relevan, tidak memiliki peranan lagi.
Dalam
rangka mewujudkan fenomenologi sebagai lmu rigorus, yang mampu
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan pasti dan absolut tentang realitas,
maka fenomenologi harus mulai dengan mempraktekkan reduksi transendental
(mengabaikan hal-hal yang tidak relevan dengan realitas kesadaran ktia
yang sebenarnya). Reduksi ini menyingkapkan kesadaran yang menurut
kodratnya terarah pada dunia sebagai intensional. Kita tidak berbicara
lagi tentang dunia dengan cara naif, seakan-akan dunia sama sekali tidak
berkaitan dengan kesadaran. Dalam sikap fenomenologis kita menemui
dunia sebagai yang berhubungan dengan kesadaran, dunia tampak dalam
kesadaran sebagai fenomena. Dalam fenomenologis kita tidak
bertolak-belakang dengan dunia; sebaliknya, realitas material ditemui
dalam suatu perspektif baru, yaitu sebagai yang berkorelasi dengan
kesadaran.
Metode fenomenologi dari satu pihak bukan deduktif,
karena tidak hanya sekadar meberikan penjelasan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang sudah ada; dan di lain pihak,
fenomenologi juga tidak bersifat empiris, karena tidak sekadar
memberikan penjelasan secara khusus maupun umum tentang fakta-fakta
dengan berdasarkan pada pengalaman atau pengamatan indrawi. Metode
fenomenologi dilakukan dengan langsung mengarahkan pandangan secara
perhatian pada apa yang hadir dalam kesadaran, yaitu sebagai objeknya.
Akibatnya seluruh arahannya ditujukan pada objek; ditujukan pada apa
yang diketahui, diragukan, dicintai, dibenci, dan lain sebagainya.
Objek yang sebenarnya dari fenomenologi bukanlah pengetahuan empiris indrawi, melainkan eidea atau eidos, meskipun hal ini harus diperoleh dengan apa yang disebut Husserl Epoche,
yaitu suatu penundaan keputusan. Ini berarti fenomenologi memasukkan
dalam tanda kurung unsur-unsur tertentu dari hal yang diberikan, dan
untuk sementara waktu tidak lagi memperhatikannya. Proses reduksi
(pemotongan) ini dapat dipisahkan menjadi beberapa tipe. Pertama, reduksi historis, yaitu
proses menyisihkan segala ajaran filsafat, sebab fenomenologi tidak
berminat pada pandangan orang lain, tetapi langsung menangkap barangnya
sendiri (die Sachenselbst). Selanjutnya diikuti reduksi eidetis, yaitu
menyisihkan dan memasukkan dalam tanda kurung eksistensi individual
dari objek, karena fenomenologi hanya mencari esensi. Penghapusan
individualitas serta eksistensi ini mencakup penolakan terhadap seluruh
ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan tentang roh, yang
observasi faktualnya tidak lain merupakan generalisasi terhadap berbagai
pengalaman empiris indrawi. Dan reduksi ini disertai reduksi transendental, yang
tidak hanya memasukkan eksistensi individual objek ke dalam tanda
kurung, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
kesadaran murni subjek.
Husserl
berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas.
Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Atau menurut istilah
yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional.
Intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran; dan justru karena
kesadaran ditandai oleh intensionalitas (keterarahan), fenomena harus
dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri pada kesadaran. Sedangkan
konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada
kesadaran. Karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas, maka
dapat dikatakan bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas. Dunia riil dikonstitusikan oleh
kesadaran. Hal ini tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau
meyebabkan adanya dunia beserta keanekaragaman yang berada di dalamnya,
melainkan hanyalah bahwa kesadaran harus hadir pada dunia supaya
penampakan dunia dapat berlangsung. Tidak ada kebenaran pada dirinya
sendiri lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin dalam korelasi
dengan kesadaran. Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain
daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonsitusikan
oleh kesadaran. Konstitusi berlangsung dalam proses penampakan dunia
ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.
(Paulus Wahana, sebagaimana menulis dalam buku “Nilai Etika Aksiologis Max Scheler”, hal. 32-36)
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=967
Tidak ada komentar:
Posting Komentar