Sekapur Sirih dari kesainta.blogspot.com

Selamat Datang di kesainta.blogspot.com, wahana kerinduan berziarah kedalam relung hati untuk merajut kata demi kata dari keheningan.

Rabu, 17 Oktober 2012

USAHA DEMI PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA

BAB LIMA, BAGIAN II  – GADIUM ET SPES-

 USAHA DEMI PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA

77. (Pendahuluan)
Beberapa tahun ini ditandai oleh kesengsaraan dan kesukaran-kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk atau karena ancaman perang. Penderitaan dan kesulitan-kesulitan itu masih tetap berlangsung dan sangat membebani masyarakat. Segenap keluarga manusia telah mencapai saat yang sangat kritis dalam proses pendewasaannya. Umat manusia, yang lambat laun telah berhimpun dan di mana-mana sudah menyadari kesatuannya, menghadapi tugas, yakni membangun dunia yang sungguh-sungguh lebih manusiawi bagi semua orang dimana pun juga. Tugas itu hanya dapat dilaksanakan, bila semua orang dengan semangat baru mengarahkan diri kepada perdamaian yang sejati. Karena itulah amanat Injil, yang menghadapi usaha-usaha dan aspirasi-aspirasi umat manusia yang luhur, zaman sekarang ini memancarkan cahaya baru, sambil menyatakan para pembawa damai bahagia, “karena mereka akan di sebut anak-anak Allah” (Mat 5:9).
Oleh karena itu Konsili, sambil menjelaskan makna perdamaian yang otentik dan amat luhur, serta mengecam keganasan perang, bermaksud menyerukan penuh semangat kepada umat kristen, supaya dengan bantuan Kristus Pencipta damai bekerja sama dengan semua orang untuk menggalang perdamaian dalam keadilan dan cinta kasih diantara mereka, dan untuk menyediakan upaya-upaya perdamaian.
78. (Hakekat perdamaian)
Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Damai juga tidak terwujud akibat kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat dan cermat disebut “hasil karya keadilan” (Yes 32:17). Damai merupakan buah hasil tata tertib, yang oleh Sang Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataan yang paling mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai tuntutannya yang konkrit perdamaian tergantung dari perubahan-perubahan yang silih berganti di sepanjang masa. Maka tidak pernah tercapai sekali untuk seterusnya, melainkan harus terus menerus dibangun. Kecuali itu, karena kehendak manusia mudah goncang, terlukai oleh dosa, usaha menciptakan perdamaian menuntut, supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang.
Akan tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat di capai, kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak di jamin, atau orang-orang tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata mutlak untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat di capai melalui keadilan.
Damai di dunia ini, lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab Putera sendiri yang menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah mendamaikan semua orang dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang dalam satu bangsa dan satu Tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam Daging-Nya sendiri[165], dan sesudah di muliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang.
Oleh karena itu segenap umat kristen dipanggil. Dengan mendesak, supaya “sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef 4:15), menggabungkan diri dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan perdamaian.
Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yang dapat memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah, asal itu dapat terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat.
Karena manusia itu pendosa, maka selalu terancam, dan hingga kedatangan Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan diatasi, hingga terpenuhilah Sabda: “Mereka akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes 2:4).




ARTIKEL SATU – MENGHINDARI PERANG

79. (Keganasan perang harus dikendalikan)
Sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian besar sekali di bidang materiil maupun moril, dari hari ke hari pun dikawasan tertentu dunia perang masih tetap menimbulkan pengrusakan-pengrusakan. Bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata tehnologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau. Selanjutnya kompleksnya situasi zaman sekarang dan rumitnya hubungan-hubungan internasional memungkinkan, bahwa dengan cara-cara baru yang bersifat subfersive dan penuh tipu muslihat, perang dingin tetap berlarut-larut. Dalam banyak situasi penggunaan metode-metode teror dipandang sebagai cara baru berperang.
Menyaksikan keadaan umat manusia yang separah itu, Konsili Pertama bermaksud mengingatkan akan tetap masih berlakunya hukum kodrati bangsa-bangsa serta asas-asasnya yang bersifat universal. Kesadaran umat manusia sendiri semakin lantang menyiarkan asas-asas itu. Maka tindakan-tindakan yang secara sengaja menentangnya, dan perintah-perintah yang mengharuskan tindakan-tindakan itu di ambil, bersifat durhaka, dan kepatuhan buta pun tidak dapat membenarkan mereka yang menaatinya. Di antaranya terutama pantas di sebutkan tindakan-tindakan, yang berdasarkan dalih atau dengan cara tertentu mengakibatkan binasanya suku atau bangsa secara keseluruhan atau suatu suku yang merupakan minoritas. Tindakan-tindakan itu harus dikecam dengan tajam sebagai kejahatan yang mengerikan. Dan terutama layak sekali dipuji semangat mereka, yang tidak takut-takut melawan oknum yang memerintahkannya secara terbuka.
Mengenai masalah perang terdapat berbagai perjanjian internasional, yang di dukung oleh cukup banyak bangsa, untuk mengusahakan supaya kegiatan-kegiatan militer beserta akibat-akibatnya berkurang kekejamannya. Misalnya: perjanjian-perjanjian menyangkut nasib serdadu-serdadu yang luka atau di tahan, pelbagai ketentuan yang serupa. Perjanjian-perjanjian itu hendaknya dipatuhi. Bahkan semua saja, terutama pemerintah-pemerintah dan para pakar di bidang itu, wajib mengusahakan sedapat mungkin, supaya persetujuan-persetujuan itu disempurnakan, dan dengan demikian lebih baik dan tepat guna memperbuahkan pengendalian keganasan perang. Kecuali itu kiranya sudah sewajarnya, bahwa perundang-undangan berdasarkan perikemanusiaan mencantumkan kebijaksanaan tentang mereka, yang berdasakan suara hati menolak untuk mengangkat senjata, sedangkan mereka sanggup berbakti kepada masyarakat dengan cara lain.
Memang perang belum enyah dari hidup manusia. Tetapi, selama akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan internasional yang berwenang dan dilengkapi upaya-upaya memadai, selama itu – bila semua upaya perlindungan damai sudah digunakan – pemerintah-pemerintah tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah. Maka para negarawan dan siapa saja yang ikut memikul tanggung jawab atas negara, harus memandang perkara-perkara serius secara serius pula, dan bertugas memperjuangkan keselamatan rakyat yang percaya kepada mereka. Tetapi memang lainlah menjalankan kegiatan militer untuk membela rakyat sebagaimana harusnya, berbeda lagi maksud untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain. Dan adanya kekuatan perang tidak menghalalkan setiap penggunaannya demi kepentingan militer atau politik. Dan bila – sayang – perang sudah pecah, tidak dengan sendirinya segala sesuatu diperbolehkan antara pihak-pihak yang sedang bertikai.
Mereka sendiri, yang untuk mengabdi tanah air termasuk angkatan bersenjata, hendaknya memandang diri sebagai pelayan-pelayan keamanan dan kebebasan rakyat, lagi pula, selama menunaikan tugas itu dengan baik, benar-benar berjasa untuk mempertahankan kedamaian.
80. (Perang total)
Kengerian dan kejahatan perang meningkat luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata teknologi tinggi. Sebab dengan mengerahkan senjata-senjata itu perang mampu menimbulkan kehancuran yang dasyat dan menimpa siapa pun juga. Maka penggempuran itu sudah jauh melampaui batas-batas bela diri yang sewajarnya. Bahkan bila upaya-upaya itu, yang sudah tersedia dalam persenjataan bangsa-bangsa yang besar, digunakan sepenuhnya, akan timbul pembantaian hampir total dan timbal balik antara kedua pihak yang bertempur, tidak terhitung banyaknya kehancuran di dunia serta akibat-akibat fatal yang timbul dari penggunaan senjata-senjata itu.
Itu semua mendesak kita untuk menilai perang dengan pandangan yang baru sama sekali[166]. Hendaknya orang-orang jaman sekarang, bahwa akan harus memberi pertanggungjawaban yang berat atas kegiatan-kegiatan perangnya. Sebab dari keputusan-keputusan mereka sekarang ini akan banyak tergantunglah kelangsungan masa depan.
Memperhatikan itu semua Konsili ini memulai kecaman-kecaman terhadap perang total yang telah di lontarakan oleh Paus-Paus terakhir[167], dan menyatakan :
Semua kegiatan perang, yang menimbulkan penghancuran kota-kota seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia sendiri, yang harus di kecam dengan keras dan tanpa ragu-ragu.
Bahaya istimewa perang zaman sekarang yakni: bagi mereka, yang memiliki senjata teknologi tinggi mutakhir, terbuka kesempatan menjalankan tindak-tindak kejahatan semacam itu; lagi pula, karena suatu reaksi beruntun, perang itu dapat mendorong manusia ke arah keputusan-keputusan yang paling mengerikan. Supaya itu di masa depan jangan pernah lagi terjadi, para Uskup seluruh dunia yang sedang bersidang dengan sangat memohon siapa saja, terutama para negarawan serta para panglima angkatan bersenjata, supaya tiada hentinya merenungkan sungguh-sungguh tanggung jawab besar itu di hadirat Allah dan di hadapan semua manusia.
81. (Perlombaan senjata)
Senjata teknologi tinggi bukan hanya ditimbun untuk digunakan dalam perang. Sebab, karena kekuatan pertahan masing-masing pihak dianggap tergantung dari kemampuan untuk dengan cepat menghalau lawan, penimbunan senjata itu, yang dari tahun ke tahun terus meningkat, secara paradoksal dimaksudkan untuk menakut-nakuti musuh-musuh yang mungkin muncul. Oleh banyak orang itu dipandang sebagai upaya yang paling efektif untuk sekarang ini melestarikan semacam “perdamaian” internasional.
Apa pun mau dikatakan tentang metode menakut-nakuti itu, hendaknya semua orang menyadari, bahwa perlombaan senjata, yang kini sudah ditempuh oleh cukup banyak negara, bukan merupakan jalan yang aman untuk dengan mantap melestarikan perdamaian, dan bahwa apa yang disebut “keseimbangan” yang dihasilkannya bukanlah perdamaian yang pasti dan sejati. Karenanya sebab-musabab perang bukannya disingkirkan, justru malahan lambat laun merupakan ancaman yang paling berat. Sementara untuk menyiapkan senjata yang selalu baru dibelanjakan harta-kekayaan yang berlimpah-ruah, sekian banyak malapetaka diseluruh dunia sekarang toh tidak dapat di sembuhkan sebagaimana harusnya. Olehnya pertikaian-pertikaian internasional tidak dapat sungguh diatasi secara mendasar, malahan bagian-bagian dunia lainnya ikut tertimpa. Maka perlulah di pilih cara-cara baru, yang berawal mula pada semangat yang diperbaharui, untuk menyingkirkan batu sandungan itu, pun supaya perdamaian yang sejati dapat dikembalikan kepada dunia, yang di bebaskan dari kegelisahan yang menekannya.
Oleh karena itu sekali lagi perlu ditegaskan: perlombaan senjata merupakan bencana yang paling mengerikan bagi umat manusia, dan melukai kaum miskin dengan cara yang mungkin dibiarkan begitu saja. Sangat di khawatirkan, jangan-jangan kalau perlombaan itu terus berlangsung, suatu ketika akan mendatangkan segala bencana yang fatal, yang upaya-upayanya kini sedang di sediakan.
Di peringatkan oleh bencana-bencana, yang sekarang ini telah dimungkinkan oleh manusia sendiri, marilah kita memanfaatkan jangka waktu yang masih tersedia bagi kita, untuk lebih menyadari tanggung jawab kita, serta menetukan cara-cara untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan kita melalui jalan yang lebih layak bagi manusia. Dengan mendesak penyelenggaraan ilahi meminta kita, supaya membebaskan diri dari perbudakan lama kepada perang. Sekiranya kita tidak bersedia menjalankan usaha-usaha itu, kita sudah tidak tahu lagi, akan sampai di manakah kita ini melalui jalan sesat yang terlajur kita tempuh itu.
82. (Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang)
Jelaslah kita wajib berusaha, untuk sekuat tenaga menyiapkan masaknya perang mana pun juga atas persetujuan internasional dapat dilarang sama sekali. Tentu syaratnya ialah: supaya didirikan lembaga kewibawaan universal-universal, yang diakui oleh semua pihak, dan mempunyai kekuasaan efektif, agar supaya terjaminlah bagi semua orang keamanan, pelaksanaan keadilan, dan sikap menghormati hak-hak manusiawi. Akan tetapi, sebelum lembaga kewibawaan itu dapat didirikan, perlulah lembaga-lembaga internasional tertinggi yang ada sekarang mengadakan studi intensif tentang upaya-upaya yang efektif untuk mewujudkan situasi semesta yang aman. Perdamaian pertama-tama harus diciptakan berdasarkan kepercayaan timbal balik antara bangsa-bangsa, tidak dipaksakan kepada negara-negara melalui persenjataan yang menakutkan. Maka semua pihak wajib mengusahakan, supaya perlombaan senjata akhirnya dihentikan; supaya pengurangan sejata sungguh di mulai, tidak sepihak melulu, melainkan hendaknya dijalankan serentak oleh semua pihak berdasarkan perjanjian, di sertai jaminan-jaminan yang kuat dan efektif[168].
Sementara itu hendaknya jangan diremehkan usaha-usaha yang sudah dan sedang dijalankan, untuk menangkal bahaya perang. Seyogyanya di dukunglah kehendak baik sekian banyak orang, yang karena jabatan tinggi mereka menanggung beban berat keprihatinan yang mendalam, tetapi terdorong oleh besarnya tanggung jawab mereka, berusaha mencegah perang yang begitu mereka khawatirkan, kendati tidak mungkin mengalihkan perhatian dari rumitnya permasalahan seperti adanya sekarang. Perlulah Allah di mohon dengan sungguh, supaya berkenan mengurniai mereka kekuatan untuk dengan tabah memulai dan dengan tekun melanjutkan karya kasih mulia terhadap sesama itu, yakni dengan gagah perkasa membangun perdamaian. Sudah pasti sekarang itu menuntut, agar mereka memperluas cakarawala hati dan budi melampaui batas negara mereka sendiri, menanggalkan egoisme nasional dan ambisi menguasai bangsa-bangsa lain, serta memupuk sikap hormat yang mendalam terhadap seluruh umat manusia, yang dengan banyak jerih payah sudah melangkah maju ke arah kesatuan semakin erat.
Tentang masalah perdamaian dan perlucutan senjata telah diadakan dengan giat penelitian-penelitian yang tetap dilanjutkan dengan tekun, begitu pula kongres-kongres internasional, yang membahasnya sebagai langkah-langkah pertama menuju pemecahan soal-soal seberat itu. Usaha-usaha itu di masa mendatang perlu dikembangkan secara lebih intensif untuk mencapai hasil-hasil yang praktis. Kendati begitu hendaknya masyarakat menjaga, supaya jangan melulu mengandalkan usaha-usaha beberapa pihak saja, tanpa menghiraukan sikap mental mereka sendiri. Sebab para negarawan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa mereka sendiri dan sekaligus ikut memajukan kesejahteraan seluruh dunia, sangat tergantung dari pandangan-pandangan dan sikap mental khalayak ramai. Tidak ada gunanya mereka bersusah payah membangun perdamaian, selama permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian “rasial” dan ideologi-ideologi yang tegar memecah belah rakyat dan menimbulkan pertentangan. Maka mendesak sekalilah kebutuhan akan pendidikan sikap mental yang diperbaharui dan akan inspirasi baru terhadap pandangan umum. Mereka yang membaktikan diri dalam karya pendidikan, terutama pembinaan generasi muda, atau berusaha membentuk pandangan umum, hendaknya menganggap sebagai kewajiban yang berat sekali membangkitkan pada semua orang mentalitas baru yang ditandai cinta damai. Kita semua pun perlu merombak sikap hati kita, mengarahkan pandangan ke seluruh dunia dan memperhatikan tugas-tugas, yang dapat kita jalankan bersama, untuk menjalankan kesejahteraan umat manusia.
Jangan pula harapan semua mengelabui kita. Sebab kalau permusuhan dan kebencian tidak di singkirkan, dan di masa mendatang tidak diadakan perjanjian-perjanjian yang andal dan jujur tentang perdamaian semesta, barangkali umat manusia, yang kini sudah berada dalam bahaya besar, kendati berbekalkan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, akan hanyut ke arah yang fatal, yakni saatnya tidak ada kedamaian lain lagi yang dialaminya, kecuali kedamaian maut yang mengerikan. Akan tetapi, sementara mengemukakan itu semua, Gereja Kristus, yang berada ditengah kecemasan zaman sekarang, tiada hentinya berpengharapan sangat teguh. Gereja bermaksud setiap kali, entah amanatnya diterima atau tidak, mengulang-ulangi pesan Rasul: “lihat, sekarang inilah waktu yang berkenan kepada Allah” untuk pertobatan hati, “sekarang inilah hari penyelamatan”[169].

ARTIKEL DUA – PEMBANGUNAN MASYARAKAT INTERNASIONAL



83. (Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya)
Untuk membangun perdamaian pertama-tama diisyaratkan, supaya dicabutlah sebab-musabab perpecahan antar manusia, yang menimbulkan perang, terutama tindakan-tindakan melawan keadilan. Tidak sedikit antaranya bersumber pada ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang sudah keterlaluan, pun juga pada terlambatnya usaha yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Ada pula yang timbul dari nafsu untuk menguasai dan sikap menghina sesama, dan – kalau kita cari sabab-musababnya yang lebih dalam – dari iri hati, sikap curiga, kesombongan, dan nafsu-nafsu egois lainnya. Karena manusia tidak tahan menanggung sekian banyak kekacauan, maka akibatnya ialah, bahwa – meskipun sedang tidak ada perang – dunia terus-menerus ditimpa oleh persaingan-persaingan antar manusia dan oleh tindakan-tindakan kekerasan. Selain itu, karena kekacauan itu terdapat juga dalam hubungan-hubungan internasional, maka mutlak perlulah, bahwa untuk mengatasi atau mencegahnya, dan untuk mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak terkekang, lembaga-lembaga internasional bekerja sama dan dikoordinasi secara lebih baik dan lebih mantap, pun juga tiada jemunya di dorong pembentukan lembaga-lembaga, yang memajukan perdamaian.
84. (Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional)
Zaman sekarang ini makin meningkat dan kian eratlah hubungan-hubungan timbal balik antara semua warga negara dan sekalian bangsa di dunia. Maka, supaya kesejahteraan umum bagi seluruh dunia diusahakan dengan upaya-upaya yang memadai dan tercapai secara lebih efektif, sudah perlulah persekutuan bangsa-bangsa membentuk suatu struktur, yang cocok untuk tugas-tugas masa kini, terutama sehubungan dengan daerah-daerah luas sekali, yang masih menderita kemiskinan, yang tak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Untuk mencapai tujuan itu lembaga-lembaga masyarakat internasional harus berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan umat manusia menurut fungsi masing-masing, baik di bidang-bidang kehidupan sosial, termasuk nafkah hidup, kesehatan, pendidikan, dan kerja, maupun dalam pelbagai situasi khusus, yang dapat timbul entah di mana, misalnya kebutuhan umum negara-negara yang sedang berkembang untuk meningkatkan pembangunan, kebutuhan untuk meringankan beban penderitaan kaum pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, pun juga untuk membantu kaum emigran beserta keluarga-keluarga mereka.
Lembaga-lembaga internasional, untuk seluruh dunia maupun yang bersifat regional, yang sudah ada sekarang, jelaslah berjasa besar bagi umat manusia. Lembaga-lembaga itu tampil sebagai usaha-usaha pertama untuk meletakkan dasar-dasar internasional bagi segenap masyarakat manusia, guna memecahkan masalah-masalah amat berat zaman sekarang, yakni: mendukung kemajuan seluruh dunia, dan mencegah perang dalam bentuk mana pun juga. Di segala bidang itu Gereja bergembira tentang mekarnya semangat persaudaraan yang sejati antara umat kristen dan umat bukan kristen, yang kesemuanya mengusahakan, agar dijalankan usaha-usaha semakin intensif untuk meringankan penderitaan yang tiada hingganya.
85. (Kerja sama internasional di bidang ekonomi)
Solidaritas umat manusia sekarang ini juga menurut penggalangan kerja sama internasional yang lebih erat di bidang ekonomi. Sebab, meskipun hampir semua bangsa sudah merdeka, mereka jauh belum terluputkan dari ketimpangan-ketimpangan yang keterlaluan dan dari segala bentuk ketergantungan yang tidak wajar, dan jauh belum terhindarkan dari segala bahaya persoalan-persoalan intern yang berat.
Perkembangan suatu bangsa tergantung dari sumber-sumber manusiawi dan keuangan. Para warganegara setiap bangsa perlu disiapkan melalui pendidikan dan pembinaan kejuruan untuk menjalankan pelbagai tugas dibidang ekonomi dan sosial. Untuk itu diperlukan bantuan pakar-pakar mancanegara, yang sementara memberi pertolongan tidak berlagak menguasai, melainkan bertindak sebagai penolong dan rekan sekerja. Bantuan materiil tidak akan berguna bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kalau aturan-aturan permainan dalam perdagangan di dunia zaman sekarang tidak di ubah dengan secara mendalam. Kecuali itu harus diberikan bantuan-bantuan lain oleh bangsa-bangsa yang sudah maju berupa hibah-hibah, pinjaman-pinjaman atau investasi-investasi. Hendaknya di satu pihak itu semua diberikan dengan kebesaran hati dan tanpa pamrih, dan di lain pihak diterima secara terhormat.
Untuk mewujudkan tata ekonomi yang sejati bagi seluruh dunia perlu dikesampingkan usaha-usaha yang berlebihan untuk mendapatkan keuntungan, ambisi-ambisi nasional, aspirasi akan dominasi politik, perhitungan-perhitungan militarisme, lagi pula tipu muslihat untuk menyiarkan dan memaksakan ideologi-ideologi. Disajikan banyak sistim ekonomi dan sosial. Di himbau supaya di bidang itu para pakar menemukan dasar-dasar umum bagi perdagangan dunia yang sehat. Itu akan lebih mudah tercapai, bila masing-masing pihak menanggalkan prasangka-prasangkanya, dan siap-sedia untuk menjalin dialog yang jujur.
86. (Beberapa pedoman yang sesuai untuk zaman sekarang)
Untuk meningkatkan kerja sama itu kiranya pedoman-pedoman berikut akan berguna:
a) Hendaknya bangsa-bangsa yang sedang berkembang sungguh memperhatikan, supaya secara jelas dan tegas mereka canangkan sebagai tujuan pembangunan ialah : penyempurnaan manusiawi yang seutuhnya bagi para warganegara. Hendaknya mereka sadari, bahwa sumber serta dinamisme pembangunan terutama terletak pada jerih-payah dan bakat-kemampuan bangsa sendiri; sebab pembangunan tidak boleh hanya mengandalkan sumber-sumber dari luar saja, melainkan pertama-tama harus di dasarkan pada pembangunan sepenuhnya sumber-sumber milik sendiri dan pada pemekaran kebudayaan serta tradisi mereka sendiri. Dalam hal itu, yang berpengaruh cukup besar terhadap sesama, seharusnya menjadi panutan.
b) Bagi bangsa-bangsa yang sudah maju merupakan kewajiban sangat berat: membantu bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk menunaikan tugas-tugas yang tadi di sebutkan. Maka dari itu hendaknya mereka menyesuiakan diri di bidang mental dan materiil, seperti memang dibutuhkan untuk mewujudkan kerja sama universal itu
Demikianlah dalam perdagangan dengan negara-negara yang lebih lemah dan lebih miskin hendaknya sungguh diperhatikan kesejahteraan mereka itu. Sebab mereka membutuhkan penghasilan, yang mereka peroleh dengan memasarkan hasil produksi mereka sendiri, untuk menanggung kehidupan mereka.
c) Merupakan tugas masyarakat internasional: mengkoordinasi dan mendorong pembangunan sedemikian rupa, sehingga sumber-sumber yang diperuntukkan baginya dimanfaatkan seefektif mungkin dan secara merata sewajar mungkin. Masyarakat internasional bertugas juga, tentu dengan mengindahkan asas solidaritas, mengatur jaringan ekonomi dunia, sehingga berkembang menurut prinsip keadilan.
Hendaknya dibentuk lembaga-lembaga yang berfungsi dengan baik, untuk memajukan dan mengurusi perdagangan interasional, terutama dengan bangsa-bangsa yang belum begitu berkembang, dan untuk mengganti kerugian-kerugian, yang bersumber pada ketidak-seimbangan kekuatan yang terlampau mengguncangkan antara bangsa-bangsa. Pengaturan itu, disertai bantuan-bantuan di bidang teknologi, kebudayaan dan finansial, yang harus menyediakan bantuan-bantuan yang sungguh dibutuhkan bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, supaya mereka mampu mewujudkan secara harmonis pembangunan mereka di bidang ekonomi.
d) Dalam banyak situasi mendesaklah kebutuhan meninjau kembali struktur-struktur sosial ekonomi. Tetapi jangan diajukan pemecahan-pemecahan teknis yang belum masak, terutama yang memang menyediakan keuntungan-keuntungan materiil, akan tetapi bertentangan dengan kodrat rohani manusia serta perkembangannya. Sebab “manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4). Setiap bagian keluarga manusia dalam dirinya dan tradisi-tradisinya yang terbaik membawa serta sebagian kekayaan rohani, yang oleh Allah dipercayakan kepada umat manusia, sungguh pun banyak orang tidak tahu-menahu tentang sumbernya.
87. (Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk)
Sungguh perlu sekalilah kerja sama internasional berkenaan dengan bangsa-bangsa, yang zaman sekarang ini, di samping menghadapi sekian banyak kesukaran lainnya, cukup sering dan teristimewa dibebani oleh kesulitan yang timbul dari pesatnya laju pertambahan penduduk. Sungguh mendesaklah kebutuhan, untuk melalui kerja sama sepenuhnya dan intensif antara semua bangsa, terutama bangsa-bangsa yang lebih kaya, diadakan penjajagan, bagaimana semuanya, yang diperlukan bagi kehidupan dan pendidikan masyarakat yang semestinya, dapat disediakan dan dibagikan dengan segenap masyarakat manusia. Beberapa bangsa sebenarnya mampu menciptakan kondisi-kondisi hidup yang jauh lebih baik, seandainya berbekalkan pendidikan yang selayaknya, beralih dari metode-metode bercocok-tanam yang kuno kepada tehnik-tehnik yang baru, dengan menerapkannya pada situasi mereka dengan kearifan seperti semestinya, sementara selain itu tata sosial diperbaiki, dan pembagian pemilikan tanah di atur secara lebih adil.
Pemerintah mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya mengenai masalah kependudukan dalam negaranya, dalam batas-batas kewenangannya; misalnya: mengenai perundang-undangan sosial, juga yang menyangkut hidup berkeluarga, mengenai perpindahan penduduk desa ke kota-kota, mengenai penyuluhan tentang keadaan dan kebutuhan-kebutuhan bangsa. Karena sekarang ini pemikiran orang begitu banyak berkisar masalah itu, maka dihimbau juga, supaya tentang kesemuanya ini para pakar katolik pun, terutama dikalangan universitas, dengan segala keahlian mereka mengadakan studi dan usaha-usaha serta makin mengembangkannya.
Banyak orang berpandangan, bahwa pertambahan penduduk dunia, atau setidak-tidaknya di negara-negara tertentu, sungguh perlu dikurangi secara radikal melalui segala upaya dan segala macam campur tangan pemerintah. Menanggapi arus itu, Konsili menyerukan kepada semua orang, supaya jangan menempuh cara-cara pemecahan, yang secara umum atau oleh pihak-pihak tertentu dianjurkan atau kadang-kadang diharuskan, dan yang bertentangan dengan hukum moral. Sebab menurut hak manusia yang tak dapat di ganggu-gugat atas perkawinan dan pengadaan keturunan, pertimbangan tentang jumlah anak tergantung dari keputusan orang tua yang benar, dan sama sekali tidak dapat di serahkan kepada keputusan pemerintah. Tetapi karena keputusan orang tua mengandaikan suara hati yang terbentuk dengan tepat, maka penting sekalilah, bahwa bagi semua orang terbuka kesempatan untuk mengembangkan kesadaran bertanggung jawab yang cermat dan sungguh manusiawi, serta mengindahkan hukum ilahi, sambil mempertimbangkan situasi setempat dan semasa. Hal itu menuntut, agar di mana-mana kondisi-kondisi pendidikan dan sosial diperbaiki, dan terutama agar pembinaan keagamaan atau sekurang-kurangnya pengajaran di bidang moral diberikan seutuhnya. Selanjutnya hendaklah orang-orang dengan bijaksana diberi penyuluhan tentang kemajuan-kemajuan ilmiah dalam meneliti metode-metode yang dapat membantu suami-isteri dalam mengatur jumlah keturunan, dan yang keandalannya cukup teruji, lagi pula keselarasannya dengan tata moral sudah dipastikan.
88. (Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan)
Untuk membangun tata masyarakat internasional, yang ditandai oleh penghargaan yang nyata terhadap pokok-pokok kebebasan yang wajar serta persaudaraan akrab semua warganya, hendaknya umat kristen dengan sukarela dan seutuh hati menyumbangkan kerja samanya. Itu nampak semakin mendesak, karena sebagian besar sedunia masih menderita kemelaratan begitu parah, sehingga dalam diri kaum miskin Kristus sendiri seolah-olah dengan suara lantang mengundang para murid-Nya untuk mengamalkan cinta kasih. Maka dari itu jangan sampai orang-orang terbentur pada batu sandungan, yakni: bahwa beberapa negara, yang sering mayoritas penduduknya beragama kristen, melimpah harta kekayaannya, sedangkan negara-negara lain tidak mendapat apa yang sungguh mereka butuhkan untuk hidup, dan tersiksa oleh penyakit-penyakit serta segala macam penderitaan. Sebab semangat kemiskinan dan cinta kasih merupakan kemuliaan dan kesaksian Gereja Kristus.
Maka layak di puji dan di dukunglah orang-orang kristen, terutama kaum muda, yang dengan sukarela menyediakan diri untuk menolong sesama dan bangsa-bangsa lain. Bahkan merupakan panggilan segenap Umat Allah, untuk mengikuti pesan maupun teladan para Uskup, sekedar kemampuan mereka meringankan penderitaan zaman sekarang, itupun – menurut kebiasaan kuno dalam Gereja – bukan saja kelebihan dari milik mereka, melainkan juga dari apa yang sungguh masih mereka butuhkan sendiri.
Hendaknya cara mengumpulkan dan membagikan bantuan, tanpa diurus dengan kaku dan seragam, toh diatur dengan cermat di keuskupan-keuskupan, di negara-negara dan seluruh dunia, dan – di mana pun itu dianggap baik – secara terpadu antara kegiatan umat katolik dan saudara-saudara kristen lainnya. Sebab Roh cinta kasih tidak melarang pelaksanaan kegiatan sosial dan karikatif yang bijaksana dan teratur, justru malahan mewajibkannya. Oleh karena itu perlulah mereka, yang bermaksud membaktikan diri untuk melayani negara-negara yang sedang berkembang, mengalami pembinaan yang cocok juga dalam lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri bagi pengabdian itu.
89. (Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional)
Berdasarkan perutusan ilahinya Gereja mewartakan Injil serta menyalurkan kekayaan rahmat kepada semua orang. Di mana-mana Gereja berperan serta mengukuhkan perdamaian dan meletakkan dasar yang tangguh bagi persekutuan persaudaraan antar manusia dan antar bangsa, yakni: pengertian akan hukum ilahi dan kodrati. Oleh karena itu dalam masyarakat bangsa-bangsa Gereja sungguh-sungguh harus hadir, untuk mendukung dan membangkitkan kerja sama antar manusia. Itu terjadi melalui lembaga-lembaganya yang bersifat umum, maupun melalui kerja sama segenap umat kristen yang sepenuhnya dan dengan tulus hati, dan diilhami melulu oleh keinginan untuk melayani semua orang.
Maksud itu akan tercapai secara lebih efektif, bila umat beriman sendiri, penuh kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai manusia dan orang kristen, dalam lingkungan hidup mereka sendiri berusaha membangkitkan kemauan untuk siap-siaga bekerja sama dengan masyarakat internasional. Dalam hal itu hendaknya perhatian istimewa dicurahkan kepada pembinaan kaum muda, dalam pendidikan agama maupun kewarganegaraan.
90. (Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional)
Bagi orang-orang kristen suatu bentuk kegiatan internasional yang berharga sekali sudah barang tentu ialah sumbangan tenaga, yang entah sebagai perorangan entah secara kolektif. Mereka memberikan dalam lembaga-lemabga, yang sudah atau masih perlu didirikan untuk meningkatkan kerja sama internasional. Kecuali itu dalam pembangunan persekutuan bangsa-bangsa, yang di tandai perdamaian dan persaudaraan, pelayanan melalui pelbagai cara dapat diberikan oleh pelbagai perserikatan katolik internasional, yang perlu makin di mantapkan, dengan ditambahkannya jumlah rekan-rekan kerja yang dibina dengan baik, bantuan yang mereka butuhkan, dan koordinasi tenaga-tenaga yang selaras. Sebab zaman sekarang ini baik efektifnya kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan akan musyawarah memerlukan usaha-usaha bersama. Lagi pula perserikatan-perserikatan semacam itu bukannya sedikit sumbangannya untuk memupuk minat-perhatian yang terbuka bagi seluruh umat manusia, yang pasti tidak asing bagi umat katolik, pun juga membina kesadaran akan solidaritas serta tanggung jawab yang sungguh bersifat universal.
Akhirnya dihimbau, supaya orang-orang katolik, untuk menunaikan tugas mereka dalam masyarakat internasional sebagaimana mestinya, berusaha bekerja sama secara aktif dan positif, baik dengan saudara-saudari terpisah, yang bersama mereka bermaksud menghayati cinta kasih Injil, maupun dengan sekalian orang yang mendambakan perdamaian sejati.
Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada hingganya, yang sekarang pun masih menyiksa mayoritas umat manusia, lagi pula untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan umat katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan internasional ditingkatkan.

PENUTUP


91. (Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus)
Apa saja, yang oleh Konsili ini di hidangkan dari khazanah ajaran Gereja, dimaksudkan untuk membantu orang zaman sekarang, entah mereka beriman akan Allah, entah tidak mengakui-Nya secara eksplisit. Tujuannya: supaya mereka lebih jelas memahami panggilan mereka seutuhnya, lebih menyelaraskan dunia dengan martabat manusia yang amat luhur, menghendaki persaudaraan universal dengan dasar yang lebih mendalam, dan atas dorongan cinta kasih, melalui usaha terpadu terdorong oleh kebesaran jiwa, menanggapi tuntutan-tuntutan masa kini yang memang mendesak.
Benarlah, menghadapi kemacam-ragaman situasi maupun pola kebudayaan dunia, penyajian ini dalam cukup banyak bagiannya sengaja menampilkan sifat serba umum, bahkan, meskipun sekedar menguraikan ajaran yang sudah diterima dalam Gereja, tetapi, karena yang dibahas ialah hal-hal yang terus menerus mengalami perkembangan, ajaran itu masih akan perlu diteruskan dan diperluas. Tetapi kami percaya, bahwa banyak hal, yang kami utarakan bertumpu pada sabda Allah dan semangat Injil, dapat merupakan bantuan yang andal bagi semua orang, terutama sesudah penerapannya pada masing-masing bangsa dan pola berpandangan dijalankan oleh umat kristen di bawah bimbingan para Gembala.
92. (Dialog antara semua orang)
Berdasarkan misinya menyinari seluruh dunia dengan amanat Injil, serta menghimpun semua orang dari segala bangsa, suku dan kebudayaan ke dalam satu Roh, Gereja menjadi lambang persaudaraan, yang memungkinkan serta mengukuhkan dialog dari ketulusan hati.
Itu menyaratkan, supaya pertama-tama dalam Gereja sendiri kita mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta kerukunan, dengan mengakui segala kemacam-ragaman yang wajar, untuk menjalin dialog yang makin subur antara semua anggota yang merupakan satu Umat Allah, baik para gembala maupun umat beriman lainnya. Sebab lebih kuatlah unsur-unsur yang mempersatukan umat beriman daripada yang menggolong-golongkan mereka. Hendaknya dalam apa yang sungguh perlu ada kesatuan, dalam apa yang diragukan kebebasan, dalam segala sesuatu cinta kasih[170].
Tetapi hati sekaligus merangkul saudara-saudari, yang belum hidup dalam persekutuan sepenuhnya bersama kita, beserta jemaat-jemaat mereka, sedangkan kita sudah bersatu dengan mereka karena pengakuan iman kita akan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan karena ikatan cinta kasih, sementara kita mengingat juga bahwa kesatuan umat kristen sekarang ini juga diharapkan dan diinginkan oleh banyak orang yang tidak beriman akan Kristus. Sebab semakin kesatuan itu, berkat besarnya kekuatan Roh Kudus, akan bertumbuh dalam kebenaran dan cinta kasih, semakin akan menjadi pralambang pula bagi kesatuan dan perdamaian bagi seluruh dunia. Maka dengan berpadu tenaga, dan dalam bentuk-bentuk yang kian memadai untuk sekarang ini secara efektif mewujudkan tujuan yang mulia itu, marilah kita berusaha supaya, sementara dari hari ke hari makin hidup menurut Injil, kita bekerja sama secara persaudaraan, untuk mengabdikan diri kepada keluarga manusia, yang dalam Kristus Yesus dipanggil menjadi keluarga anak-anak Allah.
Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan manusiawi. Yang kita harapkan ialah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira.
Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan kebenaran, tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagaimana mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang mengembangkan nilai-nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal Penciptanya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu karena mengemban panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam damai yang sejati.
93. (Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya)
Sambil mengenangkan sabda Tuhan: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kalian itu murid-murid-Ku, yakni bila kalian saling mengasihi” (Yoh 13:35), umat kristen tidak dapat menginginkan apa pun lebih sungguh-sungguh, dari pada untuk mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif kepada sesama di dunia masa kini. Maka dari itu, sambil dengan setia bertumpu pada Injil dan bersandar pada kekuatannya, dan bersama dengan semua orang yang mencintai dan melaksanakan keadilan, mereka telah menyatakan bersedia untuk menjalankan karya agung di dunia ini, yang harus mereka pertanggung jawabkan terhadap Dia, yang pada hari terakhir akan mengadili semua orang. Tidak semua orang yang berseru “Tuhan, Tuhan!” akan memasuki Kerajaan Sorga, tetapi hanya merekalah, yang melaksanakan kehendak Bapa[171], dan dengan giat menyingsingkan lengan baju, Bapa menghendaki, agar dalam semua orang kita mengenali dan mencintai secara nyata Kristus Saudara kita, dengan kata-kata maupun tindakan, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kebenaran, serta menyiarkan kepada sesama misteri cinta kasih bapa di Sorga. Dengan begitu semua orang di seluruh dunia akan dibangkitkan untuk menaruh harapan hidup, yang merupakan kurnia Roh Kudus, supaya akhirnya ditampung dalam damai dan kebahagiaan yang mulia, di tanah air yang bercahaya gemilang berkat kemuliaan Tuhan.
“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).
Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Konstitusi ini berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.
Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)



[1] Konstitusi Pastoral tentang “Gereja di dunia dewasa ini” terdiri dari dua bagian, yang merupakan suatu kesatuan. Konstitusi disebut “pastoral”, karena bermaksud menguraikan hubungan Gereja dengan dunia dan umat manusia zaman sekarang berdasarkan azas-azas ajaran. Maka bagian pertama tidak terlepas dari maksud pastoral, seperti bagian kedua pun tidak terlepas dari maksud mengajar. Dalam bagian pertama Gereja memaparkan ajarannya tentang manusia, tentang dunia yang didiaminya, dan tentang hubungannya dengan keduanya. Dalam bagian kedua ditelaah secara lebih cermat pelbagai segi kehidupan serta masyarakat manusia zaman sekarang; khususnya disoroti soal-soal dan masalah-masalah, yang dewasa ini nampak lebih mendesak. Oleh karena itu dalam bagian kedua ini bahan ulasan, berpedoman pada kaidah-kaidah ajaran, bukan hanya mencantumkan unsur-unsur yang serba tetap, melainkan juga menyajikan hal-hal yang silih berganti. Maka hendaknya Konstitusi ini ditafsirkan menurut kaidah-kaidah umum penafsiran teologis; khususnya dalam bagian kedua hendaknya diperhitungkan keadaan-keadaan yang dapat berubah, dan pada hakekatnya tidak terpisahkan dari pokok-pokok yang diuraikan.
[2] Lih. Yoh 3:17; Mat 20:28; Mrk 10:45.
[3] Lih. Rom 7:14 dsl.
[4] Lih. 2Kor 5:15.
[5] Lih. Kis 4:12.
[6] Lih. Ibr 13:8.
[7] Lih. Kol 1:15.
[8] Lih. Kej 1:26; Keb 2:23.
[9] Lih. Sir 17:3-10.
[10] Lih. Rom 1:21-25.
[11] Lih. Yoh 8:34.
[12] Lih. Dan 3:57-90.
[13] Lih. 1Kor 6:13-20.
[14] Lih. 1Raj 16:7; Yer 17:10.
[15] Lih. Sir 17:7-8.
[16] Lih. Rom 2:14-16.
[17] Lih. PIUS XII, amanat radio “tentang cara yang tepat untuk membina hati nurani pada kaum muda”, tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952), hlm. 271.
[18] Lih. Mat 22:37-40; Gal 5:14.
[19] Lih. Sir 15:14.
[20] Lih. 2Kor 5:10.
[21] Lih. Keb 1:13; 2:23-24; Rom 5:21; 6:23; Yak 1:15.
[22] Lih. 1Kor 15:56-57.
[23] Lih. PIUS XI, Ensiklik Divini Redemptori, tgl. 19 Maret 1937: AAS 29 (1937) hlm. 65-106. – PIUS XII, Ensiklik Ad Apostolorum Principis, tgl. 29 Juni 1958: AAS 50 (1958) hlm. 601-614. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 451-452. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 651-653.
[24] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 8.
[25] Lih. Flp 1:27.
[26] Lih. S. AGUSTINUS, Pengakuan, I, 1: PL 32,661.
[27] Lih. Rom 5:14. – Bdk. TERTULIANUS, Tentang kebangkitan daging, 6: “Sebab apa yang diungkapkan oleh tanah liat, melambangkan manusia yang akan datang, yakni Kristus”: PL 2,802(848); CSEL, 47, hlm. 33, 12-13.
[28] Lih. 2Kor 4:4.
[29] KONSILI KONSTANTINOPEL II, kanon 7: “Allah Sabda tidak diubah menjadi kodrat daging, begitu pula daging tidak beralih menjadi kodrat Sabda”: DENZ. 219 (428). – Bdk. Juga KONSILI KONSTANTINOPEL III: “Sebab seperti daging-Nya yang amat suci, tidak bercela dan berjiwa, tidak dienyahkan karena diilahikan, melainkan tetap bertahan dalam keadaan serta caranya berbeda …”: DENZ. 291 (556). – Bdk. KONSILI KALSEDON: “… harus diakui dalam dua kodrat secara tidak berbaur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak terceraikan”: DENZ. 148 (302).
[30] Lih. KONSILI KONSTANTINOPEL III: “Begitulah kehendak manusiawinya yang diilahikan pun tidak dienyahkan”: Denz. 291 (556).
[31] Lih. Ibr 4:15.
[32] Lih. 2Kor 5:18-19; Kol 1:20-22.
[33] Lih. 1Ptr 2:21; Mat 16:24; Luk 14:27.
[34] Lih. Rom 8:29; Kol 1:18.
[35] Lih. Rom 8:1-11.
[36] Lih. 2Kor 4:14.
[37] Lih. Flp 3:10; Rom 8:17.
[38] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 16.
[39] Lih. Rom 8:32.
[40] Bdk. Liturgi Paska menurut ritus Bizatin.
[41] Lih. Rom 8:15 dan Gal 4:6; lih. juga Yoh 1:12 dan 1Yoh 3:1-2.
[42] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 257-307. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 609-659.
[43] Lih. Luk 17:33.
[44] Lih. S. TOMAS, Etika I, pelajaran 1.
[45] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 418. Lihat juga PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo Anno, tgl. 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 222 dsl.
[46] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 417.
[47] Lih. Mrk 2:27.
[48] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm. 266.
[49] Lih. Yak 2:15-16.
[50] Lih. Luk 16:19-31.
[51] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm.299 dan 300.
[52] Lih. Luk 6:37-38; Mat 7:1-2; Rom 2:1-11; 14:10-12.
[53] Lih. Mat 5:43-47.
[54] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9.
[55] Lih. Kel 24:1-8.
[56] Lih. Kej 1:26-27; 9:2-3; Keb 9:2-3.
[57] Lih. Mzm 8:7, 10.
[58] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 15 Mei 1961: AAS 55 (1963) hlm.297.
[59] Lih. “Amanat para Bapa Konsili kepada semua orang pada awal Konsili Vatikan II”, Oktober 1962: AAS 54 (1962) hlm. 823.
[60] Lih. PAULUS VI, Amanat kepada Corps Diplomatik, tgl. 7 Januari 1965: AAS 57 (1965) hlm. 232.
[61] Lih. KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Iman Katolik, bab III: DENZ. 1785-1786 (3004-3005).
[62] Lih. PIUS PASCHINI, Vita e opera di Galileo Galilei (hidup dan karya Galileo Galilei), dua jilid, Vatikan 1964.
[63] Lih. Mat 24:13; 13:24-30, 36-43.
[64] Lih. 2Kor 6:10.
[65] Lih. Yoh 1:3, 14.
[66] Lih. Ef 1:10.
[67] Lih. Yoh 3:16; Rom 5:8-10.
[68] Lih. Kis 2:36; Mat 28:18.
[69] Lih. Rom 15:16.
[70] Lih. Kis 1:7.
[71] Lih. 1Kor 7:31. – S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, V, 36, 1: PG 7, 1222.
[72] Lih. 2Kor 5:2; 2Ptr 3:13.
[73] Lih. 1Kor 2:9; Why 21:4-5.
[74] Lih. 1Kor 15:42, 53.
[75] Lih. 1Kor 13:8; 13:14.
[76] Lih. Rom 8:19-21.
[77] Lih. Luk 9:25.
[78] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo anno: AAS 23 (1931) hlm. 207.
[79] Prefasi Hari Raya Kristus Raja.
[80] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, III: AAS 56 (1964) hlm. 637-659.
[81] Lih. Tit 3:4: Filantropia = kasih (Allah) terhadap manusia.
[82] Lih. Ef 1:3, 5-6, 13-14, 23.
[83] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 8.
[84] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9; bdk. Art. 8.
[85] KONSILI VATIKAN II, art. 8.
[86] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 38 beserta catatan 120.
[87] Lih. Rom 8:14-17.
[88] Lih. Mat 22:39.
[89] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9.
[90] Lih. PIUS XII, amanat kepada para ahli sejarah dan seniman, tgl. 9 Maret 1956: AAS 48 (1956) hlm. 212 (“Sang Pendiri ilahi, yakni Yesus Kristus, tidak memberi kepada Gereja perintah atau menetapkan tujuan mana pun juga di bidang kebudayaan. Tujuan yang di tetapkan oleh Kristus baginya bersifat keagamaan semata-mata (…). Gereja wajib mengantar manusia kepada Allah, supaya ia menyerahkan diri kepada-Nya tanpa syarat (…). Gereja tidak pernah dapat mengabaikan tujuan yang melulu keagamaan, adikodrati itu. Makna semua kegiatannya, sampai pasal terakhir Hukum Kanoniknya pun, hanya dapat menunjangnya secara langsung atau tidak langsung”).
[91] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 1.
[92] Lih. Ibr 13:14.
[93] Lih. 2Tes 3:6-13; Ef 4:28.
[94] Bdk. Yes 58:1-12.
[95] Bdk. Mat 23:3-33; Mrk 7:10-13.
[96] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, IV: AAS 53 (1961) hlm. 456-457; bdk. I: AAS, dalam jilid itu juga, hlm. 407, 410-411.
[97] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.
[98] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.
[99] Lih. S. AMBROSIUS, tentang Keperawanan, VIII, 48: PL 16,278.
[100] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 15.
[101] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13.
[102] Lih. YUSTINUS, Dialog dengan Trifo, 110: PG 6,729; terb. OTTO 1897, hlm. 391-393: “… tetapi semakin kita/kami mengalami penganiayaan semacam itu, semakin bertambah pula jumlah mereka yang berkat nama Yesus menjadi beriman dan saleh”. – Lih. TERTULIANUS, Apologetik, bab 50,13: CORPUS CHRIST., seri Latin I, hlm. 171: “Kami bahkan bertambah banyak, setiap kali kami anda tuai (=anda aniaya): darah umat kristiani justru menjadi benih!”. – Lih. Kosntitusi dogmatis tentang Gereja, art. 9.
[103] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 48.
[104] Lih. PAULUS VI, Amanat pada tgl. 3 Februari 1965.
[105] Lih. S. AGUSTINUS, De bono coniug. (tentang nilai perkawinan): PL 40,375-376,394. – S. TOMAS, Summa Theol., Supl. Soal 49, art.3 ad 1. – Dekrit untuk Umat Armenia: DENZ. 702 (1327). – PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 543-555; DENZ. 2227-2238 (3703-3714).
[106] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 546-547; DENZ. 2231 (3706).
[107] Lih. Hos 2; Yer 3:6-13; Yeh 16 dan 23; Yes 54.
[108] Lih. Mat 9:15; Mrk 2:19-20; Luk 5:34-35; Yoh 3:29; 2Kor 11:2; Ef 5:27; Why 19:7-8; 21:2, 9.
[109] Lih. Ef 5:25.
[110] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 11, 35, 41.
[111] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 583.
[112] Lih. 1Tim 5:3.
[113] Lih. Ef 5:32.
[114] Lih. Kej 2:22-24; Ams 5:18-20; 31:10-31; Tob 8:4-8; Kid 1:1-3; 2:16; 7:8-11; 1Kor 7:3-6; Ef 5:25-33.
[115] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm547 dan 548: DENZ. 2232 (3707).
[116] Lih. 1Kor 7:5
[117] Lih. PIUS XII, Amanat Tra le visite (“Diantara kunjungan-kunjungan), tgl. 20 Januari 1958: AAS 50 (1958) hlm. 91.
[118] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 559-561; DENZ. 2239-2241 (3716-3718). – PIUS XII, Amanat kepada Pertemuan Perserikatan para Bidan di Italia, tgl. 29 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 835-854. – PAULUS VI, Amanat kepada para Bapak Kardinal, tgl. 23 Juni 1964: AAS 56 (1964) hlm. 581-589. Atas perintah Paus, beberapa masalah yang memerlukan penyelidikan yang baru dan lebih cermat, telah diserahkan kepada Komisi untuk mempelajari masalah kependudukan, keluarga dan kelahiran, supaya sesudah tugas itu selesai dijalankan, Paus sendiri yang mengambil keputusan. Demikianlah, sementara ajaran Magisterium tetap berlaku, Konsili tidak bermaksud menyajikan secara langsung pemecahan-pemecahan konkrit.
[119] Lih. Ef 5:16; Kol 4:5.
[120] Lih. Sacramentarium Gregorianum (kumpulan upacara-upacara Gregorian): PL 78,262.
[121] Lih. Rom 5:15 dan 18; 6:5-11; Gal 2:20.
[122] Lih. Ef 5:25-27.
[123] Lihat “Penjelasan pendahuluan” Konstitusi ini, art. 4-10.
[124] Lih. Kol 3:1-2.
[125] Lih. Kej 1:28.
[126] Lih. Ams 8:30-31.
[127] Lih. S. IRENEUS, Melawan bidaah-bidaah, III,11,8: SAGNARD, Sources chr., hlm. 200; bdk. Di situ juga, 16,6: hlm. 290-292; 21,10-22: hlm. 370-372; 22,3: hlm 378, dan lain-lain.
[128] Lih. Ef 1:10.
[129] Bdk. Amanat PIUS XI kepada RP..M. D. Roland-Gosselin: Semaines sociales de France (“Pekan-pekan sosial di Perancis”), Versailes, 1936, hlm. 461-462.
[130] KONSILI VATIKAN I, Konstitusi dogmatis tentang Iman Katolik, bab IV; DENZ. 1795, 1799 (3015,3019). – Bdk. PIUS XI, Ensiklik Quadrasimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 190.
[131] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 620.
[132] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 283. – PIUS XII, Amanat radio tgl. 24 Desember 1941: AAS 34 (1942) hlm 16-17.
[133] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 260.
[134] Lih. YOHANES XXIII, Amanat pada tgl. 11 Oktober 1962, pada pembukaan Konsili: AAS 54 (1962) hlm. 792.
[135] Lih. Konstitusi tentang Liturgi, art. 23. – PAULUS VI, Amanat kepada seniman-seniwati di Roma, tgl. 7 Mei 1964: AAS 56 (1964) hlm. 439-442.
[136] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pendidikan Imam dan Pendidikan Kristiani.
[137] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 37.
[138] Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 273. – YOHANES XXIII, Amanat kepada ACLI, tgl. 1 Mei 1959, hlm. 358.
[139] Lih. PIUS XI, Ensiklik Qudragesimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 190 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat, tgl. 23 Maret 1952: AAS 44 (1952) hlm. 276 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 450. – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Alat-Alat Komunikasi Sosial, art. 6.
[140] Lih. Mat 16:26; Luk 16:1-31; Kol 3:17.
[141] Lih. LEO XIII, Ensiklik Libertas praestantissimum, tgal. 20 Juni 1888: AAS 20 (1887-1888) hlm. 597 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Qudragesimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 191 dan selanjutnya. – IDEM, Divini Redemptoris: AAS 29 (1937) hlm. 65 dan selanjutnya. – PIUS XII, Amanat Natal 194: AAS 34 (1942) hlm. 10 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 401-464.
[142] Mengenai soal-soal pertanian, lihat terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 341 dan selanjutnya.
[143] Mobilitas gerak lalu-lalang pekerja atau buruh antara tempat kediaman dan tempat kerjanya.
[144] Lih. LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 649, 662. – PIUS XI, Qudragesimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 200-201. – IDEM, Divini Redemptoris: AAS 29 (1937) hlm. 92. – PIUS XII, Amanat radio pada malam menjelang Natal 1942: AAS 35 (1943) hlm. 20. – IDEM, Amanat tgl. 13 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm. 172. – IDEM, Amanat radio ditujukan kepada kaum pekerja di Spanyol, tgl. 11 Maret 1951: AAS 43 (1951) hlm. 215. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 35 (1961) hlm. 419.
[145] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 408, 424, 427; istilah curatio (kebijakan) diambil dari teks latin Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 199. – Mengenai perkembangan persoalan, lih. juga PIUS XII, Amanat tgl. 3 Juni 1950: AAS 42 (1950) hlm. 485-488. – PAULUS VI, Amanat tgl. 8 Juni 1964: AAS 56 (1964) hlm. 574-579.
[146] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sertum laetitiae: AAS 31 (1939) hlm. 642. – YOHANES XXIII, Amanat konsistorial: AAS 52 (1960) hlm. 5-11. – IDEM, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 411.
[147] Lih. S. TOMAS, Summa Theol, II-II, soal 32, art. 5 ad 2; juga soal 66, art. 2; bdk, penjelasan dalam LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 561. – Lih. juga PIUS XII, Amanat 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. – IDEM, Amanat radio, Natal 1954: AAS 47 (1955) hlm. 27.
[148] Lih. S. BASILIUS, Homili pada ayat Lukas “Aku akan membongkar lumbung-lumbungku”, n. 2: PG 31,263. – LAKTANSIUS, “Pelajaran-pelajaran Ilahi”, kitab V, tentang keadilan: PL 6,565B. – S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes, uraian 50, n. 6: PL 35,1760. – IDEM, Ulasan tentang Mzm 147:12: PL 37,1922. – S. GREGORIUS AGUNG, Homili tentang Injil, homili 20: PL 76,1165. – IDEM, kitab “Pedoman Pastoral”, bag. III, bab 21: PL 77,87. – S. BONAVENTURA, komentar pada kitab III Sententiae, dist. 33, soal 1: QUARACCHI III, 728. – IDEM, Komentar pada kitab IV Sententiae, dist. 15, bag. II, art. 2, soal 1: edisi tersebut IV, 371b; soal tentang kelebihan milik: ms. Assisi, Bibl. Umum, 186 dsl., 112a-113a. – S. ALBERTUS AGUNG, komentar pada kitab III Sententiae, dist. 33, art. 3, pemecahan 1: edisi BORGNET XXVIII,611. – IDEM, komentar pada kitab IV Sententiae, dist. 15 dan 16: edisi tsb. XXIX, 494-497. – Tentang art “kelebihan milik” untuk zaman sekarang, lih. YOHANES XXIII, Amanat radio-televisi tgl. 11 September 1962: AAS 54 (1962) hlm. 682: “Merupakan kewajiban setiap orang, kewajiban yang mendesak bagi orang kristen, untuk menilai kelebihan milik dengan ukuran kebutuhan sesama, dan untuk menjaga sungguh-sungguh, supaya pengurusan dan pembagian harta-benda yang tercipta menguntungkan bagi semua orang”.
[149] Dalam hal itu berlaku kaidah kuno: “dalam kebutuhan darurat segala sesuatu menjadi milik umum, artinya harus dibagikan”. Di lain pihak mengenai lingkup serta cara menerapkan prinsip dalam teks tersebut, kecuali para pengarang modern yang andal, lihatlah juga S. TOMAS, Summa Theol. II-II, soal 66, art. 7. Jelaslah, bahwa untuk dengan cermat menerapkan prinsip itu semua persyaratan yang secara moril dituntut harus terpenuhi.
[150] Lih. GRASIANUS, Dekrit, bab 21, dist. LXXXXVI: FRIEDBERG I, 302. Pepatah itu sudah tercantum dalam PL 54,591A dan PL 56,1132B: bdk. Antonianum 27 (1952) hlm. 349-366.
[151] Lih. LEO XIII, ensiklik Rerum Novarum: AAS 23 (1890-91) hlm. 643-646. – PIUS XI, Qudragesimo Anno: AAS 23 (1931) hlm. 191. – PIUS XII, Amanat 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. – IDEM, Amanat radio pada malam menjelang Natal 1942: AAS 35 (1943) hlm. 17. – IDEM, Amanat radio tgl. 1 September 1944: AAS 36 (1944) hlm. 253. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 428-429.
[152] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 214. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.429.
[153] Lih. PIUS XII, Amanat radio, Pentekosta 1941: AAS 33 (1941) hlm. 199. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.430.
[154] Tentang penggunaan harta-benda yang tepat menurut ajaran Perjanjian Baru, lih. Luk. 3:11; 10:30 dan selanjutnya; 11:41; 1Ptr 5:3; Mrk 8:36; 12:29-31; Yak 5:1-6; 1Tim 6:8; Ef 4:28; 2Kor 8:13 dan selanjutnya; 1Yoh 3:17-18.
[155] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.417.
[156] Lih. IDEM, ibidem.
[157] Lih. Rom 13:1-5.
[158] Lih. Rom 13:5
[159] Lih. PIUS XII, Amanat radio, tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 9-24; tgl. 24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 11-17. – YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris: AAS 55 (1963) hlm. 263, 271, 277 dan 278.
[160] Lih. PIUS XII, Amanat radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 200. – YOHANES XXIII, YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 415-418.
[161] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm.415-418.
[162] Lih. PIUS XI, Amnat: Ai dirigenti della Federzaione Universitaria Cattolica (kepada para pengurus Perserikatan Universitas katolik): Discorsi di Pio XI: ed. Bertetto, Torino, jilid I (1960) hlm. 743.
[163] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 13.
[164] Lih. Luk 2:14.
[165] Lih. Ef 2:16; Kol 1:20-22.
[166] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 291: “Oleh karena itu pada zaman sekarang ini, yang mengembangkan kekuatan atom, sama sekali sudah tidak berlaku lagi, bahwa perang masih merupakan upaya yang cocok, untuk memulihkan hak-hak yang telah di langgar”.
[167] Lih. PIUS XII, Amanat tgl. 30 September 1954: AAS 46 (1954) hlm. 589; , Amanat radio, tgl. 24 Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 15 dan selanjutnya; YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 286-291. – PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, tgl. 4 Oktober 1965: AAS 57 (1965) hlm. 877-885.
[168] Lih. Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Pacem in terris, yang membicarakan pengurangan senjata: AAS 55 (1963) hlm. 287.
[169] Lih. 2Kor 6:2.
[170] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Ad Petri Cathedram, tgl. 29 Juni 1959: AAS 51 (1959)hlm. 513.
[171] Lih. Mat 7:21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar