Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Selasa, 16 Oktober 2012

Dinamika Pengetahuan Manusia, Paradoksal dan Multidimensional

Dahulu kala ada sebuah kuil.Supaya kuil didatangi oleh banyak orang maka pemimpin kuil yang sudah berusia tua renta mengundang seorang seniman terkenal bernama Wang Yiren untuk memahat sebuah patung emas Budha setinggi delapan meter.

Setelah patung Budha selesai dipahat, seluruh penghuni kuil merayakannya, Pemimpin kuil kemudian bertanya kepada Eang Yiren berapa biaya membuad patung tersebut. Wang Yiren dengan sombong berkata "Hari ini patung budha telah selesai dibuat, Anda dapat melihat keahlian saya yang hebat. Begini saja, dalam tiga hari bila ada yang menyebut satu kesalahan saja dari karya saya, saya tidak akan meminta sepeserpun, tetapi apabila tidak ada silahkan bayar biaya pembuatannya sebesar seratus tael emas.

Pemimpin kuil akhirnya pasrah, dan terpaksa menyetujuinya. Malam itu pemimpin mengumpulkan semua pendeta kuil dan menyampaikan pesan Wang Yiren, dan meminta semua murid dan pendeta untuk mencari kekurangan patung itu.

Hari pertama  semua pendeta beramai-ramai mencari kekurangan patung emas itu, tetapi setelah dilihat dengan teliti, semuanya serentak memuji keindahan patung Budha yang laur biasa tersebut. Satu hari telah lewat, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan letak kekurangannya.

Tanpa disadari pemimpin kuil juga memuji kehebatan buah tangan Wang Yiren tersebut, tetapi seratus tael emas bukan suatu jumlah yang kecil. Karena itu pemimpin kuil mengundang penduduk desa yang tinggal di sekitar kuil untuk bersama-sama mencari cacat pada patung itu. Karena pemimpin kuil sering berbuad kebaikan maka banyak oarang yang berdatangan. Hari kedua penduduk desa sangat banyak yang datang tetapi setelah melihat patung itu semua memuji, jangankan mencari kesalahan, yang mengkritik pun tidak ada sama sekali.

Hari ketiga pemimpin kuil tidak berharap apa-apa lagi, hanya terus berdoa membaca kitab suci meminta petunjuk dari sang Budha. Satu hari berlalu dengan cepat, tidak terasa matahari akan terbenam, di aula kuil hanya tersisa seorang ibu yang menggendong anak kecil. Pemimpin kuil duduk diam sambil menutup mata dan tidak memperdulikan ibu dan anak tersebut.

Ibu dan anak itu melihat patung itu kesana kemari, dan sang ibu mendesah penuh kagum, anaknya ikut melihat patung dengan lugu. Pada saat ibu dan anak ini bersiap-siap meninggalkan kuil, si anak kecil tiba-tiba berbisik di telinga ibunya dan mengatakan "Ma, Patung Budha ini ada cacatnya !"
Si ibu dengan kaget mengatakan  "Kamu jangan sembarangan bicara, begitu banyak orang yang melihatnya tidak ada yang dapat menemukan kekurangan patung ini, memang kamu bisa ?"

Mendengar perkataan ibu itu pemimpin kuil langsung membuka matanya, dia memperhatikan anak kecil itu, usianya kira-kira empat atau lima tahun, giginya juga belum tumbuh merata. Pemimpin kuil setengah percaya setengah tidak kemudian berdiri  dan maju menemui ibu dan anak itu kemudian berkata " Nak, coba kamu katakan dimana letak cacat patung budha ini ?"

Sang anak melihat pemimpin kuil, kemudian melihat ibunya, lalu berkata " Bapak Pemimpin, jari tangan patung Budha ada cacatnya !"
Pemimpin tua gembira lalu bertanya "Nak coba kamu katakan, cacat apa yang ada di jari patung itu ?"
Anak kecil itu mengatakan "Jari tangan patung terlalu besar !"
Ibu yang berdiri disebelah berkata " Jari tangan kebesaran juga termasuk cacat ?" Kamu anak kecil memang tidak mengerti apa-apa!"

Pemimpin pun mendesah, bersiap untuk meninggalkan ruangan. Anak yang melihat kedua orang dewasa yang tidak percaya itu, berkata dengan suara lantang "Jari tangan patung memang terlalu besar ! Bagaimana dia memasukkan jari kedalam hidung jika mengupil ? Mengorek kuping juga tidak bisa !"


Pemimpin kuil dan si Ibu si anak termangu karena perkataan anak tersebut. Pemimpin kuil menoleh, sekali lagi memperhatikan jari tangan patung itu dan menemukan bahwa jari tangan tangannya memang jauh lebih besar dari lubang hidung.

Dengan sangat gembira pemimpin kuil berkata " Ya, memang ini suatu cacat, lagipula cact yang besar !". Sambil berterima kasih kepada anak itu dan ibunya, Pemimpin berdesah di hadapan patung Budha dan berkata "BEGITU BANYAK ORANG DEWASA TIDAK DAPAT MENEMUKAN CACAT PADA PATUNG, TERNYATA SEORANG ANAK KECIL DAPAT MENEMUKANNYA."

Setelah membaca cerita diatas, kemudian dijadikan sebagai analogi untuk menyatakan “Pengetahuan Orang Tua Sudah Pasti Lebih Baik Dibandingkan Pengetahuan Anak-anak”, kira-kira apa yang terlintas dalam benak kita masing-masing ?.  Kemungkinannya “Ada yang setuju”, “Ada yang ragu” dan “Ada yang tidak setuju”.  Apapun jawaban yang kita berikan, tidak ada yang salah karena semua jawaban yang diberikan memiliki kebenaran, dan hal itu tergantung dari cara kita memandangnya, dan jawaban itu juga benar sesuai dengan cara pandang tersebut. Itulah salah satu ciri khas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, sangat dinamis dan multidimensional, oleh karena itu setiap orang tidak semestinya memonopoli kebenaran, apalagi menafikan pengetahuan yang dimiliki orang lain, termasuk tidak menghargai pengetahuan anak-anak atau orang yang lebih muda pada essensi bertentangan dengan eksistensi manusia dan pengetahuan.

Orang dewasa secara inplisit dianggap memiliki pengetahuan yang lebih matang dibandingkan dengan orang yang lebih muda, sehingga ada kalimat yang menyatakan “orang dewasa telah banyak makan asinnya garam kehidupan” sehingga orang muda semestinya belajar lebih banyak kepada orang yang lebih tua. Pernyataan ini juga tidak ada salahnya karena semestinya sebagai orang yang lebih dewasa pengetahuan yang dimilikinya juga semestinya lebih matang dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki orang yang lebih muda. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari tidak selamanya pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang lebih tua mampu member jawaban terhadap semua persoalan kehidupan ini, bahkan adakalanya pengetahuan yang dimiliki oleh orang muda mampu memberikan jawaban lebih melengkapi.

Pengetahuan itu sendiri memang tidak dapat dikurung ke dalam satu pengetahuan yang dianggap paling benar dan dapat diterima oleh semua orang (universal), karena pengetahuan manusia itu sangat luas, pengetahuan manusia seluas pengetahuan namun tidak selamanya manusia memiliki pengetahuan seluas pengetahuan itu. Secara antropologis manusia didefenisikan sangat dinamis, paradoksal dan multidimensional oleh karena itu secara philosopis pengetahuan manusia juga akan dinamis, paradok dan multidimensional. Maka tidak semestinya ada orang yang memiliki sikap memutlakkan kebenaran pengetahuan yang dimilikinya (fundamentalisme), dengan memutlakkan pengetahuan yang dimilikinya akan menimbulkan sikap menafikan atau menghapuskan arti pengetahuan orang lain (ekstremisme), hal tersebut bertentangan dengan eksistensi manusia itu sendiri.
Berdasarkan eksistensinya, manusia itu sangat dinamis, dengan demikian manusia juga akan tetap dinamis mencari kebenaran pengetahuannya, artinya manusia selalu mencari kebenaran, tidak berhenti mencari kebenaran, tidak pernah puas dengan pengetahuan yang dimiliki dan tidak pernah merasa tiba pada satu titik pengetahuan yang dianggap paripurna. Pengetahuan manusia sangat dinamis karena dipengaruhi banyak factor seperti sejarah, kebudayaan, lingkungan sosial dan dimensi indidual.

Karena pengetahuan manusia tidak pernah mencapai titik akhir maka kebenaran pengetahuan manusia memiliki sifat relativitas, namun kebenaran pengetahuan manusia tidak selamanya bersifat relative (relativisme) dan juga tidak selamanya bersifat “mutlak” (dogmatisme atau fundamentalisme), tetapi pengetahuan manusia itu memiliki kebenaran relative sekaligus mutlak, pengetahuan manusia memiliki kebenaran yang bertentangan tetapi akan menjadi benar dalam kesatuan keduanya.
Kebenaran pengetahuan yang dimiliki manusia juga sangat multidimensional karena cara memverifikasi kebenaran masing-masing dimensi berlainan sehingga kebenaran pengetahuan tersebut juga akan berlainan, sehingga kebenaran dan pengetahuan itu bersifat multidimensional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar