"Baperki Supaya Menjadi Sumbangan Besar
Terhadap Revolusi Indonesia".
Saudara-Saudara dan Anak-Anakku
sekalian,
Lebih dahulu saya menyatakan terima-kasih saya serta rasa haru hati
saya berhubung dengan dibuatnya dan dinyanyikanaya lagu "Hidup lah Bung
Karno" yang beberapa detik yang lalu kita bersama telah mendengar. Terima
kasih. Di samping mengucapkan terima kasih itu saya menyatakan kekaguman saya
atas kemahiran komponis lagu itu, yang dari Saudara Siauw Giok Tjhan saya
mendengar bahwa komponisnya ialah seorang puteri, komponiste, yaitu Saudari
Evie Coa. Terima kasih.
Saudara-Saudara sekalian,
sekarang saya diminta untuk memberi sambutan amanat sekadarnya kepada resepsi
pembukaan Kongres Baperki yang ke-VIII ini.
Tadi Bapak Roeslan Abdulgani
telah berkata, bahwa beliau bicara sebagai voorrijder dari saya. Saudara tahu,
kalau saya resmi sebagai presiden berkendaraan mobil ke sesuatu tempat, lantas
ada voorrijdernya. Orang-orang yang mendahului perjalanan mobil saya itu untuk
membuka yalan, voorrijder. Malah ada yang lebih lagi mendahului perjalanan
saya, itu bukan voorrijder, tetapi sweeper, penyapu bersih.
Presiden harus diadakan
voorrijder, harus diadakan sweeper. Sering saya berkata, mbok ya zonder
voorrijder, zonder sweeper, tidak perlu pakai sirene mengaung-ngaung. Tetapi
anggota-anggota pemerintah dan semua staf Istana berkata: "Menurut aturan
harus demikian, Pak." Jadi, ya, saya nurut saja. Maunya itu kadang-kadang
saya mau ngluyur sendiri, Saudara-Saudara, tapi tidak boleh! Selalu harus
dengan voorrijder, harus dengan sweeper.
Nah, ini tadi Pak Roeslan
bicara, kata beliau, sebagai voorrijder saya. Pada waktu saya mendengar pidato
Pak Roeslan, saya kok ingat kepada kerbau dan gudel. Tahu gudel itu apa? Anak
kerbau. Anak kerbau itu dalam bahasa Jawa dinamakan gudel. Anak ayam dinamakan
kuthuk.
Anak ikan bandeng dinamakan
nener. Anak kuda dinamakan belo. Dalam bahasa Jawa anak kerbau dinamakan gudel.
Ada peribahasa Jawa "kebo nyusu gudel", kerbau menyusu kepada anaknya
sendiri. Kerbau menyusu kepada gudel, kepada anaknya sendiri.
Pak Roeslan itu dulu murid
bapak, murid saya. Terutama sekali di dalam ilmu politik. Waktu belakangan ini,
beberapa tahun belakangan ini tiap kali saya mendengar Cak Roeslan Abdulgani
berpidato, saya mendapat perasaan, wah ini, gudelnya ini bukan main! Gudel ini
ngalahkan kebo! Tapi saya senang dan bergembira atas hal yang demikian itu,
moga-moga malahan Cak Roeslan dari gudel Menjadi lah banteng iang
sehebat-hebatnya!
Dan juga pemuda-pemuda, pemudi-pemudi yang duduk di situ supaya semuanya
menjadi banteng-banteng Indonesia!
Saudara-Saudara, Baperki
sekarang mengadakan pembukaan kongresnya yang ke-VIII, masuk tahun yang ke-X,
kata Cak Siauw. Dengan lentong Jawa Timur Cak Siauw tadi berkata, Baperki
sekarang masuk usia yang ke-X. Jawa Timur-nya Cak Siauw, "Demokrasi
Terpempin". Malah mengeluarkan perkataan tiap- tiap kali yang dimaksudkan
itu alasan, beliau berkata "Alesan." ..... Oo, itu dapat dari mana
itu, perkataan "alesan"?!
Saudara-Saudara, Baperki
sekarang mengadakan kongres yang ke-VIII, saya diundang datang di sini.
Jauh-jauh sebelum ada kongres ini, dan pada waktu pertama kali ditanya kepada
saya: "Sudi apa kah kiranya PYM Presiden datang di kongres Baperki?"
-saya menjawab, mau. Insya Allah, mau. Apa sebab? Sebabnya ya, Baperki itu satu
yperkumpulan yang baik. Baperki tegas berdiri di atas Pancasila. Baperki tegas
membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat. Baperki tegas berdiri di atas
Manipol-Usdek dan lain-lain sebagainya. Baperki adalah salah satu dari Revolusi
Indonesia. Oleh karena itu saya datang.
Ya, kita sekalian ini
sebenarnya, Saudara-Saudara, untuk menyelesaikan Revolusi. Kalau, baik Nyonya
Lie maupun Cak Siauw berkata: "Bung Karso yang tercinta", saya
mengerti itu sebenarnya bukan tercinta kepada persoon saya, meski pun hal ini
ada ceritanya ini. Tetapi tercinta, cinta kepada Revolusi Indonesia, yang saya
ini oleh MPRS dijadikan Pemimpin Besar Revolusi. Dan saya pernah berkata, saya
tidak menganggap diri saya menjadi pemimpin. Saya tidak lah mengangkat diri
saya menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Tidak!
Di dalam salah satu pidato saya
berkata, bahwa pemimpin itu, pemimpin yang pemimpin, bukan karena angkatan
sendiri, tidak. Tetapi dia itu adalah perasan --wartawan, perasan! Dulu ada
wartawan yang menulis perasaan, bukan, perasan, diperas..nah keluar. Satu
rakyat berjoang, dalam perjoangan itu seperti memeras. Nah, keluar lah
pemimpinnya. Pemimpin yang benar pemimpin adalah perasan dari perjoangan. Saya,
Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemimpin Besar
Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah salah satu perasan dari Revolusi
itu. Maka oleh karena itu manakala Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata
tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu
adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk
menyelesaikan Revolusi Indonesia.
Nah, Baperki itu demikian.
Berulang-ulang Baperki berkata, aktif menyelesaikan Revolusi Indonesia, tetap
berdiri di atas segala hal yang mengenai Revolusi Indonesia, tetap berdiri di
atas Pancasila, tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk menyelesaikan
Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu saya dengan gembira dan senang hati
datang di kongres-resepsi Baperki ini.
Saudara-saudara,
saya ini diangkat menyadi Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 itu begini, Saudara-saudara. Pada 17
Agustus 1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan Timur yang sekarang berdiri di
sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Poa itu ada tugu, tugu itu ditaruh persis
di tempat yang dulu saya injak membacakan Proklamasi itu. Jadi kalau Saudara-Saudara
ingin mengetahui tempat yang saya membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945, tugu
Pegangsaan Timur 56 itu lah tempatnya.
Di atas tugu itu diadakan
gambarnya petir, gambar bledek, oleh karena di tempat itu dulu dibacakan naskah
proklamasi. Dan naskah proklamasi itu memang boleh dikatakan petir, geledek,
yang didengarkan oleh 5 benua dan 7 samudera!
Tempo hari saya pernah pidato,
nama Indonesia itu terkenal dan termasyhur, pertama kali pada tahun 1883,
tatkala gunung Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah pertama kali mengorbitkan
batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau meledak, batu dan pasirnya
disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam orbit mengelilingi dunia
bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim waktu senja, sore, langit di Amerika,
langit di Eropa kelihatan warna dari pengorbitan batu-batu dan pasir-pasir
Indonesia itu. Pada 1883 pertama kali Indonesia mengagumkan dunia.
Kemudian di dalam pidato, yaitu
pidato Front Nasional 13 Februari yang lalu saya berkata, ke dua kalinya nama
Indonesia termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah, Saudara-Saudara, saya
menghendaki agar supaya nama Indonesia itu sering menjadi sebutan orang di
dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan Indonesia yang jelek, tidak, tetapi
hendaknya karena perbuatan-perbuatan bangsa Indonesia, rakyat Indonesia sebagai
mercusuar, kataku, dari umat manusia di dunia ini.
Saudara-Saudara, di dalam
keadaan yang demikian itu lah kita sekarang ini berada, kita telah dapat
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik, akan nanti
terlaksana pada tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal puluhan hari lagi. Itu
pun seperti satu ledakan dari gunung Krakatau, dilihat dan disaksikan oleh
seluruh dunia. Kita telah dapat menyelesaikan soal keamanan dalam garis
besarnya.
Tinggal satu yang belum, yaitu
program ke tiga dari Triprogram Pemerintah, Sandang-pangan. Dan di sini kita
sekalian harus mencurahkan kita punya tenaga agar supaya soal sandang-pangan
ini lekas bisa terpecahkan.
Dan tadi Pak Roeslan, Cak
Roeslan, telah menggambarkan pada Saudara-Saudara, tekad daripada Pemerintah
Republik Indonesia, bahwa Republik Indonesia, Pemerintahnya tetap memegang
teguh kepada Triprogram ini. Tetap hendak menyelesaikan Triprogram ini. Tetap
dus akan menyelesaikan program ke tiga dari Triprogram yang berbunyi
sandang-pangan Bukan meninggalkan Triprogram ini, tetapi tetap berpegang teguh
kepada Triprogram ini sambil mengintegrasikan segenap tenaga rakyat, apa yang
dimaksudkan oleh Panca Program Front Nasional.
Nah
ini, maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong, bukan saya menyokong,
bahkan ikut serta, ingin ikut serta, ingin dibawa ikut serta di dalam
pelaksanaan Panca Program Front Nasional itu, maka saya merasa amat sekali
berbahagia dan memberi restu saya kepada Baperki.
Saya tadi berhata, saya
berpidato di sini bukan saya sebagai Bung Karno yang tercinta, tetapi sebagai
Presiden Republik Indonesia, Presiden dari Republik Indonesia, yang di dalam
Undang-Undang Dasar 45 --saya tadi belum ceritakan, dibacakan Proklamasi tanggal
17 Agustus 45, keesokan harinya, 18 Agustus 45, diterima lah dengan resmi oleh
Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD 45. Jadi UUD 45 itu sebetulnya resmi lahirnya
pada tanggal 18 Agustus 1945. Nah, Di dalam UUD 45 ini ada ditullis satu hal.
Dan hanya sekali itu disebut, Saudara-Saudara, perkataan "asli",
yaitu bahwa Presiden Republik Indonesia harus seorang Indonesia asli.
Dituliskan di dalam UUD 45, Presiden harus orang Indonesia asli. Saya orang
Indonesia asli.. Garis tiga di bawah perkataan "dianggap" itu. Nah,
taruh garis tiga di bawah perkataan "dianggap". Dianggap, strip,
strip, strip, "drie strepen onder dat woord" 'dianggap' orang
Indonesia asli.
Saya sendiri menanya diri saya
kadang-kadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu
dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten
sumerep (tidak tahu -red.). Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa
menunjukkan asli atau tidak asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu,
Saudara-Saudara, dianggap asli. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada
darah Tionghoa di dalam badan saya ini!
Kalau melihat sifat saya,
Saudara-Saudara, saya ini sedikit-sedikit rupa Tionghoa. Nah, terang-terangan,
saya ini kan rupanya saya sudah kelibatan sedikit Tionghoa! Lain dengan Cak
Roeslan, sedikit Keling dia itu! Jadi siapa bisa menyebutkan dirinya asli atau
tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara.
Kalau melihat jaman dekat saya,
Saudara-Saudara, jaman dekat, saya ini adalah anak hasil perkawinan dari orang
suku Jawa dengan orang suku Bali. Ibu saya itu orang Bali, bapak saya orang
Jawa. Saya sudah belasteran antara Bali dan Jawa. Belasteran. Ya maklum, Cak
Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa Timuran, arek Suroboyo!
Ibu saya itu orang Bali.
Katanya orang Bali itu ada darah dari Majapahit. Majapahit itu ada darah dari
Hindu. Bahkan orang Majapahit itu banyak sekali turunan dari Campa,
Saudara-Saudara. Barangkali Saudara-Saudara pernah baca di dalam kitab sejarah,
di Majapahit itu banyak sekali puteri-puteri dari Campa. Putri Cempo, kata
orang Surabaya. Jadi mungkin di dalam tubuh ibu itu sudah mengalir darah Campa.
Saya pun katanya dari suku Jawa, tapi bapak itu siapa tahu, campuran, campuran.
Ayo, aku tanya kepada Saudara
yang dudak di sini dengan dasi yang baik itu. Apa Saudara bisa mengatakan
dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa.
Maka
itu, Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai persoon, saya sendiri
tidak tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan
antara asli dengan tidak asli. Tidak.
Saya mau cerita satu rahasia,
tatkala saya masih muda, Saudara-Saudara, hampir-hampir saya ini kawin dengan
orang Nio! Saya cuma sebut nama, she-nya tidak saya sebutkan. Saya tidak
sebutkan she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio. Hampir-hampir saja. Tapi,
yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial, alam pra-merdeka. Orang
tunya Thiam Nio --she-nya tidak saya sebutkan-- dia berkata: "Masak kawin
sama orang Jawa!" Saya dikatakan orang Jawa. Sepihak dari orang tua saya
berkata: "Masak kawin sama orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!"
Alam demikian pada waktu itu,
sehingga tidak terjadilah perkawinan antara Sukarno dengan Thiam Nio itu. He,
tapi satu rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara, saya sendiri tidak berdiri
di atas asli atau tidak asli, tidak, tidak, sama sekali tidakl
Karena itu maka saya pada
tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita mengadakan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945, bahkan pada waktu itu di bawah ancaman bayonet Jepang,
Saudara-Saudara, saya telah ucapkan "Lahirnya Pancasila", yang tadi
diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan Abdulgani. Lantas Cak Roeslan
Abdulgani bertanya kepadamu sekalian, engkau anggota-anggota Baperki, apa kah
betul-betul engkau memegang teguh kepada nasionalisme?! Memegang teguh kepada
Pancasila?! Sebagai diucapkan beberapa kali.
Jawab Saudara-Saudara sekalian
ialah, ya, kita berpegang teguh kepada Pancasila. Kita oleh karenanya cinta
kepada tanah-air, bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai ke Meraluke.
Di dalam "Lahirnya
Pancasila" memang saya terangkan hal yang demikian itu. Saya citeer Ernest
Renan. Kemudian saya koreksi. Ernest Renan adalah terlalu sempit. Saya koreksi
dengan Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa "Eine nation ist eine aus
Schickselgemeinschaft erwachsene Karaktergemeinschaft", sebagai yang
diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun saya koreksi, saya bawa
lanjut kepada persatuan dari tanah-air, hubungan antara manusia dengan buminya
Itu tahun 45, Saudara-Saudara.
Sekarang bagi saya sendiri, bahkan lebih dari itu. Saya adalah nasionalis
Indonesia. Saya ada lah orang Indonesia. Saya adalah pencinta bangsa dan tanah-air
Indonesia ini, bukan hanya oleh karena nasionalisme-ku ada lah satu jiwa ingin
bersatu, Renan, 'le desir d'etre ensemble' yaitu keinginan untuk bersatu. Ingin
kah kita bersatu ini, aku dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan
engkau, dengan engkau, dengan kita sekalian dari Sabang sampai Merauke? Lebih
dari itu, kataku.
Otto Bauer berkata, bakan
sekadar ingin bersatu, bukan sekadar satu jiwa, un ame, artinya jiwa, tidak.
Bukan sekadar itu, tetapi adalah persatuan perangai.
Karaktergeimeinchaft.
Kita mempunyai kepribadian sendiri, karakter, karakter Indonesia. Ada kah
engkau dari kepribadian ini?! Ada kah engkau dari karakter ini? Ada kah
karaktermu, karakterku, karaktermu sama? Lebih dari itu sekarang,
Saudara-Saudara.
Di dalam "Lahirnya
Pancasila" sudah saya tambahkan lagi persatuan antara manusia dengan
buminya, yang bumi Indonesia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa telah dikumpulkan
menyadi satu antara dua benua dan dua samudra. Ini satu petunjuk. Dan bukan
saya itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di bumi ini, kita akan mati
di bumi ini. Ada kah persatuan antaramu dengan bumi yang disatukan oleh Tuhan
ini dari Sabang sampai ke Merauke? Satu pernyataan pula.
Sekarang aku tambah lagi,
bagiku sendiri bukan sekadar persatuan antaraku dengan bumiku, dengan Sabangku,
dengan Sumtateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan Baliku, dengan
Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan Irian Baratku, tidak.
Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu, mu, mu, mu, dengan geografi yang
bernama Indonesia. Tidak.
Aku sudah naik kelas yang lebih
tinggi dari itu, naik kelas kepada apa yang saya pernah ucapkan di sini, di
gedung ini, Sport Hall Senayan, bahwa bagiku Indonesia adalah sudah lebih lagi
daripada satu geografi, bahwa bagiku Indonesia sudah lebih lagi daripada rasa
d'etre ensemble, bahwa bagiku Indoaesia sudah lebih daripada satu
Karaktergemeinschaft. Sebab apa, kataku? Aku berkata secara poetis di dalam
pidatoku itu waktu, kalau aku mencium, Indonesia. Kalau aku berdiri di pinggir
pantai selatan dan aku menutupkan aku punya mata dan aku mendengarkan lautan
sana itu berombak, bergelora membanting di pantai itu, aku mendengarkan
Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di atas gunung
Tangkubanprahu, aku melihat awan-awan Indonesia, yang lain dengan awan-awan di
Zwitzerland atau awan-awan di Amerika. Kalau aku mendengarkan burung perkutut
menyanyi di pepohonan, aku mendengarkan Indonesia. Kalau melihat sinar matanya
anak-anak yang berdiri di pinggir jalan, sinar mata anak-anak yang berteriakkan
"Merdeka Pak, Merdeka, Merdeka", aku melihat Indonesia. Bahkan aku
melihat hari depan Indonesia.
Indonesia bagiku adalah sudah
satu totaliteit bukan sekadar satu geografi,bukan sekadar satu desir d'etre
ensemble, bukan sekadar satu Gemeinschaft karakter. Nah, Indonesia sudah satu
totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi Indonesia. Laut, laut
Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia. Suara burung, burung
Indonesia. Sinar mata manusia, sinar mata Indonesia. Segala angin yang berbisik
mengelilingiku ini, angin Indonesia. Dan itu semuanya kucintai.
Nah, aku bertanya kepada
anggota-anggota Baperki, sudah kah Saudara-Saudara sekalian demikian? Sebab
kita ini semuanya sudah seia-sekata mengabdi Revolusi, mengabdi kepada Amanat
Penderitan Rakyat yang harus dilaksanakan berdasarkan atas Manilpol,
berdasarkan atas Usdek dan lain-lain sebagainya.
Persatuan
Bangsa yang saya sebutkan berulang-ulang itu sebenarnya sekadar alat,
Saudara-Saudara. Saya berkata di JAREK.. JAREK itu singkatan dari
"Jalannya Revolusi Kita", yang saya katakan seperti malaikat-, di
dalam JAREK saya sudah berkata, persatuan adalah mutlak, absolut untuk mencapai
tujuan kita. Jikalau kita benar-benar hendak menyelesaikan Revolusi kita, kita
harus bersatu. Jikalau kita hendak benar-benar ingin menjadi mercusuar didalam
hidup manusia di dunia ini, kita-harus. bersatu. Dan di dalam hal persatuan ini
saya berkata, saya menghendaki supaja di dalam persatuan segala unsur bangsa
Indonesia itu disatukan. Suku apa pun, ya suku Sumatera, ya suku Jawa, ya suku
Kalimantan, ya suku Bali, ya suku apa pun, bersatu lah. Agama apa pun yang
dipeluk oleh rakjat Indonesia ini, bersatu lah, dan jangan lah berpecah-belah
di atas perlainan-perlainan agama itu. Asli atau tidak asli, bersatulah.
Persatuan adalah mutlak, Saudara-Saudara.
Nah, maka oleh karena itu di
dalam kita sekarang hendak melanjutkan Revolusi kita ini berlandaskan Manipol
dan Usdek, dalam hal ini saya berkata, persatuan tetap mutlak, maka saya
menghendaki agar supaja seluruh waragnegara, tanpa perbedaan asli atau tidak
asli, tanpa perbedaan agama, tanpa perbedaan suku, semuanya di-Manipol-kan;
semuanya kita mengerjakan Manipol dan Usdek itu!
Sampai kepada sekolah-sekolah,
yangan pun universitas-universitas, kepada sekolah-sekolah yang sedang melatih
kita punya cindil-cindil abang (anak tikus --red.). Saudara-saudara, harus
sudah di-Manipol-kan. Cindil-cindil kita yang duduk di bangku sekolah,
Manipol-kan. Apalagi yang sudah gerang-gerang (besar), tua bangka seperti kita
ini, Manipolkan semuanya! Nah itu lah, Saudara-Saudara, sebabnya, maka saya di
sini pun minta kepada Baperki supaja bekerja keras di lapangan ini. Sekarang
ini, sebagai tadi sudah saya katakan, Triprogram pemerintah itu satu belum
terlaksana. Sandang-pangan. Dan memang ini adalah satu soal yang sulit, tetapi
harus kita atasi. Dan sebagai dikatakan oleh Cak Roeslan tadi, pemerintah, dan
terutama sekali presidennya, perdana menterinya, Bung Karno-nya telah
berketetapan hati untuk terutama sekali berdiri di atas pengerahan tenaga
rakyat.
Oleh karena itu maka Panca
Program Front Nasional yang sudah saya katakan harus dilaksanakan oleh Front
Nasional itu diintegrasikan di dalam usaha kita melaksanakan Triprogram
Pemerintah ini. Baperki saya harap benar-benar membantu terlaksananya
Pancaprogram Front Nasional itu, oleh karena dengan terlaksananya Panca Program
Front Nasional, kita membantu juga terlaksananya seluruh Triprogram Pemerintah.
Saudara-Saudara, Revolusi berjalan terus, dan revolusi kita ini sebagai yang
sudah saya katakan bukan revolusi kecil-kecilan, revolusi Pancamuka kataku,
bahkan jikalau dipikir lebih luas, sebetulnya kataku, pada waktu aku berpidato
kemarin-kemarin dulu---apa waktu itu ya, di Istana Negara, seminar Hukum
Nasional--sebetulnya revolusi kita ini bukan lagi Pancamuka, panca itu lima,
bukan cuma lima, jaitu Revolusi Politik Revolusi Nasional, Revolusi Ekonomi,
Revolusi Sosial, Revolusi membentuk Manusia Baru, lima, tidak, sebenarnya
revolusi kita itu ada lebih dari lima muka. Maka boleh dikikatakan Revolusi
Saptamuka, sapta itu artinya tujuh. Bisa dinamakan hastamuka, hasta itu
delapan. Boleh dinamakan dasamuka, dasa yaitu sepuluh.
Pendek
kata revolusi kita ini adalah benar dikatakan satu revolusi multikompleks.
"A summing up of many revolutioes in one generation".
Revolusi Indonesia itu adalah
satu "nation building" Indonesia yang sehebat-hebatnja. Itu, nation
building Indonesia yang sehebat-hebatnya. Dan didalam hal usaha nation building
itu, segala unsur-unsur darispada nation buiIding harus diilaksanakan. Apa
unsur nation building? Bukan sekadar soal ekonomi bukan sekadar soal politik,
bukan sekadar soal kultur, bukan soal nama, tidak nation building adalah satu
pekerjaan yang multikompleks pula. Tujuan dari Revolusi Indonesia adalah nation
building In donesia. Nation building bukan didalam arti yang sempit, sekadar
membentuk satu "nation" Indonesia. Tidak lebih dari itu pula.
Nation Indonesia yang bahagia,
nation Indonesia yang berkepribadian tinggi, nation Indonesia yang hidup di
dalam satu masyarakat adil dan makmur tanpa exploitation de l'homme par
l'homme. Nation building dalam arti yang seluas-luasnya. Nah, ini yang kita
kerjakan sekarang ini, Saudara-Saudara. Oleh karena itu saya berkata, jangan
lah kita-jikalau kita hendak mendirikan nation Indonesia dalam arti yang luas
itu- jangan kita masih berdiri di atas dasar-dasar yang usang, yang tadi
disebutkan oleh Pak Roeslan Abdulgani. Sudah pernah saya terangkan, kekuasaan
imperialisme dulu di Indonesia apa? Negeri Belanda yang pada waktu itu
rakyatnya hanya 6 juta, telah mengalahkan satu bangsa yang 40 juta. 6 Menjadi
7, 40 menjadi 50. 7 Menjadi 8, 50 menjadi 70. 8 juta menjadi 9 juta, sini
menjadi 80 juta. Sekarang di sana 10 juta, sini 100 juta.
Pada waktu, imperialisme
Belanda mengekang, mengereh, mengalahkan Indonesia, rakjat kecil mengalahkan
Indonesia dengan apa? Saya sudah berkata, baca lah kitab dari Sir John Seeley.
He, mahasiswa-mahasiswi, Sir John Seeley, menulis satu kitab yang ia beri judul
'The Expansion of England". Dan di situ persis ia terangkan juga, bangsa
Inggris di India itu berapa orang? Hanya 40 ribu orang Inggris di India bisa
mengalahkan satu rakyat yang 230 juta orang. 40 ribu mengalahkan 230 juta
orang, dengan apa? Dengan alat-alat terutama sekali memecah-belah bangsa India
itu, divide and rule, divide et impera.
Persis di sini pun gterjadi
demikian. Di sini pun berjalan pemecah- Belahan. Di sini pun berjalan divide
and rule. Oleh karena itu pernah saya beberkan segala usaha dari imperialisme
ini dengan berkata, kekuasaan imperialisme itu ada dua macam. Dalam bahasa
asingnya machtsfactor. Macht yaitu kekuasaan. Factor kekuasaan imperialisme itu
dua macam. Ada yang riil, ada yang abstrak. Ada yang bisa dilihat, bisa diraba,
ada yang tak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Yang riil yaitu machtsfactor,
power factor yang riil. Apa itu? Angkatan perangnya, polisinya,
penjara-penjaranya, bedil-bedilnya, meriam-meriamnya, itu ada lah power factor,
machtsfactor yang riil. Tapi ini tidak besar, Saudara-Saudara; lebih besar
daripada machtsfactor yang riil ini adalah machtsfactor yang abstrak, yang
tidak bisa dilihat, yang tidak bisa diraba. Dan machtsfactor yang abstrak ini
apa kah, Saudara-Saudara? Terutama sekali ialah divide and rule policy,
pemecah-belahan suku dihasut benyci kepada suku yang lain. Tidak ada
persatuan,
tidak boleh ada persatuan antara suku-suku Indonesia. Dan tidak boleh ada
persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisah-pisahkan majoritas dari
minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada mayoritas dan dibuat
majoritas ini benci kepada minoritas.
Kalau Saudara ingin mengetahui
terjadinya minoritas, yang dinamakan minoritas Peranakan Tionghoa, minoritas
Tionghoa di Indonesia ini, pemuda-pemuda, baca lah kitabnya Prof de Haan. Prof
de Haan menulis kitab tebal, tiga jilid, titelnya yaitu "Priangan",
ditulis oleh Prof de Haan. Dan di situ Prof de Haan menerangkan, bahwa pihak
Belanda dari jaman Jan Pieterszoon Coen membentuk satu minoritas untuk
kepentingan mereka itu. Satu minoritas yang terdiri dari orang-orang Tionghoa
dan Peranakan Tionghoa. Dengan sengaja dipisahkan dari mayoritas. Dengan
sengaja dipergunakan untuk kepentingan pibak Belanda sendiri. Dan ini merembes
terus-menerus sampai jaman yang akhir-akhir ini, rasa tidak senang antara
minoritas dan majoritas, majoritas terhadap minoritas. Sampai-sampai yang Thiam
Nio itu tadi tak bisa kawin dengan Bung Karno! Ya, dari pihaknya tidak mau, tidak
boleh kawin sama orang Jawa, dari pihak saya pun tidak boleh kawin dengan
Peranakan Tionghoa.
Saudara-Saudara, bagaimana pun
juga ini adalah akibat dari kolonialisme, akibait dari imperialisme. Maka oleh
karena itu, Saudara-Saudara, kita didalaml Republik Indonesia, di dalam alam
baru ini kita harus sama sekali tinggalkan dasar yang salah ini. Kita membentuk
nation Indonesia yang baru, yaitu sebetulnya pun kelima dari Pancamuka Revolusi
Indonesia ini. Dan di dalam hal ini Beperki bisa bekerja keras, bisa memberi
sumbangan yang sebesar-besarnya. Terus terang saya, Saudara-saudara, saya
pernah bicara dengan, bukan saja bicara, saya pernah berada di beberapa negara
sosialis. Ya di Soviet Uni, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Vietnam Utara,
ya di Cekoslowakia, ya di Polandia Malah saya di negara-negara itu berkata,
hhh, Republik Indonesia lebih jauh dari kamu di sini. Pernah di kota Hanoi,
ibukota negara Vietnam Utara, saya dengan Pak HO, Paman Ho, Ho Chi Minh. Datang
lah suatu delegasi, Saudara-Saudara, satu delegasi dari satu golongan
minoritas. Dan kelihatan, memang ini tidak sama dengan rakyat Vietnam yang
lain. Ini kelihatannya agak kemelaju-melajuan, potongan badannya, roman
mukanya, pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, ini adalah beda dari rakjat
Vietnam Utara yang lain-lain. Pak Ho, Ho Chi Minh, Paman Ho dengan bangga
berkata kepada saya: "Bung Karno, ini adalah delegasi dari minoritas,
ingin bertemu muka dengan Bung Karno". Saya berkata kepada delegasi itu,
dan kepada Pak Ho saya berkata, sebetulnya di Indonesia kita tidak mengenal
minoritas. Dan saya tidak mau mengenal minoritas di lndonesia. Di Indonesia
kita hanya mengenal suku-suku. Saya tidak akan barkata, suku itu adalah
minoritas, suku itu adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dajak
adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera
Selatan itu -suku Kubu- adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas,
tidak! Tidak ada minoritas, hanya ada suku-suku, sebab mnanakala ada minorltas,
ada mayoritas. Dan biasanya kalau ada majoritas, dia lantas exploitation de la
minorite par la majorite, exploitatie dari minoriteit majoriteit.
Saya,
tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan Tionghoa itu
di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia ini, tidak!
Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia, engkau
adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa lndonesia.
Itu, yang duduk di sana,
jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung dari mana, Bung? Dari Medan? Dari mana?
Coba sini! Siapa namanya? Jawabnya, Amar Singh, katanya. Anggota Baperki. Warga
Indonesia. Haa, Indonesia! For me you are not a minority, you are just an
Indonesian. Haa, ini orang Indonesia, Saudara-saudara, bukan minoriteit! Saya
kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku itu apa
artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya kaki. Jadi bangsa
Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa,
kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki
Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.
Nah, Pak Ho, kataku, demikian
lah Indonesia. "Ja, that is better", kata Pak Ho. Ya memang, itu
lebih baik, Saudara-Saudara, karena itu aku tadi berkata, ya kami baagga,
Indonesia lebih, lebih dari di negara-negara sosialis atau negara-negara yang
kita kenal sebagai sosialis. Tetapi, Saudara-Saudara, segala hal itu sebagai
saya katakan di dalam pidato Front Nasional, adalah satu perjoangan. Jangan mengharap
segala sesuatu itu beres, datang dari langit seperti embun di waktu malam,
tidak! Perjoangan! Jikalau umpamanja Saudara-Saudara atau rakyat Indonesia
semuanya ingin supaya di dalam UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis
"Presiden Republik Indonesia haruis orang Indonesia asli", berjoang
lah agar supaya hilang perkataan ini! Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama
supaya perkataan "asli" dari UUD 45 ini dicoret sama sekali. Begitu
pula kalau saudara-saudara menghendaki sdekarang ini hilangnya perasaan tidak
enak dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan dirinya minoritas,
itup un memerlukan perjoangan. Perjoangan agar supaya hilang rasa tidak senang
kepada minoritas. Sebaliknya pun minoritas saya minta berjoang, berjoang,
sekali lagi berjoang, agar supaya tidak ada rasa kebencian dari minoritas
kepada majoritas.
Terus terang saja,
Saudara-Saudara, saya pernah di dalam Gedung Senat Washington, Capitol
Washington, saya pernah menggugat, apa kah benar Amerika itu berdiri di atas
demokrasi. "Yes", kata orang-orang yang ada di situ, senator-senator,
Saudara-Saudara, orang-orang biasa. "Amerika berdiri di atas dasar
demokrasi. Yes." Amerika menulis di dalam "Declaration of
Independence"-nya, yang ditulis oleh Thomas Jefferson dalam 1776, bahwa
semua manusia itu dilahirkan sama. "That all men are created equal".
Benar kah begitu?! "Yes. This is written in our Declaration of
Independence, that all men are created equal." Sama. Tidak ada perbedaan
antara manusia dengan manusia. Bahwa manusia itu karena samanya, tiap tiap
manusia mempunyai hak untuk life, liberty, the pursuit of happiness. Demikian
lah tertulis di dalam "Declaration of Independence" Amerika. Bahwa
manusia created equal, bahwa manusia semuanya itu mempunyai hak, hak yang
primordial, hak yang terbawa dari sebelum ia lahir di dunia ini, sudah membawa
hak tiga: life, liberty, kemerdekaan; the pursuit of happiness, mencari,
mengejar kebahagiaan.
Manusia
tidak dilahirkan untuk tidak "life", manusia tidak dilahirkan di
dunia ini untuk "tidak hidup". Manusia tidak dilahirkan untuk tidak
"liberty", untuk tidak "merdeka". Manusia tidak dilahirkan
di dunia ini untuk dari kecilnya sudah membawa rantai di kakinya, tidak bisa
bergerak ke mana-mana oleh karena ia orang tidak merdeka. Manusia tidak
dilahirkan di dunia ini untuk tidak boleh pursuit of happiness, mengejar
kebahagiaan. Is it true, in your declaration of independence is written, life,
liberty and the pursuit of happiness? "Yes, it is true", kata
senator-senator itu. Jadi diakui.
Ada pertanyaan; bahwa all men
are created equal, manusia dilahirkan sama, that all men boleh mengejar life,
liberty, and the pursuit of happiness. Boleh, semuanya sama. Waktu itu,
perdebatan antara saya dengan senator-senator itu mengenai Irian Barat, Saudara-Saudara,
sebab salah satu senator itu kulitnya agak hitam, memang dia adalah kulitnya
agak hitam, dia membantah, kenapa kok Indonesia mau mengclaim Irian Barat?
Sebab orang Irian Barat itu kulitnya hitam, lain ras dari Indonesia yang
kebanyakan, kata senator itu.
Saya berkata, ha, Amerika
mengatakan all men are created equal. Amerika mengatakan that all men boleh
mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Kenapa kok mengadalkan
pernyataan demikian, kataku. Apa kah bangsa itu terdiri dari satu warna kulit?
Sebaliknya kubertanya kepadamu, kenapa di Amerika masih ada segregation?
Segregation yaitu orang Negro di beberapa tempat masih dianggap sobagai orang
jang inferior. Restoran, only tor white men, orang hitam tidak boleh masuk
restoran. Movie, only for white men, tidak boleh orang bitam masuk di dalam
movie itu. Autobus ditulis, only for white men. Tidak boleh orang Negro naik di
autobus itu. Saya berkata demikian. Jawbnya bagaimana? Jawabnya ialah, ya,
segala hal ittu harus kami perjoangkan. Itu kan undang-undang yang mengatakan,
bahwa all men are created equal. Di dalam "Declaration of
Independence" itu dia punya mukaddimah dari pernyataan kemerdekaan ialah
ditulis, tulis zwart op wit, tetapi toh kertas, Saudara-Saudara, that all men
are created equal. Di atas kertas ditulis, bahwa tiap-tiap manusia itu
mempunyai hak atas life, 1iberty, and the pursuit of happiness, di atas kertas,
but in the reality of life masih harus diperjoangkan. Segala itu adalah hasil
dari perjoangan. Dan senator itu berkata: "Ya, kami senator-senator --kami
yang duduk di sini ini kami memperjoangkan agar supaya di Amerika ini, tidak
ada segregation. Kami memperjoangkan agar supaja orang Amerika semuanya suka
menerima warganegara Amerika yang berkulit hitam sebagai warganegara yang full
dan sejati." Saya berkata, I can appreciate it. Saya bisa mengerti ini dan
saya bisa appreciate ini.
Sebaliknya pun aku berkata
kepada bangsa Indonesia tempo hari, tatkala aku mengadakan pidato Front
Nasional, jangan lupa segala sesuatu itu adalah perjoangan, harus kita
perjoangkan, perjoangkan. Aku berkata, Panca Program itu bagiku pun satu
perjoangan, saya harus mengerahkan segenap rakyat, mengerahkan segenap rakyat,
mengerahkan segenap menteri, mengerahkan segenap pegawai, mengerahkan segenap
petugas Republik Indonesia ini untuk menjalankan, melaksanakan Panca Program
dari Front Nasional. Mengerahkan perjoangan!
Karena
itu, Saudara-Saudara, saya berkata jikalau rakyat Indonesia menghendaki supaya
di dalam UUD-nya jangan ditulis "asli- aslian" sebagai Presiden,
perjoangkan hal ini, kerahkan lah segenap tenaga, agar supaya hilang dari UUD
kita. Jika bangsa Indonesia tidak mau mengeaal adanya minoritas dan mayoritas,
jikalau bangsa Indonesia memang hanya mengenal satu bangsa Indonesia yang tiada
mayoritas dan tiada minoritas, perjoangkan hal ini bersama-sama dengan saya,
bersama-sama dengan pergerakan-pergerakan yang ada di Indonesia ini. Sebab itu
tadi Pak Roeslan berkata, tanpa effort tidak bisa kita mencapai sesuatu hal.
Dus manakala saya di sini, Saudara-Saudara, memeluk Baperki, saya boleh juga
dikatakan, saya mengajak Baperki untuk berjoang bersama-sama dengan saya,
bersama-sama dengan seluruh rakyat Indonesia agar supaya Amanat Penderitaan
Rakyat bisa selesai, agar supaya semua cita-cita kita bisa terlaksana.
Ada pendirian-pendirian saya
pribadi, ada, itu pribadi, Saudara-Saudara. Saja ulangi lagi, pribadi, mengenai
soal asimlilasi misalnya yang tadi Cak Siauw berkata, mbok ya jangan
diutik-utik soal asimilasi. Ya, saya, tidak mau ngutik-ngutik, sebab Cak Siauw,
wah itu bisa juga cuma menyimpangkan perhatian saja. Ya, Bung Siauw, saya tidak
akan mengatik-utik. Tapi perasaan pribadi saya, saya ini tidak kenal
Saudara-Saudara, akan perbedaan darah itu, tidak. Nama pun, nama saya sendiri itu
Sukarno, apa itu nama Indonesia asli? Tidak. Itu asalnya Sanskrit,
Saudara-Saudara. Sukarna. Nah, itu Abulgani, Arab. Ya, Cak Roeslan namanya asal
Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Sukarna. Pak Ali itu campuran,
Ali-nya Arab, Sastraamijaja itu Sanskrit, campuran dia itu.
Nah karena itu; Saudara-Saudara
pun --ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk, pribadi-- what is in a name?
Walau 5audara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau
tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit,
Saudara-Saudara. Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab
dan Sanskrit. Buat apa saya mesti menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang
mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau
ubah namanya, ini sudah bagus kok .. .... Thiam Nio kok mesti dijadikan
Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak?
Tidak. Itu urusan prive. Agama
pun prive, saya tidak campur-campur. Yang saya minta yaitu, supaja benar-benar
kita menjadi orang Indonesia, benar -benar kita menjadi warganegara Republik
Indonesia. Bahkan sebagai kukatakan tadi mbok ya seperti saya ini, kalau boleh
saya pakai contoh, bukan sekadar Renand, bukan sekadar Otto Bauer, bukan
sekadar geografi, kataku, lebilh dari ini, lebib dari ini, lebih dari geografi.
Indonesia bagiku adalah satu totalitas, ya burungnya, ya udaranya, ya suaranya,
ya gelora lautnya, segala-galanya ialah Indonesia, Indonesia, Indoneisia, dan
untukmu aku hidup di sini, kecuall di samping untuk Allah SWT.
Saudara-Saudara, kaau tidak
salah, duduk di muka saya ini penari ulung, apa betul? Dari Bandung? Apa betul
dari Bandung? Dia itu, siapa namanya, lupa lagi saya. Tan Tian Ie, nah sini
Nak, sini. Ini Tan Tian Ie misalnya kalau menari, Saudara-Saudara, menari
tari-tarian Sunda .. .... hh, banyak wanita-wanita Sunda itu kalah sama dia.
Dan dia betul-betul
merasa Indonesia, sampai yaitu, segala tari-tarian yang lemah-lembut dia bisa
tarikan.
Apa pernah saja berkata
kepadamu, Tan Tian Ie, kau mesti ubah namamu?! Tidak. Tetap lah engkau bernama
Tan Tian Ie. Ini pendirian saya pensoonlijk, pribadi, Saudara-Saudara. Baik
saya mencurahkan rasa hatiku terhadap kepada 5audara-Saudara agar supaya
Saudara-Saudara yang berkata kepadaku, Bung Karno yang tercinta, mengetahui
betul-betul. Bung Karno ini apa! Bung Karno ini kecuali ini, daging, darah,
tulang ialah rupa begini, isi hatinya ialah demikian. Dan saya harap agar
supaya Baperki dalam menjalankan tugasnya sebagai Baperki sebagai tadi sudah
saya harapkan, berperasaan sama-sama dengan Bung Karno yang dikatakan dicintai
oleh Saudara-saudara itu. Demikian lah, Saudara-Saudara, moga-moga kongres
Baperki yang ke-VIII sukses, moga-moga Baperki seLalu maju pesat, moga-moga
Baperki benar-benar menjadi sumbangan yang besar terhadap kepada Revolusi
Indonesia.
Sekian.
Terima kasih.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar